BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi (islah) adalah perubahan sesuatu menuju
kondisi yang lebih baik. Lawan kata reformasi adalah deformasi (ifsad). Gerakan
reformasi adalah gerakan yang mengajak seluruh segmen masyarakat untuk
memperbaiki apa yang telah rusak di berbagai bidang dan membawa kehidupan ke
tingkat yang lebih tinggi dalam kemajuan manusia.
Dan, reformasi merupakan satu-satunya kunci pembuka
jalan bagi demokrasi saat ini. ada yang mengatakan bahwa reformasi adalah
proses redemokratisasi. Partai-partai politik, kekuasaan sosial, dan para aktor
politik kini tengah berlomba untuk menawarkan beragam konsep dan program
demokrasi dalam memasuki era Indonesia baru. Lebih-lebih dalam memasuki area
pemilihan yang kini mulai menghangat aroma politiknya. Semua itu merupakan
dinamika politik yang niscaya dalam kehidupan bangsa dan negara terasa semakin
terbuka.
Namun, dibalik dinamika reformasi yang penuh
akselerasi tinggi itu, agaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial
politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi
sebagai kunci utama pembuka jalan bagi terwujudnya reformasi yang sesungguhnya.
Sementara itu, kekuatan politik dan para elite politik justru mulai tergoda
kemenangan dengan melakukan sejumlah manuver politik yang terkesan
berseberangan dengan semangat demokrasi.
Untuk itu, dalam makalah ini akan kami paparkan
tentang keadaan politik di era reformasi beserta peran Islam didalamnya.
II. RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana kondisi dan situasi politik pemerintahan di Indonesia di era
reformasi ?
B.
Bagaimana munculnya pertumbuhan partai-partai Islam pada era reformasi?
C.
Bagaimana nasib orang muslim dan
kebijakan politik oleh kepemimpinan di era reformasi ?
D.
Bagaimana analisis fiqh siyasah pada era reformasi ?
B. Tujuan
Tujuan penulisan bahan
ajar diklat ini adalah, diharapkan peserta diklat dapat:
1.
Menjelaskan
pengertian sistem politik dan pemerintahan
2.
Mendeskripsikan
tipe dan fungsi sistem politik dan
pemerintahan
3.
Mendeskripsikan
sifat sistem politik dan pemerintahan
4.
Mendeskripsikan
kedudukan sistem politik dan pemerintahan
5.
Mendeskripsikan
mekanisme sistem politik dan
pemerintahan.
6.
Mendeskripsikan
perbedaan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
7.
Menjelaskan
praktik sistem politik dan pemerintahan
8.
Menjelaskan
suprastruktur dan infrastruktur politik
9.
Mendeskripsikan
sistem politik dan pemerintahan di Indonesia
10. Berperan serta
dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
C. Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi yang
akan di bahas dalam tulisan ini meliputi (1) pengertian sistem politik dan sistem
pemerintahan. (2) tipe dan
fungsi sistem politik dan pemerintahan (3) sifat sistem politik dan pemerintahan, (4) kedudukan sistem politik dan pemerintahan (5) mekanisme sistem politik dan pemerintahan. (6) perbedaan sistem politik dan pemerintahan di
Indonesia. (7) praktik sistem
politik dan pemerintahan (8) suprastruktur
dan infrastruktur politik, (9) sistem
politik dan pemerintahan di Indonesia, (1)
Berperan serta dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal Fiqh
politik (Fiqhis Siyasah), yang mendasari pandangannya bahwa Syari’at Islam
disamping mengatur tentang ketuhanan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya
(masalah-masalah ibadah) serta akhlak, tetapi juga mencakup hubungan individu
dengan daulah (Negara dan pemerintah), atau hubungan pemimpin dengan rakyat,
hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur
dalam fiqh daulah (Al-Qardhawy: 1999:23). Politik menurut perspektif syari’at,
ialah yang menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar
kepadanya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan jaran-ajaran dan
prinsip-prinsipnya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan sasarannya,
system dan jalannya. Tujuannya berdasarkan syari’at dan system yang dianut juga
berdasarkan syari’at. Islam adalah aqidah dan syari’ah, agama dan daulah,
kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang. . (
Al-Qardhawy, 1999:35). Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini adalah
termasuk dalam bidang kenegaraan dan kebijakan public, dan hukumnya adalah
masuk dalam bidang hukum public, yaitu Hukum tata negara, administrasi Negara,
hukum pidana dan hukum acara.
Telah banyak para fuqaha terdahulu yang membahas
masalah ini, yang dimasukkan dalam pembahasan fiqh secara umum, dan bahkan ada
yang mengupasnya dalam kitab-kitab tersendiri, seperti Al-Ahkam As-Sulthaniyah,
karangan Al-Mawardy Asy Syafi’y (wafat 450 H), Abul Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali
(wafat 458 H.), Ghayyatsul-Umam, karangan Al Imam Al Haramain Asy Syafi’y
(wafat 476 H). Kitab As-Siyasah Asy- Syar’iyah fi Ishlahir Ra’yu war Ra’iyyah
karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat
Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyah.
Termasuk kitab klasik Al-Kharaj yang dikarang oleh Abu Yusuf (wafat 181 H),
salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi kitab-kitab lainnya
termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20.
Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama
klasik tentang politik adalah sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qardhawy,
(Al-Qardhawy 1999:38) yaitu tidak dipisahkannya politik dengan syari’at islam.
Politik adalah bagian dari syari’at islam yang diatur oleh syari’at dan
tujuannya untuk tegaknya syari’at itu. Politik dalam pandangan para ulama
salaf, diartikan dalam dua makna, yaitu, Pertama, dalam makna umum, yaitu untuk
menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia mereka berdasarkan
syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu pendapat yang
dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya untuk menangkal
kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi atau untuk
memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh islamy,
yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan
tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh islami itu berinteraksi dengan realitas
kehidupan, serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk
kepada syari’at. Syari’at tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh
kerena itu realitas juga adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang
timbul.
Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah
SAW, tentang kelenturan syari’at islam yang dihadapkan dengan realitas, dan
inilah bidang politik, yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah
memerintahkan untuk memenjarakan seorang tersangka, padahal pada sisi lain
Rasulullah SAW bersabda tidak akan menghukum seseorang kecuali dengn dua saksi.
Begitu juga dengan sikap Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri
yang diganti dengan hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri
itu. Serta mengambil zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai
keringanan. Khalifar Umar ra juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri karena
kemiskinan.
Setelah runtuhnya khilafah islamiyah mulai
berkembang perbedaan pandangan diantara ummat islam tentang islam dan politik.
Terutama dimulai dengan pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq,
dengan tulisan Islam wa Ushulil Hukmi ( tahun 1925), yang pada pokoknya
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak memiliki daulah, Negara. Islam
adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak bermaksud mendirikan Negara dan
ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau hanyalah seorang rasul yang bertugas
melaksanakan dakwah agama secara murni tidak dicampur kecenderungan terhadap
kekuasaan dan seruan mendirikan Negara, karena memamng beliau tidak memliki
kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja dan bukan pula seorang pendiri
daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan Negara. (Al-Qardhawy, 1999:29).
Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama Al-Azhar dan putusan
dalam pertemuan format Saikh Al-Azhar beserta 24 anggota tetap, dan memutuskan
bahwa buku Al Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah yang
bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang sama
sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang
berilmu. Pengarangnya dikelaurkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya
serta diberhentikan dari jabatannya.
Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal
(Musda Mulia 1997:289-290), bahwa dalam Al-Qur”an dan As-Sunnah tidak ditemukan
aturan-aturan yang langsung dan rinci mengenai masalah-masalah yang ada
hanyalah seperangkat tatanilai etika yang dapat dijadikan pedoman bagi
pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya
yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi pengaturan hidupn kenegaraan.
Tuntunan Al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjuk suatu model
tertentu. Karena itu Haikal menyimpulkan bahwa soal Negara dan pemerintahan
lebih banyak diserahkan kepada ijtihad ummal Islam. Islam hanya menggariskan
prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam mengelola Negara.
Prinsip-prinsip itu mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi pengelolaan
hidup bernasyarakat, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan dan kebebasan.
Perbedaan pandangan diantara ummat Islam mengenai
hubungan antara Islam dan politik tersebut berkembang hingga saat sekarang ini,
dan membawa kepada perbedaan aliran politik yang dianut ummat Islam di seluruh
dunia, termasuk yang terjadi di Indonesia.
Kondisi dan Situasi Politik Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi
Sejarah konsepsi reformasi, berakar pada perubahan
kehidupan agama di abad ke-16, dimana kekolotan ulama’ penguasa agama Katolik
ditentang oleh kalangan sendiri yang melihat berbagai kejanggalan untuk
kemudian melancarkan reformasi agama dalam bentuk aliran Protestan. Sejak itu,
reformasi di praktikkan dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka menata
ulang atau memperbaharui proses kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Sebagai
konsepsi tentang program kehidupan reformasi tentunya dibedakan dengan evolusi
dan revolusi.
Reformasi merupakan perubahan kehidupan masyarakat
jalan tengah. Dalam rangka itu, pengertian dan proses reformasi bergerak
diantara kemiripan atau kedekatan cirinya kepada evolusi dan revolusi.
Mendekati evolusi, reformasi dimaknai sebagai perubahan sosial yang diprakarsai
dan dilaksanakan oleh semua pihak, berkenaan dengan perubahan seluruh aspek
kehidupan, berlangsung secara perlahan atau dalam jangka panjang, dan berproses
secara alami, dalam artian tanpa didasarkan kepada suatu rencana yang
dipercepat.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan Islam
pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian
Islam vis a vis negara berdasarkan Pancasila. Umat islam mempunyai andi besar
dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan
penjajahan dan menegakkan kemerdekaan. Namun, untuk mengisi negara merdeka,
kelompok Islam tidak selalu berada pada posisi yang menentukan.
Sekarang di era reformasi ini, gejala demikian
mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun
mahasiswa Islam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun pada
perkembangan selanjutnya gerakan reformasi tidak selalu berada dalam
pengendalian kelompok Islam. Pengendalian reformasi dan kehidupan politik nasional
akan berada pada pihak tau kelompok kepentingan politik yang menguasai
sumber-sumber kekuatan politik (political resource). Di masa modern sekarang
ini, sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada massa (M-1),
tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik
Islam mungkin mempunyai kekutan politik pada M-1 dan I-1, tetapi kurang apda
M-2 dan I-2. Dua terakhir ini yang justru dimiliki oleh kelompok-kelompok
kepentingan politik lain.
Situasi politik Islam sering diperburuk oleh ketidak mampuan untuk keluar
dari dilema itu sendiri hal ini diantara lain disebabkan oleh kurang adanya
pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik.
Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya
problema mendasar dalam lehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada
yang bersifat teologis seperti menyangkut hubungan antara agamadan politik
Islam, tetapi ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi
perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang
kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik yang majemuk.
Munculnya Pertumbuhan Partai-Partai Islam Pada Era Reformasi
Di era reformasi ini terdapat banyak partai Islam
maupun partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti : Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam
(PUI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Nahdhatul
Ummat (PNU).
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis
dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan
keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut
merupakan buah euforia politik yang tidak terelekkan dari proses reformasi.
Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi
warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun lebih
terkurung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan
korup membawa harapan munculnya pemerintahan pasca Orde Baru yang demokratis.
Hal itu tercermin dari kebebasan mendirikan partai politik. Tercatat ada 48
partai baru yang mengikuti pemilu 1999, termasuk di dalamnya partai-partai
Islam. Keadaan ini juga mempengaruhi ulama’ untuk kembali aktif di dunia
politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai denngan
posisinya.
Politik memang mampu membuat ulama’-ulama’
terpolarisasi sedemikian rupa. Kampanye pemilu tahun 1999 misalnya, diwarnai
dengan menghamburnya para kyai untuk membela partai politiknya masing-masing
sesuai dengan basisi keulama’annya. Ulama’ NU terdapat pada partai PKB, yang
merupakan satu-satunya partai yang direstui PBNU. Secara individu, para kyai NU
mendirikan partai-partai seperti PKU yang didirikan KH. Yusuf Hasyim, PNU oleh
KH. Syukron Ma’mun, dan yang terpenting tentu PPP yang banyak didukung ulama’
NU seperti KH. Alawi Muhammad, KH. Maimun Zubair, serta kebanyakan ulama’
Betawi yang sangat berpengaruh pada kemenangan PPP di Jakarta. Selain
ulama’-ulama’ NU ulama’ yang berasal dari Muhammadiyah dan generasi muda
Masyumi turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang bergabung dalam
PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari Muhammadiyah, sedangkan
PBB ingin membangkitkan kembali perjuangann Masyumi. Para mahasiswa dan
halaqah-halaqah kampus turut mendirikan partai Islam Yaitu, Partai Keadilan
yang menarik sebagian ulama’ yang merupakan alumnus Timur Tengah.
Belakangan dua partai PKB dan PAN menyatakan diri
sebagai partai yang berasaakan Pancasila dan bersifat nasionalis tetapi
basisnya adalah masa Islam. Oleh karena itu, menimbulkan pertanyaan apakah PKB
dan PAN ini masuk sebaga partai beraliran nasionalisme atau Islamisme.
Kehadiran ulama’ dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian
memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral,
karena ulama’ adalah simbol moral. Namun, ketika ulama’ itu terpolarisasi
sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama’ dengan ulama’ lain
saling berhadapan dalam membela partainya masing-masing. Kondisi ini akan
menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, paling tidak akan
memperlemah kekuatan Islam sendiri yang akhirnya sering dimanfaatkan oleh
golongan (partai) lain.
Nasib Orang Muslim dan Kebijakan
Politik oleh Kepemimpinan di Era Reformasi
- Pada Masa Habibie
Pengangkatan Habibie sebagai presiden menandai
berawalnya era baru bangsa Indonesia. Untuk menyahuti berbagai aspirasi yang
berkembang, habibie menempuh berbagai kebijakan penting. Presiden Habibie
membuka selebar-lebarnya peran demokrasi yang selama ini tersumbat. Ia memberi
kesempatan yang luas berdirinya partai-partai dengan beragam ideologi dan
membuka kebebasan pers. Habibie juga membebaskan tahanan-tahanan politik selama
masa Soeharto dan membatalkan pencekalan atas tokoh-tokoh vokal selama ini. Ia
juga mengarahkan kebijakan ekonomi pada kepentingan rakyat kecil dengan program
jaring pengaman sosiai (JPS).
