Ada beberapa unsur
dalam pertanggung jawaban pidana diantaranya yaitu:
1.
Mampu
bertanggungjawab
Dilihat
dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang
akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila
tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan
hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari
sudut kemampuan bertanggung-jawab maka hanya seseorang yang “mampu
bertanggungjawab” yang dapat dipertanggung-jawab (pidana)-kan.[1]
Dikatakan
seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya:[2]
1)
Keadaan jiwanya:
a. Tidak
terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);
b. Tidak
cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan
c. Tidak
terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh
bawah-sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena
demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam
keadaan sadar.
2)
Kemampuan
jiwanya:
a. Dapat
menginsyafi hakikat dari tindakannya;
b. Dapat
menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau
tidak; dan
c. Dapat
mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut
Kemampuan
bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke
vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan “berfikir” (verstandelijke
vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam
Pasal 44 KUHP adalah verstandelijke vermogens.[3]
2.
Kesalahan
Kesalahan
dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan
perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana
dan dilakukan dengan mampu bertanggungjawab. Kesalahan selalu ditujukan pada
perbuatan yang tidak patut. Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana
bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari:
1)
Kesengajaan
(opzet). Kesengajaan harus mengenai ketiga unsur tindak pidana, yaitu perbuatan
yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan
perbuatan itu melanggar hukum. Kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
a. Sengaja
sebagai niat (Oogmerk). Kesengajaan sebagai niat atau maksud adalah terwujudnya
delik yang merupakan tujuan dari pelaku. Pelaku benar menghendaki mencapai
akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana.
b. Sengaja
sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan semacam
ini, terwujudnya delik bukan merupakan tujuan dari pelaku, melainkan merupakan
syarat mutlak sebelum/pada saat/sesudah tujuan pelaku tercapai.
c. Sengaja
sadar akan kemungkinan (Dolus eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn) Kesengajaan
sebagai sadar akan merupakan terwujudnya delik bukan merupakan tujuan dari
pelaku, melainkan merupakan syarat yang mungkin timbul sebelum/pada saat/
sesudah tujuan pelaku tercapai. Pembagian atau jenis kesengajaan (dolus)
dihubungkan dengan sasaran yang dikehendaki oleh pelaku.
d. Dolus
determinatus adalah suatu kehendak untuk melakukan tindakan yang menimbulkan
suatu akibat oleh sasaran yang telah ditentukan.
e. Dolus
indeterminatus adalah suatu kehendak untuk menimbulkan suatu akibat yang
diderita oleh sasaran yang tidak ditentukan. X mengarahkan bedilnya kepada
kelompok manusia, tanpa menggunakan alat bidik
0 Response to "Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana"
Posting Komentar