Makalah Pendapat Ulama Tentang Pembagian Mahar

BAB I
PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya.
Calon mempelai Pihak laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada  calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk, dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai peempuan. Hal ini berarti ketentuan garis hokum di dalam al-Qu’an dan al-Hadits mengenai jumlah maksimal dan jumlah minimal pemberian mahar dari calon mempelai dimaksud tidak ada ketentuannya.
Oleh karena itu, diserahkan kepada pihak mengenai jumlah mahar yang disepakati sehingga persoalan mahar dalam perkawinan antara satu suku dan suku lainnya di dalam masyarakat yang beragama Islam yang berbeda-beda. Namun prinsipnya adalah yang bermanfaan bagi pihak mempelai wanita.
Mahar bukan rukun dalam pelaksanaan perkawinan, melainkan salah satu syarat syahnya suatu hubungan perkawinan antara suami dan istrinya atau istri dengan suaminya.
B.            RUMUSAN MASALAH DAN BATASAN MASALAH
·         Apa yang dimaksud dengan Mahar ?
·         Bagaimana status hukum Mahar ?
·         Bagaimana perbedaan ulama mengenai Mahar ?
C.           TUJUAN
·         Mengetahui pengertian Mahar
·         Mengetahui status hukum Mahar
·         Mengetahui perbedaan ulama mengenai Mahar
·         Mengetahui syarat dan macam-macam serta hikmah pensyariatan mahar
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.             Pengertian Mahar
Mahar secara bahasa artinya maskawin.[1] Secara istilah, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan cinta kasih calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”.[2]Atau “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan budak, mengajar)”.[3]
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri. Allah SWT telah berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
Artinya: Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi)sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika ia menyerahkan kamu sebagian dari mas kawin dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS.An-Nisa’: 4)
Jika si istri telah menerima maharnya tanpa paksaan dan tipu muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, takut, maka tidak halal menerimanya. Allah SWT berfirman:
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ   y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ
Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain[4], sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara merek harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yangnyata?. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Q.S. an- Nisaa 20-21)
2.             Mahar menurut fiqh Madzhab
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang redaksinya, namun maksud dan tujuannya sama. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah:
االمال الذى تستحقه الزوجة على زوجها بالعقد عليها أو بالدخول بها حقيقة
Artinya:”Harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul
b) Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah:
بأنه ما يجعل للزوجة فى نظير الإستمتاع بها
Artinya:”Sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta’ (bersenang-senang) dengannya”.[5]
c) Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa mahar adalah:
بأنه ما وجب بنكاح أو وطء أو تفويت بضع قهرا
Artinya:”Sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya akad nikah atau watha’ atau karena merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa)”.
d) Golongan Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah:Suatu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan didalam akad atau yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaankedua belah pihak atau hakim, atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti watha’ syubhat dan watha’ yang dipaksakan”.
Dari berbagai definisi di atas nampak bahwa definisi yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta, sementara definisi yang dikemukakan oleh golongan lainnya tidak membatasi hanya pada harta saja. Dari sini dapat dipahami bahwa definisi-definisi selain golongan Hanafiyah, memasukkan jenis atau bentuk-bentuk lain selain harta dalam pengertian mahar, seperti jasa atau manfaat, mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an dan sebagainya.  Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Kalau berupa barang disyaratkan bahwa barang itu harus berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal dan suci. Sedangkan kalau berupa jasa atau manfaat haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik. Dari rumusan-rumusan definisi di atas juga dapat dipahami bahwa mahar itu merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Jadi, mahar itu benar-benar menjadi hak penuh bagi istri yang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan juga hak walinya. Keempat golongan ulama di atas sepakat bahwa mahar adalah hak calon istri dari calon suami yang muncul karena terjadinya akad nikah atau dukhul dengannya.
Adapun definisi yang dikemukakan oleh golongan Hanabilah menunjukkan adanya dua jenis (bentuk) mahar, yaitu yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan setelah akad. Mahar yang disebutkan atau ditetapkan pada waktu pemberlakuan akad nikah disebut mahar musamma. Di samping itu, dalam akad nikah boleh juga dan sah nikahnya jika tidak menyebutkan mahar. Mahar yang tidak disebutkan dalam akad nikah ini disebut dengan mahar mitsil.
Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mahar itu adalah suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri serta disebut dalam shighat akad nikah sebagai tanda persetujuan dan kerelaan untukhidup bersama sebagai suami istri.




3.       Syarat-Syarat Dan Macam-Macam Mahar
a.       Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[6]
1) Harta atau bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
2) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah karena semua itu haram dan tidak berharga.
3) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya di kemudian hari. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya sah.
4) Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
b.      Macam-Macam Mahar
Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
1) Mahar Musamma
Mahar musamma ialah mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati oleh kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai dan bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri.
Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya al-Fiqh al-Islamy wa adillatuhu mengatakan bahwa mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad sesudahnya.27 Berdasarkan redaksi di atas dapat dimengerti bahwa penetapan jumlah mahar telah ditentukan ketika akad nikah, akan tetapi diperbolehkan untuk membayar secara penuh sekaligus atau melakukan penundaan. Hal ini tentunya sangat didukung kerelaan kedua belah pihak.
Hal-hal yang termasuk ke dalam mahar musamma dalam akad adalah apa saja yang diberikan oleh suami untuk istrinya menurut adat sebelum pesta pernikahan atau sesudahnya, seperti gaun pengantin atau pemberian yang diberikan sebelum dukhul atau sesudahnya. Karena yang ma’ruf dalam masyarakat seperti yang disyaratkan dalam akad adalah secara lafdziyah. Pemberian itu wajib disebutkan pada saat akad. Suami harus menyebutkan kecuali bila disyaratkan untuk tidak disebutkan dalam akad. Menurut ulama Malikiyah, apa yang diberikan kepada istri sebelum akad atau pada saat akad dianggap sebagai mahar, meskipun tidak disyaratkan sebelumnya. Demikian juga barang yang diberikan kepada walinya sebelum akad. Seandainya istri ditalak sebelum dukhul, maka suami berhak mengambil separo dari apa yang telah diberikan. Adapun yang telah diberikan kepada wali setelah akad, maka hal itu telah menjadi milik wali secara khusus sehingga tidak ada hak bagi istri atau suami untuk mengambil darinya. Mahar musamma ini biasanya ditetapkan bersama atau dengan musyawarah kedua belah pihak. Berapa jumlahnya dan bagaimana bentuknya harus disepakati bersama dan sunnah diucapkan tatkala melaksanakan ijab kabul pernikahan, agar para saksi dapat mendengar secara langsung jumlah dan bentuk mahar tersebut.
