Tauhid atau keesaan Tuhan telah ditafsirkan
secara berbeda oleh para ahli. Karena itu, maka kita dapatkan tauhid dalam
perspektif teologis, seperti yang tercermin dalam konsep tanjih al-shifat tauhid dalam
perspektif filosofis yang menyatakan bahwa pada diri Tuhan, esensi
dan eksistensi adalah identik. Demikian juga kita peroleh konsep tauhid dalam perspektif
sufistik. Yang terakhir inilah yang akan menjadi perhatian utama
pada bagian ini.
Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat “la ilaha ila Allah”
sebagai "tidak ada tuhan selain Allah, para sufi mengartikan kata “ilah” sebagai realitas,
sehingga kalimat syahadat itu bermakna tidak ada realitas (haqiqah) yang sejati kecuali Allah." Dari sini mereka memahami
hanya Allahlah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya adalah semu dan
nisbi. Ketika dikaitkan dengan wujud, maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada; Dialah realitas terakhir, yang berarti
wujud yang sejati. Karena itu terdapat identitas antara yang Hak, yaitu Tuhan
dan Wujud. Dia adalah satu-satunya wujud yang Hakiki, dan yang Hak adalah
satu-satu yang wujud. Dalam konteks inilah para sufi berbicara tentang kesatuan
wujud (Wihdat al-Wujild), di mana dinyatakan bahwa tiada lain yang wujud
kecuali Dia.
Pernyataan tiada yang wujud kecuali Dia bukanlah sekadar
permainan kata-kata atau basa-basi, tetapi betul-betul dihayati dan diyakini
sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Bahkan dalam
penghayatannya yang terdalam, seorang sufi akan kehilangan kesadaran dirinya.
Ia menafikan keberadaan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fana.
Setelah itu hanya kehadiran Tlrhanlah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam
hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang mereka sebut baqo, di mana
seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satusatunya wujud
yang hakiki. Dalam keadaan seperti inilah, al-Hallaj (w. 922) menyatakan: “Ana
al-Haqq,” Yang berarti "aku adalah Tuhan (Kebenaran)." Inilah inti
tauhid sufistik.
Tanpa mengetahui maksud dan latar belakang munculnya
pernyataan al-Hallaj di atas, salah paham terhadapnya sudah bisa dibayangkan.
Dalam kenyataan sejarah, al-Hallaj telah membayar pernyataannya itu dengan
nyawanya. Orang menuduhnya telah menjadi kafir karena pernyataan iru, sedangkan
ucapannya itu ditafsirkan sebagai kesombongan yang tak terampunkan, karena ia
telah mengadakan klaim ketuhanan. Ia telah mengaku dirinya sebagai Tuhan. Tetapi
orang yang mengerti apa arti yang sesungguhnya dari ungkapan tersebur, justru
akan melihat di dalamnya, sebuah ungkapan kerendahan hati (tawadhu).
Jalal al-Din Rumi (w. 1273) menafsirkan pernyataan al-Hallaj tersebur dengan
mengatakan: "Pernyataan aku Tirhan, adalah pernyataan yang merendah,
karena dalam hal ini, al-Hallaj telah menafikan wujud dirinya yang nisbi di
hadapan wujud Tuhan yang hakiki. Dalam pandangannya, hanya Dia yang wujudnya
hakiki, yang betul-betul ada, sedangkan wujud alam yang nisbi tidak lain
kecuali bayang-bayang-Nya. Sebaliknya, pernyataan "aku hamba dan Engkau
Tuhan” dipandang Rumi sebagai ungkapan yang justru menyombongkan, karena dalam hal
ini, seorang sufi telah mengafirmasi wujudnyayang nisbi sebagai yang
berhadap-hadapan dengan Wujud yang Mutlak, padahal keberadaannya tidak berarti
apaapa di hadapan Wujud yang Mutlak tersebut.
Pandangan tauhid orang-orang sufi yang seperti itu
telah melahirkan konsep-konsep wujud yang berbeda-beda, sekalipun jauh di
lubuknya yang terdalam terdapat kesatuan pengertian, kalau saja kita bisa
melepaskan diri kita dari perbedaan-perbedaan forrnalistik doktrin-doktrin
tersebut' Dengan demikian maka doktrin sufi yang kita kenal sebagai ittihad
(kesatuan mistik), di mana seorang manusia telah berhasil melalui perjalanannya
yang Panjang untuk bersatu dengan Tuhannya, atau doktrrn Hulul di mana
Tuhan digambarkan mengambil tempat dalam diri manusia, ataupun wihdat al
wujud di mana diyakini adanya identitas ontologis antata manusia dan Tuhan,
pada dasarnya adalah sama.
0 Response to "Tauhid Sufistik dalam Tasawuf"
Posting Komentar