Lembaga perkawinan ialah salah satu bentuk nyata yang dihasilkan
dari penataan dan sistematisasi organisasi hidup manusia dalam negara. Hal itu
terjadi dalam bentuk persekutuan hidup bersama antara suami dan istri melalui
perkawinan. Manusia, melalui lembaga perkawinan menyusun struktur hidupnya
dalam suatu organisasi rumah tangga yang kemudian disebut dengan keluarga.
Keluarga kemudian menjadi elemen penting bagi terbangunnya sebuah komunitas
manusia yang setiap elemen dalam komunitas itu berkomitmen untuk menaati norma-norma
dan aturan hasil kesepakatan bersama untuk secara bersama pula mencapai tujuan
hidup komunitas.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa perkawinan
bagi manusia ialahsuatu keniscayaan. Dalam konteks teologis, perkawinan adalah
sunnah atau ketentuan Tuhan, sebagaimana Nabi Adam a.s. diberi tempat oleh
Allah SWT di surga dan baginya diciptakan Hawa untuk mendampingi, menjadi teman
hidup, menghilangkan rasa kesepian, dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan
keturunan.
Sebagai perbuatan manusia dewasa, perkawinan merupakan peristiwa
yang dapat berlangsung setelah melalui pertimbangan baik rasional maupun
emosional atau mental. Selain dipikirkan dan diterima oleh akal sehat, semua
persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri.
Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan
memahami pasangan serta memahami arti perkawinan itu. Dalam tahap persiapan
perkawinan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal
yang penting dan perlu dijalani.
Dengan pertimbangan rasional dan emosional, perkawinan manusia
dewasa akan semakin mantap, bahagia, dan langgeng ketika pasangan saling
mengasihi dan saling menghargai. Cinta kasih harus diwujudkan dalam tingkah
laku sehari-hari. Bentuk cinta kasih yang paling sederhana adalah memberikan
ucapan terima kasih dan menyatakan permohonan maaf kepada pasangan. Terima
kasih atas perhatian dan kasih sayang yang diberikan serta mohon maaf atas
kesalahan yang dilakukan terhadapnya.
Perbuatan kawin hanya pantas dilakukan oleh manusia dewasa, dalam
pengertian manusia dewasa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Setiap
pasangan suami-istri yang dewasa memiliki level perkembangan psikologis yang
lebih matang dibandingkan dengan pasangan yang melaksanakan perkawinan sebelum
dewasa. Konsekuensinya, perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang belum
mencapai taraf dewasa sulit berpikir dan bertindak secara bertanggungjawab.
Keluarga sebagai basis inti masyarakat, adalah wahana yang paling
tepat untuk memberdayakan manusia dan membendung berbagai faktor yang mendorong
lahirnya berbagai bentuk frustrasi sosial. Pengertian ini bersifat aksiomatis
dan universal dalam pengertian bahwa masyarakat mana saja memerlukan wahana
pemberdayaan itu. Di Eropa misalnya, saat ini para sosiolog merasa gelisah
karena prediksi kepunahan bangsa. Betapa tidak, tatanan, sakralitas dan
antusiasme terhadap keluarga sudah tipis sekali di kalangan muda. Hal itu tentu
saja berdampak buruk terhadap angka pertumbuhan penduduk. Berbagai penyakit
sosialpun muncul. Mulai dari angka bunuh diri yang tinggi hingga anomali
kemanusiaan yang lain.
Dalam pembentukan keluarga, perkawinan mempunyai suatu tujuan untuk
mewujudkan ikatan dan persatuan. Adanya ikatan keturunan, diharapkan mempererat
tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar-bangsa. Selain fungsi sosial,
fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan tampak dalam pengertian bahwa
perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan, karena apabila
dibandingkan antara kehidupan bujangan dengan kehidupan orang yang telah
berkeluarga, maka terlihat bahwa yang telah berkeluarga lebih hemat dan
ekonomis dibandingkan dengan yang bujangan. Selain itu orang yang telah
berkeluarga lebih giat dalam mencari nafkah karena perasaan bertanggungjawab
pada keluarga lebih besar daripada para bujangan.
Secara ontologis, perkawinan dapat dipahami dan diketahui
keberadaannya dari perjanjian atau ikatan batin yang menjalin dua makhluk yang
berbeda jenis; pria dan wanita. Suatu ikatan batin merupakan hubungan yang
telah terjadi atau sesuatu yang tidak tampak, namun harus ada. Ikatan batin
tersebut hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena
itu, ikatan batin merupakan dasar fundamental dalam membentuk dan membina keluarga
atau rumah tangga. Ikatan batinlah yang menjadi petunjuk otentik bagi adanya sebuah
perkawinan. Lebih jauh, perjanjian atau ikatan batin itu merupakan manifestasi
dari nilai kemanusiaan yang bersifat agung dan mulia sehingga membedakan
manusia dengan makhluk-makhluk lain.
Hubungan antar-jenis makhluk manusia berjalan di atas aturan yang
sesuai dengan naluri kemanusiaan dan hal itu justru untuk menjaga kemuliaan dan
kehormatan manusia itu sendiri. Hubungan antar-jenis dari kalangan manusia
adalah hubungan yang agung, yang dibangun atas dasar kerelaan. Hukum Perkawinan
kemudian ditetapkan untuk mengatur hubungan itu. Berdasarkan pada hukum itu
pula, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa perkawinan adalah bentuk terbaik
untuk menyalurkan naluri antara pria dan wanita.