Menanggapi perjalanan B.J. Habibie yang menonjol
dalam pemerintahan, Hal Hill, seorang sarjana pemerhati politik ekonomi di
Indonesia dari Australian Nasional University, menulis : “Adalah sebuah
kesalahan jika seorang menganggap Habibie melesat maju hanya karena dukungan
presiden Soeharto, visi Habibie tentang Indonesia modern dan dinamis, yang
telah membuat status Indonesia sebagai negara berkembang terbesar ketiga di
dunia, telah menimbulkan getaran responsif dari seluruh lapisan masyarakat
Indonesia. Sedangkan tekonokrat menyodorkan program pembangunan yang hati-hati,
yang hany menekankan keunggulan komparatif Indonesia dalam industri-industri
yang padat karya dan yang resource-processing.
- Pada Masa Abdurrahman Wahid
Dalam sidang umum MPR 20 Oktober 1999 Abdurrahman
wahid berhasil didudukkan sebagai presiden RI pertama dalam masa reformasi
mengalahkan megawati. Keberhasilan Abdurrahman Wahid menjadi presiden dapat
dipandang sebagai kemenangan sementara politik Islam atas kelompok nasionalis
sekuler.
Bulan-bulan pertama pemerintahan Abdurrahman Wahid
menunjukkan gabungan dari harapan, janji, visi, kebingungan, dan kekecewaan.
Mengingat kondisi kesehatannya yang buruk dan kekuatan-kekuatan politk yang
bersatu menentangnya, orang selalu dilanda kebimbangan dari minggu ke minggu mengenai
dari apakah Gus Dur bisa bertahan baik secara kesehatan fisik maupun sebagai
kepala negara terpilih. Namun, menampilkan energi yang luar biasa, tekat untuk
menggulingkan unsur-unsur sentralistis semasa pemerintahan Soeharto, dan
kesediaan untuk berpikir kreatif sehingga banyak pihak yang mengaguminya.
Jadwal ketat kunjungan ke luar negeri menghasilkan banyak mitra luar negeri,
serta berhasil mengurangi dukungan bagi kaum separatis GAM di Aceh, meskipun
kunjungan yang sama juga menuai kritik bahwa Abdurrahman mengabakan isu-isu
dalam negeri.
Abdurrahman memberikan suasana segar, tetapi juga
menimbulkan pertayaan-pertanyaan kebijakan publik yang gegabah. Diantara sekian
kritik yang ditujukan kepadanya adalah bahwa dia membingungkan rakyatnya.
Abdurrahman juga mendorong pluralisme dan keterbukaan. Dia membolehkan umat
Cina konfusius untuk melakukan perayaan secara terbuka. Dia mengatakan bahwa
rakyat Aceh harus diberikan referendum seperti Timur Timor, namun kemudian
menegaskan bahwa pilihan yang disediakan tidak termasuk pemisahan diri dari Indonesia.
Disamping itu, kesempatan untuk menyalah gunakan
kekuasaan begitu melimpah. Koruptor-koruptor kaya merubung rezim Abdurrahman
bagaikan sekawan ikan hiu yang mencium daging segar. Kemudian timbul tuduhan
adanya perjanjian-perjanjian kotor yang melibatkan pejabat-pejabat utama
bangsa, termasuk presiden. Pada pertengahan 2001, tampak jelas bahwa pola
perilaku warisan masalalu tidak akan mudah diubah. Tidak ada yang mengatakan
secara yakin apakah presiden dan orang-orang yang memilki taggung jawab publik
yang besar dalam Indonesia baru, negara demokratis terbesar ketiga di dunia
akan mampu mengendalikan, menyelidiki, menghapuskan, dan bahkan menolak
kesempatan-kesempatan korupsi yang ada di sekeliling mereka. Masa kepresidenan
Abdurrahman berakhir pada bula Juli 2001.
Gus Dur dihadapkan realitas masa bawah dari segi
keamanan, Gus Dur harus mampu menciptakan stabilitas politik baru yang aman,
damai dan menyejukkan rakyat di tengah pergulatan masa PDI P yang terlanjur
fanatik, emosional dan bergerak secara masif di berbagai daerah Jawa.
Akibatnya, kekalahan megawati dalam kondisi inilah Gus Dur dituntut arif,
bijaksana dan akomodatif terhadap pergolan politik arus bawah. Karena Gus Dur
InsyaAllah akan bisa mengayomi kelompok dengan beragam kepentingan. Jika ini
tercatat dia akan menjadi presiden santri yang akomodatif di tengah pluralitas
ide dan syarat politik.
Gus Dur menjadi head line utama dalam sikap
keberagaman inklusif dalam perbedaan pendapat dan pluralitas tetapi juga
mendukungnya. Jika selama ini muslim seringkali dipersiapkan Amerika dan Eropa
sebagai militan fanatik dan anti Barat maka kunjungan Gus Dur tersebut
menjungkirkan Amerika.
- Pada Masa Megawati Soekarno Putri
Pada periode Juli 2001 sampai 2004 Presiden
Indonesia adalah Megawati Soekarnoputri. Pemerintahannya harus menghadapi
tantangan yang berat sekali. Dalam keadaan ekonomi dan politik siapa saja yang
menjadi Presiden pasti menghadapi kesulitan yang besar. Secara umum, presiden
Megawati bukan seorang yang mengilhami rakyat seperti ayahnya Bung Karno. Dia
juga tidak memperlihatkan keterampilan dalam urusan-urusan pemerintahan seperti
perekonomian, keamanan, politik luar negeri, administrasi umum, dan sebagainya.
Diantara persoalan-persoalan yang belum diatasi adalah KKN dan suatu perkembangan
yang sangat menganggu harapan banyak orang adalah terorisme.
Megawati naik ke pucuk pimpinan RI membawa tiga
masalah besar dalam kaitannya dengan politik Islam, sehingga belum dapat
sepenuhnya diterima umat Islam. Pertama, Megawati dipandang masih “belum jelas”
keislamannya. Media massa pernah memuatnya berada di pura di Bali dalam suatu
acara keagamaan. Foto ini dijadikan serangan oleh umat Islam terhadap agama
Megawati. Kedua, megawati ditengarai banyak dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang
kurang bersahabat dengan Islam. PDI-P dicitrakan sebagai partai kaum abangan
dan kelompok non muslim radikal. Ketiga, Megawati juga bermasalah secara
teologis. Ia harus berjuang melepas bias gender yang dikaitkan dengan agama.
Dalam pandangan Islam, presiden wanita masih menjadi kontroversi. Dengan kata
lain, keberadaannya masih belum sepenuhnya dapat diterima dari sudut
agama.
Sewaktu Indonesia menghadapi banyak sekali tantangan
seperti yang dibicarakan di atas, demokrasi mengakar dengan cara yang
mengesankan. Perkembangan yang paling menonjol adalah: dukungan untuk PDIP
turun drastis, dukungan untuk Golkar relatif stabil, PKB turun tapi masih
kekuatan politik yang berarti, munculnya partai-partai baru, terutama partai
Demokrat yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono.
- Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono
Dari pemilihan presiden terdapat perkembangan baru
yang menarik. Pemilihan presiden 2004, sesuai dengan amanat UUD 1945 yang telah
diamandemen, dilakukan oleh seluruh rakyat yang berhak, bukan lagi oleh MPR.
Dalam pemilu langsung yang pertama ini muncul lima pasangan calon
presiden-wakil presiden, yaitu Susilo bambang Yudhoyono, Megawati-Hasyim
Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, dan hamzahaz-Agum Gumelar. Dari
pasangan-pasangan tersebut NU terpecah dengan bersaingnya Hasjim Muzadi dan
Sholahuddin Wahid di posisi wakil presiden. Sementara di sisi lain, meskipun
ke-10 calon tersebut semuanya beragama Islam, dari sudut kepentingan politik
Islam tersebut semuanya beragama Islam, dari sudut kepentingan politik Islam
terdapat persaingan antara M. Amien Rais dan Hamzah Haz.
Pemilu ini berlangsung dua putaran. Pada putaran
pertama keluar dua pemenang, yaitu pasangan SBY-Kalla dan Mega –Hasyim.
Selanjutnya, pada putaran kedua pasangan SBY-Kalla akhirnya dapat memenangkan
pertarungan menuju kursi RI 1 dan 2. Dalam putaran kedua pemilu presiden
langsung ini, partai-partai Islam lebih suka merapat pada pasangan SBY-Kalla.
Sebagai imbalan, dalam penyusunan kabinet Indonesia bersatu, partai-partai
pendukung SBY-Kalla memperoleh jatah menteri.
Pasangan SBY-Kalla melakukan hal-hal yang signifikan dalam upaya perbaikan
kehidupan rakyat. Diantara capaian mereka adalah rekonsiliasi Aceh berdasarkan
perjanjian Halsinki antara Indonesia gerakan Aceh Merdeka. SBY-Kalla juga
mengucurkan program bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin.
Setelah menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali, presiden SBY akhirnya secara
bertahap menurunkan kembali harga minyak.
Ini dianggap sebagai program yang membantu rakyat,
sehingga dalam pemilihan presiden 2009, SBY yang kemudian berpasangan dengan
Boediono dapat memenangi kembali pertarungan mengalahkan pasangan
megawati-prabowo dan Yusuf Kalla-Wiranto. Berbeda dengan pemilu lima tahun
sebelumnya, pemilu 2009 berlangsung hanya satu putaran, karena pasangan
SBY-Boediono berhasil mengumpulkan lebih dari 60% suara. Kemenangan
SBY-Boediono dalam pemilu 2009 sebagian besar mendapat dukungan dari
partai-partai Islam seperti PKS, PPP, PBB dan PAN.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gerakan reformasi adalah gerakan yang mengajak
seluruh segmen masyarakat untuk memperbaiki apa yang telah rusak di berbagai
bidang dan membawa kehidupan ke tingkat yang lebih tinggi dalam kemajuan
manusia.
Di era reformasi ini terdapat banyak partai Islam
maupun partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti : PPP, PSII, PUI, PBB,
PAN, PKB, PKU, dan PNU
Kondidi kepemimpinan presiden Indonesia era reformasi yaitu: Pertama,
Presiden Habibie membuka selebar-lebarnya peran demokrasi yang selama ini
tersumbat. Kedua, Keberhasilan Abdurrahman Wahid menjadi presiden dapat
dipandang sebagai kemenangan sementara politik Islam atas kelompok nasionalis
sekuler. Ketiga, persiden Megawati Soekarno Putri, Diantara persoalan-persoalan
yang belum diatasi adalah KKN dan terorisme. Keempat, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono melakukan hal-hal yang signifikan dalam upaya perbaikan kehidupan
rakyat, seperti adanya BLT, dan kebijakan lainnya.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun dengan
judul “perkembangan sejarah fiqh siyasah pada era reformasi di indonesia”. Kami
menyadari banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, untuk
itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapan demi evaluasi makalah
kami selanjutnya. Semoga apa yang dijelaskan dalam makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca yang budiman
A. Pengertian sistem politik dan Sistem
pemerintahan
1. Pengertian Sistem Politik
Istilah sistem politik berasal dari kata sistem dan
politik. Sistem merupakan rangkaian dari beberapa komponen dimana tiap komponen
antara yang satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan. Tidak berfungsinya
satu komponen dalam sistem tersebut akan mengganggu jalannya sistem tersebut.
Untari (2006) mengemukakan sistem adalah suatu kebulatan
atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan
hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang
kompleks atau utuh.
Contoh pemerintahan berdasar sistem konstitusional.
Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintah dibatasi
oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh
ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional (Alhaj,
2000:89). Apabila satu komponen pemerintahan tidak berfungsi, artinya melanggar
konstitusi maka akan terjadi tidak berfungsinya fungsi pengendali pemerintahan
itu sendiri
Istilah ”politik” secara konseptual dapat diartikan
sebagai (1) suatu usaha yang ditempuh warga negara dalam upaya untuk mampu
mewujudkan kebaikan bersama, (2) segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemerintahan; (3) sesuatu aktivitas yang
mengarah pada upaya mempertahankan kekuasaan, (4) konflik dalam usaha
mempertahankan sesuatu yang dianggap penting (Ramlan dalam Laboratorium Pancasila,
2001).
Jacobsen dan Lipman mengemukakan ” politics ” diberi arti ” the art and science of goverment” artinya seni dan ilmu pemerintahan (dalam Sukarna, (1979). Selanjutnya dijelaskan “political
science is the science of the state. It deals with:
1. the
relations of individuals to one another in so far as the state regulates them
by law; (hubungan
antara individu dengan individu satu sama lain, yang diatur oleh negara dengan
undang-undang)
2. the
relations of individuals or groups of individuals to the state;(hubungan antara individu-individu
atau kelompok orang-orang dengan negara)
3. the
relations of state to state.(hubungan antara negara dengan negara)”
Simpson
(dalam Sukarna, 1979) mengemukakan ilmu
politik bertalian dengan bentuk-bentuk kekuasaan, cara memperoleh kekuasaan,
studi tentang lembaga-lembaga kekuasaan dan perbandingan sistem kekuasaan yang
berbeda.. Oleh karena “ system politik “ bertalian dengan: (1).sistem
pemerintahan (the system of goverment);
(2). Sistem kekuasaan untuk mengatur
hubungan individu atau kelompok indidividu satu sama lain atau dengan negara
dan antara negara dengan negara (the
system of power to regulate the relations of individuals oro groups of
individuals vis a vis and to the state and the relations state to state)
Politik
hal-hal berhubungan dengan kekuasaan dan kewenangan. Politik secara konseptual
dapat diartikan sebagai (1) suatu usaha yang ditempuh warga negara dalam upaya
untuk mampu mewujudkan kebaikan bersama, (2) segala sesuatu yang berkaitan
dengan pemerintahan, (3) sesuatu aktivitas yang mengarah pada upaya
mempertahankan kekuasaan, (4) konflik dalam usaha mempertahankan sesuatu yang
dianggap penting (Ramlan dalam Laboratorium Pancasila, 2001:233)
Dalam makalahnya Untari, 2006 berjudul ” Sistem Politik
dan Pemerintahan” menyebutkan banyak
pengertian sistem politik yang dikemukakan oleh para pakar antara lain,
1. Perlmutter, menyatakan bahwa sistem politik
adalah lingkungan sosio-ekonomi penyelenggara kekuasaan dan organisasi yang
beroperasi di dalamnya serta gejala-gejala yang memberi pengaruh terhadap
kekuasaan
2. Gabriel Almond
(1960) menjelaskan bahwa sistem politik merupakan organisasi melalui mana
masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Selanjutnya Almond
juga menjelaskan sistem politik sebagai sistem interaksi yang ditemui dalam
masyarakat merdeka yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi.
3 RA. Dahl (1978)
mengartikan sistem politik sebagai pola yang langgeng dari hubungan sosial yang
di dalamnya mencakup kontrol, pengaruh dan kekuasaan/otoritas. Sistem politik
sebagai mekanisme seperangkat fungsi/peranan dalam struktur politik dalam
hubungan dengan lainnya yang menunjukkan proses yang langgeng.
