BAB I
1. Sejarah Buku
Sebenarnya buku yang
membahas Hukum Perkawinan
cukup banyak, namun dari buku- buku tersebut belum ditemukan satu kajian serius
yang membahas Hukum- hukum Fiqh Islami dalam segala aspeknya terutama mengenai
persoalan nikah.
Namun sebagaian
dari teman- teman kami berpendapat, ada baiknya kami susun lagi sebuah buku
mengenai Hukum Perkawinan Islam yang
lebih lengkap isinya. Mengingat
persoalan ini cukup serius sekaligus menantang, maka kritik dan saran sangat
diperlukan untuk kebaikan buku ini.
2. Penulis Buku : Hj. Mulati, S.H.,M.H
3. Judul Buku : HUKUM PERKAWINAN ISLAM
4. Penerbit Buku : PT.
PUSTAKA MANDIRI
BAB
II
I.
BAB 1
1.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu.
Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang
manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke
pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasanganyang
dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan,
menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
2.
Beberapa asas hukum pernikahan
Dalam membicarakan larangan Pernikahan menurut
hukum islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: 1) asas absolut
abstrak, 2) asas selektivitas dan asas legalitas. Asas absolut abstrak, ialah
suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami istri itu
sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang
bersangkutan, Asas selektivitas adalah suatu asas dalam suatu Pernikahan di
mana seseorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan
siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia dilarangnya. Asas legalitas ialah
suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.
II.
BAB 2
1. Peminangan atau
Penyuntingan
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki
dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui
oleh kedua pihak. Meminang merupakan
adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan
juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan
hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita
semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar
janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan
dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan
hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon
istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga.
Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja.
Hadist Rasullullah
mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang:
"Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang
laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah
melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk
melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis
Riwayat Tarmizi dan Nasai)
Hadis Rasullullah
mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:
"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah
SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu
sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis
Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan))
III.
BAB 3
a.
Tujuan menikah
Tujuan
pernikahan dalam islam ialah untuk mendapatkan ketenangan, menciptakan kasih
sayang, keselarasan, harmoni, kkegembiraan, kecintaan antara laki-laki dan
perempuan, serta mengisi kehidupan dunia dengan melahirkan keturunanyang baik.
a. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri
Manusia yang Asasi Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk
memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan),
bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang
sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo,
dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
b. Untuk
Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan. Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam
Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan
kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur.
Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif
untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
c. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang
Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُود اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami
dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum
Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh
isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.”[Al-Baqarah :
229], Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan
syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila
keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian
jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian
jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya
kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar
suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum
ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena
itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami,
maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan
yang ideal, yaitu harus kafa-ah[1]
dan shalihah.
IV.
BAB IV
1.
Kafa-ah Menurut Konsep
Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang
tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu
menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan
saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya.
Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan,
kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara
kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga
yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya
diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur
dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla
memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin
atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat
taqwanya.
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
[Al-Hujuraat : 13],
Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi
keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan
pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan
mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an
dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena
hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.”
Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang
menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah
karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia
dan akhirat, Namun,
apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki
harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka
bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
Artinya : “Perempuan-perempuan yang keji
untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan
yang keji (pula). Sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik
untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…” [An-Nuur :26]
2.
Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang
laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula
wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah
adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika(suaminya)tidak
ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)…”[An-Nisaa’:34]
Lafazh
قَانِتَاتٌ dijelaskan
oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan
dunia adalah wanita yang shalihah.”
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ.
“Sebaik-baik
wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila
suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang
tidak disukai suaminya.”,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.
“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang
shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang
nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri
yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.”
Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :
a. Taat
kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
b. Taat
kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta
menjaga harta suaminya,
c. Menjaga
shalat yang lima waktu
d. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
e. Memakai
jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan
(tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah.
f. Berakhlak
mulia,
g. Selalu
menjaga lisannya,
h. Tidak
berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya
karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
i. Tidak
menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
j. Taat
kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
k. Berbuat
baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga
yang Islami akan terwujud.
Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.
Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.
3.
Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada
Allah.
Menurut
konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah
‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu
lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal
shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah
(sedekah).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.
“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan
isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat
keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita
melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia
(seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu
pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan
memperoleh pahala.”
4. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih.
Tujuan
pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk
melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa
Jalla:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau
isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari
pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada
yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya
sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang
berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah, Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu
anak).” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak, Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh
melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya
lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh
bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita
temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang
salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung jawab untuk mendidik,
mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan agama
Islam.
Tentang
tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai
salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang
meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan
mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam
5.
