Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Thhun 1974, bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. I Tahun 1991), menyatakan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan ghalidan)
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibada, yang bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.
Menurut Hukum Islam suatu perkawinan dapat batal (neiting ) atau fasid ( dapat
dibatalkan / vernietigbaar). Perkawinan yang melanggar larangan yang bersifat
abadi, yakni yang berkaitan dengan hukum agama dalam perkawinan, maka
pembatalannya bersifat abadi. Sedang yang melanggar larangan yang bersifat
sementara, yakni larangan yang adakalanya berhubungan dengan hukum agama, kemaslahatan
dan administrasi, maka pembatalannya bersifat sementara. Untuk mengetahui
sampai sejauh mana akibat hukum suatu akad nikah, maka perlu diketahui status
hukum akad nikah yang dilangsungkan itu sehubungan dengan lengkap atau tidaknya
rukun dan syarat yang wajib ada di dalamnya. Jika suatu akad perkawinan telah
memenuhi segala rukun syaratnya secara lengkap menurut yang telah ditentukan,
maka akad perkawinan yang demikian itu disebut akad perkawinan yang sah dan
berakibat hukum, yakni:
- Kehalalan hubungan seksual antara suami istri.
- Tetapnya hak mahar bagi istri menurut prosedur yang telah ditetapkan.
- Timbulnya hak dan kewajiban selaku suami istri.
- Tetapnya nasab anak yang dilahirkan oleh istri bagi suami.
- Keterbatasan keleluasaan istri.
- Timbulnya larangan kawin bagi istri yang terikat oleh tali perkawinan atau sebelum beridah setelah bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya.
Jika suatu akad perkawinan kurang satu atau beberapa rukun atau
syarat disebut perkawinan yang tidak sah. Tidak sahnya suatu akad perkawinan
dapat terjadi sebab tidak dipenuhinya salah satu di antararukun-rukunnya
disebut akad perkawinan yang batal, dan dapat pula terjadi sebab tidak dipenuhi
salah satu syaratnya disebut akad perkawinan yang fasid.
Dalam UU No. I Thhun 197 4 pembatalan perkawinan diatur dalam Bab
IV Pasal22-28, dalam bab ini diterangkan alasan-alasan pembatalan perkawinan,
dan para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan serta akibat hukum
dari dibatalkannya suatu perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan
perkawinan diatur dalam Bab XI, materi rumusannya hampir sama dengan yang
dirumuskan dalam Bab IV UU No. 1 Tahun l974.Yang penting untuk dicatat, rumusan
K H I lebih jelas teperinci pembedaan alasan pembatalan:
- pembatalan atas penyelenggaraan larangan, "batal demi hukum" (Pasal 70 KHI);
- pembatalan atas pelanggaran syarat, "dapatdibatalkan"(Pasal 71 KHI),
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama dalam
daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua
suami istri. Acara pembatalan perkawinan disamakan dengan acara untuk gugatan
perceraian. Pengadilan agama dalam memeriksa permohonan pembatalan perkawinan
memperlakukan ketentuan pembatalan perkawinan diajukan dalam suatu permohonan sehingga
akan berakhir dengan keputusan berupa penetapan (Beschikking) . Pembatalan
suatu akad perkawinan mulai berlaku setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku surut sejak berlangsungnya akad
perkawinan, kecuali terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu,
suami atau istri yang bertindak atas iktikad baik, serta orang ketiga sepanjang
mereka memperol dengan iktikad baik sebelum keputusan hukum yang tetap itu.
Pembatalan akad perkawinan berlaku terhadap segala bentuk akad perkawinan yang tidak
sah, baik setelah terjadi persetubuhan antara suami-istri maupun belum. Sambil
menunggu penyelesaian proses pembatalan perkawinan, maka sejak diketahui tidak
sahnya akad perkawinan itu suami-istri dilarang berkumpul agar tidak terjadi wati
syubhat arfiara keduanya. yakni persetubuhan yang diragukan sahnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1954.
0 Response to "Makalah Pembatalan Perkawinan"
Posting Komentar