

1. Untuk memelihara
agama (Hifz Al-din)
Yaitu untuk menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi.
Agama diturunkan oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah
dan hablum minannas, sehingga manusia
akan sejahtera
dan tenteram
dalam kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Oleh karena itu
agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan mutlak bagi manusia.
2. Memelihara jiwa (Hifz al-Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan
memelihara jiwa manusia dalam arti
luas. Larangan membunuh manusia merupakan salah satu bentuk dari peran syariah
untuk memberikan kedamaian
dan kenyamanan dalam berkehidupan.
3. Memelihara akal (Hifz Al-Aql)
Yaitu kewajiban
menjaga dan
memelihara akal
sebagai anugerah Allah yang
sangat prinsip karena tidak diberikan
kepada makhluk selain manusia. Akal inilah di antara anugerah
Allah
yang paling utama, sehingga dapat
membedakan antara manusia dengan
makhluk lain dan dapat membedakan
antara manusia yang sehat jiwanya dengan manusia yang tidak sehat jiwanya
4. Memelihara keturunan
(Hifz Al-Nasl)
Yaitu kewajiban
menjaga dan memelihara keturunan yang baik karena dengan
memelihara keturunan, agama akan
berfungsi, dunia akan terjaga. Salah
satu bentuknya adalah hukum tentang pernikahan
yang telah
banyak diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.
5. Memelihara harta (Hifz Al-Mâl)
Yaitu kewajiban menjaga dan
memelihara harta benda dalam rangka
sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.
Selanjutnya, mari kita perhatikan uraian para pakar fikih yang menjelaskan
fikih secara terminologis berikut:
1. Asy-Syatibi menjelaskan
bahwa syariah sama dengan agama
2. Manna al-Qattan (pakar fikih dari Mesir) mengatakan bahwa syariah merupakan
segala ketentuan Allah Swt. bagi hamba-Nya yang meliputi akidah, ibadah,
akhlak dan tata kehidupan
manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.


Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syariah adalah
teks-teks suci yang bebas
dari kesalahan,
baik isi
maupun keautentikannya, yang darinya
bersumber pemahaman ulama yang mendalam
yang menghasilkan
kes- impulan hukum-hukum amaliah (fikih).
Upaya untuk memahami teks-teks suci
yang dilakukan oleh para
ulama untuk menghasilkan hukum sesuatu
inilah yang dikenal sebagai ijtihad. Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu
kualitasnya tidak bisa disamakan dengan
kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu tidak salah,
kalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini mengatakan bahwa syariah selaman-
ya bersifat benar, sedangkan fikih karena merupakan hasil pemikiran manusia
memungkinkan untuk benar ataupun salah.
Meskipun fikih
merupakan hasil ijtihad atau pikiran ulama, kita juga tidak
boleh meremehkan begitu saja karena para ulama dalam berijtihad
melakukannya dengan disiplin metodologi
keilmuan yang sangat ketat. Seperti
halnya dalam dunia kedokteran,
hasil ijtihad para ulama, walau tidak dapat dikatakan sama per- sis,
bisa diserupakan
dengan resep obat sebuah penyakit
yang direkomendasikan
oleh dokter berdasarkan keilmuan yang dikuasainya. Oleh karena itu, seorang
pasien yang awam dalam
ilmu kedokteran
hendaknya mengikuti saja resep yang
disarankan oleh dokter. Namun demikian, bukan berarti dokter adalah sosok yang tak
mungkin salah. Ia tetap sosok
manusia biasa yang mungkin juga
melakukan kesalahan. Nah, bagi
pasien yang gejala penyakitnya tidak mengalami perubahan untuk sembuh, bisa mencari pengobatan
baru ke
dokter lain yang lebih ahli
(dari dokter umum ke spesialis, misalnya)
sehingga tertangani dengan tepat, bukan
mengobati dirinya sendiri tanpa pengetahuan
yang memadahi. Sementara itu bagi
dokter lain yang memiliki
kemampuan dan kewenangan untuk mengecek
apakah yang dilakukan oleh seorang dokter
merupakan kesalahan malpraktik atau tidak,
bisa melakukan penelitian untuk
membuat kesimpulan dan menyatakan kebena-
ran atau kesalahan
suatu tindakan seorang dokter.
