BAB
II
PEMBAHASAN
1.
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM.
Beberapa
sumber hukum Islam adalah: al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Masih ada
hukum sumber-sumber hukum yang lain tapi masih diperselisihkan mengikat atau
tidaknya. Sumber-sumber tersebut diantaranya istihsan, istishab mursalah, ‘urf, madzhab sahabt.
Kemurnian
hukum islam disamping terletak dalam al-Qur’an juga terletak as-sunnah, ijma’
(mufakat atau kesepakatan umum) dan qias (persamaan) yang mana masing-masing
itu adalah sumber hukun islam, seperti yang telah disebutkan diatas. Dan
ternyata sumber-sumber tersebut saling berhubungan satu sama lain. sumber-sumber
pokok Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah, sedang ijma’ dan qias dalam
faktanya hanyalah merupakan prinsip-prinsip dan tambahan. Dan keempat sumber
tersebut pada umumnya dipergunakan sebagai sumber yang murni atau asli.
Masing-masing
keempat sumber tersebut tidak membentuk pembagian-pembagian yang tidak dapat
dibantah sebagai pandangan , dalam artian mereka saling berhubungan dan membawa
spirit yang sama dari wahyu. Sebagaimana terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat: 39
#sŒ$tBur
öNÍköŽn=tã
öqs9
(#qãZtB#uä
«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# (#qà)xÿRr&ur $£JÏB
ÞOßgs%y—u‘
ª!$#
4
tb%x.ur
ª!$#
óOÎgÎ/ $¸JŠÎ=tã
ÇÌÒÈ
Artinya: “Apakah
kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari
kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada
mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka”.
Hukum
Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam maka apabila hukum Islam bersumber
dari al-Qur’an, hadits, Ijmak, Qiyas dan beberapa sumber yang diperselisikan,
seperti: Ikhtisan, Istimbat, Marsihah, Urf, mazhab sahabat dan syariat sebelum
Islam, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut, Dan
di sini akan dibahas empat sumber yang telah disepakati.
A. Al-Quran Sebagai
Sumber Hukum
1. Pengertian
al-Qur’an
Dalam pengertian
mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
1) Aspek
Etimologis
Makna
kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata
qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan
oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari
sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling
mendekati kebenaran[1].
Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur
ÇÊÐÈ
#sŒÎ*sù
çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù
¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya: “Sesungguhnya
atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu
pandai membaca. Maka apabila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan
tersebut” (al-Qiyamah: 17-18)
2) Aspek
Terminologi
Ditinjau
dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan
oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan
al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan
al-kitab.
Kaitannya
dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an
yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan
diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan
akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.[2]
Dalam
definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut
Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan
kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga
diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.[3]
As-Shabuni
mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah
yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa
mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[4]
Dr.
Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman
Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam
beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.maka dari
beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan
bahwa Al-Qur’an secara terminologi sebagai berikut:
Al-Quran
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah sebagai mukzijat tersebut
bagi beliau dan dapat dijadikan hujjah
(argumentasi) untuk memperkuat kebenaranbeliau sebagai rasul Allah, Al-Quran
itu juga merupakan undang-undang yang mengatur seluruh umat manusia , dan
sebagai satu kegiatan ibadah bila kita membacanya.
$¯RÎ)
ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$#
$¯RÎ)ur
¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya: ”Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”.(QS.Al Hijir 9)
Keistimewaan
Al-Quran adalah, tetap dijamin keaslian dan kemurniyan, karna di samping Allah
yang menjaga dan memeliharannya, juga lafal dan maknanya langsung dari Allah,
berbeda dengan Hadis Qudsi, maknanya dari Allah sedangkan lafalnya (
redaksinya) dari Rasullah.
Dengan
demikian hadis Qudsy, terjemahan Al-Quran dan Tafsirnya tida dapat disebut
Al-Quran dan membacanyapun tidak termasuk ibadah, walaupun tetap berfaedah bagi
pembacanya.
2.
