Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu Antropologi

Relevansi Antropologi dengan ketiganya adalah sama­-sama mempelajari tentang manusia. Antropologi berelevansi dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu yang berada. Misalnya Antropologi mempelajari tentang semua kebudayaan manusia dulu, sekarang, dan yang akan datang. Dalam Ontologi membahas segala sesuatu ada berdasarkan beberapa aliran, ada yang mengemukakan bahwa segalanya berasal dari satu sumber. Thales meng­ungkapkan kenyataan yang terdalam adalah substansi, yaitu air. Anaximander berkeyakinan bahwa yang merupa­kan kenyataan terdalam adalah Apelron yaitu sesuatu yang tidak terbatas, tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia. Filsuf modern yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran monisme.
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikir­an kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia; misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannya, jawabannya berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosial­nya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas tampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya berupa suatu “filsafat”. Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudaya­annya dan hubungannya dengan sesama manusia, tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah “antropologi metafisik” untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukakan antara lain: (i) monisme; (ii) dualisme; (iii) triadisme, dan (iv) pluralisme.
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme. Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan. Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh. Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafat, antara lain: (i) Aristoteles; dan (ii) Ernest Cassirer.
Aristoteles. Menurutnya Manusia adalah animal rationale. Karena, menurutnya, terdapat beberapa tahap perkembangan:
1.        Benda mati (→ tumbuhan → binatang → manusia).
2.        Tumbuhan = benda mati + hidup (→ tumbuhan memiliki jiwa hidup).
3.        Binatang = benda mati + hidup + perasaan (→ binatang memiliki jiwa perasaan).
4.        Manusia = benda mati + hidup + akal (→ manusia memiliki jiwa rasional).
Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial. Manusia adalah “makhluk hylemorfik”, terdiri atas materi dan bentuk-bentuk.
Ernest Cassirer. Manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Telah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam kritik­nya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana fenomena-nya ia tidak tahu.
Mempelajari Antropologi diperlukan suatu ilmu pe­ngetahuan, informasi, penalaran, maka disinilah peran Epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Dikatakan bahwa sifat pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik dan Antropologi yang mempelajari sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.


Related Posts :

0 Response to "Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu Antropologi"

Posting Komentar