40 Kaidah Ushul Fiqih



Dari dari 40 kaidah ini dapat disimpulkan hukum berbagai masalah yang tidak terhitung banayknnya walaupun kadang-kadang terdapat pengecualian-pengeculaian.
Kaidah pertama
الاجتهاد لا ينقدبالاجتهاد
Ijtihad tidak dibatalkan  oleh ijtihad”

Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang kemudian , sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hokum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini adalah karena :
1.        Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad pertama.
2.        Apabila suatu ketetapan hokum hasil ijihad dapat dibnatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hokum. Dan tidak adanya kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.

Berdasarkan kaidah ini, maka pabila suatu pengadilan telah memutuskan hokum  terhadap suatu peristiwa , kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa yang sama, pengadilan tersebut memutuskan hokum yang lai, maka hasil keputusan yang baru tidak merubah keputusan terdahulu, tetapi hanya berlaku pada peristiwa yang baru.
Contoh :
            Seorang hakim berdasarkan ijtihad telah mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun. Tetapi pada kesempatan yang lain dlam peristiwa yang sama dia mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman kurang dari 10 tahun. Maka dalam hal ini keputusan yang baru tidak merusak keputusan ynag terdahulu, artinya pelaku yang pertama tetap dihukum 10 tahun,  dan pelaku yang kedua tetap dihukum kurang dari 10 tahun.



Diresume oleh:
FarhatulAeni

Contoh lain :
1.      Seorang sembahyang dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat, kemudian pada waktu masuk sembahyang berikutnya berubah angapannya tetang kiblat, maka dia harus menghadapi arah yang dianggapnya kiblat dan tidak wajib mengqadla shalatnya yang pertama.
2.      Seseorang yang ijtihadnya telah menentukan sucinya salah satu dari bejana kemudian mengunakannya dan meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya, maka tidak boleh melakukan seperti anggapan yang kedua, tetapi harustayamum.
Catatan :
            Rusak keputusan ijtihad seorang hakim apabilaberlawanan dengan nash atau ijma’ atau qiyas jaly, atau menurut Al-Iraqy, berlawana dengan kaidah-kaidah yang kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya tidak berdasarkan suatu dalil.
Kaidah Kedua
اِذَااجْتَمَعَ االْحَلَا لُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَا مُ
“Apabila berkumpul antara yang halal dan yang haram, dimenangkan yang haram”.
Segolongan ulama mendasarkan kaidah ini pada suatu hadist :
مَاااجْتَمَعَ عَلَيْهِ الْحَلَا لُ وَالْحَرَامُ اِلَّاغَلَبَ الْحَرَامُ قَالَ الحَافِظُ اَبُوْالْفَضْلِ الِعرَاقِى : لَااَصْلَ لَهُ
“Manakala berkumpul yang halal dengn haram, maka dimenangkan yang haram”.
            Walaupun hadis diatas ini sanadnya dhaif, tetapi kaidahnya sendiri adalah benar sesuai perintah agama, yaitu untuk selalu berhat-hati, yakni upaya preventif sebelum terjadi pelanggaran yang lebih berat.
            Demikian pula apabil dua dalil bertentangan yang satu mengharamkan, dan yang lain menghalalkan, maka di dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA ditanya tentang uumnya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara, yang satu merdeka, yang satu budak, yang keadaanya menurut ayat An-Nisa :
وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَىْنَ الْاُ خْتَىَىْنِ
Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dan dua orang wanita bersaudara.”(hal 51-52)
Pertentangan antara dua hadis, yaitu :
لَكَ مِنَ الْحَائِضِ مَا فَوْقَ الْاِ زَارِ.
bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap istrimu yang sdang haid pada segala yang berada di atas kainpinggang”.
Dengan Hadis:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَىْءٍ اِلاَّ االنِّكَاحِ
perbutlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang haid) kecuali persetubuhan”.
            Hadits yang pertama menunjuk kepada hukum haram istri yang sedang haid berbuat sesuatu antara pusar dan lutut.
            Sedangkan hadits yang kedua memblehkan berbuat segala seuat terhadap istri yang sedang haid, kecuali bersetubuh.
اِذَاتَعَا رَضَ اْمَا نِعُ وَالْمقَتَضِىْ قُدِّ مَ الْمَا نِعُ
“Apabla berlawanan antara yang mencegah dan yang mengharuskan, didahulukan yang mencegah”. 
Contoh : Orang yang junub kemudian mati syahid, maka yang lebih sah ia tidak dimandikan. Bahkan apabila waktunya sempit atau airnya kurang untuk kesempurnaan mandi, haram memandikannya.(hal 53)