4 Wayo (1990)
menyatakan sistem politik merupakan sistem sosial yang menjalankan alokasi
nilai berupa keputusan atau kebijakan politik, alokasinya bersifat otoritatif
artinya melibatkan kekuasaan yang sah dan mengikat seluruh rakyat.
5. Kantaprawira
(2006) mengemukakan sistem politik sama seperti kehidupan lainnya, mempunyai kekhasan:
integrasi, keteraturan, keutuhan, organisasi, koherensi, keterhubungan dan
ketergantungan bagain-bagainnya.
6. David Easton
(dalam Kantaprawira, 2006) mengemukakan, sistem politik merupakan seperangkat
interaksi yang diabstraksi dari totalitas perilaku sosial, melalui mana
nilai-nilai disebarkan untuk suatu masyarakat.
Dari pendapat tersebut di atas, terlihatlah bahwa
walaupun antara kehidupan politik dan sistem politik terdapat kemiripan
rumusan, tetapi tetap tampak bahwa pengertian kehidupan politik lebih sempit,
dalam arti lebih bersifat riil daripada sistem politik yang diabstraksikan dari
totalitas perilaku masyarakat. Dengan perkataan lain, sistem politik mencakup
pula kehidupan politik.
Dengan demikian secara konseptual bahwa sistem politik ialah,
prinsip-prinsip dan mekanisme yang membentuk suatu kesatuan yang berkaitan,
utuh dan saling berhubungan untuk mengatur pemerintahan dan mempertahankan
kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain dengan negara dan
hubungan negara dengan negara.
2. Sistem Pemerintahan
sistem pemerintahan terdiri dari kata, ”sistem” dan
”pemerintahan”. Suatu sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang
kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan ha-hal atau
bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks
atau utuh (Untari, 2006)
Menurut Mas’ud (1989) sistem menunjukkan adanya suatu
organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhinya
maupun dipengaruhinya.
Sedangkan kata ”Pemerintahan” berasal dari kata dasar
”pemerintah”, yang menunjukkan tindakan yang harus dilakukan. Menurut C.F. Strong dalam bukunya ” Modern Political Constitution ” yang
dimaksud pemerintah adalah lembaga atau organisasi yang melekat kewenangan
untuk melaksanakan kekuasaan negara. Juga merupakan lembaga yang memiliki
tanggung jawab guna melaksanakan keamanan dari ancaman baik yang datang dari
dalam maupun dari luar. (Adisubrata, 2002)
Pemerintahan adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pemerintahan dalam arti luas.Menurut Finer istilah pemerintahan
paling tidak memiliki empat hal, yaitu:
a. Menunjukkan
kegiatan atau proses memerintah, yang melaksanakan pengawasan atas pihak atau
lembaga lain;
b. Menunjukkan permasalahan-permasalahan
negara atau proses memilih terhadap masalah-masalah yang dijumpai;
c. menunjukkan
pejabat-pejabat yang dibebani tugas-tugas memerintah;
d. Menunjukkan
cara-cara atau metode atau sistem yang digunakan untuk mengatur masyarakat (Adisubrata,
2002).
Dengan demikian konsep
pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti luas dan sempit.
Pemerintah dalam arti luas adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta kepolisian dalam rangka mencapai
tujuan pemerintahan. Sedangkan dalam arti sempit adalah kegiatan-kegiatan
memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif guna mencapai tujuan
pemerintahan (Adisubrata, 2002).
. Secara umum pengertian sistem pemerintahan terkait
dengan sistem politik, mengingat sistem politik berkaitan: (a) sistem
pemerintahan (b) sistem kekuasaan yang mengatur hubungan antara
individu-individu atau kelompok-kelompok individu satu dengan lainnya dan
dengan negara serta hubungan negara dengan negara. Sejalan dengan itu Wahyu,
(2008) mengemukakan bahwa sistem pemerintahan adalah suatu kebulatan atau
keseluruhan yang utuh dari pemerintahan, sedangkan komponen-komponen itu adalah
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing komponen tersebut
mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Ada beberapa pendapat terkait dengan pengertian sistem
pemerintahan, antara lain dikemukakan oleh:
a.
Sri Sumantri,
sistem pemerintahan adalah bagi negara yang menganut ajaran Tri Praja, suatu
perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ legislatif, eksekutif
dan yudikatif yang dengan bekerjasama hendak mencapai maksud dan tujuan.
b.
Ismail Suny
mengemukakan sistem pemerintahan adalah suatu sistem tertentu yang menjelaskan
bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan negara.
c.
Martadisastra
memberikan pengertian sistem pemerintahan adalah hubungan antara organ-organ
pemerintah (eksekutif) dengan alat perlengkapan negara-negara lainnya yang
ada/menjalankan fungsinya di dalam suatu negara.
Dengan demikian sistem pemerintahan dalam arti luas
merupakan suatu kesatuan utuh dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan
wewenang badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mencapai tujuan
pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan dalam arti sempit merupakan suatu
kesatuan utuh dalam menjalankan pemerintahan oleh badan eksekutif untuk
mencapai tujuan pemerintahan..
B. Tipe-tipe,
fungsi sistem politik dan pemerintahan.
1. Tipe sistem politik
Kajian tentang sistem politik lebih bermakna secara
teoritis, sebab tidak satupun sistem politik suatu negara yang benar-benar sama
dengan sistem politik negara lain. Secara teoritik ada beberapa tipe sistem
politik yang dikemukakan oleh Harold Crouh (dalam Untari, 2006) sebagai berikut:
a. Menurut Shils
Shils membicarakan empat sistem politik yang sedang
menjalankan modernisasi, yakni:
1) Political Democracy.
Demokrasi bersifat pemerintahan sipil, adanya lembaga
representative dan adanya kebebasan umum (public
liberties). Menurut Shils, ciri-ciri demokrasi: (1) adanya dewan perwakilan
yang dipilih oleh rakyat, (2) terdapat lebih dari satu partai politik yang
bersaing, (3) Pers dan organisasi lain memiliki kekebebasan
berbicara/mengeluarkan pendapat, (4) adanya kehakiman yang bebas, (5) rule of law ditegakkan.
Selanjutnya Shils mengemukakan sistem politik demokrasi
hanya mungkin dalam ”political society”, yang
coraknya (1) perasaan nasionalisme yang kuat, (2) perhatian politik masyarakat
yang cukup besar, (3) pengakuan sistem yang legitimate, (4) pengakuan hak-hak
individu, (5) konsensus tentang nilai-nilai. Menurut Shils belum ada negara
satupun yang memenuhi syarat ini, walaupun negara maju sekalipun. Negar-negara
barat baru mendekatai syarat ini.
2) Tutelary Democracy
Dalam sistem ini ditandai antara lain: (1) adanya lembaga
perwakilan, (2) kebebasan berbicara, (3) rule of law ada tetapi agak lemah, (4)
Partai dan pers yang bebas
diperkenankan, namun ada Undang-Undang yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk mengerem kritik-kritik yang tajam.
Ciri khas tutelery
democracy adalah (1) kestabilannya
yang tidak dimiliki oleh political
democracy., (2) hak-hak oposisi ada tetapi dibatasi; (3) tutelary democracy memerlukan suatu
administrasi yang baik.; (4) organisasi penyaluran aspirasi belum berkembang;
(5) civil order dibutuhkan yakni
masyarakat yang menghormati hukum dan tidak menyukai kegiatan revolusioner.
3) Modernising Oligarcy
Sistem politik ini terjadi manakala demokrasi gagal
dilaksanakan, karena ada jurang antara elit politik yang menginginkan
modernisasi dengan rakyat tradisional. Modernising oligarchy membutuhkan
persyaratan: (1) pemerintah membutuhkan prestasi yang lebih besar daripada
demokrasi untuk meyakinkan rakyat, bahwa sistem oligarki perlu; (2) oposisi harus
ditekan, (3) dalam administrasi negara korupsi harus dihapuskan untuk
membuktikan bahwa sistem ini lebih baik dari pada demokrasi, (4) lembaga penyalur pendapat umum belum
berkembang, (5) ideologi negara harus diciptakan dan didalangi oleh pemerintah dan
menjadi pegangan rakyat.
Seiring sistem ini dijalankan oleh pemerintahan militer
yang kurang sanggup dalam administrasi sipil dan urusan ekonomi, karena itu
Shils tidak yakin apakah sistem ini
dapat berhasil atau tidak.
4) Totalitarian Oligarcy
Tipe keempat dari sistem politik adalah totaliterianism, dimana golongan elit
memiliki kekuatan lebih jauh dari golongan lain. Tidak ada oposisi, tidak ada
dewan perwakilan yang bebas, tidak ada pendapat umum, siapa yang melawan
pemerintah dipenjarakan.
Menurut Shils negara Asia-Afrika mungkin akan banyak
mempraktekkan system ini, karena pemerintahan totaliter dianggap efisien,
seperti di Burma, Vietnam Utara, Cina, Afrika Selatan, Kongo, dsb.
5) Tradisional Oligarcy
Tipe sistem politik ini merupakan sistem tradisional yang
dipimpin oleh raja atau ningrat. Sistem ini tidak menghendaki modernisasi,
sehingga saat ini jarang diketemukan.
b. Menurut Organsky
Organsky menerangkan bagaimana sistem politik berubah,
sebab corak atau tipe pemerintahan tergantung dari masalah yang dihadapinya,
sedangkan perkembangan politik terbagi dari beberapa tahap. Menurut Organsky
ada tiga sistem politik, yaitu:
1) Sistem Borjuis
Sistem ini mula-mula berkembang di Inggris abad 19 dan
meluas ke Eropa Barat. Menurut Karl Marx pada abad 19 parlemen Inggris
didominasi pemimpin Borjuis. Rakyat tidak diwakili dan sistem demokrasi tidak
dijalankan.
Makin banyak pabrik, industri makin banyak kaum Borjuis
(kaum pengusaha), akibatnya kaum Borjuis menuntut kekuasaan dan secara otomatis
berpengaruh terhadap pemerintahan, maka terjadilah pergeseran kekuasaan dari
ningrat ke kaum Borjuis. Dalam sistem politik Borjuis kaum miskin dan buruh
dijauhkan dari pemerintahan. Kaum buruh dan petani sangat sengsara, karena
diperas tenaganya dan jaminan kesejahteraan kurang sekali, tidak ada serikat
pekerja di pabrik-pabrik, tidak ada wadah untuk memperjuangkan.
Walaupun pada awalnya berkembang di Inggris, namun
Belandapun terpengaruh sistem itu, karena Belada sebagai negara penjajah di
Indonesia juga menerapkan sistem itu. Hal ini bisa dilihat ketika banyak kaum
buruh dan petani dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda, termasuk
pengiriman ke Suriname.
2) Sistem Stalinis
Sistem politik ini dikembangkan di negara-negara Komunis.
Sistem ini muncul kalau ada golongan modern kuat versus golongan elit
tradisional yang umumnya tidak mau menerima modernisasi dan industrialisasi.
Elit tradisional tidak mau memberi konsesi, sedangkan golongan elit modern
menganggap industrialisasi sesuatu yang mendesak dan tidak dapat ditunda, namun
golongan ini tidak cukup kuat untuk melakukan resolusi, jika dapat melakukan
pemerontakan mereka akan menggulingkan pemerintahan ningrat.
Pada awalnya pemerimtahan ini didukung oleh buruh dan
petani, namun karena kepentingan industrialisasi pemerintah stalinis akhirnya
juga menindas golongan miskin. Kalau perlu petani dipindahkan ke kota untuk
bekerja di pabrik-pabrik. Ini berbeda dengan sistem Borjuis, dimana petani
dilindungi dan didorong masuk ke pabrik. Sedangkan sistem politik stalinis
petani dipaksakan meninggalkan tanahnya dan masuk pabrik oleh karena proses
modernisasi dan industrialisasi di sistem stalinis lebih ketat/keras, lebih
tajam dari lebih kejam.
3) Sistem
Sinkratik.
Sistem sinkratik muncul sebagai pengganti sistem Borjuis.
Ketika industrialisasi berkembang muncul golongan buruh yang lebih kuat dan
terorganisir secara teratur. Sementara kaum Borjuis dan kaum ningrat yang
bersaing sama-sama takut pada kekuatan buruh. Oleh karenanya mereka bekerjasama
untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam perjanjiannya kaum Borjuis boleh
memeras kaum buruh, tetapi Borjuis tidak boleh merongrong kekuasaan ningrat
dengan menarik petani untuk masuk pabrik.
Dengan demikian dalam sistem kedua kaum buruh dikorbankan
demi industrialisasi dan kekuasaan kaum ningrat tetap bertahan, sedangkan kaum
petani dilindungi oleh ningrat yang masih kuat dan kurang antosias pada
industrialisasi.
c. Menurut Kautsky
1) Sistem
Tradisional
Tipe sistem politik ini ada masyarakat
pra-industrialisasi, dimana ada tiga kelas utama, yaitu ningrat, tani, dan
menengah lama (tukang, sarjana dan pedagang). Ningrat berkuasa karena menguasai
sumber produksi, yaitu tanah. Golongan ini berkedudukan pada pemerintahan,
militer dan agama. Kedua tani dan menengah lama menerima kekuasaan dari ningrat. Dengan
demikian jika ada pertentangan politik, lebih pada pertentangan fraksi-fraksi
di kelas ningrat. Kalau terjadi perubahan sistem itu karena perubahan ekonomi.
Karena itu pada masa dahulu orang-orang yang menduduki
jabatan pada masa pemerintahan pra-industri, para tokoh agama, para pedagang
memiliki tanah yang luas.
2) Sistem Totalitarianism
Sistem ini berbeda dengan sistem authoritarianism, yakni
sistem dimana yang berkuasa memakai cara-cara yang diperlukan untuk
mempertahankan kekuasaannya. Sedangkan sistem politik totalitarianism mencoba mengendalikan masyarakat secara
total.
Rejim authoritarianism hanya memberantas lawan politik
yang berbahaya, tetapi rejim totalitarianism mau mengendalikan segala hal
bahkan agama, keluarga, olah raga dan lain-lain.
Totalitarianism tak mungkin tanpa industrialisasi, karena
untuk melakukan kontrol penuh dibutuhkan tingkat teknologi dan komunikasi yang
modern, sejata modern dan organisasi modern.
3) Sistem Totalitarianism Ningrat
Sistem politik ini muncul manakala kelas ningrat memegang
kekuasaan dan kelas lain tidak disertakan dalam pemerintahan. Dengan
menggunakan metode totaliter untuk memerintah. Hal ini terjadi jika kelas lain
seperti buruh, petani kelas menengah lama tidak memiliki cukup kekuatan dan
tidak sanggup mendirikan pemerintahan sendiri, sementara kelas kapitalis
pribumi terlalu lemah untuk membentuk pemerintahan.