Kehujahan
Al-Quran
Al-Quran merupakan
hujah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang ada didalamnya mengandung
undang-undanng yang harus ditaati, karna Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan
jalan Qat’I, yang kebenaraannya tidak boleh diragukan. Alasan lain ialah, bahwa
Al-Quran sebagai Mukzijat mampu menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru
Al-Quran Itu, dan memang teryata tidak ada yang bias menirunya, meskipun dulu
ada, seperti yang dilakukan Musailamah Al kadab.dan ayat-ayat ini memperkuat
peryataan tadi di atas.
ö@è% (#qè?ù'sù 5=»tGÅ3Î/ ô`ÏiB
ωZÏã «!$#
uqèd
3“y‰÷dr& !$yJåk÷]ÏB
çm÷èÎ7¨?r&
bÎ) óOçFZà2 šúüÏ%ω»|¹ ÇÍÒÈ bÎ*sù
óO©9
(#qç7ŠÉftFó¡o„ y7s9
öNn=÷æ$$sù
$yJ¯Rr&
šcqãèÎ7Ftƒ öNèduä!#uq÷dr& 4
ô`tBur ‘@|Êr& Ç`£JÏB yìt7©?$#
çm1uqyd
ÎŽötóÎ/ “W‰èd šÆÏiB «!$#
4
žcÎ)
©!$#
Ÿw “ωöku‰
tPöqs)ø9$#
tûüÏJÎ=»©à9$#
ÇÎÉÈ
Artinya: “Katakanlah:
"Datangkanlah olehmu sebuah Kitab dari sisi Allah yang Kitab itu lebih
(dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al Quran) niscaya Aku
mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar".Maka jika mereka
tidak menjawab (tantanganmu) Ketahuilah bahwa Sesung- guhnya mereka hanyalah
mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada
orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun. Sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.(QS:Al Qashash 49-50)
Allah Berfirman
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$#
`Éfø9$#ur
#’n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/
#x‹»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw
tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/
öqs9ur šc%x.
öNåkÝÕ÷èt/
<Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ
Artinya:”Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al
Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain".(QS:Al-Isra’88)
Allah
Berfirman
÷Pr& šcqä9qà)tƒ çm1uŽtIøù$#
(
ö@è%
(#qè?ù'sù ÎŽô³yèÎ/
9‘uqß™ ¾Ï&Î#÷VÏiB ;M»tƒuŽtIøÿãB (#qãã÷Š$#ur
Ç`tB
OçF÷èsÜtGó™$#
`ÏiB
Èbrߊ «!$#
bÎ) óOçFZä. tûüÏ%ω»|¹ ÇÊÌÈ
Artinya:
“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran
itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh
surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang
kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang
benar".(QS: Hud 13)
Allah Berfirman
bÎ)ur
öNçFZà2
’Îû 5=÷ƒu‘ $£JÏiB $uZø9¨“tR 4’n?tã $tRωö7tã (#qè?ù'sù ;ou‘qÝ¡Î/ `ÏiB
¾Ï&Î#÷VÏiB
(#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#y‰ygä©
`ÏiB
Èbrߊ «!$#
cÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹ ÇËÌÈ bÎ*sù
öN©9
(#qè=yèøÿs? `s9ur (#qè=yèøÿs? (#qà)¨?$$sù u‘$¨Z9$# ÓÉL©9$#
$ydߊqè%ur
â¨$¨Z9$# äou‘$yfÅsø9$#ur ( ôN£‰Ïãé&
tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 ÇËÍÈ
Artinya:“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada
hamba kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu
dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan
batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.(ayat Ini merupakan tantangan bagi
mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun
dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa Karena ia merupakan mukjizat
nabi Muhammad s.a.w.). (QS:Al Baqarah 23-240
3.
Turunnya
Al-Qur’an
Turunnya
al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan
kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan
umat Muhammad.
Turunnya
al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang
sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul
dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah
menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.
4.
Penjelasan
Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum.