Kaidah keiga
الْإِىْثَارُبِالْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَهٌوفِى غَيْرِهَامَحْبُوْبٌ
“Mengutamakanorang lain dalam uruan ibadah adalah makruh, dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi.”
Asal dari kaidah ini adalah firman Allah :
فَا سْتَبِقُ الْخَيْرَاتِ.
berlomba-lombalah kamu sekalian didalam kebajikan.”(hal 55)

Kaidah keempat
اَلتَّابِعُ تَابِعٌ
“Pengikut tu adalah mengikuti”
Artinya : Sesuatu yang mengikuti kepada yng lain maka hukumnya adalah hukum yang diikuti.
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
اَتَّابِعُ لَايَفْرِدُبِالْحُكْمِ
Pengikutnya hukumnya tidak tersendiri”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untu yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak yang ada didalam kandungannya termasuk kedalam akad itu.
اَتَّابِعُ سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ
pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang dikuti”
            Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula huum yang mengikuti.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu, karena itu tidak disunnahkan shalat sunnah rawatib, kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya shalat sunnah menjadi gugur pula.
Dekat dengan kaidah diatas adalah :
اَلفَرْعُ يَسْقُطُ اِذَاسَقَطَ الْاَصْلُ
“cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu bebas (dari kesalahan), bebas pula penanggungannya; dan apabila dia jatuh (dinyatakan bersalah), salah pula penaggungnya, sebab penanggung adalah cabang dari yang ditanggung.
اَتَّابِعُ لاَيَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ
pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”.
Jadi yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.
Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, bik tempat berdirinya maupun gerakannya.
يُغْتَفَرُفِى التَّوَابِعِ مَالَايُغْتَفَرُفِى غَيْرِهَا
dapat dimaafkan dari hal-hal yang mengikuti, tidak dimafkan pada yang lainnya”.
            Dengan kaidah yang di atas;
يُغْتَفَرُفِى شَيْءٍضِمْنًامَالَايُغْتَفَرُفى غَيْرِهَا
“sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang lain,tidak dapat dimaafkan karena sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan;
يُغْتَفَرُفِى الثَّوَانِى مَالَايَغْتَفِرُفِى الْاَوَائِلِ
“dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi sah rujuknya, karena adanta rujuk setelah adanya nikah.(hal 57-60)
Kaidah kelima
تَصَرَّفُ الاِمَامِ عَلى الرَّعِيَّةِ منُوْطٌ بِالمَصْلَحَةِ
tharruf (tindakan) imama terhadap rakyat harus dihubungkan dngan kemaslahatan”.
            Tindakan dan kebikalsanaan yang ditempuholeh pemempin/penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan ayau diri sendii. Penguasa adalah engayom dan pengemban kesengsaraan umat.
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Syafi’I :
مَنْزِلَةِ الْاِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
keduduan imam tergadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.(hal 61).
Kaidah keenam
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
hukum-hukuman itu gugur karena syubhat”
            Suatu kasus yang belum bsa dbuktikan secara factual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memfonis pelaku tindak krimnalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti obyektf meyakinkan.
            Kaidah ini berasal dari sabda Nabi :
اٍدْرَاؤُاالْحُدُوْدِبِالشُّبُهَاتِ
hndarkanlah hukuman hukuman karena adanya syubhat”.
contoh: mengambil kendaraan ditempat perparkiran, karena cat dan merk sama, ternyata bukan.
اَلْكَفَّارَةُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan Ramadlan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.(hal 64)
Kaidah ketujuh
اْلْحُرُّلاَيَدْ خُلُ تَحْتَ الْيَدِ
Orang yang merdeka itu tidak masuk dalam kekuasaan”.
Contoh : Seandainya mengurung orang yang merdeka, dengan memperlakukannya dengan baik, kemudina da mati karena tertimpa tembok yang robohdan sebagainya, maka tidak wajib membayar ganti ruginya.(hal 65)