Masalah pemberlakuan pembayaran mahar dengan kontan dan berhutang atau kontan dan hutang sebagian hal ini terserah kepada adat masyarakat dan kebiasaan yang berlaku. Tetapi sunnah kalau membayar kontan sebagian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penentuan mahar serta pemberiannya baik dengan cara memberi kontan atau menangguhkannya adalah suatu hal yang diperbolehkan, akan tetapi ketentuan dari mahar musamma ini telah ditetapkan ketika ijab kabul pernikahan. Keputusan musyawarah antara kedua belah pihak dapat menjadi tolak ukur pemberian mahar secara kontan ataupun penundaan.
2) Mahar Mitsil
a) Menurut ulama Hanafiyah,mahar mitsil adalah mahar perempuan yang menyerupai istri pada waktu akad, dimana perempuan itu berasal dari keluarga ayahnya, bukan keluarga ibunya jika ibunya tidak berasal dari keluarga ayahnya. Seperti saudara perempuannya, bibinya dari sebelah ayah, anak pamannya dari sebelah ayah, yang satu daerah dan satu masa dengannya. Keserupaan itu dilihat dari sifat yang baik menurut kebiasaan, yaitu: kekayaan, kecantikan, umur, kepandaian dan keagamaan. Karenanya, perbedaan mahar ini ditentukan oleh perbedaan daerah, kekayaan, kecantikan, umur, kepandaian dan keagamaan. Mahar akan bertambah dengan bertambahnya sifat-sifat tersebut. Maka harus ada keserupaan antara dua orang perempuan itu dalam sifat-sifat ini, agar mahar mitsil dapat ditunaikan secara wajib kepada perempuan itu. Apabila tidak ada perempuan yang serupa dengan istri bapaknya, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan perempuan yang menyerupai keluarga ayahnya berdasarkan status sosial. Apabila tidak ada juga, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan sumpah suami, karena ia mengingkari kelebihan yang didakwakan oleh perempuan.
Syarat penetapan mahar mitsil itu adalah memberitahukan dua orang laki-laki dan dua orang perempuan dengan lafadz kesaksian. Jika tidak ada saksi yang adil  maka yang dipegang adalah ucapan suami yang diambil sumpahnya setelah mahar tersebut disebutkan.
b) Menurut Hanabilah, mahar mitsil adalah mahar yang diukur dari perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabat, baik dari pihak ayah maupun daripihak
ibu. Seperti saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, anak bibi dari pihak ayah, ibu, bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Hal ini didasarkan pada hadis Ibnu Mas’ud tentang perempuan yang dinikahkan tanpa mahar (baginya mahar sebagaimana perempuan dari keluarganya), hal ini disebabkan karena kemutlakan kekerabatan itu mempunyai pengaruh secara umum. Apabila tidak ada perempuan-perempuan dari kerabatnya, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan perempuan-perempuan yang serupa dengannya di negerinya. Apabila hal tersebut tidak didapatkan, maka diukur berdasarkan perempuan yang paling mirip dengannya dari negeri yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Mazhab Hanabilah menambahkan lagi bahwa seandainya kerabat istri itu mempunyai kebiasaan meringankan mahar, maka keringanan (takhfif) itu diperhatikan juga. Jika mereka mempunyai kebiasaan menyebutkan mahar yang banyak, tetapi tidak ditunaikan sedikitpun maka hal itu dianggap tidak ada. Seandainya mereka mempunyai kebiasaan menunda pembayaran mahar, maka mahar mitsil harus pula diberikan secara tunda. Karena hal itu merupakan mahar perempuan-perempuan dari golongannya. Jika mereka tidak mempunyai kebiasaan menunda mahar, maka mahar mitsil itu harus diberikan secara langsung juga, karena merupakan pengganti barang yang rusak, sebagaimana harga barang-barang yang rusak. Apabila kebiasaan perempuan-perempuan itu berbeda secara langsung atau secara tunda atau berbeda jumlah maharnya, maka diambil ukuran yang tengahtengah darinya yang disesuaikan uang negeri setempat, karena hal itu dianggap adil. Dan apabila bermacam-macam, maka diambil ukuran yang paling besar sebagaimana yang umum berlaku. Untuk lebih memahami tentang pengertian mahar mitsil, Sayyid Sabiq menjelaskan pengertian mahar tersebut sebagai berikut: mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan yang sama dengan perempuan lain dari segi umur, kecantikan, kekayaan, akal, agama, kegadisan, kejandaan, dan negerinya pada saat akad nikah dilangsungkan. Jika dalam faktor-faktor tersebut berbeda, maka berbeda pula maharnya.
c) Menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah, mahar mitsil ialah mahar yang dipilih oleh suaminya berdasarkan mahar perempuan-perempuan yang serupa dengan istrinya menurut adat.
Menurut golongan Syafi’iyyah, mahar mitsil itu diambil dari mahar perempuan-perempuan dari keluarga ayah dengan berdasarkan pada hadis dari ‘Alqamah dengan berkata: Abdullah Ibnu Mas’ud dihadapkan dengan kasus perempuan yang dinikahi oleh seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu wafat, dan ia tidak membayar mahar untuk istrinya dan tidak pula dukhul dengannya. Dalam hal ini sahabat berbeda pendapat, maka Abdullah bin Mas’ud berkata: menurut pendapat saya baginya mahar seperti mahar perempuan-perempuan dari golongan ayahnya. Dia juga berhak mendapatkan warisan dan atasnya diwajibkan iddah. Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i menyaksikan Nabi SAW memutuskan hukum tentang buru’ anak perempuan kandung sebagaimana yang telah diputuskan olehnya.
Mahar mitsil itu diambil dari yang terdekat di antara perempuan dari keluarga ayah. Yang paling dekat di antara mereka itu adalah saudara-saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara kandung, bibi dari pihak ayah dan anak perempuan paman dari pihak ayah. Jika tidak ada perempuan dari pihak ayah, maka diambil perempuan yang terdekat dengannya dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu. Karena mereka-mereka itulah yang terdekat dengannya. Jika itu tidak ada, maka ambillah perempuan-perempuan yang satu negeri dengannya, atau kerabat-kerabat wanita yang menyerupainya.
