BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kaidah fiqhiyyah adalah suatu ilmu pelebaran dari
ilmu fikh atau lebih jelasnya lagi bagian dari ilmu fiqh itu sendiri yang
biasanya di bahas tentang pengertian dan apa itukaidah fiqhiyyah, namun baik
kita ketahui sebagai pedoman dan pegangan kita, namun jarang kita ketahui untuk
apa kita belajar dan mengajarkannya kepada mereka yang awam tentang kaidah fiqh
tanpa mengetahui apa fungsi dari kaidah fiqhiyyah tersebut.
Secara
umum pembagian kaidah fiqhiyyah dari segi fungsi kaidah fiqhiyyah di bagi
menjadi 2(dua) ialah sebagai berikut:
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu sentral dan marginal.Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena
kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal
sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang
berperan marginal, diantaranya :
“Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti
sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
“Sesuatu
yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah
kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan
dengan furu’.
Oleh karna itu kami pemakalah akan menjabarkan lebih
jauh tentang fungsi Kaidah fiqhiyyah dalam pembahasan kali ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi
Kaidah Fiqhiyyah
Para Imam Madzhab dalam mengistinbathkan suatu hokum
memiliki pola pikir tertentu yang dapat dijadikan aturan pokok, sehingga hasil
istinbath-nya dapat dievaluasi secara objektif oleh para pengikutnya.
Kaidah-kaidah dasar merupakan acuan dalam beristinbath. Dengan demikian pada
dataran epistemology, kaidah fiqhiyyah berfungsi sebagai alat untuk mengetahui
dan menelusuri pola dan kerangka berpikir para imam dalam beristinbath,
sekaligus dapat diketahui titik relevansi antara ijtihad yang satu dengan yang
lain. Akhirnya dapat diketahui metode yang digunakan oleh para imam madzhab
dalam beristinbath hokum.
Pertama,
pada dataran aksiologis, qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk memudahkan
mujtahid dalam mengistinbathkan hokum yang bersesuaian dengan tujuan syara dan
kemaslahatan manusia, karena dengan adanya kaidah tersebut, para mujtahid dapat
menggolongkan masalah serupa dalam lingkup suatu kaidah.
Kedua,
dari qawaid al-fiqhiyyah adalah agar para mujtahid dapat
mengistinbathkan hokum-hukum syara dengan baik dan benar, orang tidak akan
dapat menetapkan hokum dengan baik apabila tidak mengetahui kaidah fiqih.
Ketiga,
qawaidh al-fiqhiyyah berfungsi untuk
membina hokum Islam. Hal ini ditegaskan oleh Hasbi As-Shiddiqie, yang
menyatakan bahwa qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk memelihara ruh
Islam dalam membina hokum, mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak
keadilan persamaan, maupun dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat
serta memperhatikan keadaan dan suasana.
Keempat,
qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu
akan mengikat atau mengekang furu’ yang bermacam-macam, dan meletakkan furu’
itu dalam satu kandungan umum yang
lengkap, karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah adalah himpunan hokum-hukum
syara yang serupa atau sejenis, lantaran adanya titik persamaan atau adanya
ketetapan fiqih yang merangkaikan kaidah tersebut.[1]
Kaidah-kaidah hukum mempunyai peran
utama dalam mengelompokkan aturan-aturannya (dalam suatu urutan), dimana
keberagaman dan bagian-bagian yang bercerai dalam fiqih disatukan dalam satu
konsep.Jadi, fungsi utama dari (ilmu) Qawaid Fiqiyyah adalah
mengelompokkan dan mengkonsolidasikan ketentuan-ketentuan fiqih yang identik
dibawah aturan-aturan yang universal dan menyeluruh.Al-Majallah telah
menjelaskan fungsi ini sebagai berikut :
Ahli-ahli hukum telah
mengelompokkan ketentuan-ketentuan fiqih ke dalam aturan-aturan universal
tertentu, yang dalam khazanah ilmu hukum islam, diambil sebagai justifikasi
untuk membuktikan ketentuan-ketentuan ini. Study awal tentang Qawaid memudahkan
untuk memahami ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai konsekuensi, sembilan
puluh sembilan Qawaid Fiqiyyah telah dikumpulkan bersama-sama. Meskipun
sebagian dari kaidah-kaidah itu mengakui beberapa pengecualian, tapi aplikasi umumnya
bukan tidak sah, karena mereka berkaitan erat satu sama lain.
Kaidah-kaidah hukum memotret suatu
gambaran umum tentang dasar, semangat dan filsafat hukum islam. Sehingga
memberikan suatu ukuran dan kriteria bagi ahli hukum untuk memutuskan keabsahan
suatu kasus yang dihadirkan kepadanya untuk diputuskan.Jika perkara yang sedang
dibahas menyalahi suatu kaidah fiqih, Hakim dapat membuat aturan tentang
ketidak absahan kasusnya. Perlu diingat bahwa kaidah-kaidah dasar, umumnya
mengekspresikan dan memberitahukan semangat dan filsafat dari hukum islam, dan
dalam hal ini mirip dengan Maqasid Shariah (yaitu tujuan-tujuan syariah
yang ditetapkan Allah) kaidah “ setiap perbuatan ditentukan oleh niatnya “,
menjelaskan pada kita bahwa untuk memutuskan sah atau tidaknya suatu perkara,
motivasi dan tujuannya harus dipertimbangkan disamping bentuk perkaranya.
