Makalah Tafsir Ahkam Tentang Nafakah



PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dari Sejak dulu sampai sekarang kita sebagai muslim tentu saja mengetahui akan kewajiban kita, dan banyak yang mengertikan dan mengetahui bahwa kewajiban kita di dunia yakni hanya untuk beribadah.
Pemikiran seperti itu, memang tidak salah karena sudah tertulis dalam Al-Qur’an, Kalau kita amati bahwasanya di negara Indonesia khususnya, banyak pasangan suami isrti yang bercerai, dan salah satu penyebabnya adalah masalah ekonomi (Nafkah) yang kurang tersteruktur oleh kedua belah pihak, dan masih sangat minim sekali masyarakat indonesia mengetahui makna dari Nafkah, oleh karena itu, kami membahas makalah yang berjudul Nafakah dalam prespktif Tafsir Ahkam.


B.     Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian dari Nafkah ?
  2. Macam-macam Nafkah ?
  3. Dasar Hukum Nafkah ?
  4. Macam-Macam Nafkah ?
  5. Apakah faedah (manfaat) serta tujuan Nafkah ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian nāfakah
Secara etimologi, nafakah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infāqan (انفق- ينفق- انفاقا). Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafakah diartikan dengan “ pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafakah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.[1]
Di dalam al-Qur`an kata nāfakah dengan berbagai derivasinya disebut 110 kali, masing-masing 73 kali berarti nafakah atau memberi nafkah, 37 kali berarti kemunafikan dan satu kali berarti lubang.[2]
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafakah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafakah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga),
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut:
Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
Adapun kata  anfaqa (انفق), mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
a)       Membelanjakan Harta.
1- QS. Al-Anfal : 63
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Artinya:Walaupun kamu membelanjakan semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. (QS.  Al-Anfal : 63)

Dalam terjemahan versi Departemen Agama RI tertulis kata anfaqta dengan arti : membelanjakan dan bukan menginfaqkan. Sebab memang asal kata infaq adalah mengeluarkan harta, mendanai, membelanjakan, secara umum apa saja. Tidak hanya terbatas di jalan Allah, atau sosial atau donasi.
2- Q.S. Al-Baqarah : 195
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ  
Artinya:“Keluarkan nafakah kalian di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah : 195)

Ketika Allah s.w.t. memerintahkan kaum mu’min untuk mempertahankan diri baik nyawa, harta, keluarga, ataupun tanah air dari serangan musuh dan kaum kafir ternyata diperlukan kekuatan yang tiada terhingga. Diantara kaum mu’minin ada yang mampu materil, akan tetapi lemah fisiknya. Dan sebaliknya ada juga yang kuat fisiknya tapi lemah kemampuan materilnya.
Dengan ayat ini Allah s.w.t. memerintahkan kaum mu’minin yang mampu materilnya untuk mengeluarkan guna menyempurnakan perbekalan dan perlengkapan perjuangan para pahlawannya dijalan Allah s.w.t.[3]
Adapun mengeluarkan nafakah di jalan Allah, berarti membelanjakan harta kekayaan untuk kemaslahatan agama yang di syari’atkan kapada kaum mu’minin, antara lain:
1.      Berperang mempertahankan hak, agama dan Negara.
2.      Membina tempat untuk mencapai kebaikan seperti pesantren dan sekolah dalam usaha menyebarkan agama, tempat pemeliharaan dan pendidikan yatim piatu serta fakir miskin yang lemah dan tidak mampu.
3.      Mendirikan rumah-rumah pengobatan dengan mengutamakan pembiayaan pengobatan fakir miskin.
4.      Mengeluarkan nafakah untuk haji dan umrah.
5.      Membantu orang yang berhutang dan
6.      Pembiayaan dalam membina kekeluargaan dan persaudaraan. 
Mengeluarkan nafakah di jalan Allah merupakan kewajiban yang wajar, karena harta yang dimiliki seseorang adalah harta titipan Allah. Sewajarnyalah kaum muslimin melaksanakan kewajibannya mengeluarkan nafakah di jalan Allah dan tidak layak dibelanjakan untuk memuaskan hawa nafsu belaka sehingga jauhlah dari rahmat Allah.[4]
b)      Memberi Nafkah
Kata anfaqa ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran.
1.       An-Nisa`: 34.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya:Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

2.      Al-Baqarah :215
   
Artinya: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa  saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya”
c)      Mengeluarkan Zakat
Dan kata infaq di dalam Al-Quran kadang juga dipakai untuk mengeluarkan harta (zakat) atas hasil kerja dan hasil bumi (panen)[5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ
Artinya:  ”Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah zakat sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah : 267).

