Pasal 1 UU
Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat
diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai
bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya
bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib
yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan
laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih
mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari ajaran
Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa
juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami
dan istri.
Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu
” Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa
rahmah. ” Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam. Perbedaan
KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan.
Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ”
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama
Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.
Hal ini berbeda
menurut pasal 4 KHI yaitu ” perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam,
namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.
a.
Sekilas sejarah UU Nomor 1 Tahun
1974
Keinginan
memiliki undang-undang perkawinan telah ada semenjak Indonesia belum merdeka.
Pada waktu itu pernah dibicarakan di (Volkraads) yaitu semacam lembaga DPR pada
waktu zaman Hindia Belanda. Fungsi Volkraad pada waktu itu (pada tahun 1916
sebagai dewan penasehat dan pada tahun 1927 menjalankan fungsi legislatif).
Pada waktu itu anggota Volksraad ada sebanyak 35 orang, 15 diantaranya adalah
pribumi.
Kemudian
setelah kemerdekaan, pada tahun 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan
Perkawinan, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh Mr. Moh. Teuku Hasan. Akan
tetapi kerjanya tim tersebut tidak berhasil. Pada tahun 1961 dibentuk lagi tim
yang diketuai oleh Mr. Noer Persoecipto. Kemudian pada tahun 1966, MPRS
mengeluarkan TAP MPRS Nomor XXVII/1966 untuk menindaklanjuti RUU Perkawinan.
Pada tahun 1973 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyarankan kepada pemerintah
agar RUU Perkawinan segera dibahas kembali. Akhirnya pada tanggal 2 Januari
1974 UU Nomor 1 Tahun 1974 atas usulan pemerintah RUU disahkan oleh DPR.
UU
Perkawinan ini, menurut menteri Agama bagi agama Islam diambil dari
(Qur’an dan Hadis), bagi agama Hindu diambil dari Buku Law of Menual jilid 25
karangan Max Weber dan Kitab Manaha Dharma Satwa, bagi Agama Budha diambil dari
Kitab Tripitaka dan bagi agama Katolik diambil dari kitab Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Artinya UU Perkawinan merupakan UU yang berlaku bagi
keseluruhan agama di Indonesia.
b.
Sekilas tentang KHI (Kompilasi
Hukum Islam)
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) merupakan ijma’ ulama yang telah dirumuskan pada tanggal 2-5
Februari 1988. Pada akhirnya keluar Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan ditindaklanjuti
oleh Menteri Agama dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154/1991 yang isinya
untuk menyebarluaskan KHI di Instansi Pemerintah dan Peradilan. KHI terdiri
dari 3 BAB yaitu Bab I tentang Perkawinan, Bab II tentang Kewarisan, Bab III
tentang Perwakafan. Adapun yang menjadi Ketua Tim yang membahas Bab I
adalah M. Yahya Harahap, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung pada waktu itu) dan
anggotanya terdiri dari ulama, praktisi hukum dan tokoh masyarakat
0 Response to "Perbedaan tujuan perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI"
Posting Komentar