Nilai religius perkawinan bersumber dari agama yang menetapkan perkawinan
sebagai bibit pertama dan cikal bakal kehidupan masyarakat, serta aturan yang
bersifat alami bagi alam semesta yang diciptakan Tuhan dalam rangka menjadikan
kehidupan semakin bernilai dan mulia. Oleh karena itu, aqad atau ikatan dalam
perkawinan,harus dipahami sebagai aqad yang memberikan keseimbangan hak serta
kewajiban antara suami-istri, serta dijadikan wahana kreatif untuk membangun
peradaban manusia yang adil dan beradab yang kita kenal masyarakat madani itu.
Fungsi filsafat hukum adalah untuk menguji keefektifan berlakunya hukum positif
melalui salah satu jalan mengukur kaidah-kaidah, doktrin-doktrin dan
lembaga-lembaga sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Dalam evaluasi kritis
filsafat hukum ditemukan sebuah rumusan konseptual ideal ketentuan usia
perkawinan pada usia 21 (duapuluh satu) tahun untuk wanita dan pria.
Pandangan fungsi hukum sebagai tool of social engineering juga
digunakan untuk merumuskan usia perkawinan yang bersifat ideal tersebut. Selain
itu, juga digunakan ethos pembangunan Hukum Perkawinan Indonesia yang pada prinsipnya
sangat luas dan membutuhkan pemikiran kritis dalam memahami fenomena yang
berkembang dalam masyarakat. Ketentuan usia perkawinan sebagaimana termaktub
dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dengan menggunakan analisis
filsafat hukum diketahui pula bahwa ketentuan itu mengidap persoalan yang tidak
mudah diselesaikan. Indikasi problematis usia perkawinan yang paling menonjol
muncul ketika dihadapkan pada pasal 7 ayat (2) mengenai “dispensasi nikah” yang
wewenang yuridis untuk keperluan itu diberikan kepada Pengadilan atau Pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sehingga
dinilai mengurangi sakralitas perkawinan. Hukum Islam dalam pemahaman tersebut
harus diakui sangat memperhatikan kemaslahatan umat (al-maslahat), karena
Hukum Islam itu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat. Hukum
Islam adalah sesuatu yang paling tinggi dan utama bagi masyarakat muslim.
Relevansinya dengan usia perkawinan terletak pada pemaknaan konsep usia
perkawinan ideal yang mengacu pada filsafat hukum Islam berlandaskan wahyu
Allah SWT dalam al-Quran dengan memperhatikan sesungguh-sungguh aspek realitas
dalam masyarakat. Merujuk pada ketentuan formal pendewasaan sebagaimana dikenal
dalam KUH Perdata, maka 21 (duapuluh satu) tahun dapat ditetapkan sebagai usia
perkawinan ideal.
Seseorang yang dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya
yuridis atas kehendaknya sehingga dapat menentukan keadaan hukum bagi dirinya
sendiri. Asumsi yang harus dibangun mengacu pada dimensi yang komplementer,
baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi. Bahkan aspek-aspek ini
seharusnya dimiliki calon suami-istri sebagai konsekuensi sense of
responsibility, baik terhadap pribadi masing-masing maupun bagi keturunan dan
lingkungan masyarakatnya. Pembedaan usia perkawinan dalam UU Perkawinan yang
ada semakin membakukan peran dan status antara suami-istri dalam pola relasi
yang tidak seimbang, dan pada akhirnya mendiskriminasikan wanita.
Oleh karena itu, Kesetaraan dari segi usia ideal, secara lebih tegas
dapat dimaknai bahwa usia laki-laki, yaitu 21 (duapuluh satu) tahun harus sama
dengan usia wanita. Masing-masing pasangan suami-istri berada pada usia 21
tahun dengan pertimbangan bahwa dari aspek psikologis, sosiologis, dan
kesehatan, keduanya seimbang. Idealisasi usia perkawinan pada usia 21 tahun
merupakan bagian yang sangat signifikan dalam merekonstruksi pemikiran Hukum
Perkawinan di Indonesia. Sebagai bentuk kontribusi konseptual, filsafat hukum
memandang usia perkawinan ideal sebagai aspek genuine dalam membangun rumah
tangga dengan faktor kematangan psikologis yang dapat mengeliminasi
kecenderungan konflik (broken home). Pandangan atau pemikiran filsafat
hukum tentang usia perkawinan secara spesifik berkontribusi dalam mewujudkan
makna sakralitas perkawinan yang berkaitan erat dengan eksistensi manusia
sebagai makhluk yang paling mulia di antara mahkluk Allah SWT lainnya.
Oleh karena itu, untuk mencapai keluarga sakinah maka sakralitas
(kemuliaan, kesucian) lembaga perkawinan harus terjaga dalam pengembangan hukum
perkawinan. Rumusan konseptual ideal filsafat hukum mengenai usia perkawinan
juga berkontribusi dalam menciptakan generasi berkualitas bagi pengembangan
hukum perkawinan. Hal in berarti, pengaturan hukum perkawinan dengan ketentuan
usia 21 tahun akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya
adalah bahwa pada tingkat usia 21 tahun ini akan terbangun keluarga yang sehat
yang akan melahirkan generasi yang berkualiatas, tidak hanya dari segi lahiriah
tapi juga dari segi batiniah.
Semoga artikel yang di tulis oleh Dr. H. Andi Sjamsu Alam, S.H.,
M.H ini bermanfaat sekian terimakasih.
0 Response to "Makalah Usia Perkawinan Dalam Prespektif Filsafat Hukum"
Posting Komentar