Sedangkan menurut Malikiyah, mahar mitsil itu diambil dari kerabat istri yang keadaannya diukur dari keturunan, harta dan kecantikannya. Seperti mahar saudara perempuan kandung atau perempuan sebapak, bukan ibu dan bukan pula bibi yang seibu dengan ayah, yang demikian itu tidak dapat diambil sebagai ukuran mahar mitsil, karena keduanya kadang-kadang berasal dari golongan yang lain.
Keserupaan dalam mahar mitsil disepakati oleh semua mazhab sebagaimana disebutkan dalam mazhab Hanafiyah bahwa keserupaan itu dilihat dari aspek keagamaan, kekayaan, kecantikan, kepandaian (akal), kesopanan, usia, kegadisan atau kejandaan, negeri, keturunan dan kemuliaan leluhur. Hal-hal ini merupakan sesuatu yang dianggap sebagai kebanggaan bagi orang tua daripada kedermawanan, ilmu pengetahuan, kemurahan hati, keberanian, kebaikan dan kebangsawanan, yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam mahar. Sifat-sifat ini terlihat pada waktu akad pada nikah yang sahih dan pada saat bercampur (watha’) dalam nikah yang fasid. Karena itu merupakan waktu ditetapkannya mahar mitsil, seperti dalam kasus watha’ syubhat, maka mahar mitsil diwajibkan baginya sesuai dengan keadaan sifat-sifat tersebut pada saat watha’.
4.       Pendapat Mazhab Tentang Jumlah Mahar Dan Dalil Pegangannya
Islam tidak menetapkan jumlah atau besar kecilnya mahar karena adanya perbedaan kemampuan, kaya dan miskin, lapang dan sempitnya kehidupan atau banyak sedikitnya penghasilan. Selain itu, tiap masyarakat memiliki adat istiadat sendiri-sendiri atau tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Islam menyerahkan masalah jumlah mahar tersebut kepada kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya. Semua nash yang memberikan dalil tentang mahar hanya bermaksud untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa menentukan besar kecilnya jumlah. Menelusuri kitab-kitab yang mu’tamad mengenai mahar, para fuqaha sependapat bahwa mahar itu wajib dan diperintahkan oleh Allah SWT. Mereka juga sepakat bahwa mahar itu tidak ada batas tertinggi, tetapi mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Dalam masalah ini, para fuqaha terklasifikasi kepada 3(tiga) kelompok aliran pendapat yaitu:
a. Aliran pertama yang berpendapat bahwa jumlah mahar minimal sepuluh dirham.
Aliran ini disponsori oleh golongan Hanafiyah.[7] Adapun dasar argumentasi aliran pertama yang mengatakan bahwa jumlah mahar minimal sepuluh dirham, adalah berdasarkan hadis dan qiyas. Hadis yang mereka (mazhab Hanafiyah) jadikan dalil berbunyi:
Yang Artinya:”dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ketahuilah, wanita itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang sekufu’[8] dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham.(HR. Daruquthni dan Baihaqi)[9]
Hadis di atas menjelaskan bahwa batas minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kurang dari itu dianggap tidak ada mahar atau pernikahan itu tidak sah. Adapun dalil qiyas yang dikemukakan oleh mazhab Hanafiyah adalah dengan mengqiyaskan batas minimal mahar kepada nishab potong tangan dalam pencurian, karena masing-masing merupakan ketentuan syara’ yang menghalalkan anggota tubuh. Menurut mereka nishab pencurian yang mewajibkan potong tangan adalah sepuluh dirham.[10] Maka ukuran itulah yang bisa menghalalkan kehormatan wanita. Sesungguhnya mahar itu merupakan ketetapan syara’. Oleh karena itu, syara’ telah menetapkan jumlah yang menghalalkan sesuatu sangat berharga (kehormatan wanita) yaitu sebanyak sepuluh dirham seperti halnya nishab pencurian. Maka standar itulah yang dipakai untuk menghalalkan kehormatan wanita.[11]
b. Aliran kedua yang mengatakan bahwa jumlah mahar minimal tiga dirham atau seperempat dinar. Aliran ini disponsori oleh mazhab Malikiyah.[12] Pendapat kelompok ini tidak mengemukakan dalil hadis, tetapi hanya dalil qiyas semata yang menerangkan bahwa mahar wajib bagi suami sebagai tanda memuliakan harkat dan martabat wanita serta sebagai tanda ia rela atau bersedia mengorbankan sebagian harta untuk membelajakan istrinya. Mereka juga menqiyaskan batas minimal pada nishab potong tangan dalam pencurian, karena ada kesamaan di antara keduanya (sama-sama menghalalkan bagian tubuh).[13] Kehormatan wanita merupakan anggota tubuh, tangan juga anggota tubuh yang dihalalkan dengan ukuran tertentu. Harta ini telah ada ketetapannya dalam syari’at, maka standar itu dipakai sebagai ukuran mahar. Dalam menqiyaskan mahar dengan nishab pencurian, Malikiyah sependapat dengan golongan Hanafiyah.
