Makalah Usia Perkawinan Dalam Prespektif Filsafat Hukum

 Perkawinan memiliki makna yang mulia dan sesuai dengan status yang disandang oleh manusia sebagai makhluk yang mulia di hadapan Sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT. Ditinjau dari aspek ontologis, dasar keberadaan perkawinan terletak pada perjanjian atau ikatan batin yang menjalin dua makhluk yang berbeda jenis; pria dan wanita, dari aspek epistemologis, perkawinan merupakan khazanah peradaban manusia yang pertumbuhan atau perkembangannya secara langsung atau tidak langsung dilandasi oleh ilmu pengetahuan, dan dari aspek aksiologis, perkawinan dipahami sebagai salah satu nilai kehidupan yang bersifat mendasar sehingga perkawinan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang berdimensi agama, etika, dan estetika.
Nilai religius perkawinan bersumber dari agama yang menetapkan perkawinan sebagai bibit pertama dan cikal bakal kehidupan masyarakat, serta aturan yang bersifat alami bagi alam semesta yang diciptakan Tuhan dalam rangka menjadikan kehidupan semakin bernilai dan mulia. Oleh karena itu, aqad atau ikatan dalam perkawinan,harus dipahami sebagai aqad yang memberikan keseimbangan hak serta kewajiban antara suami-istri, serta dijadikan wahana kreatif untuk membangun peradaban manusia yang adil dan beradab yang kita kenal masyarakat madani itu. Fungsi filsafat hukum adalah untuk menguji keefektifan berlakunya hukum positif melalui salah satu jalan mengukur kaidah-kaidah, doktrin-doktrin dan lembaga-lembaga sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Dalam evaluasi kritis filsafat hukum ditemukan sebuah rumusan konseptual ideal ketentuan usia perkawinan pada usia 21 (duapuluh satu) tahun untuk wanita dan pria.
Pandangan fungsi hukum sebagai tool of social engineering juga digunakan untuk merumuskan usia perkawinan yang bersifat ideal tersebut. Selain itu, juga digunakan ethos pembangunan Hukum Perkawinan Indonesia yang pada prinsipnya sangat luas dan membutuhkan pemikiran kritis dalam memahami fenomena yang berkembang dalam masyarakat. Ketentuan usia perkawinan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dengan menggunakan analisis filsafat hukum diketahui pula bahwa ketentuan itu mengidap persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Indikasi problematis usia perkawinan yang paling menonjol muncul ketika dihadapkan pada pasal 7 ayat (2) mengenai “dispensasi nikah” yang wewenang yuridis untuk keperluan itu diberikan kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sehingga dinilai mengurangi sakralitas perkawinan. Hukum Islam dalam pemahaman tersebut harus diakui sangat memperhatikan kemaslahatan umat (al-maslahat), karena Hukum Islam itu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat. Hukum Islam adalah sesuatu yang paling tinggi dan utama bagi masyarakat muslim. Relevansinya dengan usia perkawinan terletak pada pemaknaan konsep usia perkawinan ideal yang mengacu pada filsafat hukum Islam berlandaskan wahyu Allah SWT dalam al-Quran dengan memperhatikan sesungguh-sungguh aspek realitas dalam masyarakat. Merujuk pada ketentuan formal pendewasaan sebagaimana dikenal dalam KUH Perdata, maka 21 (duapuluh satu) tahun dapat ditetapkan sebagai usia perkawinan ideal.
Seseorang yang dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Asumsi yang harus dibangun mengacu pada dimensi yang komplementer, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi. Bahkan aspek-aspek ini seharusnya dimiliki calon suami-istri sebagai konsekuensi sense of responsibility, baik terhadap pribadi masing-masing maupun bagi keturunan dan lingkungan masyarakatnya. Pembedaan usia perkawinan dalam UU Perkawinan yang ada semakin membakukan peran dan status antara suami-istri dalam pola relasi yang tidak seimbang, dan pada akhirnya mendiskriminasikan wanita.
Oleh karena itu, Kesetaraan dari segi usia ideal, secara lebih tegas dapat dimaknai bahwa usia laki-laki, yaitu 21 (duapuluh satu) tahun harus sama dengan usia wanita. Masing-masing pasangan suami-istri berada pada usia 21 tahun dengan pertimbangan bahwa dari aspek psikologis, sosiologis, dan kesehatan, keduanya seimbang. Idealisasi usia perkawinan pada usia 21 tahun merupakan bagian yang sangat signifikan dalam merekonstruksi pemikiran Hukum Perkawinan di Indonesia. Sebagai bentuk kontribusi konseptual, filsafat hukum memandang usia perkawinan ideal sebagai aspek genuine dalam membangun rumah tangga dengan faktor kematangan psikologis yang dapat mengeliminasi kecenderungan konflik (broken home). Pandangan atau pemikiran filsafat hukum tentang usia perkawinan secara spesifik berkontribusi dalam mewujudkan makna sakralitas perkawinan yang berkaitan erat dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang paling mulia di antara mahkluk Allah SWT lainnya.
Oleh karena itu, untuk mencapai keluarga sakinah maka sakralitas (kemuliaan, kesucian) lembaga perkawinan harus terjaga dalam pengembangan hukum perkawinan. Rumusan konseptual ideal filsafat hukum mengenai usia perkawinan juga berkontribusi dalam menciptakan generasi berkualitas bagi pengembangan hukum perkawinan. Hal in berarti, pengaturan hukum perkawinan dengan ketentuan usia 21 tahun akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya adalah bahwa pada tingkat usia 21 tahun ini akan terbangun keluarga yang sehat yang akan melahirkan generasi yang berkualiatas, tidak hanya dari segi lahiriah tapi juga dari segi batiniah.

Semoga artikel yang di tulis oleh Dr. H. Andi Sjamsu Alam, S.H., M.H ini bermanfaat sekian terimakasih.

0 Response to "Makalah Usia Perkawinan Dalam Prespektif Filsafat Hukum"

Posting Komentar