Jika kelas ningrat berkuasa, maka proses industrialisasi
dan gerakan nasional merupakan ancaman. Kekuatan kelas ningrat dapat semakin
berkurang, kemungkinan akan didukung oleh kaum kapitalis untuk membentuk rejim
facis.
4) Sistem
Totalitarianism Cendekiawan
Sistem ini adalah suatu rejim yang dipimpin kaum ningrat dengan dukungan kaum kapitalis dan
kaum menengah lama. Dalam sejarah di Eropa terjadi seperti Hitler di
Jerman dan Musolini di Italia.
Menurut Kautsky sistem totaliter yang dipimpin oleh kaum
cendekiawan lebih mungkin terjadi di negara-negara baru, yaitu negara-negara
yang baru merdeka setelah lama dijajah bangsa lain.
5) Sistem Demokrasi
Menurut Kautsky,
demokrasi adalah suatu sistem dimana semua golongan politik mempunyai
kesempatan untuk diikutsertakan dalam proses politik dan pemeritahan.
Demokrasi harus ada: pemilu, lembaga perwakilan yang
representatif. Demokrasi timbul kalau ada keseimbangan kelas-kelas bersaing
dimana tidak satu kelaspun yang dapat menguasai semua kelas.
Karakteristik Negara yang menganut sistem demokrasi,
menurut Alamudi (dalam Untari, 2006) soko guru demokrasi adalah (1) kedaulatan
ada di tangan rakyat, (2) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang
diperintah, (3) kekuasaan mayoritas, (4) jaminan hak-hak minoritas, (5) jaminan
HAM, (6) pemilu yang bebas dan jujur, (7) persamaan di depan hukum, (8) proses hukum yang wajar, (9) pembatasan
kekuasaan pemerintah secara konstitusional, (10) pluralisme sosial, ekonomi dan
politik, (11) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat (dalam
Untari, 2006).
2. Fungsi sistem politik
Fungsi sistem politik tidak diartikan ” social function ”, tetapi lebih
diarahkan ke pengertian ” the function of
goverment” ialah mengandung
arti fungsi pemerintahan, sehingga ada
unsur pencapaian tujuan (Irish dan Protho dalam Sukarna, 1979).
Sebelum membahas fungsi ssitem politik, terlebih dahulu perlu
diketahui variabel sistem politik. Untari (2006:2) mengemukakan ada empat
variabel sistem politik, yaitu:
a Kekuasaan.
Dalam sistem
poltik kekuasaan bukanlah tujuan, kekuasaan merupakan cara untuk mencapai
hal-hal yang diinginkan aktor politik.
b Kepentingan.
Kepentingan adalah tujuan yang
dikejar oleh para pelaku politik.
c Kebijaksanaan.
Hasil dari
interaksi antara kekuasaan dan kepentingan. Kebijaksanaan dalam sistem politik
biasanya diwujudkan sebagai peraturan perundang-undangan.
d Budaya politik.
Budaya politik
merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik.
Laboratorium Pancasila mengemukakan budaya politik merupakan sikap politik yang
khas terhadap sistem politik dengan berbagai ragam bagiannya dan bagaimana
sikap terhadap peranan warga negara dalam sistem itu.
Berdasarkan empat variabel sistem politik, maka fungsi
sistem politik adalah sebagai berikut:
a. Kapabilitas.
Kapabilitas
suatu sistem politik adalah kemampuan sistem dalam menjalankan fungsinya dalam
rangka keberadaannya dalam lingkungan yang lebih luas. Kantaprawira,(2006)
mengemukakan bentuk kapabilitas suatu sistem politik berupa:
1) Kapabilitas Regulatif,
Kapabilitas regulatif suatu sistem politik merupakan
penyelenggaraan pengawasan terhadap tingkah laku individu dan kelompok yang ada di dalamnya; bagaimana penempatan
kekuatan yang sah (pemerintah) untuk mengawasi tingkah laku manusia dan
badan-badan lainnya yang berada di dalamnya, semuanya merupakan ukuran
kapabilitas untuk mengatur atau mengendalikan.
2) Kapabilitas Ekstraktif,
SDA dan SDM sering merupakan pokok pertama bagi kemampuan
suatu sistem politik. Berdasarkan sumber-sumber ini, sudah dapat diduga segala
kemungkinan serta tujuan apa saja yang akan diwujudkan oleh sistem politik. Dari
sudut ini, karena kapabilitas ekstraktif menyangkut soal sumber daya alam dan
tenaga manusia, sistem politik demokrasi liberal, sistem politik demokrasi
terpimpin, dan sistem politik demokrasi Pancasila tidak banyak berbeda. SDA dan
SDM Indonesia boleh dikatakan belum diolah secara otpimal. Oleh karena masih
bersifat potensial.
3) Kapabilitas Distributive; dan
Kapabilitas ini berkaitan dengan sumber daya yang ada
diolah, hasilnya kemudian didistribusikan kembali kepada masyarakat. Distribusi
barang, jasa, kesempatan, status, dan bahkan juga kehormatan dapat diberi
predikat sebagai prestasi riil sistem politik. Distribusi ini ditujukan kepada
individu maupun semua kelompok masyarakat, seolah-olah sistem poltik itu
pengelola dan merupakan pembagi segala kesempatan, keuntungan dan manfaat bagi
masyarakat.
4) Kapabilitas Responsif
Sifat kemampuan responsif atau daya tanggap suatu
sistem politik ditentukan oleh hubungan antara input dan output. Bagi para
sarjana politik, telaahan tentang daya tanggap ini akan menghasilkan
bahan-bahan untuk analisis deskriptif, analisa yang bersifat menerangkan, dan
bahkan analisa yang bersifat meramalkan. Sistem politik harus selalu tanggap
terhadap setiap tekanan yang timbul dari lingkungan intra-masyarakat dan
ekstra-masyarakat berupa berbagai tuntuan.
5) Kapabilitas
Simbolik.
Efektivias mengalirnya simbol dari sistem politik
terhadap lingkungan intra dan ekstra masyarakat menentukan tingkat kapabilitas
simbolik. Faktor kharisma atau latar belakang sosial elit politik yang bersangkutan
dapat menguntungkan bagi peningkatan kapabilitas simbolik. Misalnya Ir Soekarno
- - Megawati, dengan keidentikan seorang
pemimpin dengan tipe “panutan” dalam mitos rakyat, misalnya terbukti dapat
menstransfer kepercayaan rakyat itu menjadi kapabilitas benar-benar riil.
6) Kapabilitas
Dalam Negeri dan Internasional
Suatu sistem politik berinteraksi dengan lingkungan
domestik dan lingkungan internasional. Kapabilitas domestik suatu sistem
politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya terhadap kapabilitas internasional.
Yang dimaksud dengan kapabilitas internasional ialah kemampuan yang memancar
dari dalam ke luar. Misalnya kebijakan sistem politik luar negeri Amerika
Serikat terhadap Israel, juga akan mempengaruhi sikap politik negara-negara di
timur tengah. Oleh karena itulah pengaruh tuntutan dan dukungan dari luar
negeri terhadap masyarakat dan mesin politik resmi, maka diolahlah serangkaian
respons untuk menghadapinya
Politik luar negeri suatu negara banyak bergantung pada
berprosesnya dua variabel, yaitu kapabilitas dalam negeri dan kapabilitas
internasional.
b. Konversi.
Fungsi sistem politik konversi menggambarkan kegiatan
pengolahan input menjadi output yang formulasinya meliputi:
1). penyampaian
tuntutan (interest artivculation)
2). perangkuman
tuntutan menjadi alternatif tindakan pembuatan aturan (interest aggregation)
3). pelaksanaan
peraturan (regulative implementation)
4). menghakimi (jugdment)
5). Komunikasi (communication)
c. Pemeliharaan dan penyesuaian (adaptation)
Fungsi sistem politik Pemeliharaan dan penyesuaian (adaptation) adalah menyangkut
sosialiasasi dan rekruitmen yang bertujuan untuk memantapkan bangunan struktur
politik dari sistem politik (Untari, 2006).
Di dalam sejarah perjalanan pemerintahan Indonesia sejak
merdeka hingga sekarang, terdapat sistem politik berbeda-beda dari satu periode
ke periode lainnya, seperti sistem politik dan struktur politik di masa
demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, maupun demokrasi Pancasila.
Sukarna (1979:28-29) mengemukakan ada dua fungsi utama
yang merupakan ciri esensial (yang perlu ada) dalam sistem politik, ialah:
1) Perumusan kepentingan rakyat (identification of interest in the population);
dan
2) Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat
keputusan (selection of leaders or official
decision maker).
Wahyu, 2008 mengemukakan ada beberapa fungsi sistem
politik meliputi:
1)
fungsi pembuatan
aturan-aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan
memenuhi tuntutan;
2)
fungsi output
dari kegiatan pembuatan keputusan adalah pembuatan peraturan (rule making),
pelaksanaan peraturan (rule aplication) dan penyelesaian konflik (rule
ajudication fungction).
3) fungsi perumusan
kepentingan rakyat (identification interest in the population), dan
4) fungsi pemilihan
pemimpin atau pejabat pembuat keputusan (selection of leaders of official
decision maker)
Di negara
demokrasi yang penduduknya sudah maju pemilihan pemimpin atau pejabat pembuatan
keputusan di negara itu melalui proses kompetisi atau persaingan yang berat,
sehingga lebih berat bila dibandingkan
pada negara atau masyarakat feodal dan negara kediktatoran. Pemilihan
pemimpin pada masyarakar feodal atau kediktatoran dilakukan dengan cara
menjilat ke atasan. Siapa yang loyal, dekat dengan pemimpin yang lebih tinggi
dengan mudah menjadi pemimpin atau pejabat..
Di Indonesia, proses pemilihan pemimpin berbeda dari masa
ke masa kepemimpinan. Saat ini, seorang calon pemimpin disamping harus melalui
tes and property, juga sarat lain, misal loyalitas dan tidak pernah berbuat
kriminal.
Dengan demikian sistem politik di Indonesia adalah suatu
sistem politik yang berlaku atau sebagaimana adanya di Indonesia, baik seluruh
proses yang utuh maupun hanya sebagian saja; Sistem politik Indonesia
dikatagorikan dan berfungsi sebagai mekanisme yang sesuai dengan dasar negara,
ketentuan konstitusional maupun juga memperhitungkan lingkungan masyarakat
secara riil (Kantaprawira, 2006).
Wahyu, 2008 mengemukakan ada 4 komponen dalam sistem
politik, yaitu:
1) Kekuasaan.
Kekuasaan
sebagai suatu cara untuk mencapai hal yang diinginkan/tujuan bersama.
2) Kepentingan
Kepentingan
merupakan tujuan yang dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok politik
3) Kebijaksanaan
Kebijaksanaan
merupakan hasil interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam
bentuk perundang-undangan.
4) Budaya politik.
Budaya politik
merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik.
C. Sifat Sistem Politik.
Pada umumnya sistim politik mempunyai sifat yang
universal, yaitu:
a. Proses.
Proses adalah
pola-pola yang dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antara satu dengan
yang lain misalnya dalam suatu negara ada lembaga-lembaga negara seperti
parlemen, partai politik, birokrasi, badan peradilan, badan eksekutif dan
lain-lain.
b. Struktur
Struktur
mencakup lembaga-lembaga formal dan informal.
c. Fungsi.
Fungsi dalam
sistem politik ada dua, yaitu fungsi input
dan fungsi output. Fungsi input
terdiri atas : sosialisasi politik, rekruitmen politik, artikulasi (menyatakan)
kepentingan, agregasi (memadukan) kepentingan, dan komunikasi politik.
Sedangkan fungsi output terdiri atas pembuatan peraturan, penerapan peraturan,
dan ajudikasi (pengawasan) peraturan (Wahyu, 2008).,
D Tipe-tipe sistem pemerintahan
Arend
Lijphart dalam buku Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Dalam
perkembangannya terdapat Sistem Pemerintahan Campuran (kuasi/semu)
Di negara-negara demokrasi modern terdapat
dua model utama system pemerintahan dengan berbagai variasinya. Model tersebut
adalah system pemerintahan presidensial dan system pemerintahan parlamenter.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahannya, dan masing-masing tumbuh dan
berkembang atas dasar pemikiran, asumsi, dan sejarahnya. Sistem presidensial
(khususnya di Amerika Serikat), beranggapan bahwa pemisahan kekuasaan
badan-badan pemerintahan menjadi unsur pokok yang dapat mencegah peluang untuk
terjadinya tirani dan kediktatoran. Teori tentang pemisahan kekuasaan dari
Montesquieu ini kemudian menjadi doktrin yang
mengilhami
sistem pemerintahan presidensial dalam konstitusi Amerika Serikat. Sementara
itu, sistem parlementer umumnya lebih mengutamakan hubungan kelembagaan yang
erat (partnership atau kemitraan dalam konteks Inggris) antara cabang-cabang
kekuasaan eksekutif dan cabang legislatif pemerintahan. Sistem
semi-presidensial merupakan kombinasi antara dua model klasik itu, tetapi
dengan variasi dan praktek yang berbeda-beda antara satu negara dengan yang
lain.
a. Sistem
pemerintahan parlementer
Sistem
pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan di mana tugas-tugas pemerintahan
dipertanggungjawabkan oleh kepala pemerintahan (Perdana Menteri ) kepada
Parlemen.
Sistem
pemerintahan parlementer di mana antara ekskutif dan legeslatif terdapat
hubungan erat dan saling mempengaruhi. Kabinet bertanggung-jawab dan dibubarkan
oleh legislative.
Sistem
Pemerintahan Parlementer Umumnya negara berlatar belakang kerajaan menganut
sistem pemerintahan parlementer. Misalnya Inggris (dengan sebagian
negara-negara yang tergabung dalam Commonwealth-nya), Jepang, Thailand, dan
sebagainya.
Karenanya ada yang mengaitkan kedekatan sistem
parlementer dengan negara- negara dengan
negara-negara kerajaan. Tetapi tidak semua negara dengan pemerintahan
parlementer kepala negaranya raja atau ratu. Ada negaranegara republik yang
sistem pemerintahannya parlementer seperti Singapura, Italia, dan India.
Presiden dalam system parlementer kekuasaannya hanyalah simbolik. Tentunya banyak variasi dan jenis system
parlementer.
System
pemerintahan parlementer cenderung labil (tidak mantap), terutama bila dalam
Negara itu diterapkan system multipartai. Namun bila menganut dwipartai, di
mana satu partai pendukung pemerintah (mayoritas) yang berkuasa (posisi)
diimbangi dengan partai oposisi (minoritas), maka kecenderungan kelabilan dapat
dikurangi.
