Makna Qishash dan Pengungkapannya dalam al-Qur’an

BABA I
PEMBAHASAN
  • Makna Qishash

Qishahs berasal dari kata ق  ص yang mempunyai arti memotong atau menggunting, kapur, data atau hukuman yang serupa.[1] Menurut Quraisy Shihab dalam tafsirnya Qishash berasak dari kata قص yang mempunyai arti mengikuti jejak.[2]Dalam al-Munjid, قص diartikan dengan الجزأ على الذنب “pembalasan atas kesalahan”.[3] Dalam Kamus Arab Indonesia قص diartikan “menceritakan”.[4] Sedangkan qishash dalam Kamus Istilah Fiqih dikatakan “hukuman yang dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dengan perbuatan, pembunuhan, melukai atau merusak anggota badan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh syara’.[5]Menurut Raghib al- Asfihani Qishash berasal dari kata قَ ص yang berarti “mengikuti jejak”.[6]
Term Qishash disebut dalam al-Qur’an sebanyak 30 kali dengan berbagai macam bentuk (madli, mudlari’, masdar dan amar) dengan makna yang berbeda.[7] Term Qishash yang disebut dalam bentuk madli hanya disebut satu kali, terdapat dalam al -Qur’an surah al-Qashash ayat 25 mempunyai arti menceritakan. Dalam bentuk mudlari’, qishash disebut sebanyak 14 kali.12 Dalam bentuk masdar disebut 14 kali, diantaranya terdapat dalam surah Ali Imran: 62, al-Qashash: 25, al-Kahfi: 64, yang berbunyi sebagai berikut:


Artinya: “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .”

Artinya : “kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan Balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu".

Artinya : “Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”

  • Pandangan Ulama Tafsir tentang Qishash

Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan, bahwa pada segolongan orang khususnya pada zaman sekarang ini terpetik pikiran bahwa hukuman bunuh bagi pembunuh bersifat balas dendam, tidak mendidik. Padahal pemerintah wajib mengajarkan rasa saling kasih sayang kepada rakyat dalam menjalankan hukuman. Karena rakyat yang melakukan kejahatan disebabkan jiwanya sakit. Jadi seharusnya mereka dimasukkan dalam rumah sakit. Begitulah kira-kira alasan mereka. Kalau alas an-alasan itu kita teliti betul, tentu akan kita ketahui bahwa keadaan seperti ini (tidak menghukum bunuh kepada pembunuhnya) jika ditetapkan dalam undang-undang, maka hal ini hanya bisa diperlakukan dalam masyarakat yang sudah maju dan berkebudayaan tinggi, bukan sebagai undang-undang yang umum. Maka hukum qishash secara adil adalah jalan untuk mendidik semua umat dan bangsa-bangsa di dunia, sedangkan meninggalkan hukuman ini berarti memberi angin segar kepada orang-orang jahat dan membuat mereka berani membunuh seenaknya. Sebab hukuman penjara ternyata tidak berhasil mencegah sebagian besar orang melakukan pembunuhan bahkan mereka merasa lebih baik hidup di penjara daripada dirumah sendiri.[8] Rasyid Ridha mengemukakan bahwa ayat qishash bersifat yuridis yang menekankan pentingnya pemeliharaan kehidupan sehingga pembalasan merupakan hal yang diperlukan sebagai sarananya. Oleh karena bila setiap pelaku pembunuhan akan diganjar dengan hukuman qishash, dengan sendirinya ia akan terkekang untuk melakukan pembunuhan.[9] Muhammad Syahrur berpendapat bahwa ada beberapa teori tentang ketentuan hukuman dalam al-Qur’an salah satunya adalah teori “halah al-had al-A’la” (batasan maksimal). Artinya seorang hakim boleh berijtihad dalam mengurangi hukuman tertinggi dalam al-Qur’an tetapi boleh tidak melebihkan. Contohnya adalah hukuman qishash. Qishash adalah hukuman tertinggi dalam al-Qur’an sehingga boleh jadi pembunuh tidak dikenakan hukuman qishash melainkan hukuman yang lebih ringan termasuk di dalamnya adalah diyat atau maaf. Bahkan dalam kasus yang syubhat pelaku hanya dikenakan hukuman penjara.[10] M. Quraisy Shihab dalam tafsirnya mengemukakan bahwa qishash berarti persamaan sanksi dengan terpidana. Dengan kata qishash al-Qur’an bermaksud mengingatkan bahwa apa yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan pada hakekatnya hanya mengikuti cara dan akibat perlakuannya pada si korban. Peraturan baik apapun yang ditetapkan, baik oleh manusia maupun oleh Allah, pada hakekatnya adalah untuk kemaslahatan “masyarakat manusia”. Adalah sangat mustahil memisahkan manusia selaku pribadi dan masyarakatnya. Ini hanya terjadi dalam teori. Tetapi dalam kenyataan sosiologis, bahkan dalam kenyataan psikologis, manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, walaupun ketika hidup dalam goa sendirian. Bukankah manusia yang berada di goa, menciptakan mahluk lain bersamanya. Demikianlah, manusia membutuhkan selain dirinya. Pada saat manusia, merasakan kehadiran manusia-manusia lain bersamanya. Pada saat itu pula seorang atau ribuan anggota masyarakatnya mempunyai kedudukan yang sama, semua harus dihargai sehingga “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, tanpa alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. al-Maidah : Betapapun, al-Qur’an juga menempuh jalan pendidikan, meskipun ketetapan dan ketentuannya yang menyatakan: “Barang siapa
yang terbunuh secara aniaya, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya” (QS. al-Isra’: 33), memberikan kekuasaan kepada ahli waris yang terbunuh untuk memilih alternatif “memaafkan, menerima ganti rugi, atau menuntut qishash, tetapi lanjutan ayat di atas berpesan agar “janganlah ia (ahli waris)
melampaui batas dalam membunuh, karena sesungguhnya ia (dengan ketetapan itu) telah mendapat pembelaan/ pertolongan”. Bahkan dalam ayat lain al-Qur’an menagnjurkan untuk memberi maaf kepada yang bersalah, karena pemaafan dalam qishash menghapuskan dosa di pemaaf serta melahirkan hubungan yang baik dalam kehidupan.
  • Term yang Semakna dengan Qishahs
  • Term Jaza’

