Makalah Pembagian Waris Anak dalam Kandungan



BAB II
HAK WARITS ANAK DALAM KANDUNGAN ( MIIRATS  AL-HAML)

A.    Definisi Hamil

Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat. Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin). Menurut Mansur Ibn Yunus Ibn Idris al-Bahuti salah seorang ulama mazhab Hambali bahwa secara bahasa al-hamlu dengan difathahkan huruf ha kata itu digunakan kepada setiap apa yang ada di dalam perut yang hamil dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa yang maksud Miirastu al-haml disini adalah setiap anak yang ada di dalam perut wanita.[1]

Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat al-Ahqaf (46) 15


Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri".

Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki maupun perempuan.[2]

Salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat.

Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan sebagian ahli waris yang mengharuskan kita untuk segera membagi harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.

B.     Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan

Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi tiga persyaratan:

1.      Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika muwarist wafat.
2.      Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
3.      Matinya muwarist.[3]

Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Apabila lahir dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dan dapat diwarisi oleh orang lain; karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwatkan oleh beberapa ahli hadist, diantaranya:

1.      Hadis riwayat Abu Daud No 2531
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ إِسْحَقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ وُرِّثَ
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muadz, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Yazid bin Abdullah bin Qusaith dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila anak yang lahir (dalam keadaan) menangis, maka ia diwarisi."
2.      Hadis riwayat Sunan Ad-Darimi No 2997
أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا الْأَشْعَثُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ إِذَا اسْتَهَلَّ الصَّبِيُّ وُرِّثَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami Al Asy'ats dari Abu Az Zubair dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Jika seorang terlahir dalam keadaan menangis, maka ia mendapat warisan dan dishalati.
            Istihlal artinya teriyakan atau jeritan bayi yang baru lahir. Cirinya hidup adalah adanya suara, nafas, bersin atau yang serupa dengan itu. [4]
            Kata Istihlal artinya jeritan tangisan bayi, maksudnya ialah bila anak yang lahir itu hidup maka dia diberi warisan. Tandanya hidup ialah suara, nafas, bersin atau yang serupa itu. Apabila kandungan itu lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana yang dilakukan oleh ibu terhadapnya, menurut kesepakatan, dia tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi. [5]
            Dan adapun batas waktu keluarnya bayi dari dalam kandungan ialah maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
            Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
            Persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
                Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak seperti gerakan hewan yang dipotong maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada. Sedangkan persyaratan ketiga adalah matinya muwarist. Setelah  Muwarist ini mati hubungan dengan muwarist apabila hubungan dengan muwarist sebagai ayah, maka disyaratkan kawin dengan sah (sesuai dengan syari'at Islam) dan tidak ada penghalang  baik Al-hijab bi al- washfi  dan Al-hijab bi al-syakhshi.

C.     Keadaan Janin

Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:[6]
a.       Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
b.      Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
c.       Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
d.      Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
e.       Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.

Keadaan Pertama

Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).

Keadaan Kedua

Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung.
Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil arham.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada. Tabelnya seperti berikut:
  Aw dan fardhnya
6
9
Suami 1/2
 
3
Ibu 1/6
 
1
3 sdr. pr. seibu 1/3
 
1
Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2
 
1
Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan

Keadaan Ketiga

Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan) maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian dari pada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashabah.
Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam dua kategori (laki-laki dan perempuan).
Aw   dan fardhnya
24
Aw dan fardhnya
24
24
Istri 1/8
3
Istri 1/8
3
3
Ayah 1/6
4
Ayah 'ashabah
5
4
Ibu 1/6
4
Ibu 1/6
4
4
Janin lk. sbg. 'ashabah
13
Janin pr. 1/2
12
12
Sisanya satu (1), dibekukan.





Keadaan Keempat

Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

Inilah tabelnya.

6

6
Sdr. kdg. pr. ½
3
Sdr. kdg. pr. 1/2
3
Sdr. pr. seayah 1/6
1
Sdr. pr. seayah 1/6
1
Ibu (hamil) 1/6
1
Ibu
1
(Janin) sdr. seibu 1/6
1
(Janin) sdr. seibu 1/6
1

 

Keadaan Kelima

                                            
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

BAB II
PENUTUP

Ahir kata semoga pembahasan yang kami coba sajikan dalam makalah ini membuat rasa penasaran kita menjadi terjawab ketika suatu ketika menghadapi masalah yang demikian (ada ahli waris yang masih dalam kandungan atau berupa janin), dimana ketika dalam keadaan yang seperti ini tidak mempersulit bagian ahli waris yang lain.
            Kami berharap makalah yang coba kami bahas ini bermanfa’at untuk kita semua dalam menghadapi dan mencoba menjawab berbagi kesulitan dalam hal warisan yang tidak merugikan dan mengambil hak orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-dasar Ilmu Faraid. 2009.Bandung: Angkasa
Mansur Ibn Yunus Ibn Idris al-Bahuti, Kasyf al-Qana juz. 4' . 1402.Bairut: Dar al-Fikr.
Muhammad Ali ash-Shabuni diterjemahkan oleh A.M Basmalah, Pembagian Waris Menurut Islam, 1995. Jakarta:Gema Insani.
Muhammad Ibn Salim Ibn Dhuyani, Manar al-Sabiil, 1405 H .Riyadh : Maktabah al-Ma'arif,
Muhammad Ibn Abi Sahl Al-Sarakhsi, Al.Mabsuth Lisarakhsi, 1406 H Bairut: Dar al-Ma'rifah juz. 30 








[1]Mansur Ibn Yunus Ibn Idris al-Bahuti, Kasyf al-Qana' , (Bairut, Dar al-Fikr, 1402), juz. 4, hlm. 461
[2]Muhammad Ali ash-Shabuni diterjemahkan oleh A.M Basmalah, Pembagian waris menurut islam,  jakarta,gema Insani., 1995.hlm. 91
[3]Muhammad Ibn Abi Sahl Al-Sarakhsi, Al.Mabsuth Lisarakhsi, (Bairut: Dar al-Ma'rifah, 1406 H), juz. 30, hlm. 51 
[4]. Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Salim Ibn Dhuyani, Manar al-Sabiil, (Riyadh , Maktabah al-Ma'arif, 1405 H ), juz. 2, hlm. 29 
[5] Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-dasar Ilmu Faraid, Bandung,Angkasa, 2009, hlm 126
[6]Muhammad Ali ash-Shabuni, Lot. Cit., hlm. 91-94                   

0 Response to "Makalah Pembagian Waris Anak dalam Kandungan"

Posting Komentar