Berbeda dengan mazhab Hanafiyah, mazhab Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal (ukuran) harta yang mewajibkan potong tangan bagi seorang pencuri adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak, maka ukuran itu dianggap sebagai batas minimal mahar yang dapat menghalalkan kehormatan wanita kepada suaminya.[14]
c. Aliran ketiga yang menyatakan bahwa mahar itu tidak ada batas minimal dan maksimal. Aliran ini disponsori oleh mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Argumentasi kelompok ketiga (Syafi’iyyah dan Hanabilah) didasarkan pada al-Qur’an, sunnah dan perkataan para sahabat serta dalil rasio didasarkan pada: Dalil yang didasarkan kepada al-Qur’an adalah:
* àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇËÍÈ  
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban”. (an-Nisa 24)
Wajh istidlal dari ayat di atas adalah sesungguhnya Allah SWT mengkaitkan halalnya wanita dalam ayat tersebut dengan memberikan harta, dan harta itu bisa sedikit atau banyak. Karena harta dalam ayat ini adalah mutlak, tidak dikaitkan dengan ukuran tertentu, dan tidak ada dalil syari’at yang sah yang bisa dijadikan alasan untuk mengkaitkannya dengan ukuran tertentu seperti lima atau sepuluh dirham. Oleh karena itu, dengan mengamalkan ayat tersebut berarti setiap benda yang disebut sebagai harta, sah dijadikan mahar dalam perkawinan baik sedikit maupun banyak.[15]
Dengan demikian, ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh golongan Syafi’iyyah dan Hanabilah menjelaskan bahwa syari’at Islam tidak menentukan kadar atau jumlah benda yang akan dijadikan mahar. Kalimat ibtagu bi amwalikum pada ayat itu menunjukkan bahwa mencari harta merupakan sesuatu yang tanpa batas. Kalau banyak maka banyak pula pahala yang didapat, demikian juga sebaliknya. Dalil hadis yang mereka kemukakan, yaitu hadis dari Sahl bin Sa’ad al-Sa’idi yang artinya:
“Bahwasanya Rasulullah SAW telah didatangi oleh seorang perempuan sambil berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya jika memang engkau tidak minat kepadanya”. Rasulullah SAW lalu bertanya: “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa diberikan sebagai mas kawin kepadanya?”. Laki-laki itu menjawab: “saya tidak mempunyai apa-apa kecuali kain sarung yang sedang saya
pakai ini”. Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau berikan kepadanya maka engkau akan duduk dengan tidak mengenakan kain sarung lagi. Karena itu carilah yang lain”. Lalu ia mencari tapi tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: “Carilah, meskipun hanya sebentuk cincin dari besi”. Laki-laki itu pun mencoba mencarinya namun tidak mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi kepada laki-laki tadi: “Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat al-Qur’an”. Laki-laki tadi menjawab: “Tentu saja, aku hafal surat ini dan surat itu”. Ada beberapa surat yang ia sebutkan. Lalu Rasulullah bersabda kepadanya: “Kalau begitu aku nikahkan kamu dengannya dengan mas kawin surat al-Qur’an yang kamu hafal”.(HR. Bukhari danMuslim).”[16]
Menurut sebagian riwayat yang sahih, Nabi bersabda: Sungguh aku nikahkan engkau dengannya dengan mas kawin beberapa ayat al-Qur’an. Sedangkan menurut riwayat Abu Hurairah menerangkan bahwa jumlah ayat itu lebih kurang sepuluh ayat.[17]
Hadis kedua yang mereka jadikan argumentasi adalah:
عن جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لو أن رجلا أعطي إمراة صداقا ملء
يديه طعاما, آانت له حلالا .(رواه أحمد و أبو داود بمعناه)
Artinya: “Dari Jabir r.a. bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: Seandainya ada seorang laki-laki yang memberikan segenggam makanan kepada seorang perempuan sebagai mahar, maka halallah perempuan itu untuknya”.(HR Ahmad dalam musnadnya dan Abu Daud dalam maknanya)[18]
Adapun hadis-hadis yang mereka jadikan dalil juga menunjukkan bahwa mahar itu tanpa ada batas jumlahnya. Di samping mengemukakan dalil ayat al-Qura’n, Hadis, golongan Syafi’iyah dan Hanabilah juga mengemukakan dalil rasio. Menurut mereka mahar adalah hak mutlak wanita. Allah mensyari’atkannya sebagai ganti (imbalan) memanfaatkannya, menjaga kesucian, mengangkat harkat dan martabat wanita serta memuliakan kedudukannya. Oleh karena itu, jumlah mahar diserahkan kepada kedua belah pihak atas dasar sukarela, sehingga boleh saja memberikan mahar berupa harta benda atau jasa. Islam juga memberi hak kepada wanita untuk memegang urusannya, termasuk dalam memanfaatkan maharnya. Hal ini merupakan salah satu usaha Islam untuk mengangkat harkat dan martabat wanita serta menghargai kedudukannya. Karena pada zaman jahiliyyah hak perempuan telah dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan harta (mahar)nya dan tidak memberikan kesempatan kepada wanita untuk mengurus dan mempergunakan harta tersebut. Islam datang menghilangkan belenggu ini. Wanita diberi hak mahar, sedangkan suami diwajibkan memberi mahar bukan kepada ayah atau walinya.
5.       Mekanisme Pembayaran Dan Hikmah Pensyariatan Mahar
a.       Mekanisme Pembayaran Mahar
Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar boleh dibayar kontan dan boleh pula hutang, baik sebagian maupun seluruhnya, dengan syarat diketahui secara detail. Misalnya si laki-laki mengatakan, “saya mengawinimu dengan mahar seratus ribu, yang lima puluh ribu saya bayar kontan sedang sisanya dalam waktu setahun”. Atau, bisa diketahui secara global, misalnya pengantin laki-laki mengatakan,”maharnya saya hutang dan akan saya bayar pada saat kematian saya atau pada saat saya menceraikanmu”. Akan tetapi bila benar-benar tidak dapat diketahui, misalnya dia mengatakan,”saya bayar hingga orang yang bepergian kembali”, maka batasan waktu yang demikian itu dianggap tidak ada. Berikut ini pandangan fiqh mazhab tentang mekanisme pembayaran mahar:
1) Hanafiyah
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa pembayaran mahar seperti itu sah dilakukan secara kontan atau hutang, seluruhnya atau sebagiannya sampai waktu yang dekat atau lama atau yang terdekat di antara dua masa yaitu talak atau wafat. Hal ini tergantung pada “urf dan adat istiadat yang berlaku di setiap negeri Islam. Mahar itu harus dibayar kontan, manakala tradisi yang berlaku adalah seperti itu. Selanjutnya ulama Hanafiyah mengatakan kalau mahar itu dihutang dengan syarat harus ada batasan waktu yang jelas atau pasti. Misalnya, si suami mengatakan,”Aku nikahi engkau dengan mahar seribu yang pembayarannya dilakukan sampai waktu aku mempunyai kelapangan”. Penundaan yang demikian itu tidak sah, karena ada pembatasan waktu yang tidak pasti. Demikian juga, seandainya mahar itu dihutang tanpa menyebutkan waktu pembayarannya. Misalnya suami mengatakan,”separo saya bayar kontan dan separonya lagi saya hutang”, maka hutang tersebut dinyatakan batal, dan mahar harus dibayar secara kontan. Apabila secara jelas terdapat kesepakatan untuk membayar mahar secara kredit (hutang), maka hal itu dapat diamalkan, karena kesepakatan itu termasuk hal yang sharih, sedangkan ‘urf termasuk bersifat dalalah, yang bersifat sharih itu lebih kuat daripada yang bersifat dalalah. Apabila tidak ada kesepakatan untuk membayar mahar secara kontan atau hutang, maka dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku di daerahnya, karena hal-hal yang sudah dikenal sebagai adat sama kedudukannya dengan hal-hal yang dtetapkan sebagai syarat.