Kaidah kedelapan
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
yang engelilngi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.
Dasar darikaidah ini ialah hadis Nabi :
اَلْحَلَالُ بَيّنٌ وَالْحَرَامُ بَيْنَ وَبَيْنَهُمَااُمُوْرٌمُشْتَبِهَاتٌلاَيَعْلَمَهُنَّ كَثِيْرٌمِنَ النَّاسِ.فَمَنِ اتَّقَي الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَءَلِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَارَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يَوْشِكُ يَرْتَعَ فِيْهِ.
Yang halal telah jelas dan yang haram talah jelas, dan diantarakeduanya ada masalah-masalah mutsyabihat( yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berti ia halal membersihkan agama dan dirinya;dan barang siapa yang jatuh kepada keharaman, seperti seorang penggembala yang mengembala disekitar pagar dan larangan, dikhawatirkan akan melanggar (memasuk) ke dalam pagar”.(hal-67)

Kaidah kesembilan
اِذَاجْتَمَعَ اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ لَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَادَخَلَ فِى الْاخِرِغَا لِبًا
Apabla berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda makud dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain”.
Contoh : Apabila orang hadas kecl dab hadas besar (junub), maka cukup dengan bersucu saja, seperti kalau orang junub dan mandi.(hal 69)
Kaidah kesepuluh
اْعْمَا لُ الكلَامِ اَوْلَى مِنْ اِهما لِهِ
 Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama daripada menyia-nyiakannya”.
            Perkara itu ada kalanya jelas maksudnya, dan ada kalanya kurang jelas maksudnya. Terhadap yang telah maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai dengan yang dimaksud itu, dan terhadap yang belum jelasmaksudny, maka mengamalkan lebih baik daripada meniadakannya atau menyia-nyiakannya.
Contoh : Orang berwasiat membeekan hartanya kepada anak-anaknya, padahaal a sudah tidak mempunyai anak lagi kecuali cucu-cucunya, maka harta harus diberikn kepada cucu-cucunya.
اَلتَّأْ سِيْسُ اَوُلىَ مِنَ التَّأْكِيْدِ
Membuat dasar tu lebih utama dari pada memperkuat”.
Contoh : seorang laki-laki berkata pada istrinya : “engkau saya tolak, enkau saya talak” dengan tdak ada niat apa-apa dalam pengulangannya, maka yang lebih sah adalah diartikan sebagai ta’sis ( ucapan permulaan, bukan memperkuat).(hal 69)
Kaidah kesebelas
اَلْخَرَاجُ بِاالضَّمَانِ
Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menaggung kerugian”.(hal 70)
Kaidah kedua belas
اَلْخُرُوْجَ مِنَ الخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ
keluar dari khilaf itu diutamakan”.
            Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kidah ini ialah sabda Nabi SAW :
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَلِدِيْنِهِ
            Maka barang iapa yang menjaga diri dari syubhat (tidak jelas hukumnya), maka ia mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
            Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
            Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat yaitu :
1.                  Jangan sampai membawa khilaf yang lain.
2.                  Jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabit.
3.                  Hendaknya kuat dasarnya.(hal 73)


Kaidah ketiga belas
الدَّفْعُ اَقْوَى مِنَ الرَّفْعِ
Menolak itu lebih kuatdari pada mengangkat”
            Artinya menolak agar tigak terjadi itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi.
            Menjaga diriagar tidak saki, lebih utama daripada mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini adalah: adanya air sebelum shalat bagi orang yang tayamum, berarti mmencegah untuk melaksanakan shalat. Tetapi adanya di tengah-tengah shalat tidak membatalkan shalat.(hal 74)
Kaidah keempat belas
الرُّخْصُ لَاتُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
keringanan (rikhshah) itu tidak dihubungkan/dikaitkan dengan kemaksiatan-kemaksiatan”.
            Rukhshah diberikan adalah karena adanya sebab, namun apabila sebab itu ada kaitanny dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshah in tidak diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat itu bisa diberikan rukhshah.
            Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqashar dan menjama’, atau berbuka puasa. Sedang kalau berpergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan.(hal 75)
Kaidah kelima belas
الرُّخْصُ لَاتُنَاطُ بِالِثَّلِثِ
keringanan (rukhshah) tidak dikaitkan dihubungkan dengan syak (ragu-ragu)”.
Artinya orang ragu-ragu tentang dibolehkannya qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena yang asal ibadah harus dikerjakan secara sempurna.(hal 76)




Di Resume Oleh:
 Ahmad Fanani
Kaidah Keenam Belas
الر ضا با لشئ رضا بما يتولد منه

“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari sesuatu itu”
            Searti dengan kaidah ini ialah kaidah:
المتولد من ما ذ ون فيه لا اثرله

“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.
            Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, makaia harus menerima segala rentean persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cactnya berkembang lebih besar. Demikian pula membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari sakitnya binatang tersebut.
Kaidah Ketujuh Belas

السؤال معا د فى الجوا ب
“Pertanyaan itu diulangi dalam jawaban”
Jadi hukum dari suaru jawaban itu adalah terletak pada soalnya. Sehingga apabila seseorang hakim bertanya dengan maksud minta keterangan kepada seorang tergugat: “apakah istrimu telah engkau talak?”.  Apabila dijawab: “ya”, maka istri tergugat telah berlaku hokum sebagai wanita yang telah ditalak oleh suaminya. Dalam hal ini tergugat telah mengakui (ikrar) atas gugatan mudda’iy.