Dengan system
pemerintahan parlementer dapat diterapkan teori trias politika, baik melalui
separation of powers (pemisahan kekuasaan) maupun distribution of powers
(pembagian kekuasaan). Contoh Inggris, Malaysia, India.
b. Sistem
pemerintahan presidensial
Sistem pemerintahan presidensial yaitu sistem
pemerintahan dimana tugas-tugas pemerintahan dipertanggungjawabkan oleh
presiden (kepala pemerintahan)
Dalam system pemerintahan
pesidensial, pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada presiden, sedangkan kekuasaan
kehakiman atau pengadilan menjadi tanggung jawab supreme court (Mahkamah
Agung). Kekuasaan untuk membuat undang-undang berada pada parlemen (DPR) atau
kongres (senat dan parlemen Amerika).
Dalam praktek
system pemerintahan presidensial ada yang mengembangkan ajaran trias politica
Montesquieu secara murni dengan separation of powers, seperti Amerika yang
dikenal praktek-prektek chek and balance. Praktek-praktek demikian bertujuan
agar di antara ketiga kekuasaan tersebut
selalu terdapat keseimbangan dalam keadaan teretentu.
Sistem presidensial pun
bisa ditemukan dalam bentuk yang bervariasi di sejumlah negara. Misalnya saja
antara sistem pemerintahan presidensial gaya Amerika Serikat berbeda dengan
system presidensial gaya Indonesia atau negara- negara lain.
Sistem pemerintahan model Amerika ñ secara teoritis ñ merupakan model
pemerintahan presidensial yang murni.
Konstitusi RI jelas telah menetapkan
sistem pemerintahan presidensial. Pemerintahan presidensial mengandalkan pada
individualitas yang mengarah pada citizenship. Sistem pemerintahan presidensial
bertahan pada citizenship yang bisa menghadapi kesewenang-wenangan kekuasaan
dan juga kemampuan DPR untuk memerankan diri memformulasikan aturan main dan
memastikan janji presiden berjalan.
Pemerintahan presidensial memang
membutuhkan dukungan riil dari rakyat yang akan menyerahkan mandatnya kepada
capres. Namun, rakyat tak bisa menyerahkan begitu saja mandatnya tanpa tahu apa
yang akan dilakukan capres. Artinya, rakyat menuntut adanya ide pembangunan,
bukan semata-mata identitas dari capres. Rakyat tak cukup disuguhi jargon
abstrak soal NKRI, ideologi Pancasila, ekonomi kerakyatan, ekonomi kebangsaan,
atau perlunya penghapusan dikotomi Islam santri dan Islam abangan yang hanya
menunjukkan politik identitas. Perlu ada transformasi dari perjuangan identitas
menjadi perjuangan ide.
Pemerintahan presidensial Indonesia
pasca-Pemilu 2004 juga menghadapi tantangan lain. Tantangan yang dimaksud
adalah memastikan adanya pemerintahan yang efektif, yang tidak selalu
dirongrong oleh parlemen. Dalam parlemen yang terfragmentasi dan majemuknya
representasi identitas, maka pemerintahan presidensial akan menghadapi
tantangan. Deedlock eksekutif-legislatif sebagaimana diidentifikasi Lijphart
membayang.
Secara konstitusional, DPR mempunyai
peranan untuk menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan, membuat
undang-undang dan peranan lain seperti penetapan pejabat dan duta. Presiden tak
lagi bertanggung jawab pada DPR karena ia dipilih langsung oleh rakyat. DPR tak
akan mudah melakukan impeachment lagi karena ada lembaga pengadil yakni
Mahkamah Konstitusi.
Meskipun peranannya telah mengecil,
DPR dengan kekuatan politik yang menyebar berpotensi untuk terus mengganggu dan
mengganggu eksekutif. Dengan perilaku politik yang tak banyak berubah, DPR
masih punya peluang untuk mengganjal kebijakan presiden dalam menentukan
alokasi budget, DPR masih bisa bermanuver untuk membentuk pansus atau panja,
DPR bisa mengajukan undang-undang yang mungkin tak sejalan dengan kebijakan
presiden. Di sinilah deadlock bisa terjadi.
Melihat real politik yang ada,
koalisi memang diperlukan. Namun, agar tak mengganggu sistem presidensial yang
dianut dan adanya pemerintahan yang efektif, koalisi dibangun dengan tetap
mengacu pada prinsip sistem presidensial. Presiden berhak menunjuk anggota
kabinetnya untuk merealisasikan ide dan program pembangunan yang dimilikinya,
jika memang ada. Kehendak mitra koalisi untuk meminta portofolio menteri dan
memaksakan ide atau program sebenarnya menyimpang dari prinsip sistem
presidensial.
Melihat realitas politik yang ada,
baik dari sisi konstitusional maupun munculnya capres-capres yang tak mempunyai
dukungan mayoritas, banyak orang meragukan akan hadirnya pemerintah yang
efektif. Pemerintah yang mampu memberikan arah dan merealisasikan program yang
mampu membawa Indonesia keluar dari krisis. Banyak orang yang khawatir, yang
muncul justru adalah pemerintahan yang tidak efektif, namun juga sulit untuk
dijatuhkan.
Ke depan,
sistem pemerintahan presidensial mempunyai pekerjaan rumahnya sendiri, yakni
bagaimana mendorong parlemen yang akan didominasi muka-muka baru untuk lebih
memikirkan substansi kebijakan. Perpolitikan ke depan harus didorong ke arah
adanya kontestasi ide, lebih dari sekadar kontestasi identitas. Perlu ada
perjuangan untuk mentransformasikan dari perjuangan identitas menjadi
perjuangan ide. Dengan itu, kelembagaan politik lebih mudah dikelola dan
lembaga-lembaga di luar mesin politik resmi ikut memegang peranan
signifikan. (budiman tanuredjo)
c. Sistem Pemerintahan Campuran
Sistem ini
telah menyita perhatian para ahli untuk melakukan kajian. Beberapa ahli
menyebut sistem ini sebagai campuran antara dua
sistem (presidensial dan parlementer) di atas. Pendapat lain menyebutnya sistem
yang berada di antara presidensial dan parlementer sebagai sistem presidensial.
Ada pula yang menyebutnya kepemimpinan rangkapî (karena ya ng memimpin presiden
dan perdana menteri). Negara-negara yang menjalankan system semi-presidensial
misalnya adalah Prancis, Finlandia, Austria, Argentina, Irlandia, Islandia dan
Portugal, Srilanka melalui konstitusi 1978 dan sistem yang berlaku dulu di
Jerman tahun 1919 di bawah Republik Weimar. Para pendukungnya menyebut sebagai
sistem yang mengambil keuntungan dari sistem presidensial.
Konstitusi dengan ciri-ciri
seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”.
Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak
termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini
karena di dalam UUD
1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan
presidensial, juga terdapat ciri
konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan
Indonesia adalah
sistem campuran.
System pemerintahan presidensial yang diterapkan di
Indonesia tidaklah murni menganut teori trias politika karena selain adanya
ekskutif, legeslatif dan yudikatif, masih ditambah kekuasaan konstitutif (MPR),
eksaminatif atau inpektif (BPK), dan konsultatif konsultatif dengan ssstem
distribution of powers atau pembagian
kekuasaan (w.w.w. Kaltim Post. Co.id).
e. Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Parlementer dan
Presidensial adalah sebagai berikut:
a). Ciri secara Umum
Presidensial
|
Parlementer
|
- Kedudukan presiden selain sebagai kepala
negara juga sebagai kepala pemerintahan;
- Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau
sebuah badan pemilih;
- Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan
legislatif;
- Presiden tidak dapat membubarkan pemegang
kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakannya pemilu.
|
- Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri
dibentuk atau berdasarkan atas kekuatan-kekuatan politik yang menguasai
parlemen;
- Anggota
kabinet seluruhnya atau sebagian adalah anggota parlemen; l Perdana menteri
bersama cabinet bertanggungjawab kepada parlemen;
- Kepala
negara (raja/ratu atau presiden) dengan saran perdana menteri dapat
membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
|
b). Ciri menurut Strong
Presidensial
|
Parlementer
|
- Presiden memiliki kekuasaan nominal
sebagai kepala negara, tetapi
juga memiliki kedudukan sebagai Kepala
Pemerintahan
- Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau
dewan pemilih
- Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan
legislatif dan tidak
dapat memerintahkan pemilihan umum
|
- Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana
Menteri yang dibentuk
berdasarkan kekuatan yang menguasai
parlemen
- Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya
dari anggota parlemen
- Presiden dengan saran atau nasihat Perdana
menteri dapat
membubarkan parlemen dan memerintahkan
diadakan pemilihan
umum.
|
c). Ciri secara rinci
Presidensial
|
Parlementer
|
- Presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
- Presiden
tidak dapat membubarkan cabinet
- Presiden
bertanggungjawab jalannya pemerintahan
- Menteri
bertanggungjawab kepada presiden
- Menteri
diangkat dan diberhentikan presiden
- Masa jabatan menteri dapat ditentukan,
yaitu bersamaan presiden
Seluruh
menteri merupakan pilihan presiden (hak prerogative)
- Kekuasaan
parlemen sejajar dengan pemerintah
|
- Raja (presiden) sebagai kepala negara
- Raja (presiden) sebagai symbol kedaulatan
dan keutuhan negara.
- Kepala negara tidak mempunyai kekuasaan
pemerintahan.
- Raja (presiden) dapat membubarka parlemen.
- Menteri bertanggung jawab jalannya
pemerintahan.
- Menteri bertanggung jawab kepada parlemen.Menteri
diangkat dan diberhentikan oleh Parlemen.
- Masa jabatan cabinet tidak dapat ditentukan
, karena tergantung dukungan parlemen.
Seluruh atau sebagian menteri merupakan anggota parpol yang ada
di parlemen.
- Kekuasaan parlemen lebih kuat daripada
pemerintah (PM /Dewan Menteri)
|
d). Ciri menurut Budiyanto
Presidensial
|
Parlementer
|
- Dikepalai oleh seorang presiden selaku
pemegang kekuasaan ekskutif (kepala pemerintahan sekaligus kepala Negara)
- Kekuasaan
ekskutif presiden dijalankan berdasarkan kedaulatan rakyat yang dipilih dari
dan oleh rakyat melalui badan perwakilan
- Presiden
mempunyai hak prerogative untuk mengangkat dan memberhentikan para
pembantunya (menteri), baik yang memimpin departemen maupun tidak.
- Menteri-menteri
hanya bertanggung jawab kepada presiden dan bukan kepada DPR.
- Presiden
tidak bertanggung jawab kepada DPR, maka presiden tidak dapat saling
menjatuhkan dengan DPR.
|
- Kekuasaan
legeslatif (DPR) lebih kuat daripada kekuasaan ekskutif (pemerintah= perdana
menteri)
- Menteri-menteri
(cabinet) harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada DPR. Artinya,
cabinet harus mendapat kepercayaan (mosi) dari parlemen.
- Program-program
cabinet harus disesuaikan dengan sebagian besar anggota parlemen. Bila cabinet
melakukan penyimpangan terhadap program-program kebijaksanaan yang dibuat
maka anggota parlemen dapat menjatuhkan cabinet dengan memberi mosi tidak
percaya kepada pemerintah.
- Kedudukan
kepala Negara (raja, ratu, pangeran, kaisar) hanya sebagai lambing,symbol
yang tidak dapat diganggu gugat.
|
f. Kelebihan
dan Kekuarangan masing-masing sistem pemerintahan
Arend Lijphart dalam buku Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Presidensial menyebutkan sistem parlementer dan
presidensial mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan presidensial akan
menjadi kelemahan parlementer dan sebaliknya.
a). Arend Lijphart
Kelebihan/
kekuarangan
|
Presidensial
|
Parlementer
|
Kelebihan |
Dalam stabilitas pemerintahan
demokrasi yang lebih besar
pemerintahan yang lebih terbatas
|
Hubungan baik ekskutif dengan legeslatif dlm
waktu tertentu
Pemrintah lebih meluas
|
kekurangan
|
Kemandekan
(deadlock) eksekutif-legislatif
kekakuan
temporal
pemerintahan yang lebih eksklusif
|
Cenderung
tidak stabil
Dominasi
partai
Pemerintah
tidak terbatas
|
b). Menurut R.Winanto
Kelebihan/kekuarangan
|
Presidensial
|
Parlementer
|
Kelebihan
|
- Ekskutif lebih stabil kedudukannya
- Penyususnan program cabinet lebih mudah
disesuaikan dengan masa jabatan
- Legislatif
bukan tempat kaderisasi untuk jabatan ekskutif, karena dapat diisi oleh orang
luar
|
- Pembuatan
kebijakan dapat ditangani secara cepat, karena mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara ekkutif dengan
legeslatif
- Kekuasaan
ekskutif dan legeslatif berada dalam satu partai (koalisi)
- Garis
tanggungjawab dalam pelaksanaan publik jelas
- Pengawasan
yang kuat dari parlemen terhadap cabinet
- Kedudukan
ekskutif (cabinet) sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen,
sehingga sewaktu-waktu cabinet dapat dijatuhkan parlemen
|
Kekurangan
|
- Kekuasaan
ekskutif di luar pengawasan langsung legislatif, sehingga dapat menciptakan
kekuasaan mutlak
- Sistem
pertanggungjawaban kurang jelas
- Pembuatan
keputusan/kebijakan publikumumnya hasil tawar menawar ekskutif dan legeslatif
sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu lama
|
- Kedudukan
ekskutif (cabinet) sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen,
sehingga sewaktu-waktu cabinet dapat dijatuhkan parlemen
- Kelangsungan
kedudukan ekskutif tidak dapat ditentukan,karena sewaktu-waktu dapat
dibubarkan
- Kebinet
dapat mengendalikan parlemen, apabila para anggota cabinet merupakan anggota
parlemen dari partai mayoritas
|
4 Fungsi Sistem Pemerintahan
Agar pemerintah berjalan efekiif, maka ada 3 (tiga)
persyaraan yang harus dipenuhi yaitu::
a. kemampuan untuk mengawasi angkatan bersenjata;
b. kewenangan untuk membuat undang-undang;
c kekuasaan
finansial, yaitu kewenangan untuk memungut pajak dan cukai atau bentuk pengutan
lain dari rakyat guna biaya mempertahankan negra serta menjalankan hukum. Atau
singkat kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta kepolisian
(Adisubrata, 2002).