Apabila tidak ada adat istidat yang menentukan untuk membayar mahar secara kontan atau hutang, maka mahar harus dibayar kontan, karena yang tidak disebutkan bayar belakangan (hutang), hukumnya sama dengan bayar kontan, karena pada dasarnya, mahar itu wajib hukumnya dibayar secara kontan setelah sempurnanya akad. Apabila mahar tersebut dibayar dengan cara berhutang seca terus terang atau menurut adat kebiasaan, maka hal tersebut boleh diamalkan menurut asalnya, karena nikah adalah kesamaan dan kesepakatan dari kedua belah pihak.
2) Syafi’iyah dan Hanabilah
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah membolehkan untuk menunda pembayaran mahar baik seluruhnya maupun sebagian sampai pada batas waktu tertentu,karena
mahar itu adalah imbalan dari tukar menukar. Apabila secara mutlak mahar  itu disebutkan (tidak dijelaskan kontan atau hutang), maka mahar harus dibayar secara kontan. Apabila ditunda pembayarannya sampai batas waktu yang tidak diketahui, seperti sampai datangnya si fulan maka hal itu tidak sah karena waktunya tidak diketahui secara pasti. Menurut Hanabilah, apabila pembayaran mahar ditunda dan tidak disebutkan waktunya maka mahar itu sah. Sedangkan batas waktu pembayarannya adalah bila terjadi perceraian atau kematian. Sedang menurut ulama Syafi’iyyah mahar itu fasid dan istri berhak menerima mahar mitsil.
3) Malikiyah
Ulama Malikiyah merinci lagi hukum pembayaran mahar secara hutang. Menurut mereka, jika mahar itu berupa benda tertentu dan ada di tempat mereka melangsungkan akad, seperti rumah, pakaian, hewan, maka wajib diserahkan mah itu kepada wanita atau walinya pada hari akad tersebut dan tidak boleh ditunda setelah akad walaupun wanita itu rela menundanya. Jika disyaratkan penundaan mahar pada waktu akad, maka akad itu fasid kecuali jika waktunya singkat seperti dua hari atau lima hari. Boleh bagi wanita merelakan penundaan mahar tanpa ada syarat, tapi menyegerakannya adalah hak wanita tersebut. Apabila mahar itu berupa benda tertentu, tapi tidak ada di negeri tempat mereka melangsungkan akad, maka nikahnya sah jika penyerahan maharnya ditunda dalam waktu dekat, apabila tidak terjadi perubahan lagi. Namun apabila ada perubahan, maka nikahnya fasid. Apabila maharnya berupa benda yang tidak tertentu, misalnya uang, barang yang tidak jelas takaran atau timbangannya, maka boleh ditunda pembayarannya, baik semua maupun sebagian dan boleh ditunda sampai dukhul jika diketahui waktunya, seperti waktu panen atau musim panas atau musim panen buah. Mahar juga boleh ditunda pembayarannya sampai suami mempunyai kelapangan rezeki. Hal ini bisa saja terjadi meskipun istrinya kaya dan suami mempunyai suatu barang yang masih berada pada orang lain atau gaji yang belum dibayar. Boleh juga menunda pembayaran apabila wanita itu sangat mencintai calon suaminya. Dalam hal ini, kondisinya sama dengan menunda pembayaran mahar sampai si suami ada kelapangan rezeki.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme pembayaran mahar itu dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian:
a) Pembayaran mahar secara kontan, yaitu penyerahan mahar seluruhnya kepada pengantin wanita sesuai dengan yang ditentukan pada waktu akad nikah. Dengan demikian pengantin laki-laki boleh menggauli istrinya setelah menyerahkan mahar seluruhnya.
b) Pembayaran mahar secara hutang, yaitu penyerahan mahar yang tidak dilaksanakan pada waktu akad nikah hingga suami lebih dulu menggauli istrinya, sedang ia belum memberikan mahar kepadanya. Hal yang seperti ini tentu bisa terjadi apabila istri rela menerimanya.
c) Pembayaran mahar secara kontan sebagian dan hutang sebagian, yaitu suami menyerahkan mahar kepada istrinya sebagian dari jumlah yang ditentukan pada waktu akad, dan sebagian lagi ditangguhkan yaitu dibayar kemudian sampai batas waktu yang diketahui atau pasti. Sedangkan penundaan mahar yang dibolehkan ada dua syarat:
(a) Waktu harus diketahui (tertentu). Apabila waktunya tidak diketahui, seperti penundaan sampai mati atau bercerai maka akadnya fasid, dan wajib difasakh, kecuali jika laki-laki itu sudah dukhul dengan wanita itu, sehingga ia harus membayar mahar mitsil.
(b) Batas waktunya tidak terlalu lama, seperti 50 (lima puluh) tahun atau lebih, karena hal itu diduga akan menghilangkan mahar. Dukhul dengan menggugurkan mahar berarti merusak perkawinan.
b.    Hikmah Pensyari’atan Mahar
Salah satu tujuan Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya, seperti hak untuk menerima mahar dan mengurusnya. Suami diwajibkan memberi mahar kepada istrinya bukan kepada ayahnya. Pensyari’atan mahar dalam perkawinan mengandung arti yang sangat dalam, antara lain sebagai penghormatan terhadap yang dicintai, mengikat jalinan kasih sayang kepada istri serta mempererat hubungan antara keduanya, dan bukan dianggap sebagai pembelian atau ganti rugi. Pemberian mahar merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suami terhadap dirinya. Pemberian mahar kepada istri bukanlah harga dari wanita dan bukan pula sebagai pembelian wanita itu dari orang tuanya, akan tetapi pensyari’atan mahar tersebut merupakan salah satu syarat yang dapat menghalalkan hubungan suami istri antara keduanya, yaitu hubungan timbal balik dengan senang hati dan penuh kasih sayang dengan meletakkan status kepemimpinan dalam rumah tangga secara tepat dan bertanggung jawab. Dengan adanya kewajiban memberikan mahar kepada istri, terbentanglah tanggung jawab yang besar dari suami untuk memberikan nafkah di dalam kehidupan rumah tangga secara layak. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisaa 34:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Hikmah pensyari’atan mahar dalam perkawinan Islam antara lain adalah:
1.Untuk menghalalkan hubungan antara pria dengan wanita, karena antara keduanya saling membutuhkan. Kebutuhan tersebut baru dapat terpenuhi melalui ikatan perkawinan (akad nikah). Mahar itu hanya ada dengan sebab akad nikah. Adapun pemberian seorang pria kepada seorang wanita di luar ikatan perkawinan (bukan karena akad) bukan dinamakan mahar sekalipun pemberian itu banyak sekali sehingga pemberian seperti itu tidaklah menghalalkan antara keduanya.