Kaidah Kedelapan Belas
لاينسب الى سا كت قول
ما كا ن اكثر فعلا كا ن اكا ن اكثر فضلا
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaannya”.
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:
اجرك على قد ر نصبك (رواه مسلم)
“Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu”.
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah, maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat, makin tambah keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama disbanding dengan secara disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuaqtan, diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik daeipada shalat dengan tidak qashar.
Kaidah Kedua Puluh
المتعد ى افضل من القا صر
“perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang terbatas untuk kepentingan sendiri”.
Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada kepda orang lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Imam Haromain dan ayahnya berpendapat, bahwa bagi yang melakukan fadlu kifayah mempunyai kelebihan daripada melakukan fadlu ain, karena dengan melakukan fadlu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran yang ada pada ummat.
Menurut imam Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat sunat, karena mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnat itu hanya manfaatnta pada diri sendiri.
Kaidah Kedua Puluh Satu
الفر ض افضل من النفل
“Fadlu itu lebih utama daripada sunnat”
Dasar  dari kaidah ini ialah Sabda Rasulullah SAW dalam salah satu Hadits beliau:
من تقر ب فيه بخصلة من خصا ل الخير كا ن كمن اد ى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كا ن كمن ادى سبعين فريضة فيما سواه
“Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah dalam bulan Ramadhan dengan salah satu perbuatan kebaikan (ibadah sunnah), maka dia sepertulan  menunaikan ibadah fardlu diluar bulan Ramadhan, dan barangsiapa nmelakukan satu ibadah fardlu dalam bulan Ramadhan, maka dia seperti menunaikan 70 ibadah fardlu diselain bhulan Ramadhan.”
Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan antara sunnah dalam bulan Ramadhan dengan 70 fardlu di luar Ramadhan, semua ini member pengertian bahwa fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.
Kaidah Kedua Puluh Dua
الفضيلة المتعلقة بذا ت العبا د ة اولى من المتعلقة بمكا نه