Tujuan pemerintahan adalah untuk mencapai kesejahteraan
dalam negara. Untuk itulah diperlukan usaha dan kegiatan untuk mencapai
kesejahteraan tersebut. Usaha dan kegiatan itu meliputi
bagaimana alat perlengkapan negara mencapai dan dengan apa dicapai. Pelaksana
yang diberi tugas untuk mencapai kesejahteraan tersebut adalah pemerintah, sedangkan bagaimana dan
dengan cara apa mencapai kesejahteraan tersebut cara mengatur/memerintah. Cara mengatur/memerintah terkait
dengan suatu sistem.
Sistem pemerintah menjelaskan bagaimana hubungan antara
alat perlengkapan negara mencapai dan bekerja untuk mencapai kesejahteraan
seluruh rakyat (Alhaj, 2001). Secara
umum alat-alat perlengkapan negara yang terdapat dalam suatu negara meliputi:
a. Lembaga
legislatif, merupakan lembaga atau badan pembuat undang-undang.
b. Lembaga
eksekutif, merupakan lembaga atau aparat pelaksana undang-undang;
c. Lembaga
yudikatif, yaitu lembaga yang bertugas di bidang kehakiman atau kekuasaan untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara terhadap pelanggaran undang-undang.
d. Lembaga lainnya
yang merupakan alat perlengkapan negara seperti di Indonesia terdapat BPK,
Mahkamah Konstitusi, KPU, Komisi Yudisial dsb.(Untari, 2006)
Berdasarkan penjelasan di atas maka yang dimaksud sistem
pemerintahan merupakan hubungan antara organ pemerintah dengan organ-organ lain
yang ada dalam suatu negara. Sistem pemerintahan secara umum ada dua yaitu (1)
sistem pemerintahan Presidensiil dan (2) sistem pemerintahan parlementer. Untuk
memahaminya dapat dibaca pada perbandingan sistem pemerintah pada sub
berikutnya.
D Kedudukan sistem politik dan pemerintahan di
Indonesia.
Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem
politik dan pemerintahan di Indonesia di dasarkan pada Trias Politika, dengan
sistem distribution of power
yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh lembaga bernama Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya
terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggotanya mewakili
propinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang
dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing.
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) MPR berwenang mengubah dan
menetapkan UUD. DPR berdasarkan pasal 20 ayat (1) memegang kekuasaan membentuk
UU, sedangkan DPD berdasarkan pasal 22 ayat (1) dapat mengajukan kepada DPR
rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah dengan pusat, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Selanjutnya DPD ikut membahas rancangan tersebut di atas, dan dapat
memberi pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang, APBN, pajak,
pendidikan dan agama, serta mengawasi pelaksanaan UU tersebut (ayat 2 dan 3)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/DPD) semula adalah
lembaga tertinggi negara. Sekarang setelah UUD 1945 diamandemen kedudukan MPR
sebagai lembaga negara. Seluruh anggota DPR adalah anggota MPR ditambah anggota
DPD. Sebelumya konstitusi UUD 1945, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR
ditambah utusan golongan. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral,
setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua
Lembaga eksekutif berpusat pada Presiden, wakil Presiden
dan Kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para
menteri bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak mewakili partai politik
yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang
Yudoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin
Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas
pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun
pos-pos penting dan strategi umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai
(berasal dari seseorang yang dianggap Ahli dalam bidangnya).
Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya
amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi
termasuk pengaturan administradi para Hakim. Meskipun demikian keberadaan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan dalam pelaksanaan
administradi putusan peradilan.
Di negara manapun, kedudukan sistem politik dan
pemerintahan sangat menentukan implementasi para penguasa dalam menjalankan
roda pemerintahannya. Sistem politik demokrasi, selalu akan melibatkan rakyat
dalam menentukan public polecy,
adanya perwakilan rakyat yang represen-tatif, perlindungan hak asasi manusia,
penegakan hukum yang bebas, kepentingan rakyat diutamakan. Sebaliknya bagi
negara totaliter, keterlibatan rakyat kurang diperhatikan, semua sektor dikendalikan
oleh pemerintah, rakyat kurang bebas berbicara.. Berawal dari sistem politik
itulah akan menentukan corak atau sistem pemerintahan. Dengan demikian
kedudukan sistem politik juga akan menentukan sistem pemerintahan. Keduanya
merupakan mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945
setelah diamandemen adalah sebagai berikut:
![](file:///C:/Users/andri/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
(Sumber: Sosialiasi UUD 1945 setelah diamandemen).
E. Perbedaan
sistem politik dan Sistem Pemerintahan.
1. Perbedaan Sistem Politik
Berbicara tentang perbandingan sistem politik di
Indonesia, tidak terlepas dari interpretasi terhadap sistem politik itu
sendiri. Sistem politik di Indonesia sebagai seluruh proses
sejarah dari saat berdirinya negara Indonesia sampai dewasa ini, atau hanya
dalam periode-periode tertentu dari proses perjalana sejarah.
Dalam kenyataan kita dapat menjumpai perbedaan-perbedaan
esensial sistem politik di Indonesia dari satu periode ke periode yang lain,
misalnya: sistem poiltik demkorasi liberal, sistem demokrasi terpimpin, sistem
demokrasi Pancasila, sedangkan falsafah negara tetap tidak berubah. Apa
sebabnya ini terjadi? Apa penyebab adanya perbedaan bahkan gejala bertolak
belakang antara cita-cita dan implementasinya? Jawabanya mengandung dua kemungkinan
yang harus dipertimbangkan dan diselidiki lebih lanjut, yaitu: (1) falsafah
tidak banyak berpengaruh terhadap sistem poltik, artinya juga tidak berpengaruh
terhadap aktor (perilaku) politik; atau (2) belum ditemukan standar dan model
sistem politik Indonesia yang sesuai dan menyangga (mendukung) cita-cita tadi.
1. Demokrasi
Liberal.
Di Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3
Nopember 1945, yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui Maklumat
Pemerintah. Sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas
politik setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode
pertama.
Demokrasi liberal dikenal pula demokrasi-parlementer,
oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya
UUD 1945 periode pertama, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dengan demikian
demokrasi liberal di Indonesia secara formal berakhir pada tanggal 5 Juli 1959,
sedangkan secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi Terpimpin
dilaksanakan, antara lain melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal
10 Nopember 1956.atau pada saat Konsepsi Presiden tanggal 21 Pebruari 1957
dengan dibentuknya Dewan Nasional. Pada
periode demokrasi liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat
dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya. (lihat pada tabel 1 di bawah
ini):
2. Demokrasi
Terpimpin
Dalam periode demokrasi terpimpin ini pemikiran a la
demokrasi barat banyak ditinggalkan. Tokoh politik (Soekarno) yang memegang
pimpinan nasional ketika itu menyatakan bahwa demokrasi liberal
(demokrasi-parlementer) tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula
sebagai tidak efektif dan ia kemudian memperkenalkan apa yang disebut
musyawarah untuk mufakat. Sistem multi-partai oleh tokoh politik tersebut
dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan,
karena masyarakat lebih didorong ke arah bentuk yang fragmentaris. Demokrasi
ini berlaku sejak 5 Juli 1959 sampai dengan 11 maret 1966.
Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian
dibentuk badan yang disebut front nasional. Periode ini disebut pula periode
pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner,
disebut demikian karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan
itu misalnya Presiden membubarkan DPR, Badan Konstituante, dan sebagainya.
(lebih lanjut lihat pada tabel 1 di bawah ini):.
3. Demokrasi
Pancasila
Penelaahan terhadap Demokrasi Pancasila tentu tidak dapat
bersifat final di sini, karena masih terus berjalan dan berproses. Dalam
demokrasi Pancasila sampai dewasa ini penyaluran berbagai tuntutan yang hidup
dalam masyarakat menunjukkan keseimbangan. Pada awal pelaksanaan sistem politik
ini dilakukan penyederhanaan sistem kepartaian, muncullah satu kekuatan politik
yang dominan, yaitu Golkar dan ABRI.
Dalam perjalanan PEMILU berikut sejak, setelah orde
reformasi, bermuncullah partai politik, yang ketika masa Orde Baru melebur ke
tiga partai besar yaitu Golkar, PPP dan PDI. Hingga munculnya Amandemen
terhadap UUD 1945, falsafah Negara yaitu Pancasila masih tetap tidak berubah,
bahkan dipertahankan sebagai hukum dasar nasional (TAP No. III/MPR/2000).
Kegagalan tiga partai besar dalam perannya sebagai
lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan tidak berfungsinya chek and balance, akibat terpolanya
sistem politik kompromistis dari elit politik, justru tidak mencerminkan wakil
rakyat yang sesungguhnya. Karena itulah muncul ketidakpuasan rakyat, dan
muncullah gerakan reformasi, salah satu dampaknya adalah lahir kembali
partai-partai kecil. Partai-partai kecil ini ada yang murni berdiri tanpa
melalui induk semangnya, tetapi ada yang memisahkan dari induknya.
Nilai-nilai demokrasi Pancasila yang harus tetap
dijunjung tinggi adalah kehidupan politik adalah:
a) Sebagai warga
negara punya hak dan kewajiban yg sama
b) Tidak boleh
memaksakan kehendak kepada orang lain
c) Tidak boleh
memaksakan kehendak pada orang lain
d) Mengutamakan
musyawarah dalam pengambilan keputusan
e) Musyawarah
untuk mencapai mufakat, diliputi semangat kekeluargaan
f) Musywarah
dilakukan dengan akal sehat dan nurani yg luhur
g) Menjunjung
tinggi setiap keputusan
h) Menerima dan
melaksanakan hasil keputusan
i) Keputusan
diambil harus dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan bersama.
j) Memberi
kepercayaan kepada wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan .
(lebih lanjut lihat pada tabel 1 di bawah ini)
Lebih lanjut perbandingan sistem politik
di Indonesia yang dianalisis berdasarkan demensi masalah dan dimensi waku dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Perbandingan Sistem-sistem Politik di Indonesia
No
|
![]()
Waktu
Demensi
masalah
|
Demokrasi
Liberal
|
Demokrasi
Terpimpin
|
Demokrasi
Pancasila
|
1
|
Penyaluran tuntuan
|
≈ tuntutan lebih besar dari pada kapabilitas
sistemnya
≈ selektor dan filter sangat lemah, semua
input diterima sedangkan output tidak seimbang dengan tuntutan.
≈ Melalui sistem multipartai
|
≈ tuntutan lebih besar dari pada kapabilitas
sistemnya
≈ gaya nilai mutlak melalui front nasional dan
sistem satu partai yang tak kentara.
≈ stabilitas semu (pseudo stability)
|
≈ tuntutan sudah mulai seimbang dengan kapabilitas sistemnya
≈ melalui sistem partai dominan atau sistem
satu setengah partai
|
2
|
Pemeliharaan dan kontinuitas nilai
|
≈ keyakinan akan HAM sangat tinggi
≈ berdasarkan keyakinan ideologi, gaya
pragmatik kurang menonjol.
≈ pertarungan antara gaya ideologi versus garapragmatik
|
≈ HAM banyak dihiraukan
≈ pemikirn ideologik berperanan menonjol.
≈ konflik meningkat atau bahaya laten.
|
≈ HAM diimbangi oleh kewajiban asasi.
≈ gaya pragmatik menonjol.
≈ kontinuitas nilai bernegara dikukuhkan
berdasarkan UUD 1945 dan konflik menurun.
|
3
|
Kapabilitas
|
≈
pengolahan potensi ekstratif dan distributif menurut ekonomi bebas dilakukan
oleh kabinet yang pragmatik, sedangkan kapabilitas simbolik lebih diutamakan
oleh kebinet ideologik
≈ keadilan mendapat perhatian kabinet ideologik,
sedangkan kemakmuran oleh kabinet pragmatik.
|
≈ pemerintah berperanan besar dalam
pengelolaan ekstraktif dan distributif
≈ ekonomi bebas ditinggalkan, mulai ekonomi
etatisme.
≈ kapabilitas simbolik melalui pembangunan
bangsa dan pembangunan karakter
≈ kapabilitas responsif melemah karena saluran satu-satunya
hanyalah front nasional (FN)
|
≈ ekonomi bebas sampai batas-batas tertentu
menjadi kebijaksanaan pemerintah
≈ kapabilitas dalam negeri menjadi mantap dan
karenanya menunjang kapabilitas internasionalnya (penanaman modal asing,
bantuan asing, dan pinjaman mengalir).
|
4
|
Integrasi vertikal
|
≈ antara elit politik dengan massa atas dasar
pola aliran (hubungan atas – bawah)
≈ Hubungan bawah – atas berdasar-kan pola
paternalistik
|
≈ ikatan primordial melemah dalam rangka
nation- building
≈ Pola paternalistik tetap hidup subur
|
≈ Komunikasi dua arah mendekatkan hubungan
elit dan massa dalam soal-soal yang pragmatic.
|
5
|
Integrasi Horisontal
|
≈ Kepemimpinan secara bergantian antara
solidarity makers dan dan administrators.
≈ Solidarity
makers lebih mendapat angin
|
≈ Pertentangan antar elit (solidarity makers
versus administrators) di menangkan oleh penghimpunan solidarity.
|
≈ Antar elit ditemukan, consensus tentang
pembangunan
≈ kerjasama antar teknokrat (khususnya antara
intelegensia militer dan intelegesia sispil)
≈ administrators mendapat ang
|
6
|
Gaya politik
|
≈ ideologik, karenanya bersifat desinegratif.
≈ desintegratif elit tercermin dalm masyarakat
sebagai schisme.
|
≈ masih bersifat ideologik , walau sudah ada
penyederhanaan kapartaian.
≈ tokoh politik sebagai titik pusat politik
bertindak sengat coercive.
|
≈ gaya ideologik sudah tidak manggung/
menonjol.
≈ gaya pragmatik yang berorientasi pada
program serta pemecahan masalah lebih menonjol..
|
7
|
Kepemimpinan
|
≈ berasal dari angkatan 1928.
≈ masih bersifat primordial aliran, agama,
suku, dan daerah
≈ partai-partai politik yang manggung..
|
≈ berasal dari angkatan 1928 dan 1945 dengan
tokoh politik; Soekarno sebagai titik pusatnya.
≈ Kharismatik dan paternalistik.
|
≈ bersifat legal atas dasar ketentuan
konstitusionil.
≈ ABRI sebagai titik pusat dibantu oleh
teknokrat sipil..
|
8
|
Perimbangan partisipasi politik
dengan kelembagaan
a) Massa
|
≈ partisipasi massa sangat tinggi.
≈ deviasi terhadap anggapan rakyat telah
mempunyai kebudayaan politik partisipasi (sebenarnya: masih berbudaya politik
kaula dan parokhial).
|
≈ partisipasi massa hanya melalui Front
Nasional.