2.Untuk memberi penghargaan terhadap wanita dalam arti bukan pembelian. Karenanya tidak ada tawar menawar dalam persoalan mahar. Oleh karena itu, dalam agama Islam, setiap sesuatu yang berharga boleh dijadikan mahar, walaupun hanya sepasang sandal
3.Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat oleh suatu ikatan yang kuat, sehingga suami tidak mudah mencampakkan istri dengan begitu saja.
6.         Mahar dalam hokum positif
            Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hokum islam (pasal 1 huruf d KHI). Pemberian tersebut merupakan salah satu syarat sahnya  pernikahan. Status hokum mahar adalah wajib, hal ini berdasarkan Firman Allah surah an-Nisaa’ (4): 4
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
          Pasal 30 KHI dan seterusnya menemukakan garis hokum mengenai ketentuan mahar, yaitu sebagai berikut.
Pasal 30
          Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 32
          Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak  itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1)   Penyerahan mahar dilakukan dengan cara tunai.
(2)   Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.
Pasal 35
(1)   Suami mentalaq istrinya qabla dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2)   Apabila suami meninggal dunia qabla dukhul seluruh mahar yang ditetapkan  menjadi hak penuh istrinya.
(3)   Apabila perceraian terjadi qabla dukhul tetapi besarnya mahar belum di tetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.[19]
BAB III
ANALISA DATA
1.       Mahar Menurut Fiqh Mazhab
a.       Pengertian Mahar
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang redaksinya, namun maksud dan tujuannya sama. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah:
االمال الذى تستحقه الزوجة على زوجها بالعقد عليها أو بالدخول بها حقيقة
Artinya:”Harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul
b) Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah:
بأنه ما يجعل للزوجة فى نظير الإستمتاع بها
Artinya:”Sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta’ (bersenang-senang) dengannya”[20]
c) Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa mahar adalah:
بأنه ما وجب بنكاح أو وطء أو تفويت بضع قهرا
Artinya:”Sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya akad nikah atau watha’ atau karena merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa)”.
d) Golongan Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah:
Artinya:”Suatu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti watha’ syubhat dan watha’ yang dipaksakan”
b.      Macam-Macam Mahar
Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
1) Mahar musamma
Mahar musamma ialah mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati oleh kedua belah pihak. Mahar ini dapat dibayar secara tunai dan bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri. Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya al-Fiqh al-Islamy wa adillatuhu mengatakan bahwa mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad sesudahnya.[21]
Berdasarkan redaksi di atas dapat dimengerti bahwa penetapan jumlah mahar telah ditentukan ketika akad nikah, akan tetapi diperbolehkan untuk membayar secara penuh sekaligus atau melakukan penundaan. Hal ini tentunya sangat didukung kerelaan kedua belah pihak. Hal-hal yang termasuk ke dalam mahar musamma dalam akad adalah apa saja yang diberikan oleh suami untuk istrinya menurut adat sebelum pesta pernikahan atau sesudahnya, seperti gaun pengantin atau pemberian yang diberikan sebelum dukhul atau sesudahnya. Karena yang ma’ruf dalam masyarakat seperti yang disyaratkan dalam akad adalah secara lafdziyah. Pemberian itu wajib disebutkan pada saat akad. Suami harus menyebutkan kecuali bila disyaratkan untuk tidak disebutkan dalam akad.
Menurut ulama Malikiyah,apa yang diberikan kepada istri sebelum akad atau pada saat akad dianggap sebagai mahar, meskipun tidak disyaratkan sebelumnya. Demikian juga barang yang diberikan kepada walinya sebelum akad.
Seandainya istri ditalak sebelum dukhul, maka suami berhak mengambil separo dari apa yang telah diberikan. Adapun yang telah diberikan kepada wali setelah akad, maka hal itu telah menjadi milik wali secara khusus sehingga tidak ada hak bagi istri atau suami untuk mengambil darinya.
Mahar musamma ini biasanya ditetapkan bersama atau dengan musyawarah
kedua belah pihak. Berapa jumlahnya dan bagaimana bentuknya harus disepakati bersama dan sunnah diucapkan tatkala melaksanakan ijab kabul pernikahan, agar para saksi dapat mendengar secara langsung jumlah dan bentuk mahar tersebut. Masalah pemberlakuan pembayaran mahar dengan kontan dan berhutang atau kontan dan hutang sebagian hal ini terserah kepada adat masyarakat dan kebiasaan yang berlaku. Tetapi sunnah kalau membayar kontan sebagian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penentuan mahar serta pemberiannya baik dengan cara memberi kontan atau menangguhkannya adalah suatu hal yang diperbolehkan, akan tetapi ketentuan dari mahar musamma ini telah ditetapkan ketika ijab kabul pernikahan. Keputusan musyawarah antara kedua belah pihak dapat menjadi tolak ukur pemberian mahar secara kontan ataupun penundaan.
2) Mahar mitsil
a) Menurut ulama Hanafiyah,[22] mahar mitsil adalah mahar perempuan yang menyerupai istri pada waktu akad, dimana perempuan itu berasal dari keluarga ayahnya, bukan keluarga ibunya jika ibunya tidak berasal dari keluarga ayahnya. Seperti saudara perempuannya, bibinya dari sebelah ayah, anak pamannya dari sebelah ayah, yang satu daerah dan satu masa dengannya. Keserupaan itu dilihat dari sifat yang baik menurut kebiasaan, yaitu: kekayaan, kecantikan, umur, kepandaian dan keagamaan. Karenanya, perbedaan mahar ini ditentukan oleh perbedaan daerah, kekayaan, kecantikan, umur, kepandaian dan keagamaan. Mahar akan bertambah dengan bertambahnya sifat-sifat tersebut. Maka harus ada keserupaan antara dua orang perempuan itu dalam sifat-sifat ini, agar mahar mitsil dapat ditunaikan secarawajib kepada perempuan itu. Apabila tidak ada perempuan yang serupa dengan istri bapaknya, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan perempuan yang menyerupai keluarga ayahnya berdasarkan status sosial. Apabila tidak ada juga, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarkan sumpah suami, karena ia mengingkari kelebihan yang didakwakan oleh perempuan. Syarat penetapan mahar mitsil itu adalah memberitahukan dua orang laki-laki dan dua orang perempuan dengan lafadz kesaksian. Jika tidak ada saksi yang adil maka yang dipegang adalah ucapan suami yang diambil sumpahnya setelah mahar tersebut disebutkan.