Keutamaan yang dipautkan dengan ibadah sendiri, lebih baik dari pada yang dipautkan dengan tempatnya”.
Pensyarah kitab Al-Muhadzdzab berkata: segolongan dari segolongan kami (Syafi’iyyah) menegaskan, bahwa kaidah ini adalah penting, dan kaidah ini difahamkan dari perkataan ulama-ulama yang terdahulu.
Diantara hokum yag ditetapkan berdasarkan kaidah ini ialah:
1.      Shalat fardlu di masjid lebih utama daripada diluar masjid
2.      Shalat sunnah dirumah adlah lebih uta daripada suhalat sunnah di  masjid.
3.      Thawaf dekat dengan ka’bah adlah sunnah, larikecil disunatkan dengan dekat pada ka’bah.
Kaidah Kedua Puluh Tiga
الواجب لا يتر ك الا لوا جب
“Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali karena sesuatu yang wajib”
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban yang mengahruskan untuk meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/melukai adalah tindak pidana haram.
Yang dikecualikan dari kaidah tersebu yaitut:
Sujud sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak boleh dilakukan.
Kaidah Ketiga Puluh Lima
ما ثبث با لشرع مقد م على ما وجب با لشرط
Apa yang telah tetap menurut syara’, didahulukan daripada apa yang wajib menurut syara”.
Ketetapan yang berasal dari syara’ harus didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia, sehingga karenannya tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan, atau nadzar shalat fardlu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suamrkata pada istrinya: “Saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk kepadamu”.
Perkataan member uang Rp. 10.000,- sebagai syarat untuk rujuk adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara’ telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
Kaidah Kedua Puluh Enam
ما حرم استعما له حرم ا تخا ذ ه
“Apa yang haram menggunakannya, haram pula memperolehnya”
Dasar kaidah ini ialah Sabda Nabi saw.
ومنوقع فى الشبها توقع فى الحرام . كا لرا عى يرعى حول الحما يوشك ان ير تع فيه (متفق عليه)
“Barangsiapa jauh pada barang syubhat, jauh pada haram, seperti pengembala yang mengembalakan disekitar larangan dikhawatirkan akan masuk pada larangan”
Maka oleh karena itu orang diharamkan menyimpan alat/sarana kemaksiatan. Menyimpan wadah/bejana terbuat dari bahan mas atau perak. Sutra dan mas bagi laki-laki. Sebab larangan menyimpan barang-barang tersebbut karna boleh jadi akan menggunakannya. Demikian juga dilarang memelihara anjing, selain anjing untuk menjaga keamanan dan berburu.
Kaidah Kedua Puluh Tujuh
ما حرم اخذ ه حرم اعطا ؤه
“Sesuatu  yang haram diambilnya, diharamkan pula memberikannya”
Dasar kaidah ini adalah Firman Allah:
ولا تعا ونوا على الا ثم والعد وان . (الما ئدة:3)
jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”.
            Jadi artinya apabila dibolehkan memberikannya, maka berarti menolong dan mendorong untuk mengambilnya, sehingga keduanya menjadi berserikat dalam dosa. Untuk itu apabila diharamkan mengambilnya,  maka untuk memberikannya juga diharamkan.
            Berdasarkan kaidah ini maka diharamkan member uang riba suap, upah pelacur, pemberian pada kahin dan sebagainya, sebagaimana diharamkan untuk mengambilnya.
Kaidah Kedua Puluh Delapan
المشغول لا يشغل
“Sesuatu yang sedang dijadikan obyek perbuatan tertentu, tidak boleh obyek perbuatan tertentu yang lain”.
Artinya apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek sesuatu aqad, tidak boleh dijadikan obyek aqad lain, karena itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
Contoh: Tidak boleh barang yang sudah dijadikan jaminan sesuatu hutang, kemudian dijadikan jaminan hutang yang lain.


Kaidah Kedua Puluh Sembilan
المكبر لا يكبر
“Yang sudah diperbesar tidak boleh dibesarkan”
Apabila suatu perkara sudah dibesarkan atau ditinggalkan hukumnya sampai pada hukum yang tertinggi, maka tidak dapat ditingkatkan lagi, atau ditambah/diperbesar dengan hukum yang dibawanya.

Kaidah Ketiga Puluh
من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحر ما نه
            “Barangsiapa yang berusaha menyegarkn sesuatu yang sebelum waktunya, menanggung akibat tidak mendapat sesuatu itu”.
            Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar orang tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu perbuatan  atau suatu tindakan dalam rangka untuk mendapatkan hakny sebelum waktunya. Sebab akibatnya dapat merupakan kegagalan.

Kaidah Ketiga Puluh Satu
النفل اوسع من الفرض
“Sunnah itu telah longgar dari pada fardlu”
            Suatu perbuatan yang disyariatkan sebagai perbuatan sunnah, pelaksanaannya lebih longgr daripada perbuatan yang disyari’atkan sebagai perbutan yang wajib.

