Makalah Sumber Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN.


A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Islam adalah sebuah agama dan jalan hidup yang di dasarkan pada perintah Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang Islam untuk berpegang hidup pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, maka ia harus mengamati pada dua hal yang menjadi batasan yakni apa yang benar (halal) dan apa yang salah (haram). Hal ini untuk menyoroti kebutuhan dan kepentingan kita mengetahui hukum syari’ah.
Hukum syari’at tentang pidana adalah ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan kejahatan terhadap badan, jiwa, kehormatan, akal dan sebagainya. Perbuatan pidana dilihat dari pola penjatuhan sanksi-saksi, atau hukumnya, diklasifikasikan menjadi tiga kategori tentang perbuatan tersebut  yaitu: Hudud, Jinayah, dan ta’zir.
Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam. Maka jelas sumber-sumber pidana Islam diambil dari sumber-sumber hukum Islam itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH.
Dari penjelasan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan d bahas antar lain:
1.      Menjelaskan Apa saja sumber-sumber hukum pidana Islam?
2.      Menjelaskan Pengertian Al-Quran
3.      Menjelaskan Pengertian Hadis
4.      Mnjelaskan Pengertian Qiyas
5.      Menjelaskan Pengertian Ijma
C.TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar memberikan pengetahuan bagi pembaca tentang bagaimana menerapkan hukum dalam masyarakat sehingga menciptakan perdamaian di dalam masyarakat itu sendiri. Tulisan ini juga bisa dijadikan referensi untuk penulisan makalah atau karya tulis ilmiah.




BAB II
PEMBAHASAN

1. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM.
Beberapa sumber hukum Islam adalah: al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Masih ada hukum sumber-sumber hukum yang lain tapi masih diperselisihkan mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut diantaranya  istihsan, istishab mursalah, ‘urf, madzhab sahabt.
Kemurnian hukum islam disamping terletak dalam al-Qur’an juga terletak as-sunnah, ijma’ (mufakat atau kesepakatan umum) dan qias (persamaan) yang mana masing-masing itu adalah sumber hukun islam, seperti yang telah disebutkan diatas. Dan ternyata sumber-sumber tersebut saling berhubungan satu sama lain. sumber-sumber pokok Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah, sedang ijma’ dan qias dalam faktanya hanyalah merupakan prinsip-prinsip dan tambahan. Dan keempat sumber tersebut pada umumnya dipergunakan sebagai sumber yang murni atau asli.
Masing-masing keempat sumber tersebut tidak membentuk pembagian-pembagian yang tidak dapat dibantah sebagai pandangan , dalam artian mereka saling berhubungan dan membawa spirit yang sama dari wahyu. Sebagaimana terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat: 39
#sŒ$tBur öNÍköŽn=tã öqs9 (#qãZtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# (#qà)xÿRr&ur $£JÏB ÞOßgs%yu ª!$# 4 tb%x.ur ª!$# óOÎgÎ/ $¸JŠÎ=tã ÇÌÒÈ
Artinya: “Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka”.
Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam maka apabila hukum Islam bersumber dari al-Qur’an, hadits, Ijmak, Qiyas dan beberapa sumber yang diperselisikan, seperti: Ikhtisan, Istimbat, Marsihah, Urf, mazhab sahabat dan syariat sebelum Islam, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut, Dan di sini akan dibahas empat sumber yang telah disepakati.
A. Al-Quran Sebagai Sumber Hukum
1.      Pengertian al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
1)      Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran[1]. Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka apabila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut” (al-Qiyamah: 17-18)
2)      Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.[2]
Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.[3]
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[4]
Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.maka dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan bahwa Al-Qur’an secara terminologi sebagai berikut:
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah sebagai mukzijat tersebut bagi beliau dan dapat dijadikan  hujjah (argumentasi) untuk memperkuat kebenaranbeliau sebagai rasul Allah, Al-Quran itu juga merupakan undang-undang yang mengatur seluruh umat manusia , dan sebagai satu kegiatan ibadah bila kita membacanya.