Istilah infaq itu sangat luas cakupannya, bukan hanya dalam masalah zakat atau sedekah, tetapi termasuk juga membelanjakan harta, memberi nafkah bahkan juga mendanai suatu hal, baik bersifat ibadah atau pun bukan ibadah. Termasuk yang halal atau yang haram, asalkan membutuhkan dana dan dikeluarkan dana itu, semua termasuk dalam istilah infaq.
d)     Harta yang dikeluarkan oleh orang kafir juga disebut infaq
Termasuk ke dalam pengertian infak yang dikeluarkan orang-orang kafir untuk kepentingan agamanya (QS Al-Anfal:36)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّواْ عَن سَبِيلِ اللّهِ فَسَيُنفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ ﴿٣٦﴾
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.

B.     Dasar Hukum Nafkah
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, serta kesepakatan para imam madzhab diantaranya adalah:
1.      Surat Ath-Thalaq ayat 6-7 
Artinya:“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6) “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7)[6]

Dalam ayat diatas dapat kita pahami bahwa:
a.       Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lainnya.
b.      Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di tempat suami. Besarnya kewajiaban nafakah tergantung pada keleluasaan suami. Jadi pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan permintaan istri.[7]
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (لينفق) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafakah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafakah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafakah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafakah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan  لينفق ذو سعة من سعته  adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri.
Adapun maksud ayat لايكلف الله نفسا الا مأ تا ها   adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.[8] Sedangkan Muhammad Ali as - Sayis berpendapat bahwa ayat لايكلف الله نفسا الا مأ تا ها  mengungkapkan bahwa tidak berlaku fasakh disebabkan karena suami tidak sanggup memberi nafkah kepada isterinya. Sebab ayat ini mengandung maksud bahwa bila seseorang tidak sanggup memberi nafkah karena kondisinya yang tidak memungkinkan disebabkan kemiskinannya, Allah SWT tidak memberatkan dan membebaninya supaya memberi nafkah dalam kondisi tersebut.
2.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ   اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك
Artinya:“Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”(HR.Muslim)[9]

Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu, Rasulullah SAW akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
3.      Kesepakatan Imam Madzhab
Empat Imam Fiqih madzhab sepekat menetapkan bahwa hukum memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi suami. Ketetapan ini bisa kit baca dalam kitab fiqih, antara lain dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah  Juz II halaman 91“Para Imam yang empat sepakat menetapkan wajibnya suami memberikan nafkah bagi anggota keluarga yang dikepalainya, seperti orang tua, istri dan anak yang masih kecil”
Kalimat yang sama juga disebutkan dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138. Keduamya sama-sama mencontohkan bahwa anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan juga anak yang masih kecil (belum mampu mencari nafkah sendiri) dan orang tua (yang sudah tidak mampu mencari nafkah lagi). Hal ini lebih menegaskan bahwa semua orang yang ada di dalam kekuasaan suami, termasuk pembantu ataupun buadk, adalah anggota yang nafkahnya menjadi tanggungan suami.
Sebagai kewajiban, maka setiap suami muslim harus mencukupi nafkah keluarga itu sesuai dengan kemampuannya. Jika dia menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan pahala. Dan jika dia meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan akan mendapat siksa dari Allah.