Penjelasan al-qur’an
terhadap hokum jinayah, contoh ayat yang menjelaskan tentang diyat (dalam surat
An-Nisa: 92) dan masalah ta’zir (dalam Al maidah: 34). Dan mh byak lg yng
bertentangan dengan jinayah.
5.
Macam-Macam
Hukum di dalam Al-Quran
Macam-macam hukum yang
terkandung dalam Al-Quran ada tiga macam
1)
Hukum-hukum
I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan,
yaitu yang erat kaitannya dengan masalh-masalah yang harus dipercayai oleh
setiap mukallaf, yang terkenal disebut rukun iman
2)
Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang
berhubungan erat dengan tingkah laku,
budi pekerti. Dan yang harus dipakai oleh setiap mukalaf sebagai hiasan hidup
untuk mencari keutamaan dan menghindarkan diri dari kehinaan
3)
Hukum-hukum
Amaliyah,yaitu hokum yang erat kaitannya dengan seluruh tindakan atau perbuatan
mukallaf, baik ucapan,perbuatan,prjanjian (akad)dan kegiatan lainnya dalam
hidup sehari-hari.
Ahkam
amaliah dibagi menjadi dua bagian,ahkam ibdah seperti sholat,puasa jakat dan
haji, dan ahkam muamalat seperti akad, hukuman,jinayah,dan lain-lain yang tida
termasuk ibadah, disebut hokum muamalat.
Adapun hukum muamalt
banyak lagi cabangnya dan barangkali terus berkembang seperti:
a.
Ahkamul Ahwalisy
Syakhshiyyah
b.
Ahkamul
madaniyah (Hukum Perdata)
c.
Ahkamul Jinayah
(Hukum Pidana)
d.
Ahkamul
Murafa’at (Hukum Acara)
e.
Ahkamul Dusturiyah
(Hukum Per Undang-Undangan)
f.
Ahkamul
Daulliyah (Hukum Kenegaraan)
g.
Ahkamaul
Iqtisodiyah wal Maliyat ( Hukum Ekonomi dan Harta Benda)
2. Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam
Yang Ke Dua
Pengertian
Sunah
Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi,kebiasaan, adat –
istiadat. Dalam terminology islam, sunnah berarti perbuatan, perkataan, dan
perizinan Nabi Muhammad SAW. (Af’alu, Aqwalu, dan Taqriru). Pengertian
sunnah tersebut sama dengan pengertian hadis. Al-hadis dalam bahasa Arab
berarti berita atau kabar. Namun demikian, ada yang membedakan pengertian
sunnah dengan hadis. As-sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi
Muhammad SAW. Yang asli; sedang hadis adalah catatan tentang perbuatan,
perkataan, perizinan Nabi yang sampai pada saat ini. Oleh karena itu, keduanya
menjadi sumber hukum dan sumber pedoman hidup bagi setiap muslim. Namun perlu
diungkapkan bahwa tidak semua hadis mesti menjadi sumber hukum dan sumber
pedoman hidup. Sebab, ada hadis yang diterima (maqbul) dan hadis yang
ditolak (mardud). Oleh karena itu, harus diakui bahwa terminologi ilmu
dalam islam antara hadis dan sunnah dianggap identik.[5]
Apa yang terkandung dalam Al-Qur’an kemudian dijelaskan oleh
Rasulullah SAW, dalam bentuk lisan atau perbuatan. Bentuk-bentuk yang berkaitan
dengan syri’at ini dinamai Sunnah Rasul atau jalan Rasul, yang kadangkala
disebut dengan sunnah saja. Kata-kata Sunnah dalam fiqih Islam – selama tidak
ada embel-embel lain – dimaksudkan sebagai sunnah Rasul tadi. Inilah sumber
hukum yang kedua . lengkapnya, sunnah ialah semua yang diriwayatkan dari Rasul
Allah SAW. Baik perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan terhadap suatu pebuatan
yang dilakukan sahabat (qauliyyah, fi’liyyah, ataupun taqriyyah).