Kaidah Ketiga Puluh Dua
الو لا ية الخا صة اقوى من الولا يةالعا مة
“Kekuasaan  yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang umum”
Suatu benda atau persoalan yang berada dibawah suatu kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus terghadap benda dan persoalan tersebut, kedudukan dan wewedangnya lebih kuat daripada pengusa umum, sehingga penguasa umum tidak dapat bertindak langsung terhadap benda atau persoalan yang ada penguasa khususnya, selama penguasa khususnya ada dan masih berfungsi.
Kaidh Ketiga Puluh Tiga
لاعبرة باالظن البين خطؤه
“Tidak dipegangi sesuatu (hukum) yang berdasarkan pada yang jelas salahnya”
            Arti dhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu pendapat yang lebih cenderung kepada tetapnya atau benarna daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah ini ialah bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan pada dhon, tetapi kemudian jelas salahnya, maka hukum tersebut tidak berlaku atau batal.
Kaidah Ketiga Puluh Empat
 الا شتغال بغيرالمقصود اعراض عن المقصود
            “Berbuat yang buakn dimaksud, berarti berpaling dari yang dimaksud. (sehingganya karena batal yang dimaksud)”
Contoh: Orang bersumpah tidak bertempat tinggal pada suatu rumah.kalau setelah bersumpah itu dia masih mondar-mandir dirumah itu,berarti dia telah melanggar sumpahnya. Tetapi kalau dia mondar-mandir itu karena sibuk mengumpulkan barang-barangnya karena  keindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.
Kaidah Ketiga Puluh Lima
 لاينكرالمختلف فيه رانما ينكر المجمع عليه
            “Tidak diingkari perbuatan yang diperselisihkan (hukum haranmya), dan sesungguhnya yang diingkari ialah yang telah disepakati (hukum haramnya) ”.
Menurut kaidah ini sesorang tidak dianggap berbuat perbuatan yang munkar, sehingga karenanya wajib diingkari (dilarang) kalau perbuatan yang dikerjakan itu okum haramnya diperselisihkan.Tetapi baru dianggap munkar dan wajib diingkari (dicegah) kalau perbuatan tersebut keharamannya telah disepakati.
Kaidah Ketiga Puluh Enam
 ىدخل القوي على الضعيف ولاعكس
“Yang kuat mencakup yang lemah, tidak sebaliknya”.
Suatu oerkara yang dituntut, baik untuk mengerjakan atau untuk meniggalkan, dengan tuntutan atau hukuman yang lebih berat dapat mencakup perkara yang sejenis, yang tuntutannya atau hukumannya lebih lemah, tetapi tidak sebaliknya, yakni yang tuntutannya lebih lemah tidak dapat mencakup yang tuntutannya lebih kuat.
Berdasarkan kaidah ini diperbolehkan melakukan ibadah haji sekaligus umroh, tetapi  tidak boleh melakukan ibadah umroh sekaligus haji.
Kaidah Ketiga Puluh Tujuh
يعتفرفى الو سا ئل مالا يعتفر رفى المقاصد
“Dimaafkan yang pada sarana, tidak dimaafkan yang pada maksud”
            Pengertiannya adalah, bahwa sesuatu yang harusada pada pa yang menjadi maksud haruslah dipenuhi, sedangkn pada cara untukmencapai maksud dapat dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau mengurangi.
Kaidah Ketiga Puluh Delapan
 الميسور لايسقط بالمعسور
            “Yang mudah dilaksanakan, tidak gugur/ditinggalkan karena adanya yang sukar dilksanakan”
            Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi saw:
اذا امرتتكم بامر فأ توامنه ماستطعتم
“Apabila aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah menurut perintahmu”
            Setiap amalan dalam syara’ harus dilaksanakan menurut daya kemampuan si mukallaf.
            Berdasarkan kaidah ini, ulama Syafi’iyyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa orang yang tidak dapat menutupi auratnya, shalatnya harus dengan duduk, artinya karena tidak dapat menutup aurat, maka gugurlah kewajiban shalat dengan berdiri.
Kaidah Ketiga Puluh Sembilan
مالايقبل التبعيض فا ختيا ربعضه كا ختيا ر كله واسقا ط بعضه كا سقا ط كله
            “Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagian seperti mengusahakan keseluruhannya, dan menggugurkan sebagian seperti menggugurkan keseluruhannya”
            Sesuatu barang atau pekerjaan atau keadaan ada kalanya dapat dibagi-bagi yang sebagian dapat dipisahkan dengan bagian yang laintetapi ada pula yang tidak dapat dibagi-bag, seperti thalak, qishas, merdeka dan sebagainya.

Kaidah Keempat Puluh
اذااجتمع السبب والغروروالمبا شرة قد مت المبا شرة
            Apabila berkumpul antara sebab, kicuhan dan pelaksana langsung, maka didahulukan pelaksanaan langsung ”
            Apabila dalam suatu peristiwa terdapat tiga factor yang mengakibatkan terjadinya, yaitu:
1.      Yang merupakan sebab bagi terjadinya peristiwa.
2.      Berwujud penipuan yang membantu terjadinya peristiwa.
3.      Perbuatan langsung yang mengakibatkan terjadinya peristiwa.
Maka dalam kasus ini, perbuatan yang langsung mengakibatkan  peristiwa itulah yang mula-mula harus dimintai pertanggungan jawabannnya.
Contoh:
Dalam suatu pembunuhan, bekerja sama tiga orang yang pertama sebagai penunjuk jalan, yang kedua sebagai pelaksana penipu si korban,untuk dating pada suatu tempat tertentu, sedangkanyang ketiga dialah yang langsung membunuhnya setelah berada di tempat yang ditentukan, maka dalam hal ini orang ketigalah yang pertama-tama harus dituntut lebih dahulu.

7 Responses to "40 Kaidah Ushul Fiqih"