b) Menurut Hanabilah,[23] mahar mitsil adalah mahar yang diukur dari perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabat, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Seperti saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, anak bibi dari pihak ayah, ibu, bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Hal ini didasarkan pada hadis Ibnu Mas’ud tentang perempuan yang dinikahkan tanpa mahar (baginya mahar sebagaimana perempuan dari keluarganya), hal ini disebabkan karena kemutlakan kekerabatan itu mempunyai pengaruh secara umum. Apabila tidak ada perempuan-perempuan dari kerabatnya, maka mahar mitsil itu ditentukan berdasarka perempuan-perempuan yang serupa dengannya di negerinya. Apabila hal tersebut tidak didapatkan, maka diukur berdasarkan perempuan yang paling mirip dengannya dari negeri yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Mazhab Hanabilah menambahkan lagi bahwa seandainya kerabat istri itu mempunyai kebiasaan meringankan mahar, maka keringanan (takhfif) itu diperhatikan juga. Jika mereka mempunyai kebiasaan menyebutkan mahar yang banyak, tetapi tidak ditunaikan sedikitpun maka hal itu dianggap tidak ada. Seandainya mereka mempunyai kebiasaan menunda pembayaran mahar, makamahar mitsil harus pula diberikan secara tunda. Karena hal itu merupakan mahar perempuan-perempuan dari golongannya. Jika mereka tidak mempunyai kebiasaan menunda mahar, maka mahar mitsil itu harus diberikan secara langsung juga, karena merupakan pengganti barang yang rusak, sebagaimana harga barang-barang yang rusak. Apabila kebiasaan perempuan-perempuan itu berbeda secara langsung atau secara tunda atau berbeda jumlah maharnya, maka diambil ukuran yang tengahtengah darinya yang disesuaikan uang negeri setempat, karena hal itu dianggap adil. Dan apabila bermacam-macam, maka diambil ukuran yang paling besar sebagaimana yang umum berlaku. Untuk lebih memahami tentang pengertian mahar mitsil, Sayyid Sabiq menjelaskan pengertian mahar tersebut sebagai berikut: mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan yang sama dengan perempuan lain dari segi umur, kecantikan, kekayaan, akal, agama, kegadisan, kejandaan, dan negerinya pada saat akad nikah dilangsungkan. Jika dalam faktor-faktor tersebut berbeda, maka berbeda pula maharnya.
c) Menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah,[24] mahar mitsil ialah mahar yang dipilih oleh suaminya berdasarkan mahar perempuan-perempuan yang serupa dengan istrinya menurut adat.
Menurut golongan Syafi’iyyah, mahar mitsil itu diambil dari mahar perempuan-perempuan dari keluarga ayah dengan berdasarkan pada hadis dari ‘Alqamah dengan berkata: Abdullah Ibnu Mas’ud dihadapkan dengan kasus perempuan yang dinikahi oleh seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu wafat, dan ia tidak membayar mahar untuk istrinya dan tidak pula dukhul dengannya. Dalam hal ini sahabat berbeda pendapat, maka Abdullah bin Mas’ud berkata: menurut pendapat
saya baginya mahar seperti mahar perempuan-perempuan dari golongan ayahnya.
Dia juga berhak mendapatkan warisan dan atasnya diwajibkan iddah. Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i menyaksikan Nabi SAW memutuskan hukum tentang buru’ anak perempuan kandung sebagaimana yang telah diputuskan olehnya. Mahar mitsil itu diambil dari yang terdekat di antara perempuan dari keluarga ayah. Yang paling dekat di antara mereka itu adalah saudara-saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara kandung, bibi dari pihak ayah dan anak perempuan paman dari pihak ayah. Jika tidak ada perempuan dari pihak ayah, maka diambil perempuan yang terdekat dengannya dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu. Karena mereka-mereka itulah yang terdekat dengannya. Jika itu tidak ada, maka ambillah perempuan-perempuan yang satu negeri dengannya, atau kerabat-kerabat wanita yang menyerupainya.
Sedangkan menurut Malikiyah, mahar mitsil itu diambil dari kerabat istri yang keadaannya diukur dari keturunan, harta dan kecantikannya. Seperti mahar saudara perempuan kandung atau perempuan sebapak, bukan ibu dan bukan pula bibi yang seibu dengan ayah, yang demikian itu tidak dapat diambil sebagai ukuran mahar mitsil, karena keduanya kadang-kadang berasal dari golongan yang lain. Keserupaan dalam mahar mitsil disepakati oleh semua mazhab sebagaimana disebutkan dalam mazhab Hanafiyah bahwa keserupaan itu dilihat dari aspek keagamaan, kekayaan, kecantikan, kepandaian (akal), kesopanan, usia, kegadisan atau kejandaan, negeri, keturunan dan kemuliaan leluhur. Hal-hal ini merupakan sesuatu yang dianggap sebagai kebanggaan bagi orang tua daripada kedermawanan, ilmu pengetahuan, kemurahan hati, keberanian, kebaikan dan kebangsawanan, yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam mahar.
Sifat-sifat ini terlihat pada waktu akad pada nikah yang sahih dan pada saat bercampur (watha’) dalam nikah yang fasid. Karena itu merupakan waktu ditetapkannya mahar mitsil, seperti dalam kasus watha’ syubhat, maka mahar mitsil diwajibkan baginya sesuai dengan keadaan sifat-sifat tersebut pada saat watha’.
Selanjutnya Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah jumlah mahar dan bentuknya belum ditentukan. Untuk menentukan jumlah dan bentuknya tidak ada ukuran yang pasti. Biasanya disesuaikan dengan kedudukan istri di tengah-tengah masyarakat atau disesuaikan dengan mahar yang pernah diterima oleh wanita-wanita yang sederajat dengannya atau oleh saudara-saudara atau sanak keluarganya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapatlah dimengerti dan disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahar mitsil adalah mahar yang diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang ketentuan besar kecilnya belum ditetapkan dan bentuknya juga tidak disebutkan. Akan tetapi mahar ini disesuaikan dengan kedudukan wanita dalam struktur kehidupan sosial dari segala aspek atau pertimbangan. Seperti keagamaan, kekayaan, kecantikan, kepandaian, kesopanan, usia, kegadisan, kejandaan, negeri, keturunan dan kemuliaan leluhurnya. Mahar mitsil itu diukur dari perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabatnya, baik dari pihak ayah maupun ibunya. Seperti saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak paman dari pihak ibu, dan selain dari mereka kerabat yang ada.[25]









DAFTAR  PUSTAKA
 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)
 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006)
Ibnu Humam, Syarh Fath al-Qadir, Juz III (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.)