Term jaza muncul dalam al-Qur’an sebanyak 119 kali,39 Empat kali dalam bentuk kata kerja madhi, tujuh puluh kali dalam bentuk kata kerja mudhari’, empat puluh tiga kali dalam bentuk masdar. Term jaza’ berasal dari kata جاز / جزى yang berarti menggantikan, menghukum, mencukupi, menempati, membagi.[11] Dalam Kamus al-Munawir, جزا diartikan dengan denda, memberi upah, menagih.[12] Dalam bentuk madhi term jaza’ disebut 6 kali, yang terdapat dalam al-Qur’an surah al-Insan: 12, al-Mukminun: 111, al-An’am: 146, as-Saba’: 17, yang berbunyi: al-Insan: 12

Artinya: “Dan dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutra).

Artinya : “Sesungguhnya aku memberi Balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang menang."

Artinya : ”dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.”
Artinya : ”Demikianlah Kami memberi Balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.”

Term jaza’ yang mempunyai keterikatan makna dengan qishash terdapat dalam al-Qur’an surah asy-Syura 40 yang berbunyi:

Artinya : ”dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap kejahatan yang dilakukan terhadap jiwa ataupun harta, maka dibalas dengan qishash yang semisalnya. Karena, menyia-nyiakan jiwa dan harta menyebabkan terbukanya pintu kejahatan dan kerusakan lainnya. Karena, manusia mempunyai tabi’at dzalim, aniaya dan menyerang. Maka, apabila tidak dicegah, dia akan terus-terusan dan tidak mau meninggalkannya. Namun bila melebihi dari ukuran dosa, hal itu berarti aniaya juga sedangkan syari’at-syari’at mengindari hal seperti itu. Oleh karenanya, Allah SWT mensyari’atkan qishash dan menganjurkan supaya memberi anugerah, yaitu memaafkan.
  •  Term ‘Iqab

Dari segi bahasa ‘iqab berasal dari kata عاَق بعَق ب yang berarti memukul, menggantikan, menerangkan, membalas, akibat, menghukum, mengikuti, balasan. عقب[13] juga diartikan dengan makna keturunan, tumit.[14] Term ‘iqab muncul dalam al-Qur’an sebanyak 80 kali [15] dengan berbagai macam bentuk (madhi, mudhari’, masdar dan lain-lain), diantaranya:

Artinya : “ tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.”