Identitas eksistensial atau keberadaan manusia berkembang melalui
Hukum Perkawinan; pria menjadi suami, sedangkan wanita menjadi istri. Lebih
lanjut, dengan Hukum Perkawinan, manusia menyalurkan nalurinya dalam melahirkan
keturunan yang akan menjamin keberlangsungan eksistensial manusia di dunia ini.
Pada saat yang sama atau ketika keturunan dilahirkan, identitas pria sebagai
suami berubah menjadi seorang ayah dan wanita sebagai istri menjadi seorang
ibu.
Secara epistemologis, perkawinan merupakan khazanah peradaban
manusia yang pertumbuhan atau perkembangannya secara langsung atau tidak
langsung dilandasi oleh ilmu. Pelaksanaan perkawinan akan sulit dilakukan
seandainya ilmu atau pengetahuan tentang perkawinan tidak ada. Tugas ilmu
perkawinan adalah menjawab masalah-masalah sekitar perkawinan sehingga manusia
dapat memperoleh kebenaran tentangnya.
Dasar epistemologis perkawinan dapat dengan mudah dipahami melalui
kajian nilai-nilai epistemik yang terkandung dalam pengertian perkawinan Islam
yang menggariskan bahwa perkawinan merupakan salah satu dari sunnah Rasulullah
Muhammad SAW. Arti sunnah sendiri adalah laporan mengenai masa lalu, khususnya
laporan seputar perkataan, perbuatan dan persetujuan diam yang ditunjuk
(taqrir) oleh Nabi Muhammad SAW.
Laporan perkawinan dalam bentuk sunnah pada hakikatnya merupakan
gambaran mengenai bagaimana keputusan dan cara pelaksanaan perkawinan Nabi
Muhammad SAW di masa lampau yang telah terjadi. Kriteria yang diterapkan untuk
menguji kebenaran laporan zaman silam itu adalah seperti kriteria untuk menguji
kesaksian para saksi di lembaga peradilan.
Perkawinan dari aspek aksiologis adalah salah satu nilai kehidupan
yang bersifat mendasar. Oleh karena itu, untuk membicarakan aspek aksiologis
perkawinan, hal itu tidak dapat dilepaskan dari dimensi agama, etika, dan
estetika yang disandang oleh sebuah perkawinan.
Dalam pandangan agama, perkawinan secara tegas dipahami sebagai
berkah yang diberikan Tuhan kepada manusia, terutama melalui jalan yang benar,
manusia dapat memenuhi hajat hidupnya yang paling fundamental, yaitu sebagai
makhluk yang bernaluri biologis.
Perkawinan tidak hanya tempat memuaskan nafsu seksual atau birahi,
melainkan secara etis merupakan hubungan kemanusiaan, hubungan saling membangun
untuk sebuah kehidupan yang damai dan sejahtera lahir-batin, serta hubungan
untuk melahirkan generasi manusia yang sehat, cerdas, dan berkeadaban dalam
kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Perkawinan tidak saja suci namun juga
indah. Sejak Tuhan menghendaki persatuan antara pria dan wanita yang diwujudkan
secara mendalam di dalam perkawinan, maka pada saat itu manusia terikat pada
sebuah perjanjian untuk saling setia. Secara filosofis, keindahan perkawinan
terletak pada kesetiaan ini.
Nilai religius perkawinan bersumber dari agama yang memandang
perkawinan sebagai bibit pertama dan cikal bakal kehidupan masyarakat, dan
aturan yang bersifat alami bagi alam semesta yang diciptakan Tuhan dalam rangka
menjadikan kehidupan semakin bernilai dan mulia. Pada hakikatnya perkawinan
merupakan hubungan batin, wujud cinta yang penuh kejujuran dan kerjasama serta
kehidupan yang penuh dengan ruh kebersamaan dan kasih sayang untuk membentuk
keluarga yang baik, sekaligus memakmurkan alam semesta. Dalam lalu lintas Hukum
Perdata, keabsahan perkawinan menentukan sejak kapan timbulnya hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak (suami-istri) dan hubungan hukum dengan pihak
ketiga serta kapan harta bersama dianggap mulai ada yang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap hubungan perikatan yang diadakan oleh pasangan
suami-istri.
Ketentuan tersebut merupakan suatu hal yang logis diupayakan untuk
menegakkan keadilan dalam hubungan suami-istri. Perkawinan tidaklah semata-mata
sebagai tempat memuaskan nafsu seksual atau birahi, melainkan lebih dari itu
merupakan hubungan kemanusiaan, hubungan saling membangun untuk sebuah
kehidupan yang adil sehingga melahirkan generasi manusia yang sehat, cerdas,
dan berkeadilan.
Kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu mashlahah, dalam
hal ini keadilan, menunjukkan segi formal dan tekstual dari ketentuan Hukum
Perkawinan tidak harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang
mengesahkan perkawinan, bagaimanapun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia
dalam kehidupan bersama. Pada saat yang sama, patokan legal-formal dan tekstual
suatu aturan perkawinan hanya merupakan cara bagaimana mashlahah keadilan itu
diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Hal ini berarti ketentuan
formal-tekstual yang datang dari manapun sumbernya harus selalu terbuka dan
atau diyakini terbuka untuk diubah atau diperbaharui sesuai dengan tuntutan
mashlahah, yaitu cita-cita keadilan.
Tulisan ini di tulis oleh; Dr. H. Andi Sjamsu Alam, S.H., M.H.,
0 Response to "Makalah Landasan Filosofis Perkawinan"
Posting Komentar