≈ output simbolik meningkat dengan adanya
rapat-rapat raksasa untuk mendukung regim
|
≈ partisipasi massa dikembalikan dan terbatas
dalam peristiwa tertentu saja (a.l. pemilihan umum), karena konsep ” the
floating mass”
|
b) Veteran dan Militer
|
≈ karena pengaruh demokrasi barat, maka
supremasi sipil lebih menonjol
≈ peristiwa 17 oktober 1952 merupakan titik
balik menuju perkembangan selanjutnya
|
≈ Sejak dwan nasional dan front nasional
partisipasi mantan pejuang meningkat dan termasuk dalam golongan fungsional.
≈ partisipasi tentara seha dewan nasional dan
front nasional, dengan indikator pos-pos penting kenegaraan dipegang oleh
militer.
|
≈ partisipasi veteran meningkat melalui
angkatan 1945, Pepabri, dll.
≈ partisipasi tentara makin meningkat dengan
doktrin, kekayaan dan dwi-fungsi ABRI
≈ partisipasi dalam lembaga perwakilan melalui
pengangkatan.
|
|
9
|
Pola pembangunan Aparatur
Negara
|
≈ berlangsung pola bebas.
≈ afiliasi dengan partai sering menyebabkan
loyalitas kembar yang inefektif ditinjau dari sudut pelayanannya.
|
≈ loyalitas kembar dari pegawai negeri
golongan tertentu menjadi tidak dibenarkan.
|
≈ pemingkatan pelayanan kepada masyarakat
dilakukan dengan depolitisasi pegawai negeri dan diarahkan pada usaha
pembentukan golongan profesi..
|
10
|
Tingkat stabilitas
|
≈ terjadi stabilitas politik yang berakibat
negatif bagi usaha-usaha pembangunan
|
≈ Stabilitas bersifat semu, yang
dipertahankan dengan cara-cara tangan besi
≈ stabilitas ini tidak dipergunakan untuk
memperhatikan pembangunan ekonomi
|
≈ meningkat
melalui a.l scurity approach di samping persuasive approach
≈ yang hendak dicapai adalah stabilitas
dinamis.
|
E. Perbedaan sistem pemerintahan di Indonesia.
Secara umum sistem pemerintahan yang pernah berlaku di
Indonesia hanya ada dua, yaitu (1) sistem pemerintahan presidensiil dan (2)
sistem pemerintahan parlementer.
1. Sistem Pemerintahan Presidensial
Dalam sistem pemerintahan Presidensial kedudukan kepada
negara sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan
yang dimiliki Presiden merupakan kekuasaan riil dan dengan kedudukan demikian
Presiden.berwewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
Sistem pemerintahan Presidensial (Non-Parlementary Executive) kelangsungan hidup ekskutif tidak
tergantung pada lembaga legislatif, mengingat kedudukan eksekutif relatif kuat,
karena itu ciri sistem pemerintahan Presidensial:
(a) kekuasaan
di dasarkan prinsip pembagian kekuasaan (distribustion
of power),
(b) eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk
membubarkan parlemen, demikian juga sebaliknya parlemen tidak bisa menjatuhkan
eksekutif,
(c) tidak ada
pertanggung jawaban bersama (mutual
responsibility) antara presiden dan
kabinet, karena tanggung jawab pemerintahan terletak di tangan Presiden selaku
kepala Pemerintahan.
Menurut Witman Wuest dalam Untari, 2006 dikemukakan bahwa
sistem pemerintahan Presidensiil dapat digambarkan pada bagan berikut ini.
![]() |
||
![]() |
Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa: (1) terdapat
prinsip pembagian kekuasaan; (2) ada keseimbangan kekuasaan antara eksekutif
dengan legislative dan keduanya tidak bisa saling menjatuhkan atau membubarkan,
(3) pertanggung jawaban bersama (mutual
responsibility) antara Presiden dan Kabinetnya tidak ada, tanggung jawab
hanya terletak di tangan Presiden selaku kepala Pemerintahan. Namun demikian
Presiden mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri negara.
2. Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer, kekuasaan parlemen lebih
menonjol dibandingkan kekuasaan presiden atau raja. Dalam hal ini kedudukan
presiden atau raja hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan
atau kekuasaan riil dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri beserta kabinetnya
tunduk dan bertanggung jawab pada parlemen. Dalam
sistem ini hubungan lembaga eksekutif dan legislatif sangat erat. Namun
terkesan kedudukan legislatif lebih kuat dari pada eksekutif. Seberapa lama
eksekutif memegang kepercayaan dalam mengendalikan pemerintahan sangat
tergantung pada kepercayaan dalam mengandalikan pemerintahan sangat tergantung
pada kepercayaan dan dukungan parlementer.
Dalam sistem pemerintahan parlementer terdapat:
(a) didasarkan atas prinsip penyebaran kekuasaan,
(b) terdapat adanya
pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan kabinet,
(c) Perdana
Menteri, diangkat oleh kepala negara berdasarkan dukungan mayoritas legislatif,
(d) Kedudukan dan
pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan kabinet dalam arti eksekutif dapat
membubarkan parlemen sebaliknya eksekutif/ kabinet dapat meletakkan jabatan
manakala parlemen menyatakan mosi tidak percaya.
Menurut Allan R. Ball (dalam Untari, 2006) disebutkan
bahwa ciri-ciri sistem pemeritahan parlementer adalah:
(a) Kepala negara
berperan sebagai pemimpin formal dan seremonial serta mempunyai pengaruh
politik yang kecil. Kepala negara bisa seorang raja/ratu (Inggris,
Belanda) atau Presiden.
(b) Pemimpin
politik (Perdana Menteri atau konselir) diangkap berdasarkan dukungan parlemen.
(c) Anggota
parlemen dipilih untuk suatu periode tertentu berdasarkan pemilihan umum.
Tanggal pemilihan umum ditentukan oleh Kepala negara formal atas persetujuan
perdana menteri atau konselir.
Dengan demikian sistem pemerintahan menggambarkan
bagaimana cara mengatur, menata hubungan antara alat perlengkapan negara dalam
rangka mencapai keinginan bangsa Indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat
disimpukan bahwa fungsi sistem pemerintahan antara lain:
1) Sistem pencapaian cita-cita seluruh rakyat
2) pedoman
dalam penyelenggaraan pemerintahan
3) bentuk
interaksi kehidupan politik riil dalam negara
4) penerapan sistem politik
Selanjutnya sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat
pada bagan berikut ini.
Dari bagan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
bahwa: (1) terdapat prinsip penyebaran kekuasaan; (2) ada keseimbangan antara eksekutif dengan legislative.
Eksekutif dapat membubarkan legislatif dan sebaliknya, legislatif harus
meletakkan jabatannya manakala kebijakan-kebijakan tidak didukung oleh mayority
parlemen atau legislative; (3) terdapat pertanggungan jawab bersama (mutual responsibility) antara Presiden
dan Kabinet.
Demikian sistem politik dan pemerintahan, dimana
penggolongan hanya bersifat teoritis, sebab dalam prakteknya seringkali
karakteristik sistem yang satu dipadukan dengan sistem lainnya. Namun demikian
untuk membuat kajian dan perbandingan hal perlu dilakukan.
G. Supra
Struktur dan Infra Struktur Politik di Indonesia
1. Supra
Struktur Politik.
Supra struktur politik adalah kelembagaan
negara yang terdapat dalam UUD yang berlaku di Indonesia. Lembaga kekuasaan
negara itu mengalami perubahan dan
perkembangan mengikuti perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Lembaga infra
struktur politik adalah lembaga politik yang dibentuk oleh masyarakat atas
dasar kebebasan warga negara dalam
berorganisasi dan berserikat. Infra struktur politi itu dapat dibedakan kepada:
- Partai
politik, yaitu organisasi sosial politik yang anggotanya memiliki suatu
haluan dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk berkuasaan melalui
sistem pemilihan umum yang berlaku dalam negara.
- Organisasi
masyarakat (Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau forum komunikasi
politik yang dibentuk oleh masyarakat. Organisasi ini dibentuk oleh
masyarakat dengan berbagai tujuan melakukan kegiatan dalam bidang sosial,
budaya dan agama, serta tidak bergerak dalam politik praktis, seperti
Muhammadyah dan Nahdathul Ulama (NU).
Supra struktur politik di Indonesia
terjadi perubahan sesuai perkembangan konstitusi yang berlaku. Berdasarkan UUD
1945 sebelum diamandemen, supra struktur politik Indonesia terdiri dari
lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, yaitu:
1) Majelis Permusyawaratan
Rakyat (Lembaga Tertinggi Negara) yang memegang kedaulatan rakyat.
2) Lembaga Tinggi Negara,
yaitu:
a)
Presiden sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara.
b)
Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang bersama Presiden
dan sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan.
c)
Mahkamah Agung sebagai
lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan dalam bidang kehakiman yang
tertinggi.
d)
Badan pemeriksa Keuangan
yang bertugas memeriksa keuangan yang dijalankan oleh pemerintah yang hasilnya
dilaporkan kepada Dewan perwakilan Rakyat.
e)
Dewan Pertimbang Agung
yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan serta mengajukan usul dan
saran kepada Presiden.
Sedangkan Supra
Struktur politik berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), 1949 adalah
alat-alat perlengkapan negara federal,
yaitu:
1) Presiden, sebagai kepala negara.
2) Menteri (Perdana
Menteri) sebagai kepala pemerintahan.
3) Senat, sebagai
perwakilan negara bagian.
4) Dewan perwakilan Rakyat
sebagai wakil rakyat seluruh wilayah Indonesia .
5) Mahkamah Agung sebagai
lembaga Yudikatif yang memegang kekuasaan kehakiman.
6) Dewan Pengawas Keuangan
sebagai badan pemerinksa keuangan yang dijalan oleh pemerintah sesuai dengan
APBN.
Kelembagaan negara tersebut belum berjalan dengan sepenuhnya
karena masa berlakunya Konstitusi RIS sangat singkat (1949-1950). Setelah
kembali kepada bentuk negara kesatuan, maka Konstitusi RIS dirubah menjadi UUD
Semntara 1950. dengan lembaga supra struktur politik adalah:
1) Presiden dan Wakil Presiden
yang berfungsi sebagai kepala negara.
2) Menteri-Menteri yang diketuai
oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang berfungsi sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang
serta mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah bertanggung jawab kepada DPR.
4) Mahkamah Agung yaitu lembaga
kekuasaan kehakiman yang tertinggi dalam negara.
5) Dewan Pengawas Keuangan, yaitu
lembaga yang berwenang memeriksa keuangan negara yang dijalankan oleh
pemerintah.
Pada masa pemerintahan Orde lama supra
struktur politik sesuai dengan UUD 1945, namun tidak dibentuk melalui pemilihan
umum. Di samping itu keenam lembaga negara dikendalikan sepenuhnya oleh
kelembagaan Presiden. Lembaga lain sepeperti MPR, DPR dan MA di bawah
kepemimpinan Presiden.
Pada Masa Orde Baru lembaga tertinggi dan
tinggi negara telah terbentuk melalui
pemilihan umum yang berlangsung secara berkala (5 tahun sekali)
Setelah UUD 1945
dilakukan perubahan sebanyak empat kali,
pelaksanaan demokrasi berlandasan kepada pokok-pokok pemerintahan negara
sebagai berikut:
1)
Negara Indonesia adalah negara hukum
(pasal 1 ayat 3)
2)
Kedaulatan ditangan rakyat dan
dilasanakan menurut undang-undang dasar (pasal 1 ayat 2)
3)
Majlelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) terdiri dari anggota DPR dan DPD mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik dan
memperhentikan Presiden menurut undang-undang dasar. (pasal 3)
4)
Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut undang-undang dasar. Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR. Presiden
dipilih langsung oleh rakyat, dan memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih satu kali lagi
(lihat pasal 4 –7).
5)
Presiden dapat diberhentikan MPR
setelah diputuskan bersalah melanggar undang-undang dasar oleh Mahkamah
Konstitusi. Presiden tidak dapat membekukan DPR (pasal 7B dan C).
6)
Presiden memegang kekuasaan
sebagai kepada negara, membentuk Dewan Pertimbangan, mengangkat para menteri,
membentuk dan membubarkan kementerian menurut undang-undang (lihat pasal
10-17).
7)
Pemerintah Daerah bersifat otonom yang diatur dengan
undang-undang (lihat pasal 18 dan 18A dan B).
8)
DPR memegang kuasa membuat
undang-undang, memiliki fungsi legislasi, anggran dan pengawasan (pasal 20 dan
20A).
9)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
mempunyai kekuasan membuat undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah
(pasal 22D).
10) Pemilihan Umum dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil (LUBER-JURDIL), yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan
Umum yang bersifat mandiri. (pasal 22E).
11) Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang bebas dan mandiri
yang anggotanya dipilih oleh DPR dan dilantik oleh Presiden, serta mempunyai
wakil di daerah-daerah.
12) Kekuasaan Kehakiman bersifat merdeka yang dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Lihat dan amatilah struktur
kelembagaan negara kita setelah Perubahan UUD 1945 sebagai pelaksaan demokrasi
di masa reformasi dan coba bandingkan dengan masa sebelumnya!
2. Infra Struktur Politik di
Indonesia
Menurut UU No. 10
tahun 2008 tentang Partai Politik, yang dimaksuk Partai Politik adalah setiap
organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela
atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya
maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Jadi tujuan partai politik adalah mengembangkan
kehidupan demokrasi dan memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam
kehidupan bernegara. Fungsi Partai Politik adalah:
a. Fungsi sosialisasi
politik, yaitu melaksanakan pendidikan politik.
b. Fungsi partisipasi politik, yaitu menyerap,
menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.
c. Fungsi rekrutmen politik yaitu kegiatan mencari dan
mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik
(Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota dll.) sesuai dengan mekanisme demokrasi.
d. Fungsi pemandu
kepentingan, yaitu lembaga demokrasi
merupakan wahana kegiatan menyatakan dukungan dan tuntutan proses politik
e. Fungsi komunikasi
politik, menyalurkan informasi dan keinginan timbal balik antara rakyat dengan
pemerintah.
f. Fungsi pengendali
konflik, yaitu turut memecahakan dan menyelesaikan perselisihan antara berbagai
kelompok dan golongan dalam masyarakat.
g. Fungsi kontrol
politik, yaitu kegiatan mengontrol kekuatan yang dijalankan oleh pemerintah
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap
negara mempunyai infra struktur politik yang berbeda-beda, di Indonesia secara
umum terdiri atas:
1. Partai Politik.
Munculnya organisasi modern di awal
abad kedua puluh yang ditandai dengan lahirnya pergerakan Budi Utomo, Serikat
Islam dapat disebut sebagai pertanda lahirnya partai pertama di Indonesia,
selanjutnya berdirilah partai-partai politik lain,
Setelah kemerdekaan tradisi partai
politik di Indonesia dimulai dengan munculnya usul yang diajukan oleh BPKNIP
untuk berfungsi sebagai parlemen yang disampaikan kepada pemerintah. Usul itu
menuntuk kepada pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luaskannya kepada
masuyarakat mendirikan partai politik demi mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 3 Nopember 1945 keluarlah
Maklumat Pemerintah yang ditandatangai oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Maka
tumbulah partai politik seperti cendawan tumbuh, menurut Alfian partai politik
tersebut dalam digolongan kepada:
a. Aliran nasionalis,
yaitu PNI, PRN, PIR Hazairin, Parindra, Partai Buruh, SKI, PIR-Wongsonegoro
dll.
b. Partai Islam, seperti
Masjumi, NU, PSII dan Perti
c. Aliran Komunis,
seperti PKI, SOBSI dan BTI
d. Aliran Sosialis,
sperti PSI, GTI dll.
e. Aliran
Kristen/Nasrani, sperti Partai Katolik dan Parkindo.