Tujuan lainnya :
1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat
kemanusiaan.
2. Mewujudkan keluarga
yang bahagia dengan dasar kasih sayang.
3. Memperoleh keturunan
yang sah.
4. Mempergiat mencari
rejeki dan memperbesar rasa tanggung jawab.
V.
BAB V
1.
Fungsi Perkawinan
Dalam sebuah perkawinan perlu adanya fungsi-fungsi yang harus dijalankan
dan bila fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan atau tidak terpenuhi maka tidak
ada perasaan bahagia dan puas pada pasangan. (Soewondo, dalam 2001) . Duvall & Miller (1985) menyebutkan
setidaknya terdapat enam fungsi penting dalam perkawinan, antara lain :
1. Menumbuhkan dan memelihara cinta serta kasih sayang.
2. Menyediakan rasa aman dan penerimaan.
3. Memberikan kepuasan dan tujuan.
4. Menjamin kebersamaan secara terus-menerus.
5. Menyediakan status sosial dan kesempatan sosialisasi.
6. Memberikan pengawasan dan pembelajaran tentang
kebenaran.
2.
Hukum-Hukum Pernikahan
a.
Pernikahan
hukumnya Wajib
Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, namun
nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah bagi dia
untuk kawin, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali
dengan jalan kawin.
Kata Qurtuby :
Orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya
jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan
kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya dia kawin. Allah berfirman
:
“ Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin
menjaga dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya,”
(QS. An-Nuur : 33).
“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : telah
bersabda Rasulullah saw, kepada kami : hai golongan orang-orang muda!
Siapa-siapa dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia berkawin, karena yang
demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan
barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri
bagimu”.(Ibnu Hajar Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).
b. Perkawinan
hukumnya Sunnah
Adapun
bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih
dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya
lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup sebagai
pendeta sedikitpun tidak dibenarkan islam. Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin
Abi Waqash bahwa Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya Allah menggantikan cara
kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita”. (Sayyid
Sabiq 6, 1996 : 23).
c. Perkawinan
hukumnya Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah
lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia
kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai
istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah
boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya kepada istrinya
atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman
:
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195). (Al-qur’an
dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 : 36)
d. Perkawinan
hukumnya Makruh
Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu
memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan
tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika karena
lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut
sesuatu ilmu.
e. Perkawinan
hukumnya Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk
kawin, maka hukumnya mubah.
VI.
Sejarah Pernikahan Makhluk Manusia
1.
Jenis-Jenis Perkawinan
a.
Zaman jahiliyah
Hubungan antara pria dan wanita dalam bentuk berpasangan sudah
dikenal sejak dahulu kala. Menurut sebuah Hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Abu Daud, yang dituturkan oleh isteri Nabi SAW
‘ Aisyah r.a. bahwa ada 4 ( empat ) macam bentuk perkawinan yaitu :
1)
Nikah, seperti yang berlaku sekarang ini
dimana si pria melamar kepada keluarga si wanita yang diinginkannya dengan
memberikan mahar lalu menikahinya.
2)
Nikahul istibdla yaitu restunya
seseorang, membiarkan istrinya ketika sedang suci dari haid untuk
berhubungan dengan seorang tertentu yang daripadanya ia menginginkan memperoleh
bibit keturunan yang diidamkannya misalnya bibit yang cerdas, anak
yang cantik dan sebagainya.
3)
Wanita menunjuk suami. Bentuk perkawinan ini dimulai
dari beberapa orang pria ( tidak sampai 10 orang ) berhubungan dengan seorang
wanita tertentu. Kemudian ketika wanita itu hamil dan melahirkan banyinya lalu
dipanggillah sejumlah pria yang telah berhubungan tadi untuk dipilih salah satu
menjadi suami.
4)
Pelacuran, yaitu seorang wanita menyediakan diri untuk
berhubungan dengan pria siapa saja. Bila wanita ini hamil dan melahirkan anak,
maka dipanggillah qafah yaitu ahli pengenal jejak atau nasab yaitu
suatu profesi
Selain yang
dituturkan Permaisuri Nabi Muhammad SAW di atas, dalam
sejarah di zaman jahiliyah juga dikenal bentuk lain yaitu nikahusyighar dan nikahul
badal. Perkawinan silang antara dua orang yang masing-masing
mempunyai wanita yang berada dalam perwaliannya tanpa ada mahar disebut nikahusyighar. Sedangkan nikahul
badal ialah pertukaran pasangan antara dua pasang suami istri.
Menurut hukum adat
jahiliyah, seorang pria dibenarkan mengambil isteri dalam jumlah
yang tidak terbatas. Kecuali itu, pria juga dapat menceraikan
istri-istrinya semau-maunya dan kapan pun juga tanpa resiko apa pun
atas perceraian itu.
b.