$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya: ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.(QS.Al Hijir 9)
Keistimewaan Al-Quran adalah, tetap dijamin keaslian dan kemurniyan, karna di samping Allah yang menjaga dan memeliharannya, juga lafal dan maknanya langsung dari Allah, berbeda dengan Hadis Qudsi, maknanya dari Allah sedangkan lafalnya ( redaksinya) dari Rasullah.
Dengan demikian hadis Qudsy, terjemahan Al-Quran dan Tafsirnya tida dapat disebut Al-Quran dan membacanyapun tidak termasuk ibadah, walaupun tetap berfaedah bagi pembacanya.
2.      Kehujahan Al-Quran
Al-Quran merupakan hujah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang ada didalamnya mengandung undang-undanng yang harus ditaati, karna Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan jalan Qat’I, yang kebenaraannya tidak boleh diragukan. Alasan lain ialah, bahwa Al-Quran sebagai Mukzijat mampu menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru Al-Quran Itu, dan memang teryata tidak ada yang bias menirunya, meskipun dulu ada, seperti yang dilakukan Musailamah Al kadab.dan ayat-ayat ini memperkuat peryataan tadi di atas.
ö@è% (#qè?ù'sù 5=»tGÅ3Î/ ô`ÏiB ÏZÏã «!$# uqèd 3y÷dr& !$yJåk÷]ÏB çm÷èÎ7¨?r& bÎ) óOçFZà2 šúüÏ%Ï»|¹ ÇÍÒÈ bÎ*sù óO©9 (#qç7ŠÉftFó¡o y7s9 öNn=÷æ$$sù $yJ¯Rr& šcqãèÎ7­Ftƒ öNèduä!#uq÷dr& 4 ô`tBur @|Êr& Ç`£JÏB yìt7©?$# çm1uqyd ÎŽötóÎ/ Wèd šÆÏiB «!$# 4 žcÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÉÈ
Artinya: “Katakanlah: "Datangkanlah olehmu sebuah Kitab dari sisi Allah yang Kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al Quran) niscaya Aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar".Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) Ketahuilah bahwa Sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.(QS:Al Qashash 49-50)
Allah Berfirman
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ
Artinya:”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".(QS:Al-Isra’88)
Allah Berfirman
÷Pr& šcqä9qà)tƒ çm1uŽtIøù$# ( ö@è% (#qè?ù'sù ÎŽô³yèÎ/ 9uqß ¾Ï&Î#÷VÏiB ;M»tƒuŽtIøÿãB (#qãã÷Š$#ur Ç`tB OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB Èbrߊ «!$# bÎ) óOçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÊÌÈ
Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".(QS: Hud 13)
Allah Berfirman
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? `s9ur (#qè=yèøÿs? (#qà)¨?$$sù u$¨Z9$# ÓÉL©9$# $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÅsø9$#ur ( ôN£Ïãé& tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 ÇËÍÈ
Artinya:“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.(ayat Ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa Karena ia merupakan mukjizat nabi Muhammad s.a.w.). (QS:Al Baqarah 23-240

3.      Turunnya Al-Qur’an
Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.
4.      Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum.
Penjelasan al-qur’an terhadap hokum jinayah, contoh ayat yang menjelaskan tentang diyat (dalam surat An-Nisa: 92) dan masalah ta’zir (dalam Al maidah: 34). Dan mh byak lg yng bertentangan dengan jinayah.
5.      Macam-Macam Hukum di dalam Al-Quran
Macam-macam hukum yang terkandung dalam Al-Quran ada tiga macam
1)      Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan, yaitu yang erat kaitannya dengan masalh-masalah yang harus dipercayai oleh setiap mukallaf, yang terkenal disebut rukun iman
2)       Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan erat  dengan tingkah laku, budi pekerti. Dan yang harus dipakai oleh setiap mukalaf sebagai hiasan hidup untuk mencari keutamaan dan menghindarkan diri dari kehinaan
3)      Hukum-hukum Amaliyah,yaitu hokum yang erat kaitannya dengan seluruh tindakan atau perbuatan mukallaf, baik ucapan,perbuatan,prjanjian (akad)dan kegiatan lainnya dalam hidup sehari-hari.
Ahkam amaliah dibagi menjadi dua bagian,ahkam ibdah seperti sholat,puasa jakat dan haji, dan ahkam muamalat seperti akad, hukuman,jinayah,dan lain-lain yang tida termasuk ibadah, disebut hokum muamalat.
Adapun hukum muamalt banyak lagi cabangnya dan barangkali terus berkembang seperti:
a.       Ahkamul Ahwalisy Syakhshiyyah
b.      Ahkamul madaniyah (Hukum Perdata)
c.       Ahkamul Jinayah (Hukum Pidana)
d.      Ahkamul Murafa’at (Hukum Acara)
e.       Ahkamul Dusturiyah (Hukum Per Undang-Undangan)
f.       Ahkamul Daulliyah (Hukum Kenegaraan)
g.      Ahkamaul Iqtisodiyah wal Maliyat ( Hukum Ekonomi dan Harta Benda)


2. Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Ke Dua
Pengertian Sunah
Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi,kebiasaan, adat – istiadat. Dalam terminology islam, sunnah berarti perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad SAW. (Af’alu, Aqwalu, dan Taqriru). Pengertian sunnah tersebut sama dengan pengertian hadis. Al-hadis dalam bahasa Arab berarti berita atau kabar. Namun demikian, ada yang membedakan pengertian sunnah dengan hadis. As-sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad SAW. Yang asli; sedang hadis adalah catatan tentang perbuatan, perkataan, perizinan Nabi yang sampai pada saat ini. Oleh karena itu, keduanya menjadi sumber hukum dan sumber pedoman hidup bagi setiap muslim. Namun perlu diungkapkan bahwa tidak semua hadis mesti menjadi sumber hukum dan sumber pedoman hidup. Sebab, ada hadis yang diterima (maqbul) dan hadis yang ditolak (mardud). Oleh karena itu, harus diakui bahwa terminologi ilmu dalam islam antara hadis dan sunnah dianggap identik.[5]
Apa yang terkandung dalam Al-Qur’an kemudian dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam bentuk lisan atau perbuatan. Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan syri’at ini dinamai Sunnah Rasul atau jalan Rasul, yang kadangkala disebut dengan sunnah saja. Kata-kata Sunnah dalam fiqih Islam – selama tidak ada embel-embel lain – dimaksudkan sebagai sunnah Rasul tadi. Inilah sumber hukum yang kedua . lengkapnya, sunnah ialah semua yang diriwayatkan dari Rasul Allah SAW. Baik perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan terhadap suatu pebuatan yang dilakukan sahabat (qauliyyah, fi’liyyah, ataupun taqriyyah).
Dengan demikian, sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an adalah As-Sunnah. As- Sunnah berfungsi sebagi penguat (mu’akkid) hukum yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, serta penjelasan pengertian, pembatasan dari keumuman, memberikan rincian dan sebagai hukum baru selama tidak termaktub secara eksplisit maupun implicit dalam Al-Qur’am.
Fungsi sunnah
·         Sumber hukum islam yang kedua
Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan diantaranya Surah Al- Anfal ayat 20.
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling dari padanya, sedang kamu mendengar perintah – perintah-Nya”.
·         Menafsirkan ayat Al-Qur’an.
Sunah berfungsi untuk menafsirkan menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu maka hadis berfungsi untuk menjelaskan. Sebagai contoh mengenai perintah shalat. Hadis menjelaskan, yaitu shalatlah kamu sebagaimana Nabi Muhammad SAW. Menjelaskan shalat.


3. Ijma Sebagai Sumber Hukum Yang Ke Tiga
a)      Pengertian Ijmak
Menurut istilah Ahli Ushul,Ijma ialah :“Kesepakatan para imam mujtahid diantara umat islam pada suatu masa setelah Rasululah wafat, terhadap hukum syara  tentang suatu masalah atau suatu kejadian “
Pada masa Rasululah masih hidup, tida pernah dikataan Ijmak dalam menetapkan suatu Hukum, karena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila hal-hal yang belum jelas ayau bellum diketahui hukumnya, ijmak itu dapat terwujud ada empat unsur:
1)      Ada sejumlah mujtahid ketika terjadi suatu kejadian, karena kesepakatan (ijmak) itu tida munkkin ada kalau tida ada sejumlah mujtahid , yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada peyesuayan pandangan.
2)      Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum sara tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinnya, tampa memandang negri , kebangsaan atau kelompok mereka.jadi, kalau mujtahid mekah , madinah, irak, Hijaj saja umpamanya yang sepakat terhadap semua hukum syara tidak dapat dikatakan ijmak menurut syara. Tidak dapat dikatakan Ijmak kalou bersipat Regional , tetapi harus bertahap Internasional. Masalah munkin terjadi Ijmak atu tidak, lain lagi persoalannya, karna ada diantara para ulama yang mengatakan munkin, dan ada pula yang mengatakan tidak munkin
3)      Kesepakatan para semua Mujtahid itu dapat diwajibkan dalam suatu hukum, Tidak dapat dikatakan ijmak kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, juka mayoritas setuju, berarti tidak setuju ,berarti tetap ada perbedan pendapat.
4)      Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu , sehingga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.