Dengan demikian, sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an adalah
As-Sunnah. As- Sunnah berfungsi sebagi penguat (mu’akkid) hukum yang
difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, serta penjelasan pengertian, pembatasan dari
keumuman, memberikan rincian dan sebagai hukum baru selama tidak termaktub
secara eksplisit maupun implicit dalam Al-Qur’am.
Fungsi sunnah
·
Sumber
hukum islam yang kedua
Sunnah adalah
sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan
diantaranya Surah Al- Anfal ayat 20.
Artinya: “ Hai
orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berpaling dari padanya, sedang kamu mendengar perintah – perintah-Nya”.
·
Menafsirkan
ayat Al-Qur’an.
Sunah berfungsi untuk menafsirkan
menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya menjelaskan
dasar-dasar permasalahan sesuatu maka hadis berfungsi untuk menjelaskan.
Sebagai contoh mengenai perintah shalat. Hadis menjelaskan, yaitu shalatlah
kamu sebagaimana Nabi Muhammad SAW. Menjelaskan shalat.
3. Ijma Sebagai Sumber Hukum Yang
Ke Tiga
a)
Pengertian Ijmak
Menurut
istilah Ahli Ushul,Ijma ialah :“Kesepakatan para imam mujtahid diantara umat
islam pada suatu masa setelah Rasululah wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah atau suatu kejadian “
Pada
masa Rasululah masih hidup, tida pernah dikataan Ijmak dalam menetapkan suatu
Hukum, karena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila hal-hal yang
belum jelas ayau bellum diketahui hukumnya, ijmak itu dapat terwujud ada empat
unsur:
1)
Ada sejumlah mujtahid
ketika terjadi suatu kejadian, karena kesepakatan (ijmak) itu tida munkkin ada
kalau tida ada sejumlah mujtahid , yang masing-masing mengemukakan pendapat
yang ada peyesuayan pandangan.
2)
Bila ada
kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum sara tentang suatu masalah
atau kejadian pada waktu terjadinnya, tampa memandang negri , kebangsaan atau
kelompok mereka.jadi, kalau mujtahid mekah , madinah, irak, Hijaj saja
umpamanya yang sepakat terhadap semua hukum syara tidak dapat dikatakan ijmak
menurut syara. Tidak dapat dikatakan Ijmak kalou bersipat Regional , tetapi
harus bertahap Internasional. Masalah munkin terjadi Ijmak atu tidak, lain lagi
persoalannya, karna ada diantara para ulama yang mengatakan munkin, dan ada
pula yang mengatakan tidak munkin
3)
Kesepakatan para
semua Mujtahid itu dapat diwajibkan dalam suatu hukum, Tidak dapat dikatakan
ijmak kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, juka mayoritas setuju,
berarti tidak setuju ,berarti tetap ada perbedan pendapat.
4)
Kesepakatan para
mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu , sehingga
diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
b)
Syarat Mujtahid
Mujtahid
hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat Syarat pertama, memiliki
pengetahuan sebagai berikut:
1.
Memiliki
pengetahuan tentang Al Qur’an.
2.
Memiliki
pengetahuan tentang Sunnah.
3.
Memiliki
pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki
pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga,
Menguasai ilmu bahasa.[6]
Selain
itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki
pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu
seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi,
seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:
pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia
harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan
pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[7]
c)
Kehujahan Ijmak
Kalau
semua Mujtahid telah berijmak atau sependapat menetapkan sutu hukum , maka
ijmak tersebut dapat dijadikan hujah
mengenai dalilnya telah dikemukakan terdahulu dalam surat An Nisa: 59.
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä
(#qãè‹ÏÛr&
©!$#
(#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB
(
bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs?