Perkawinan Pasca jahiliyah
1)
Monogami, adalah suatu sistem perkawinan di mana seorang
pria/wanita hanya boleh menikah dengan lawan jenisnya pada suatu
waktu tertentu.
2)
Poligami, yaitu suatu sistem perkawinan di mana seorang
pria/wanita dapat menikah dengan lebih dari seorang lawan jenisnya pada suatu
waktu yang sama. Bila seorang pria melakukan perkawinan dengan lebih
seorang wanita disebut poligini. Sebaliknya, seorang
wanita mempunyai lebih dari seorang suami dalam waktu
yang sama disebut poliandri.
Poliandri suatu fenomena yang jarang
ditemukan, tetapi dalam sejarah jenis perkawinan ini biasa dilakukan
oleh kelompok Khasa, Nair, Irawan, Coorg, Toda
dan Kota di India. Sedangkan jenis monogami
dan poligini sampai sekarang lazim dijumpai di banyak
negara. Poligini banyak dilakukan di Asia dan Afrika. Bahkan di
Afrika hukum adat yang berlaku mengijinkan bahkan mendorong pria memiliki
isteri sebanyak ia suka.
VII.
Hikmah Pernikahan
1.
Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan
ketenteraman
2.
Memelihara kesucian diri
3.
Melaksanakan tuntutan syariat
4.
Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan
negara.
5.
Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam
menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang
dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus
dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang
direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai
petunjuk dan pedoman pada anak-anak
6.
Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
7.
Dapat mengeratkan silaturahim
VIII.
BAB VIII
1. Hukum Nikah Mut’ah
a.
Devinisi nikah muth’ah
Yang
dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam
batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
Bentuk
pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali
atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu
tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari
empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah
disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah
kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh
bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal),
dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Jadi, rukun nikah mut’ah menurut Syiah Imamiah- ada empat
:
1)
Shighat, seperti ucapan :
“aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2)
Calon istri, dan
diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3)
Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu
genggam gandum.
4)
Jangka waktu
tertentu.
b. Nikah muth’ah pada masa pensyari’atan, antara boleh dan larangan
Nikah mut’ah, pada awal Islam -saat kondisi
darurat- diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari
Kiamat. Di antara
hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut’ah pada awal Islam ialah :
عَن الرَّبيِْع
بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله
عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ
إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ
قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ,
فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ
فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ ,
وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ
شَيْئاً ” .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian
melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka
, maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.
وَ عَنْهُ قَالَ
: أَََمَرَناَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ
دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika
kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengharamkannya atas kami”.
عَنْ سَلَمَةَ
بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ:
رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ
أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam
mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang
Hunain), kemudian beliau melarang kami”.
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam
melarang mut’ah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang
menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu
pengharaman mut’ah berbeda-beda.
Berikut ini
penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai pada
umrah qadha, perang Tabuk dan Haji Wada tidak lepas dari kritikan, dan tidak
dapat dijadikan pegangan. Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang
menerangkan pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota
Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut : Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa
perang Khaibar :
عَنْ مُحّمَّد
بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي
صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ
خَيْبَرَ
Dari
Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa
ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah dan daging
keledai pada masa Khaibar”.
c.
Hukum nikah muth’ah
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan
dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
• Dari al
Qur`an :
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ –
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ –
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab
disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan
perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
وَمَن لَّمْ
يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا
مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ
فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ
خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena
itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka
menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika
nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya
bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau
bersabar untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah
mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua
atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua
orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian.
• Dalil
dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil
haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`,
para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat
tentang haramnya nikah mut’ah. Di antara
pernyataan tersebut ialah :
1.
Perkataan Ibnul
‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2.
Imam Thahawi
berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan
tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju
dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan
tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.
3.
Qadhi Iyadh
berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali
dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”.
4.
Dan juga
disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma'
(maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”.
• Adapun alasan
dari akal dan qiyas, sebagai berikut :
1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah
diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia
tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2.
‘Umar telah
mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan
telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan
tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
3.
Haramnya nikah
mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di
antaranya:
1. Bercampurnya nasab, karena wanita yang
telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu
seterusnya.
2.Disia-siakannya
anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti
anak zina.
3.Wanita
dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan
sebagainya.
IX.
BAB IX
a.
HUKUM NIKAH SIRIH
Nikah Siri adalah nikah secara agama saja tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama. Jadi
setelah nikah tidak mempunyai buku nikah sebagai bukti bahwa pasangan tersebut
telah menikah. Nikah Siri tetap
sah menurut hukum Islam sepanjang terpenuhi syarat wajib dan rukun nikah.