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Mesir: Dar al-Fikr, t.t.)
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
http://www.mutiara-hadits.co.nr/
al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi (t.tp: al-Fujadalah al-Jalilah, t.t.)
Muhammad Imam al-Syaukani, Nail al-Author, jilid III (cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2006)
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: sinar grafika, 2009)
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IX (Suriah: Darul Fikri, 2006)



[1]  Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), 431.
[2]  Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 84.
[3] Ibid.
[4] maksudnya ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru.
sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali
pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
[5] Ibnu Humam, Syarh Fath al-Qadir, Juz III (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), 304.
[6]  Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit. 87.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Mesir: Dar al-Fikr, t.t.), II: 14-15.
[8] Secara bebas, arti lughawi “kufu” adalah “sama, sebanding atau sederajat”. Yang dimaksudkan dengan “kufu” dalam perkawinan adalah laki-laki sebanding dengan calon istrinya; sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkatan sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Semua ulama sependapat dalam menetapkan bahwa soal “kufu” ini perlu mendapatkan perhatian dalam perkawinan. Perbedaan pendapat muncul di sekitar ukuran kufu’. Ada yang mengatakan “kufu” itu hanya diukur dengan sikap jujur dan budi pekerti yang baik semata (mazhab Maliki). Ulama mazhab lainnya membuat “ukuran kufu” selain dari dua hal tersebut di atas, yaitu dalam hal keturunan, kemerdekaan, agama, pekerjaan, pendidikan dan tidak cacat.
[9] Ibnu Humam, Op.Cit., 305.
[10] Ibid.
[11] Ibnu Humam, Op.Cit., 305.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, V: 127.
[16] http://www.mutiara-hadits.co.nr/
[17] al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi (t.tp: al-Fujadalah al-Jalilah, t.t.), II: 290-291, 152.
[18] Muhammad Imam al-Syaukani, Nail al-Author, jilid III (cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 487.
[19] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: sinar grafika, 2009), 24-25
[20] Ibnu Humam, Syarh Fath al-Qadir, Juz III (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), 304.
[21] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IX (Suriah: Darul Fikri, 2006), 6774
[22] Wahbah al-Zuhaily, ibid., 6775
[23] Ibid.
[24] Wahbah al-Zuhaily, ibid., 6776.
[25] Ibid.,

2 Responses to "Makalah Pendapat Ulama Tentang Pembagian Mahar"

  1. Nama saya Dewi Rumapea, saya dari Indonesia, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan seluruh Indonesia yang mencari pinjaman di internet sangat berhati-hati untuk tidak jatuh di tangan scammers dan fraudstars, ada banyak kredit palsu lender di sini di internet dan beberapa dari mereka adalah asli, saya pernah tertipu dan ditipu di sini online sebelum seorang teman yang mendapat pinjaman baru menghubungkan saya dengan seorang wanita bernama Ibu Glory yang merupakan CEO dari Glory Badan Kredit. Jadi saya diterapkan untuk jumlah pinjaman 500 juta dengan tingkat bunga rendah dari 2%, tidak ada jaminan, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya ingin menggunakan uang itu untuk membangun bisnis dan pinjaman saya disetujui dengan mudah tanpa stres dan semua persiapan yang dilakukan pada transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pendaftaran pinjaman, itu mimpi datang melalui, jumlah pinjaman saya 500 juta dikreditkan di rekening bank saya hanya dalam selang waktu dua jam. Jadi saya ingin saran mereka sedang mencari untuk pinjaman di sini secara online harus berlaku untuk perusahaan asli, cepat hubungi sekarang email: di gloryloanfirm@mail.com. dia tidak tahu bahwa aku melakukan ini. Saya berdoa agar Tuhan memberkati dia untuk hal-hal baik yang telah dilakukan dalam hidup saya. Anda juga dapat menghubungi saya di dewiputeri9@gmail.com untuk info lebih lanjut.

    BalasHapus
  2. Ini luar biasa saat saya mengira semua telah selesai dengan saya Ibu Iskandar datang untuk menyelamatkan saya. Saya sangat berhutang sejauh orang-orang yang saya pinjam uang dari geng melawan saya dan kemudian membuat saya ditangkap sebagai akibat dari hutang saya. ditahan selama berbulan-bulan maka masa rahmat diberikan kepada saya saat saya dipulangkan dan dibebaskan untuk pergi dan mencari uang untuk membayar semua hutang yang saya terima sehingga saya diberitahu bahwa ada beberapa kreditur sah online sehingga saya harus mencari Karena melalui blog saya berualang kali tertipu tapi ketika saya menemukan Ibu Iskandar CEO CHRISTABEL LOAN COMPANY, Tuhan mengarahkan saya ke iklannya melalui blog karena daya tarik saya terhadapnya adalah benar-benar mukjizat mungkin karena Tuhan telah melihat bahwa saya memiliki banyak menderita karena itulah dia mengarahkan saya kepadanya. Jadi saya menerapkannya dengan antusias setelah beberapa jam pinjaman saya disetujui oleh Dewan dan dalam dua hari saya dikreditkan dengana jumlah pasti yang saya berikaan untuk semua ini tanpa jaminan tambahan Kredit Tanpa Agunan (KTA) sama seperti saya berbicara dengan Anda sekarang saya telah dapat menghapus semua hutang saya dan sekarang saya memiliki supermarket sendiri, saya tidak memerlukan bantuan orang lain sebelum saya memberi makan atau mengambil keuangan apa pun keputusan saya tidak punya urusan dengan Polisi lagi saya sekarang adalah wanita merdeka. Anda ingin mengalami kemandirian finansial seperti saya silahkan hubungi Ibu melalui email perusahaan: (christabelloancompany@gmail.com) Anda tidak dapat memperdebatkan fakta bahwa di dunia kesulitan ini Anda memerlukan seseorang untuk membantu Anda mengatasi gejolak keuangan dalam hidup Anda dengan satu atau lain cara, jadi saya memberi Anda mandat untuk mencoba dan menghubungi Ibu Iskandar di alamat di atas sehingga bisa mengatasi kemerosotan keuangan dalam hidup Anda. Anda bisa menghubungi saya melalui email berikut: (lianmeylady@gmail.com) selalu bersikap positif dengan Ibu Iskandar dia akan melihat Anda melalui semua tantangan finansial Anda dan kemudian memberi Anda sebuah tampilan baru finansial.

    BalasHapus