Kaidah “ kesulitan dapat memunculkan kemudahan “ menunjukkan bahwa semangat
hukum islam adalah kemudahan memberi kenyamanan dan menghilangkan kesulitan.[2]
B. Hubungan
Kaidah Fiqhiyyah Dengan Fiqih
Berbagai ungkapan para ulama tentang
kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fiqih ini dalam hubungannya dengan
fiqih, antara lain : “ dengan kaidah-kaidah fiqih kita tahu hakikat dari
fikih, objek bahasan fiqih, cara pengambilan fiqih dan rahasia-rahasia fikih,
menjadi terampil didalam megambil memahami fikih dan menghadirkan fikih.
sesungguhnya kaidah-kaidah fikih menggambarkan nilai-nilai fikih, kebaikan dan
keutamaan serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang kaidah fikih menampakan
pola pikir islam yang sangat luas dan mendalam dan tampak pula kekuatan
filosofinya yang rasional serta kemampuannya didalam mengumpulkan fikih dan mengembalikannya
kepada akarnya.
Hasbi al-Shiddieqy menyatakan bahwa
nilai seorang faqih (ahli hokum Islam) diukur dengan dalam atau
dangkalnya dalam kaidah fiqih ini, karena di dalam kaidah fiqih terkandung
rahasia dan hikmah-hikmah fiqih.[3]
Dari uraian diatas bisa disimpulkan hubungan
kaidah-kaidah fikih antara lain :
1. Dengan
mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih.
Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali
jumlahnya. Dengan kaidah-kaidah fikih kita mengetahui benang merah yang
mewarnai fikih itu dan menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
2. Dengan
memerhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau
menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
3. Dengan
kaidah fikih akan lebih arif didalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat
yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berkelainan.
4. Dengan
menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai
perbedaan pendapat dikalangan ulama atau setidaknya menguatkan pendapat yang
lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
5. Orang
yang mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan
semangat hukum-hukum islam (ruh al-hukm) yang tersimpul didalam
kaidah-kaidah fikih.
6. Oarang
yang menguasai kaidah-kaidah fikih disamping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki
keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran,
kebaikan dan keindahan.[4]
C. Pembagian Kaidah Fiqhiyah
1. Kaidah fiqh menurut fungsinya
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu sentral dan marginal.Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah
tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid
al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan hukum”
kaidah
ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang
telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang
berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat
sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu.
2. Kaidah fiqh mustasnayat
Kaidah
fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya
adalah :”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada
tergugat”
3. Kaidah fiqh segi kwalitasnya
a. Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa
seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu
:”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci,
karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari
kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
b.
Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat
kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut
adalah :
”Perbuatan
/ perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan
tidak hilang dengan keraguan”
D. Kegunaan Kaidah Fiqhiyah
Imam
Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah Fiqhiyah
mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan
menolak kerusakan serta bagaimana cara menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan
Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang
pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara
furu-furu’ itu.Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai
furu’-furu’nya.
Lebih
lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah sebagaimana
disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :
1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah
telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.
2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai
persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat
mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.
3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam
melakukan analogi (ilhaq) dan tahkrij untuk mengetahui hukum
permasalahan-permasalahan baru.
4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh
dalam mengikuti(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema
yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu
ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling
berdekatan ataupun menegakkan maslahat yang lebih besar.
6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan
kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
Demikian
kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi.Secara sederhana,
kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa
persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh. Oleh
karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam
menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.[5]
E. Urgensi Kaidah Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1.
Dari sudut sumber,
kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan
menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa
nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2.
Dari segi istinbath
al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan
atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa nash-nash tasyri telah mensyariatkan
hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana,
ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang
menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang
tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu
luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang
berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa
kelompok.Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa
lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad
Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah
adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak
kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut.Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis
bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya
banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu.Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama,
pada dataran aksiologis, qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk memudahkan
mujtahid dalam mengistinbathkan hokum yang bersesuaian dengan tujuan syara dan
kemaslahatan manusia, karena dengan adanya kaidah tersebut, para mujtahid dapat
menggolongkan masalah serupa dalam lingkup suatu kaidah.
Kedua,
dari qawaid al-fiqhiyyah adalah agar para mujtahid dapat
mengistinbathkan hokum-hukum syara dengan baik dan benar, orang tidak akan
dapat menetapkan hokum dengan baik apabila tidak mengetahui kaidah fiqih.
Ketiga,
qawaidh al-fiqhiyyah berfungsi untuk
membina hokum Islam. Hal ini ditegaskan oleh Hasbi As-Shiddiqie, yang
menyatakan bahwa qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk memelihara ruh
Islam dalam membina hokum, mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak
keadilan persamaan, maupun dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat
serta memperhatikan keadaan dan suasana.
Keempat,
qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu
akan mengikat atau mengekang furu’ yang bermacam-macam, dan meletakkan furu’
itu dalam satu kandungan umum yang
lengkap, karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah adalah himpunan hokum-hukum
syara yang serupa atau sejenis, lantaran adanya titik persamaan atau adanya
ketetapan fiqih yang merangkaikan kaidah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Syahrul, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010
Ash-Shiddieqy,
Hasbi, Pengantar Hokum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1963, Cet III
Djazuli
A, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Putra Grafika, 2007
Hendri
Tanjung, Kaidah-Kaidah Fiqih (Keuangan dan Transaksi Bisnis), Bandung:
Ulil Albab Institute, 2010
[1] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,
Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010,
h 125-127
[2] Hendri Tanjung,Kaidah-Kaidah Fiqih
(Keuangan dan Transaksi Bisnis), Bandung: Ulil Albab Institute, 2010, h 6-7
[3]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
Hokum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1963, Cet III, h 235
[4] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fiqih, Jakarta: Putra Grafika, 2007, h 25
[5]http://annajma92.blogspot.com/2012/04/kedudukan-kaidah-fiqhiyah-sebagai.html
[6]http://annajma92.blogspot.com/2012/04/kedudukan-kaidah-fiqhiyah-sebagai.html
0 Response to "Makalah Fungsi Qawaid Al-Fiqhiyyah dalam Fiqih"
Posting Komentar