Pegelompokan itu juga tak lepas dari kekuatan Jepang
yang membagi aliran dalam politik Indonesia kepada golongan Nasional
opportunis, Nasional Islam dan Komunis/Sosialis.
Partai
Politik di masa demokrasi Liberal pada tahun 1950an mendapat kesempatan secara bebas untuk masuk
kepada pemerintahan, namun belum adanya partai yang memiliki dukungan nrakyat
secara mayoritas, maka konflik-konflik dan pertentangan ideologi mulai
memuncak. Setelah Pemilu 1955 ditemukan peta kekuatan politik, yaitu Partai
beraliran nasionalis (27,6%), Beraliran Islam (45,2%), beraliran komunis
(15,2%) dan sisanya dari aliran Kristen dan Sosialis. Ekses negatif dari
peranan partai politik masa demokrasi liberal adalah kedudukan pemerintah
labil, kesempatan yang kurang bagi pemerintah untuk melaksanakan programnya,
keputusan politik dilakukan melalui perhitungan voting, oposisi yang menampakan
citra negatif dan iklim kebabasan membuka peluang terbentuknya partai-partai
baru.
Partai
politik di masa demokrasi terpimpin (Orde lama) memberikan kesempatan kepada
Presiden Sukarno dan Militer serta Partai Komunis untuk lebih berkuasa, hal ini
disebabkan oleh kestabilan nasional yang terganggu sehingga Presiden
mengeluarkan pengumunan negara dalam
keadaan perang (SOB). Pada pemerintahan
Sukarno ada kecenderungan untuk menguburkan partai politik termasuk PNI yang
didirikannya karena selalu menimbulkan konflik. Besarnya pengaruh Sukarno
sehingga partai politik tidak berdaya, akan tetapi demokrasi terpimpin yang
dilaksanakan ternyata yang ada hanya terpinpinnya saja, sedangkan demokrasinya
hilang..
Partai
politik di masa Orde Baru, kegagalan G30S/PKI telah mengakhiri demokrasi
terpimpin. Orde Baru melakukan pembaharuan politik. Pemilu 1971 terbentuk peta
politik 9 partai politik dan satu Golkar, yaitu Golkar (62,8%, NU (18,67%),
Parmusi (7,36%), PNI (6,94%), PSII (2,39%), Parkindo (1,34%), Katholik (1,11%)
dan Perti (0,7%).. Orde Baru cenderung memisahkan politik dengan ekonomi,
keterlibatan ABRI dalam politik erat kaitannya dengan Dwi Fungsi dimana peranan
kaum sipil kurang mampu mengatasi krisis, Golkar merupakan kepanjangan tangan
militer di lembaga sipil sehingga kedudukan partai politik semakin terdesak. Di
samping itu Golkar dengan dukungan militer memobilisasi organisasi fungsional
masyarakat untuk mendukungnya sehingga semakin melemahnya posisi partai
politik. Semenjak Pemilu 1977 partai politik disederhanakan menjadi dua (PPP
dan PDI) dan Golkar, kemudian pada
pemilu 1987 semua partai harus berasaskan Pancasila sehingga PPP yang beraliran
Islam ditinggalkan banyak pendukung tradisonalnya, sedangkan kelompok kritis
yang menghendaki pembaharuan politik mulai mendukung PDI.
Partai
politik di masa Reformasi 1998, telah membuka peluang masyarakat
mendirikan partai, sehingga menghadapi
Pemilu 1999 hadir partai politik sebanyak 48 Partai, namun tidak satu mencapai kursi mayoritas, diantara lima
besar adalah PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB dan PAN. Suatu hal masih belum
berubah dalam budaya politik Indonesia adalah masih kuatnya budaya politik
primordial, masyarakat masih menggantungkan aspirasi politiknya kepada tokoh
karsimatik sehingga alam kebebasan belum dapat membuka jalan kearah
demokratisasi.
Dalam
menghadapai pemilihan umum tahun 2004
jumlah partai politik yang menjadi
peserta pemilihan umum sudah berkurang, yaitu 24 partai politik. Namun
tidak ada partai yang menguasai mayoritas di DPR, terdapat beberapa partai yang mempunyai dukungan yang cukup untuk lolos ke pemilihan umum 2009, yaitu
Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
2. Lembaga Swadaya Masyarakat
Dalam suatu sistem politik negara modern yang
bersifat demokratis usaha untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat secara
efektif dan efesian adalah melalui pengorganisasian aspirasi masyrakat yang
dapat dibedakan atas:
a.
Organisasi yang
memngkhususkan diri berperan dalam
menentukan keputusan-keputusan kenegaraan di lembaga perwakilan (DPR) yang kemudian
disebut partai politik.
b. Organisasi yang memperlancar pelaksanaan aspirasi masyarakat dalam salah
satu aspek kehidupan yang kemudian disebut organisasi non-politik atau disebut
juga sebagai lembaga Swadaya Masyarakat. (LSM).
LSM secara luas meliputi seluruh Organisasi
kemasyarakatan yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara indonesia
untuk berperan serta di dalam sistem politik negara. Pada hakikatnya LSM tidak
memiliki aktifitas politik secara langsung di lembaga perwakilan rakyat. Namun
secara tidak langsung LSM dapat mempunyai hubungan (komunikasi ) politik dengan
DPR sesuai dengan bidang kegiatanya.
Dalam
suatu istilah yang umum LSM disebut sebagai kelompok penekan (Pressure group),
yaitu kelompok yang secara formal tidak berperan dalam kegiatan politik
praktis, namun tetap melaksanakan kegiatan politik itu secara tidak alngsung.
Dalam suatu masyarakat demokrasi liberal kelompok penekan itu adalah golongan
kepentingan (interst group) yang keinginan agar kepentingannya tetap
diperhatikan dalam pengambilan keputusan kenegaraan. Dalam negara semenjak
reformasi LSM secara bebas mempengaruhi DPR dalam pengabilan keputusan, seperti
banyak LSM atau organisasi masyasrakat melakukan pendekatan ke DPR dan bahkan
melakukan unjuk rasa agar kepentingannya diakomodir dalam penbuatan
undang-undang. Maraknya demonstrasi pro dan kontar pada tahun 2005 terhadap
rancangan undang-undang Anti Porno grafi dan Porno aksi yang akan diputuskan di
DPR adalah karena dukungan atau tekanan dari kepentingan LSM dalam masyarakat.
Dalam
suatu negara demokrasi LSM dapat menjadi ujung tombak perubahan sistem politik
suatu negara, karena dia berhubungan secara langsung dengan aspirasi
masyarakat. Beberapa faktor yang menyebabkan LSM lebih dekat dengan aspirasi
masyarakat adalah:
a.
Pembentukan LSM tidak
membutukan persyaratan yang lebih ketat seperti pembentukan Parti Politik,
khususnya dari segi jumlah keanggotaan.
b.
Kegiatan LSM sangat
bersentuhan dengan kegiatan sehari-hari dalam masyarakat, seperti LSM yang
bergerak dalam amal sosial.
c.
LSM memiliki akar budaya
yang lebih kuat di dalam struktur masyarakat.
d.
LSM dalam masyarakat
Indonesia lebih otonom, dapat hidup dalam rejim pemerintahan yang berbeda.
Cobalah amati organisasi
masyarakat Muhammadiyah yang dirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada zaman Belanda, masih tetap kuat samapi
saat ini karena suatu LSM yang besar dan otonom yang tidak tergantung kepada
irama kekuasaan pemerintahan. Begitu juga Nahdatul Ulama dengan jumlah
anggotanya puluhan juta yang juga dirikan semenjak zaman Belanda , tetap kuat
sampai saat ini karena sifat otonom dan berakar dalam sistem budaya dan
kepercayaan masyarakat. Kedua organisasi masyarakat ini secara tidak langsung
tidak terlibat dalam kegiatan politik, namun anggotanya adalah elit politik di
dalam partai dan DPR, sehingga kepentingannya secara tidak langsung dapat
mewarnai keputusan-keputusan politik yang dibuat dalam lembaga legislatif
(DPR).
Dalam
masyarakat demokratis menjamurnya jumlah LSM sebagai perwujudan dari kebebasan
seseorang warga negara dalam berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lissan dan tulisan, sesuai dengan
Pasal 28 UUD 1945. dalam masyarakat Indonesia LSM tumbuh dan berkembang suatu
dengan bidang kegiatannya, seperti bidang kegiatan keagamaan dan sosial, bidang
perburuhan, bidang lingkungan, pendidikan dan sebagainya. Berikut ini
jenis-jenis kegiatan LSM, yaitu:
a. Organisasi profesi,
seperti Persatuan Guru Republik Indonesia ,
(PGRI) , Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Insinyur Indonesia PII),
Persatuan Dokter Indonesia (PDI) dll.
b. Organisasi Para Pekerja, sperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. (SPSI).
c. Asosiasi Veteran,
seperti Legium Veteran Republik Indonesia .
d. Gerakan Pemuda, seperti
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dll.
e.
Gerakan Wanita, seperti
Komite Wanita Indonesia (Kowani).
f. Kelompok Ideologi dan
agama, seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadyah.
H. Peran serta dan orientasi politik rakyat
terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengaruh sikap dan orientasi politik rakyat terhadap
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam realitasnya tidak bisa
terlepas dari budaya politik yang berkembang di masyarakat sesuai dengan
masanya. Walaupun dewasa ini sudah banyak negara yang menanggalkan sistem
politik yang dianggap tidak cocok, namun dalam prakteknya perilaku dan sikap
para elit politik dan pejabat negara masih ada yang menerapkan budaya-budaya
politik yang ada dan pernah ada.
Ketika Suharto berkuasa, budaya politik “ sendiko dawuh”,
“ atas petunjuk bapak.....” seakan
sudah melekat pada sikap dan perilaku elit politik dan pejabat negara saat itu.
Hal ini disebabkan oleh kekuatan tertentu yang dimiliki penguasa saat itu, seperti kharismatik, kekuatan
penguasa yang didukung oleh militer, kaum cendekiawan, kaum pengusaha/kapitalis
dan mungkin rakyat karena tekanan secara formal maupun non formal. Sehingga
sikap dan orientasi politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
mengikuti kemauan para penguasa dan elit politik pengambil keputusan negara.
Hal ini bisa didukung sepenuhnya oleh rakyat, karena ekonomi rakyat saat itu
mampu memberikan kesejahteraan, keamanan dan rasa tentram. .
Selanjutnya seperti kita dengar sebelum pidato kenegaraan menjelang tanggal 17
Agustus 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, elit politik yaitu Megawati menegaskan kepada elit politik dan
kader-kadernya untuk tidak menggunakan interupsi ketika pidato kenegaraan
walaupun itu dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat dipatuhi
penuh oleh para elit politik dan kader-kadernya, siapa melanggar seakan melawan
terhadap elit politik di atasnya. Ini menunjukkan bahwa pengaruh dan sikap
politik rakyat para kader-kader masih mengikuti pola politik kaula. Namun juga
perlu disadari bahwa pola semacam itu sifatnya komtemporer, tidak tetap dan
selalu berubah-ubah karena situasi dan kondisi.
Dengan demikian pengaruh sikap dan orientasi rakyat
Indonesia terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih
tunduk pada instruksi elit politik. Hal ini bisa tejadi karena dipengaruhi oleh
budaya politik keningratan ”ewuh pakewuh ” atau ” sungkanism”, yaitu suatu
sikap politik yang apabila berbeda pendapat, hanya disimpan, tidak berani
berbicara/mengemukakan pendapat dan apabila berani dianggap
perlawanan/pembangkangan. Tentu saja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara di era demokrasi justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi
itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bahmueller dalam Untari (2006),
bahwa tegaknya demokrasi dipengaruhi oleh (1) faktor ekonomi, (2) sosial dan
politik, serta (3) budaya dan sejarah.
BAB III
KESIMPULAN
sistem politik ialah kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip
dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan yang berhubung-hubungan satu sama
lain untuk mengatur pemerintahan secara melaksanakan dan mempertahankan
kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain dengan negara dan
hubungan negara dengan negara.
Sistem pemerintahan ialah suatu sistem yang membicarakan
bagaimana hubungan lembaga negara dari suatu pemerintahan. Secara umum alat
perlengkapan lembaga negara meliputi: (1)
lembaga legislatif, (2) eksekutif, (3) yudikatif dan (4) lembaga lain
yang merupakan alat perlengkapan negara seperti BPK, KPU, Komisi Yudisial, dsb.
Dengan demikian disimpulkan bahwa sistem pemerintahan
terkait dengan sistem politik, mengingat sistem politik terkait dengan (1) sistem
pemerintahan dan (2) sistem kekuasaan. yang mengatur hubungan antara
individu-individu atau kelompok individu yang satu dengan lainnya dan dengan
negara serta hubungan negara dengan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Adisubrata, Winarna
Surya, 2002. Etika Pemerintahan. Yogjakarta: UPP AMP YKPN.
Alhaj, dkk. 2001. Pendidikan Pancasila. Jakarta:
Univeritas Terbuka.
Easton, David, 1965. A System
Analysis of Political Life. Ohn Wiley
& Sons Inc., New York – London – Sidney.
Kantaprawira, Rusadi,
2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta:
Sinar Baru Algesindo.
Lab IPS & PMP, 1991. Tata Negara, Jilid 2. Malang: PPPG IPS dan PMP
Malang.
Laboratorium Pancasila,
2001, Bangsa Indonesia Dalam Dinamika
Reofrmasi. Harapan dan Tantangan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Mas’oed, Mohtar, 1986. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Sukarna, 1979. Sistem Poltik. Bandung: Alumni.
Syafiie, Inu Kencana,
2002. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
0 Response to "Makalah Sistem Politik Dan Pemerintahan"
Posting Komentar