’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î)
«!$#
ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºsŒ
׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS An Nisa 59)
Lafal
Ulil Amri di dalam ayat tersebut bersifat umum, ulil amri dalam urusan dunia
adalah pimpinan (raja), sedangkan Ulil Amri dalam masalah agama adalah para
Mujtahid dan ahli Fatwa, beberapa ahli tafsir , terutama Ibnu Abas menafsirkan
bahwa, yang dimaksud Ulil Amri adalah “Ulama”. Ulama tafsir lainnya mengatakan
“Umara” atau penguasa bila diperhatikan secara cermat, maka kedua pengertian
itu adalah tepat menurut tempatnya, karna kedudukan ulama dan umara’, jarang ditemukan pada diri seseorang , dia
sebagai ulama dan dia juga sebagai umara’ seperti nabi Muhammad SAW.
Sebagai
penguat bahwa ijmak itu dapat dijadikan hujah adalah sabda Rasululah:
Artinya:
‘Umatku tidak akan berkumpul melakukan kesalahan”.
Artinya:”Allah
tidak akan mengumpulkan umatku berbuat kesesatan
Artinya:”Apa-apa
yang menurut pendapat umat islam itu baik, maka menurut Allah, itu juga baik.
4.
Qiyas Sebagai Sumber Agama Islam Yang Ke Empat
Apabila menghadapi suatu
maslah kontenporer, sering sekali kita tidak menemukan ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an, sunnah Rasul, ataupun Ijma. Cara menyelesaikan masalah tersebut
adalah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ada (telah diketahui)
hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kemudian menarik kesimpulan bahwa
ketentuan yang telah ada hukumnya tersebut dapat diberlakukan karena adanya
persamaan secara analogis. Cara semacam ini dalam terminology fiqih disebut
Qiyas.
Qiyas adalah
mempersembahkan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumnya dengan
suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan hukum
dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang
belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.
Kehujahan melalui metode analogis ini menurut jumhur ulama adalah sah,
oleh karena itu, dapat diterima sebagia hujjah syari’iyah. Artinya perbuatan
–perbuatan yang diqiyaskan itu dapat mempunyai kekuatan hukum asalakan
pernyataan kumulatif dari maslah tersebut dipenuhi. Namun demikian, menurut,
Ahmad Hanfi keberadaan qiyas sebagia sumber hukum masih diperselisihkan, tidak
seperti tiga sumber hukum sebelumnya, yang keberadaanya telah disepakati para
ulama.
Menurut Ahmad Hanafi, Al- Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber dan
dasar Syari’at Islam, sedangkan sumber-sumber yang selainya (Ijma’ dan Qiyas)
kurang tepat dikatakan sebagai sumber. Disamping tidak membawa aturan –aturan
dasar yang baru yang bersifat umum, keduanya lebih tepat disebut sebagai sbuah
metodelogi ketimbang sumber hukum. Sekalipun dan kenyataanya, Ijma’ dan Qiyas
itu merupakan cara pengambilan hukum hukum dari dua sumber utama dan kedua (
Al-Qur’an dan As-Sunnah ). Penggunaan keempat sumber hukum tersebut, harus
sesuai dengan urutan (berurutan atau tertib).
Allah
SWT. Berfirman dalam surat An- Nisa ayat 59:
Artinya:
“ Hai orang –orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Allah dan
orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Apabila kamu berselisih
paham dalam suatu hal, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasul
Allah (As-Sunnah) jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” ( Q.S
An-Nisa : 59)
Hal ini dijelaskan pula oleh sebuah hadis, yang menceritakan tanya
jawab antara Nabi Muhammad SAW. Dengan
Muadz bin Jabal ketika Muadz dilantik Nabi menjadi gubernur Yaman:
Artinya:
“ Bagaimana kamu memutuskan suatu perkara?”Kuhukumi dengan kitab Allah,”
jawabanya. Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?” Dengan sunnah
Rasulullah,” jawab Muazd. Jika engkau tidak temukan dalam Sunnah Rasul? Muadz
menjawab , “ Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan
meninggalkannya.” Rasulullah lalu menepuk dadanya seraya memuji sambil
berkata,” Al –Hamdulillah, Allah telah member taufik kepada utusan Rasulullah
sesuai dengan yang diridai Allah dan Rasul-Nya.”