1.
Rukun akad nikah dalam islam ada tiga,
yaitu yang akan dijelaskan dibawah ini: Adanya kedua mempelai yang
tidak memiliki penghalang keabsahan nikah seperti adanya hubungan mahram dari
keturunan, sepersusuan atau semisalnya. Atau pihak laki-laki adalah orang
kafir sementara wanitanya muslimah atau semacamnya.
2.
Adanya penyerahan (ijab), yang diucapkan wali
atau orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan kepada (calon) suami,
'Saya nikahkan anda dengan fulanah' atau ucapan semacamnya.
3.
Adanya penerimaan (qabul), yaitu kata yang
diucapkan suami atau ada orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan,
'Saya menerimnya.' atau semacamnya.
Adapun syarat-syarat sahnya nikah dalam agama
islam adalah:
1.
Masing-masing kedua mempelai telah
ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau sifat atau semacamnya.
2.
Kerelaan kedua mempelai. Berdasarkan
sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
"Al-Ayyimu (wanita yang pisah dengan suaminya karena meninggal atau cerai) tidak dinikahkan mendapatkan perintah darinya (harus diungkapkan dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak dinikahkan sebelum diminta persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam). Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya?' Beliau menjawab, 'Dia diam (sudah dianggap setuju)." (HR. Bukhori, no. 4741)
"Al-Ayyimu (wanita yang pisah dengan suaminya karena meninggal atau cerai) tidak dinikahkan mendapatkan perintah darinya (harus diungkapkan dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak dinikahkan sebelum diminta persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam). Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya?' Beliau menjawab, 'Dia diam (sudah dianggap setuju)." (HR. Bukhori, no. 4741)
3.
Yang melakukan akad bagi pihak wanita adalah
walinya. Karena dalam masalah nikah Allah mengarahkan perintahnya kepada para
wali.
FirmanNya, ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu"(QS. An-Nur: 32) Juga berdasarkan sabda-sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
FirmanNya, ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu"(QS. An-Nur: 32) Juga berdasarkan sabda-sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari
walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal."
(HR. Tirmizi, no. 1021), Dan hadits lainnya yang shahih.
4. Ada saksi
dalam akad nikah. Berdasarkan sabda
Nabi sallahu’alaihi wa sallam, “Tidak (sah) nikah kecuali dengan
kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadits ini juga
terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558) Sangat dianjurkan mengumumkan
pernikahan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam,
"Umumkanlah pernikahan kalian’ (HR. Imam Ahmad. Dihasankan dalam kitab
Shahih Al-Jami’, no. 1072).
Adapun syarat untuk wali, sebagai berikut:
a.
Berakal.
b.
Baligh.
c.
Merdeka (bukan budak).
Kesamaan
agama. Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan.
Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki atau
perempuan. Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir adalah, meskipun
berbeda agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad) tidak bisa menjadi
wali bagi siapapun.
5. Adil, bukan fasik. Sebagian ulama
menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian lain mencukupkan dengan syarat
sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat dengan kemaslahatan bagi yang
diwalikan untuk menikahkannya.
6. Laki-laki. Berdasarkan sabda Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam,
“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya.
Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita
pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri." (HR. Ibnu
Majah, no. 1782. Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298)
BAB III
PENUTUP
A.
Kelebihan
1.
Buku tersebut
ditinjau dari latar belakang penulisan dan tujuan penulisan sangat singkron,
benar-benar menjelaskan secara mendetail tentang pernikahan baik pengertian,
asas dan tujuan serta hukum-hukum baik peminangan dan kafa’ah.
2.
Dari segi
penulisan isi, karena merupakan karya tulis ilmiyah, dalam hal ini adalah
disertasi, ide pokok permasalahan disampaikan secara sistematis, sesuai dengan
kaidah-kaidah penulisan karya ilmiyah.
3.
Bahasanya mudah
dipahami dalam beberapa bab tertentu sesuai dengan tema kajian dalam bab
tersebut.
B.
Kekurangan
1.
Tampilan, dalam
hal ini cover buku tersebut tidak terlihat menarik, dan terkesan begitu klasik,
dan miskin warna.
2.
Pada bab 8
dalam buku ini, dalam membahas Hukum
Nikah Mut’ah, agak susah dipahami, harus beberapa kali mengulangi
membaca untuk bisa memahami maksud paragraf-paragrafnya.
3.
Tidak adanya
takhrij dalam beberapa hadits, baik bukhari dan muslim dan yang lain.
[1] sederajat, sepadan,
dan hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja.
Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.
0 Response to "Contoh Resume Buku Hukum Perkawinan Islam"
Posting Komentar