Sedikit berbeda dari kasus kedokteran, dalam
fikih, karena dasar berpijaknya
adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah,
setiap fatwa fikih yang dikeluarkan oleh ulama
bisa dipertanyakan atau ditelusuri
dasar berpijaknya dari
Al-Qur’an dan al-Sun- nah. Ketika sebuah fatwa
fikih
yang dikeluarkan itu ditemukan dasar berpijaknya
dalam kedua sumber tersebut,
tentunya dengan metodologi keilmuan
fikih
yang benar dan bisa
dipertanggungjawabkan, maka umat
pun akan
tenang melakukan fatwa tersebut sebagai sesuatu
yang benar
secara syar’i. Mengetahui
dasar ber- pijak sebuah fatwa inilah yang justru disarankan
dalam Islam, yang lebih dike- nal sebagai
ittiba’ (nanti akan dibahas tersendiri), bukan mengikutinya secara
membabi buta (taqlid). Sehingga
letak perbedan antara Syariah
dan Fikih
adalah sebagai berikut:
SYARIAH
|
FIKIH
|
Bersumber dari Al-Qur’an Hadis serta kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari keduanya
|
Bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh, tetapi tetap merujuk pada Al-
Qur›an dan Hadis
|
Hukumnya bersifat Qat i (Pasti)
|
Hukumnya bersifat zannŦ (dugaan)
|
Hukum Syariahnya hanya Satu (Universal) tetapi harus ditaat oleh semua umat Islam
|
Berbagai ragam cara pelaksanaannya
|
Tidak ada campur tangan manusia (ulama)
dalam menetapkan hukum
|
Adanya campur tangan (ijtihad) para Ulama dalam penetapan pelaksanan
hukum
|
Contoh Sederhana Perbedaan Syariah,
Fikih dan Bukan Fikih
Untuk memperoleh gambaran yang
bisa mempermudah
kalian membedakan syariah, fikih dan bukan fikih, mari kita perhatikan
ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi
terkait dengan wudhu berikut:
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur ......
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…. (al-Maidah: 6)
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ
ﺍﻟﻨُّﻌْﻤَﺎﻥِ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺣَﻤَّﺎﺩُ ﺑْﻦُ ﺯَﻳْﺪٍ ﻋَﻦْ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦِ ﺳَﻌِﻴﺪٍ ﻋَﻦْ
ﻣُﺤَﻤَّﺪِ
ﺑْﻦِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻋَﻦْ ﻋَﻠْﻘَﻤَﺔَ ﺑْﻦِ ﻭَﻗَّﺎﺹٍ
ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦَ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ ﺭَﺿِﻲَ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻳَﺨْﻄُﺐُ ﻗَﺎﻝَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ
ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ
ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺔِ
ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟِﺎﻣْﺮِﺉٍ ﻣَﺎ ﻧَﻮَﻯ ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ
ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﺎﺟَﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﺩُﻧْﻴَﺎ ﻳُﺼِﻴﺒُﻬَﺎ ﺃَﻭْ
ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻳَﺘَﺰَﻭَّﺟُﻬَﺎ ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎ
ﻫَﺎﺟَﺮَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu'man telah menceritakan kepada kami Hammad bin
Zaid dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqomah bin Waqqash mengatakan,
aku mendengar Umar bin Khaththab radliallahu 'anhu berpidato, dia mengatakan,
aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hai manusia,
hanyasanya amal itu tergantung niyatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai
yang diniatkan, barangsiapa hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya,, maka
hijrahnya dihitung karena Allah dan rasul-Nya, barangsiapa hijrahnya karena
dunia yang ingin diperolehnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya sekedar mendapat yang diniatkan."HADIST BUKHARI NO - 6439
Dari ayat dan hadis
di atas,
para ulama
fikih
merumuskan rukun wudhu
ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala dan
membasuh kaki, serta dilakukan
dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis keti- ka
memulai sebuah perbuatan (dalam hal
ini wudhu),
sedangkan setelah itu dari membasuh muka sampai dengan kaki diperoleh dari Al-Qur’an. Sementara itu . tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa huruf wawu pada surat al-Maidah
di atas menunjukkan urutan. Ketika terjadi perbedaan antar ulama
fikih, apakah niat itu dilafadzkan
ataukah cukup dalam hati, maka
perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya
tidak sampai menghilangkan keabsahan wudhu
yang dilakukan seseorang, dan masih bisa
dikategorikan memiliki dasar berpijak dari
Al-Qur’an maupun sunnah Nabi
(sebagai syari’ah). Sedangkan contoh pendapat
yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman
yang mendalam atas
Al-Qur’an dan sunnah Nabi), adalah ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan seperti ini tidak disebut fikih, dan tidak sah
disebut sebagai wudhu. Demikian sekilas gambaran yang membedakan
syari’ah, fikih dan yang bukan fikih. Kajian yang lebih mendalam bisa kalian lakukan sam- bil belajar di Madrasah kalian.