Dalil Al-Qur’an dan hadis tentang Muadz bin Jabal diatas,
memberikan penjelasan kepada kita tentang cara penggunaan dalil (beristidhlal)
dalam berhujah, yaitu secara tertib berdasarkan urutan dan tertibnya.
Pertama-tama kita harus menggunakan dalil Al –Qur’an selama didalamnya terdapat
ketentuan mengenai hal yang dimaksud, baik secara eksplisit (termaktub
dengan jelas) maupun secara implisit (tersirat). Kalau masalah tersebut
tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, langkah selanjutnya adalah mencarinya dalam
Sunnah Rasul, yaitu Al-hadis. Kalimat yang menyebutkan taatilah Allah dan
taatilah Rasul adalah petunjuk bagi kita untuk mengikuti Al-Qur’an dan
mengikuti As-Sunnah. Kalau dalam kedua sumber tersebut tidak didapati, kita
harus mengikuti pendapat orang-orang yang mempunyai kekuasaaan (ulul amri).
Lafz ulil amri artinya pegangan segala urusan dan itu bersifat umum.
Oleh karena itu, ulul amri terdiri atas orang –orang yang mengurus
masalah duniawi seperti presiden, raja dengan para pembantunya serta lembaga
–lembaga kenegara lainya. Mereka juga terdiri atas orang-orang yang mengurus
maslah keagamaan seperti ulama, mujtahid dan lain-lainya. Oleh sebab itu, kalau
semua komponen dari ulil amri telah sepakat untuk menetapkan suatu
ketentuan hukum atas sautu perkara, seluruh rakyat menaatinya, seperti halnya
menaati perintah Allah dan Rasulullah.
Rukun Qiyas
Setiap
qiyas mempunyai empat rukun:
a. Asal (pokok).
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan),
atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat
menyerupakannya)
b. Far’u (cabang).
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang
hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang
diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).
c. Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki
untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d. ‘Illat.
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal.
Yang karena sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh
karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabaang itu
dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting
untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya.
Demikianlah gambaran ringkas tentang qiyas. Karena pembahasan di
sini hanya bersifat global maka pembaca masih sangat perlu melanjutkan kajian
ini dengan kajian yang dalam dan terperinci bila ingin mendapat pemahaman yang
menyeluruh dan mendalam
BAB III
KESIMPULAN
Demikian dari pembahasan di atas
dapat disimpulkan beberapa hal senbagai berikut :
1)
Bahwasannya Hukum ialah Firman pembuat syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan orangDewasa
yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu, atau menjadikansesuatu sebagai
adanya yang lain .
2)
Al-Qur’an kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi MuhammadSAW dan dimukilkan dengan jalan
mulawatir dan dengan bahasa Arab.
3)
Sunnah ialah segala yang dimukilkan dan diberitakan dari
Nabi SAW, baik berupa perkataan, ataupun
pengakuan ( Faqris ).
4)
Ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli Ijhhad pada
suatu masa mengenai suatuhukum syara’.
5)
Qiyas ialah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum
ada ketentuannya berdasarkan sesuatu yang sudah
ada ketentuan hukumnya
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Al-Amidi,
Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148
Ø As-Shabuni,
M. Ali, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
Ø Efendi,
Nur Ma’mun, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati.
2006, hlm. 15.
Ø Hamzah,
Muchotob, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Gama Media 2003. hlm 1-2.
Ø Hasbi
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra,
1999, hlm. 36-37.
Ø Khaliil
Al-Qattaan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2007, hlm 144-145.
Ø Mustofa,
Misbah, Shalat dan Tatakrama, al-Misbah, 2006, hlm. 65-67.
Ø Saleh,
Subhi, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
Ø Shihab,
M. Qurais, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007
[1] Subhi
Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
[2] Muhammad
Al-Khudori
[3] Al-Amidi,
Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148
[4] M.
Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum
Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
[5]
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika 2009, hlm 19
[6] Wahbah
al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476
[7] Abu
Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat
al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.
0 Response to "MAKALAH SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM"
Posting Komentar