C.    Macam-Macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang, pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.[10]
1). Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
·         Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang lain.
·         Nafkah untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan.[11]
2). Nafkah kiswah atau pakaian
            Nafkah kiswah artinya nafkah yang berupa pakaian atau sandang. Kiswah inin merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Oleh karna itu, kiswah merupakan hak istri, sebagimana dijelaskan sebelumnya.
            Pakaian yang dimaksud adalah semua kebutuhan yang erat hubungannya dengan anggota badan. Suami wajib memberikan nafkah kiswah kepada istrinya berupa pakaian untuk menutup aurat dan berbagai kebutuhan batiniahnnya, disamping berupa pakaian, nafkah kiswah berupa hal-hal sebagai berikut:
1.      Biaya pemeliharaan jasmaniyah istri
2.      Biaya pemeliharaan kesehataan
3.      Biaya untuk kebutuhan perhiasan
4.      Biaya untuk kebutuhan rekreasi
5.      Biaya untuk pendidikan anak
6.      Biaya untuk hal-hal yang tidak terduga.
Karena suami telah melaksanakan kewajibannya memenuhi nafkah kiswah, istri berhak      untuk menjaga auratnya, menjaga kemaluaanya, tidak keluar rumah tanpa seizin suaminya, taat dalam beribadah atau menjaga perintah agama, dan mendidik anak-anaknya dengan akhlak dan budi pekerti yang baik.[12]
D.    Tujuan Serta Manfaat (Hikmah) Nafaqah
a)      Tujuan Nafaqah
Adapun tujuan nafaqah di antaranya yaitu:
1.      Sasaran yanng hendak dicapai ialah menyucikan jiwa orang yang mengeluarkan nafaqah. Mereka berinfaq dengan jiwa yang bagus, merelakan apa yang diberikannya dengan menghadapkan tujuan kepada Allah dengan tidak merasa sempit (enggan) dan jenuh.
2.      Memberikan jaminan kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan itu.
3.      Memobilisasi seluruh jiwa supaya bertenggang rasa dan dan saling membantu dengan tidak merasa keberatan dan tidak merasa bosan. [13]
b)     Hikmah Nafaqah
1). Firman Allah ta’ala,
”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S Al-Baqarah: 274)
2). Dari Abu Mas’ud Al-Ansari Radhiyallahu Anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda, “jika seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharapkan pahala Allah (atas nafkah tersebut), maka baginya sedekah.[14] 3). Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasalullah sallallahu Alaihi wa salam bersebda, “orang yang memeberi nafkah kepada janda dan orang miskin,maka sama seperti mujtahid di jalan Allah, atau orang yang melakukan qiyamulail (salat malam)dan berpuasa di siang hari.[15]

KESIMPULAN
Secara etimologi, nafakah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infāqan (انفق- ينفق- انفاقا). Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafakah diartikan dengan “ pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafakah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.
Di dalam al-Qur`an kata nāfakah dengan berbagai derivasinya disebut 110 kali, masing-masing 73 kali berarti nafakah atau memberi nafkah, 37 kali berarti kemunafikan dan satu kali berarti lubang.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut:
Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
Dalam Al-Qur’an Kata Anfaqa mempunyai arti:
a.       Membelanjakan harta
b.      Memberikan Nafkah
c.       Mengeluarkan Zakat

Dan perlu kita ketahui bahwa Nafkah Menurut jenisnya dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang, pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA 
  • M. Hasan AliPedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006)
  • Sayyid Quth, Fī Zhilal Al-Qur`An, Beirut: Darusy-Syuruk, 1992.Penj: As’ad Yasin Dkk, Di Bawah Naungan Al-Qur`An, Jakarta: Gema Insani,2000
  • M.Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002)
  •  Hakim RahmatHukum Pernikahan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
  • Muhammad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985), Juz XVIII
  • A Dahlan dkk, Ayat-Ayat Hukum, Bandung: CV Diponegoro, 1975
  • M Quraisy Syihab, Ensiklopedi al-Qur`an, kajian kosa kata,  Jakarta: Lentera Hati, 2007


[1] http://amristotelestain.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo.html
[2]  M Quraisy Syihab, Ensiklopedi al-Qur`an, kajian kosa kata,  Jakarta: Lentera Hati, 2007,  h  643
[3] A Dahlan dkk, Ayat-Ayat Hukum, Bandung: CV Diponegoro, 1975, h 93
[4] A Dahlan dkk, ibid, h  94
[5] http://www.yayasanalislam.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=120

[6] Departemen AgamaAl-Qur’an dan TerjemahannyaHal. 946

[7]  Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hal.286

[8] Muhammad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985), Juz XVIII, h. 170
[9] Imam Muslim, Shohih Muslim. Juz 9 h.105
[10] M.Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002).
 h. 156-159

[11] M. Ali Hasan, Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006).h 123

[12] Mustafa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV. Pustaka setia 2011).h 176-177
[13] Sayyid Quth, Fī Zhilal Al-Qur`An, Beirut: Darusy-Syuruk, 1992.Penj: As’ad Yasin Dkk, Di Bawah Naungan Al-Qur`An, Jakarta: Gema Insani,2000, h  264
[14]Muttafaq alaih, dikeluarakan oleh Al-Bukhari no. (5351)  lafazh ini baginya, dan Muslim no.(1002)
[15] Muttafaq alaih, dikeluarakan oleh Al-Bukhari no. (5353)  lafazh ini baginya, dan Muslim no.(2982)

0 Response to "Makalah Tafsir Ahkam Tentang Nafakah"

Posting Komentar