Artinya : “dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).”
Dari 80 kali surat dalam al-Qur’an, hanya 1 kali yang berkenaan dengan qishash, yaitu terdapat dalam surah an-Nahl ayat 126, yang berbunyi:

Artinya : “dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”

Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang untuk berlaku adil dalam membalas perlakuan yang tidak patut dan wajar dari orang lain. Hendaklah ia melakukan pembalasan sama dan seimbang dengan pelakuan yang diterimanya. Akan ettapi jika ia dapat menahan dirinya dan bersabar, maka kesabaran itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.[16]
Adapun kejahatan-kejahatan yang sudah ditentukan sendiri hukumannya oleh al-Qur’an adalah: Pembunuhan, Perampokan, Pencurian, Perzinaan, Penuduhan berzina.[17] Adapun hukuman untuk pembunuhan yang sengaja adalah hukuman mati atau qishash. Qishash hanya diadakan semata-mata terhadap kejahatan pembunuhan (2: 178), tapi dalam ayat lain disebutkan (al- Maidah: 45) gigi dengan gigi, mata dengan mata, bahkan melukaipun harus dibalas melukai. Dan dalam al-Baqarah ayat 194 disebutkan bahwa jika kamu diserang maka seranglah. Dengan adanya keterangan tersebut maka penulis dapat simpulkan bahwa ada 3 term yang secara tidak langsung yang mengarah pada qishash, yaitu qatala, jaraha dan i’tada.
  • Qatala

Term qatala muncul dalam al-Qur’an sebanyak 147 kali dalam bentuk yang berbeda,[18] tetapi yang berkenaan dengan qishash ada 2, terdapat dalam surah al-Isra’ ayat 33 dan al-Baqarah ayat 178, yang berbunyi:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”
  • I’tada

Term I’tada disebut dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 194 yang berbunyi:

Artinya : “bulan Haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati[119], Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
  • Jaraha

Term jaraha disebut dalam al-Qur’an sebanyak empat kali dengan makna yang berbeda.84 Dalam surah al-An’am ayat 60 jaraha diartikan dengan “kerjakan” yang berbunyi:

Artinya : “dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.”
Term jaraha disebutkan disebutkan jama’nya “”Jawarihi” yang mempunyai arti binatang buas, terdapat dalam surah al-Maidah ayat 4 yang berbunyi:

Artinya : “mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya).  dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.”



[1] Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Makrom bin Mandzur al-Afriqi al-Misri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Sadr, tt), hlm. 74-76.
[2]  M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), hlm. 108.
[3] Abu Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), Cet. 28, hlm. 631.
[4]  M. Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, tt), hlm. 341.
[5]  Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 278.
[6]  Raghib al-Asfihani, Mu’jam Mufradat alfad al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.),
hlm. 419.
[7]  M. Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahras alfad al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1983), hlm. 546.
[8]           Syekh Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, (Bandung: Rosda Bandung, 1987), hlm. 74.
[9]  Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (mesir: Dar al-Bab al-Halami wa Auladuhu, tt), Vol
2, hlm. 123.
[10] M. Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’airah, (t.kt: al-Insani-yah al- Arabiyah, 1990), hlm. 453
[11]          Abi Fadal Jamaluddin Muhammad bin Makrom bin Mandzur al-Afriqi al-Misri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar sadr, tt), hlm. 45-46.
[12]          Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 191.
[13]  Abi Fadl jamaluddin Muhammad bin Makrom ibnu Mandzur al-Afriqi al-Misri, Op. Cit., hlm. 611-613.
[14]  Ahmad Warson Munawir, Op. Cit., hlm. 952.
[15]  M. Abdul Baqi, Op. Cit., hlm. 468.
[16]  H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Op. Cit., hlm. 611
[17]  Dr. H. Abdoer Raoef, SH, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 137-138.
[18]  Ahmad ibn Hasan, Fathur Rahman li Tholabi Ayatil Qur’an, (Beirut, Ahliyah: tt.,) hlm. 353-354.

0 Response to "Makna Qishash dan Pengungkapannya dalam al-Qur’an"

Posting Komentar