Contoh yang
lain adalah
tentang perintah sholat dan tata
cara pelaksaannya.
Perintah sholat adalah masuk kategori
syariah, sementara tata cara pelaksaan sho- lat adalah masuk wilayah fikih. Sehingga tata cara pelaksaan shalat terutama pada
gerakan dan beberapa bacaannya
terkadang terjadi perbedaan antara ulama’ yang
satu dengan ulama yang lain. Sementara
gerakan yang tidak termasuk fikih adalah
memutar-mutar tangan pada saat setelah takbiratul
ikhram.
D. Ibadah dan
Karakteristiknya
1.
Pengertian Ibadah




Didalam Al Qur`an, kata ibadah berarti: patuh (at-tâ`ah), tunduk (al-khudu`), mengikut, menurut, dan doa. Dalam
pengertian yang sangat luas, ibadah
adalah se- gala sesuatu yang dicintai
dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maunpun per- buatan. Adapun menurut ulama Fikih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang
bertujuan memperoleh ridho Allah dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat.
2.
Dasar tentang ibadah dalam Islam
Dalam Al-Qur’an banyak ayat tentang dasar-dasar ibadah sebagaimana beri- kut di bawah ini :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. ( Q.S. Adz
Dzariyaat: 56 )
$pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Y9$# (#r߉ç6ôã$# ãNä3/u‘ “Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇËÊÈ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,( Q.S. Al-Baqarah : 21 )
3.
Macam-macam Ibadah
Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi 2 yakni : ibadah khassah (khusus)
atau mahdah dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah.
a. Ibadah mahdah adalah ibadah yang khusus berbentuk
praktik atau perbuatan
yang menghubungkan antara hamba dan Allah melalui cara yang telah
ditentukan dan diatur atau
dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Oleh
karena itu, pelaksanaan dan bentuk ibadah
ini sangat
ketat, yaitu harus sesuai dengan
contoh dari Rasulullah
seperti, shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Adapun
ibadah ghairu mahdah adalah ibadah
umum berbentuk
hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Ibadah
ini tidak ditentukan cara
dan syarat
secara detail, diserahkan kepada manusia
sendiri. Islam hanya
memberi perintah atau anjuran, dan prinsip-prinsip
umum saja. Misalnya
: menyantuni fakir-miskin,
mencari nafkah, bertetangga,
bernegara, tolong-menolong, dan lain-lain.
Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam 3 bentuk, yakni sebagai berikut:
a. Ibadah Jasmaniah
Ruhaniah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani misalnya shalat dan puasa.
b. Ibadah
Ruhaniah dan maliah, yaitu perpaduan
ibadah rohaniah dan harta seperti zakat.
c. Ibadah Jasmani, Ruhaniah, dan Mâliyah
yakni ibadah yang menyatukan ketiganya contohnya seperti ibadah Haji.
Ditinjau dari segi kepentingannya, ibadah dibagi menjadi 2 yaitu kepentingan fardi (perorangan) seperti shalat dan kepentingan ijtima`i(masyarakat) seperti zakat dan haji. Ditinjau dari segi bentuknya, ibadah ada 5 macam yaitu sebagai berikut :
a. Ibadah dalam bentuk perkataan
atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca
Al-Qur`an.
b. Ibadah dalam bentuk perbuatan
yang tidak ditentukan bentuknya, seperti
membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah.
c. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti
shalat, puasa, zakat dan haji.
d. Ibadah yang
tata cara
pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti
puasa, i`tikaf, dan ihram.
e. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang
berutang kepadanya.
4. Prinsip prinsip ibadah dalam Islam
Ibadah yang disyariatkan oleh Allah Swt. dibangun di atas landasan yangg
kokoh, yaitu :
a. Niat beribadah hanya kepada Allah
x‚$ƒÎ) ߉ç7÷ètR y‚$ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ
Hanya Engkaulah yang
Kami
sembah, dan hanya
kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan. (Qs. Al-Fatihah [1]:5)
b. Ibadah yang tulus kepada
Allah
Swt. semata haruslah bersih dari tendensi-
tendensi lainnya.