b)      Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
1.      Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2.      Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3.      Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[6]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[7]
c)      Kehujahan Ijmak
Kalau semua Mujtahid telah berijmak atau sependapat menetapkan sutu hukum , maka ijmak tersebut dapat dijadikan hujah  mengenai dalilnya telah dikemukakan terdahulu dalam surat An Nisa: 59.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS An Nisa 59)
Lafal Ulil Amri di dalam ayat tersebut bersifat umum, ulil amri dalam urusan dunia adalah pimpinan (raja), sedangkan Ulil Amri dalam masalah agama adalah para Mujtahid dan ahli Fatwa, beberapa ahli tafsir , terutama Ibnu Abas menafsirkan bahwa, yang dimaksud Ulil Amri adalah “Ulama”. Ulama tafsir lainnya mengatakan “Umara” atau penguasa bila diperhatikan secara cermat, maka kedua pengertian itu adalah tepat menurut tempatnya, karna kedudukan ulama dan umara’,  jarang ditemukan pada diri seseorang , dia sebagai ulama dan dia juga sebagai umara’ seperti nabi Muhammad SAW.
Sebagai penguat bahwa ijmak itu dapat dijadikan hujah adalah sabda Rasululah:
Artinya: ‘Umatku tidak akan berkumpul melakukan kesalahan”.
Artinya:”Allah tidak akan mengumpulkan umatku berbuat kesesatan
Artinya:”Apa-apa yang menurut pendapat umat islam itu baik, maka menurut Allah, itu juga baik.
4.      Qiyas Sebagai Sumber Agama Islam Yang Ke Empat
Apabila menghadapi  suatu maslah kontenporer, sering sekali kita tidak menemukan ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an, sunnah Rasul, ataupun Ijma. Cara menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ada (telah diketahui) hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kemudian menarik kesimpulan bahwa ketentuan yang telah ada hukumnya tersebut dapat diberlakukan karena adanya persamaan secara analogis. Cara semacam ini dalam terminology fiqih disebut Qiyas.
Qiyas adalah mempersembahkan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur kesamaan  yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.
Kehujahan melalui metode analogis ini menurut jumhur ulama adalah sah, oleh karena itu, dapat diterima sebagia hujjah syari’iyah. Artinya perbuatan –perbuatan yang diqiyaskan itu dapat mempunyai kekuatan hukum asalakan pernyataan kumulatif dari maslah tersebut dipenuhi. Namun demikian, menurut, Ahmad Hanfi keberadaan qiyas sebagia sumber hukum masih diperselisihkan, tidak seperti tiga sumber hukum sebelumnya, yang keberadaanya telah disepakati para ulama.
Menurut Ahmad Hanafi, Al- Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber dan dasar Syari’at Islam, sedangkan sumber-sumber yang selainya (Ijma’ dan Qiyas) kurang tepat dikatakan sebagai sumber. Disamping tidak membawa aturan –aturan dasar yang baru yang bersifat umum, keduanya lebih tepat disebut sebagai sbuah metodelogi ketimbang sumber hukum. Sekalipun dan kenyataanya, Ijma’ dan Qiyas itu merupakan cara pengambilan hukum hukum dari dua sumber utama dan kedua ( Al-Qur’an dan As-Sunnah ). Penggunaan keempat sumber hukum tersebut, harus sesuai dengan urutan (berurutan atau tertib).
Allah SWT. Berfirman dalam surat An- Nisa ayat 59:



Artinya: “ Hai orang –orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Allah dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Apabila kamu berselisih paham dalam suatu hal, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasul Allah (As-Sunnah) jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” ( Q.S An-Nisa : 59)
Hal ini dijelaskan pula oleh sebuah hadis, yang menceritakan tanya jawab antara Nabi Muhammad  SAW. Dengan Muadz bin Jabal ketika Muadz dilantik Nabi menjadi gubernur Yaman:



Artinya: “ Bagaimana kamu memutuskan suatu perkara?”Kuhukumi dengan kitab Allah,” jawabanya. Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?” Dengan sunnah Rasulullah,” jawab Muazd. Jika engkau tidak temukan dalam Sunnah Rasul? Muadz menjawab , “ Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya.” Rasulullah lalu menepuk dadanya seraya memuji sambil berkata,” Al –Hamdulillah, Allah telah member taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridai Allah dan Rasul-Nya.” 
Dalil Al-Qur’an dan hadis tentang Muadz bin Jabal diatas, memberikan penjelasan kepada kita tentang cara penggunaan dalil (beristidhlal) dalam berhujah, yaitu secara tertib berdasarkan urutan dan tertibnya. Pertama-tama kita harus menggunakan dalil Al –Qur’an selama didalamnya terdapat ketentuan mengenai hal yang dimaksud, baik secara eksplisit (termaktub dengan jelas) maupun secara implisit (tersirat). Kalau masalah tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, langkah selanjutnya adalah mencarinya dalam Sunnah Rasul, yaitu Al-hadis. Kalimat yang menyebutkan taatilah Allah dan taatilah Rasul adalah petunjuk bagi kita untuk mengikuti Al-Qur’an dan mengikuti As-Sunnah. Kalau dalam kedua sumber tersebut tidak didapati, kita harus mengikuti pendapat orang-orang yang mempunyai kekuasaaan (ulul amri). Lafz ulil amri artinya pegangan segala urusan dan itu bersifat umum. Oleh karena itu, ulul amri terdiri atas orang –orang yang mengurus masalah duniawi seperti presiden, raja dengan para pembantunya serta lembaga –lembaga kenegara lainya. Mereka juga terdiri atas orang-orang yang mengurus maslah keagamaan seperti ulama, mujtahid dan lain-lainya. Oleh sebab itu, kalau semua komponen dari ulil amri telah sepakat untuk menetapkan suatu ketentuan hukum atas sautu perkara, seluruh rakyat menaatinya, seperti halnya menaati perintah Allah dan Rasulullah.  

Rukun Qiyas
Setiap qiyas mempunyai empat rukun:

a. Asal (pokok).
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)

b. Far’u (cabang).
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).

c. Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.

d. ‘Illat.
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal. Yang karena sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabaang itu dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya.

Demikianlah gambaran ringkas tentang qiyas. Karena pembahasan di sini hanya bersifat global maka pembaca masih sangat perlu melanjutkan kajian ini dengan kajian yang dalam dan terperinci bila ingin mendapat pemahaman yang menyeluruh dan mendalam

BAB III
KESIMPULAN

 
Demikian dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal senbagai berikut :

1)      Bahwasannya Hukum ialah Firman pembuat syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orangDewasa yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu, atau menjadikansesuatu sebagai adanya yang lain .
2)      Al-Qur’an kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi MuhammadSAW dan dimukilkan dengan jalan mulawatir dan dengan bahasa Arab.
3)      Sunnah ialah segala yang dimukilkan dan diberitakan dari Nabi SAW, baik  berupa perkataan, ataupun pengakuan ( Faqris ).
4)      Ijma’ ialah kebulatan pendapat semua ahli Ijhhad pada suatu masa mengenai suatuhukum syara’.
5)      Qiyas ialah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya




DAFTAR PUSTAKA

Ø  Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148
Ø  As-Shabuni, M. Ali, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
Ø  Efendi, Nur Ma’mun, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.
Ø  Hamzah, Muchotob, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Gama Media 2003. hlm 1-2.
Ø  Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 36-37.
Ø  Khaliil Al-Qattaan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm 144-145.
Ø  Mustofa, Misbah, Shalat dan Tatakrama, al-Misbah, 2006, hlm. 65-67.
Ø  Saleh, Subhi, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
Ø  Shihab, M. Qurais, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007




[1] Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
[2] Muhammad Al-Khudori
[3] Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148
[4] M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
[5] Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika 2009, hlm 19
[6] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476
[7] Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.

0 Response to "Makalah Sumber Hukum Islam"

Posting Komentar