Apabila sedikit saja ada niatan beribadah bukan hanya karena
Allah, tapi karena sesuatu
yang lain,
seperti riya' atau ingin dipuji
orang lain, maka rusaklah ibadah itu.
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥’n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) Ó‰Ïnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u‘ ö@yJ÷èu‹ù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç„ ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u‘ #J‰tnr& ÇÊÊÉÈ
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya tuhan kamu itu adalah
tuhan yang maha Esa”. “Barangsiapa mengharap perjumpaan
dgn tuhannya
maka
hendaklah ia mengerjakan
amal saleh & janganlah
ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya” (QS Al Kahfi : 110)
c. Keharusan untuk menjadikan
Rasulullah Saw. sebagai teladan & pembimbing
dalam ibadah.
ô‰s)©9 tb%x. öNä3s9 ’Îû ÉAqß™u‘ «!$# îouqó™é& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöqu‹ø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ
“Sesungguhnya
telah
ada pada
(diri) Rasulullah itu suri
tauladan
yg baik
bagi kalian…” (QS Al Ahzab )
d. Ibadah
itu memiliki
batas kadar
dan waktu
yang tidak
boleh dilampaui.
Sebagaimana firman Allah Swt.:
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. ’n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
“Sesungguhnya
shalat kewajiban yg telah ditentukan waktunya” (QS An-nisa : 103)
e. Keharusan menjadikan
ibadah dibangun di atas kecintaan,
ketundukan, ketakutan dan
pengharapan
kepada Allah Swt..
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# šcqããô‰tƒ šcqäótGö6tƒ 4’n<Î) ÞOÎgÎn/u‘ s's#‹Å™uqø9$# öNåkš‰r& Ü>tø%r& tbqã_ötƒur ¼çmtGyJômu‘ šcqèù$sƒs†ur ÿ¼çmt/#x‹tã 4 ¨bÎ) z>#x‹tã y7În/u‘ tb%x. #Y‘rä‹øtxC ÇÎÐÈ
“Orang-orang
yg mereka
seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yg
lebih dekat (kepada Allah) & mengharapkan rahmat-Nya & takut akan
azab-Nya” (QS Al-Isra :57)
f. Beribadah dalam keseimbangan antara dunia akhirat, artinya proporsional
tidak hanya semata-semata kehidupan akhirat saja yang
dikejar tetapi kehidupan dunia juga tidak dilupakan sebagai sarana beribadah kepada Allah Swt.
$s)n=sÜR$$sù #Ó¨Lym !#sŒÎ) !$u‹s?r& Ÿ@÷dr& >ptƒös% !$yJyèôÜtGó™$# $ygn=÷dr& (#öqt/r'sù br& $yJèdqàÿÍh‹ŸÒム#y‰y`uqsù $pkŽÏù #Y‘#y‰É` ߉ƒÌムbr& žÙs)Ztƒ ¼çmtB$s%r'sù ( tA$s% öqs9 |Mø¤Ï© |Nõ‹y‚Gs9 Ïmø‹n=tã #\ô_r& ÇÐÐÈ
Dan
carilah pada apa yang
telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain)
sebagaimana
Allah
telah
berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS. Al-Kahfi:77)
g. Ibadah tidaklah
gugur kewajibannya pada manusia sejak baligh dalam keadaan
berakal sampai meninggal
dunia.
Ÿwur ¨ûèòqèÿsC žwÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡•B ÇÊÉËÈ
“…dan
janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam” (QS.
Ali’Imra[3] : 102)
5. Tujuan ibadah dalam Islam
Tujuan ibadah adalah untuk membersihkan
dan menyucikan
jiwa dengan
mengenal dan mendekatkan
diri kepada Allah Swt. serta mengharapkan ridha dari Allah Swt.. Sehingga ibadah disamping untuk kepentingan yang bersifat
ukhrawi juga untuk kepentingan
dan kebaikan
bagi diri
sendiri, keluarga serta
masyarakat yang bersifat duniawi.
6. Keterkaitan ibadah dalam kehidupan sehari-hari
Ibadah dalam
Islam menempati posisi yang paling
utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung
pada niatnya
masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas
manusia dapat bernilai ganda, yaitu
bernilai material dan bernilai spiritual.
0 Response to "Perbedaan Fikih dengan Syari’at"
Posting Komentar