BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat adalah media
komunikasi antara insan dengan Tuhan dan merupakan suatu ibadah yang dapat
mengikat hati dan menguatkan iman. Dari segi ini shalat dapat membawa kontak
sosial dan saling tolong menolong antar sesama dalam amal kebajikan dan
ketaqwaan. Kalau shalat wajib lima waktu sehari semalam tidak dapat berjamaah
ke masjid lantaran kesibukan, kemalasan dan lain sebagainya, maka Allah SWT
mewajibkan kaum muslimin untuk menunaikan sholat berjamaah satu minggu sekali
yaitu pada hari Jum’at dan kaum muslimin diwajibkan agar bergegas menuju masjid
apabila adzan telah berkumandang, Namun demikian fakta yang terjadi di sebagian
masyarakat kita tidak seperti yang demikan karena lantaran kesibukan dan
kemalasan dari masing-masing.
Dengan latar belakang
di atas maka, penulis menyusun Makalah ini mencoba mengingatkan pada diri
sendiri dan kaum muslimin dalam sholat jum’at, makalah ini sedikit membahas
tentang Sholat wajib lima waktu yang berisi tentang ayat yang mewajibkan sholat
lima waktu, sejarah shalat, waktu-waktu shalat, dispensasi shalat, dan hikmah
shalat, tafsir dan penjelasannya. Dan semoga makalah sederhana kami ini dapat
bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Shalat
Kata
صلاة adalah
bentuk mashdar dari kata yang
tersusun dari huruf - huruf shad, lam
dan wawu. Susunan tersebut menurut Ibnu Faris dan al - Ashfahani,
mempunyai dua makna denotative, yaitu ;
1. Membakar
2. Berdoa atau meminta
Abu
Urwah menambahkan. Ada juga yang berpendapat bahwa makna denotatifnya adalah shilah (hubungan) karena shalat
menghubungkan antara hamba dengan Tuhannya; atau shala /shalwan (tulang ekor) karena ketika sujud tulang ekor
tempatnya berada paling tinggi, atau iluzum (tetap) karena shalat صلاة berarti
tetap melakukan apa yang diwajibkan Allah. Namun, ketiga pendapat tersebut
menurut Abu Urwah, tampaknya dipengaruhi term shalat di dalam shalat di dalam
Islam, sehinga tidak dapat dijadikan Hujjah.
Secara etimologi berarti doa. Sedangkan kata doa
berakar kata dari دعا-يدعو-دعوة
yang berarti ajakan, seruan, panggilan untuk mendekatkan diri. [1]
Dengan demikian, secara etimologi dapat dinyatakan bahwa orang yang bershawalat
berarti ia ingin mendekatkan diri kepada sesuatu yang dijadikan obyeknya.
Menurut Harun Nasution,
pemaknaan doa dapat di-gunakan dengan Tuhan atau manusia sebagai subyeknya,
atau sebaliknya sebagai obyeknya.[2]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Tuhan mendekatkan manusia kepada-Nya
dalam pengertian; Tuhan menyeru kepada manusia agar mereka mengikuti jalan
hidup yang membawa mereka kepada keselamatan. Di dalam Alquran seruan semacam
ini antara lain ditemukan dalam QS. Yûnus ayat 25 sebagai berikut:
Artinya: Allah menyeru (manusia) ke Darussalam
(surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus
(Islam)’.[3]
Pada ayat lain,
misalnya dalam QS. al-Baqarah ayat 221 dinyatakan bahwa ;
Artinya:‘… dan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran’[4]
Terkait dengan ayat di
atas, maka dapat dipahami bahwa seruan atau ajakan Allah swt. kepada manusia
merupakan suatu petunjuk tentang keselamatan mereka.
Di samping makna dasar
Shalat adalah doa, dapat pula bermakna التبريك (pemberian atau perolehan
berkah) dan التمجيد (pemberian
atau perolehan kemuliaan).[5]
Jadi shalat menurut bahasa
adalah do’a atau berdo’a untuk kebaikan, seperti dalam firman Allah SWT ; (QS.
Al-Taubah : 103) :
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Menurut
pengertian syara’ adalah ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan tertentu
yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam.[6]
B. Sejarah Shalat dan Kefardhuannya
Menurut
Abu Urwah, pada masa jahiliyah kata shalat
digunakan di dalam arti berdoa, meminta dan beristighfar, yang diambil dari
kata shilah “hubungan”, yaitu hubungan antara hamba dengan Tuhan. Dengan
makna ini , maka shalat digunakan oleh semua agama sebagai istilah bagi
suatu ibadah kepada Tuhan masing - masing .[7]
Setelah
Islam datang, kata shalat hanya
digunakan untuk suatu bentuk ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yaitu
berupa sejumlah ucapan dan perbuatan yang dimaksudkan untuk mengagungkan Allah
swt, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan sejumlah syarat
khusus yang berkaitan dengannya.
Shalat difardhukan pada malam Isra’, kurang lebih
lima tahun sebelum hijrah menurut pendapat yang masyhur dikalangan ahli sirah,
berdasarkan hadis Anas, ia berkata : “Shalat difardhukan kepada Rasulullah
Saw, pada malam Isra’ 50 kali dalam satu hari satu malam. Kemudian dikurangi hingga menjadi 5 kali. diserukan
: Ya Muhammad, sesungguhnya ketetapan dariku tidak dapat dirubah, dan
sesungguhnya lima shalat ini bagimu sama dengan 50 shalat”. Sebagian Ulama Hanafiyah berkata : Shalat
difardhukan pada malam Isra’ sebelum hari sabtu, 17 Ramadhan satu
setengah tahun sebelum hijrah. Al-Hafizh Ibnu Hajar menetapkan bahwa
difardhukannya shalat adalah 27 Rajab. Pendapat inilah yang dipegangi oleh
sebagian besar umat Islam diseluruh penjuru dunia.
Shalat merupakan fardhu ‘ain atas setiap orang
mukallaf (yakni baligh dan berakal), tetapi anak-anak diperintah untuk
melaksanakannya pada umur tujuh tahun dan dipukul dengan tangan bukan dengan
kayu. Pada umur sepuluh tahun bila meninggalkannya, berdasarkan sabda
Rasulullah Saw ;
Artinya : “Perintahlah anak-anakmu untuk
melakukan shalat pada umur tujuh tahun, dan pukulah mereka karena
meninggalkannya pada umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat
tidur masing-masing.”[8]
C. Istimbath Hukum Shalat
Sholat hukumnya
wajib berdasarkan (QS. Al-bayyinah: 5) :
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
D. Waktu dan Macam Shalat
Waktu shalat, yaitu suatu ibadah
yang tertentu waktunya seperti yang tertera dalam QS.Al -Nisa ayat 103 :
Artinya :Maka
apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman,
Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.
É
.
Artinya : Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Ada tiga
waktu shalat yang diperbincangkan dalam ayat di atas. Pertama tergelincirnya
matahari (duluk al -Syams). Shalat setelah tergelincir matahari mencakup
shalat dzuhur dan ashar. Kedua, gelap malam (Ghosaqi al - lail)
yaitu terbenamnya matahari. Shalat pada waktu ini meliputi shalat maghrib dan
Isya. Ketiga, terbitnya fajar (Qur’an al - fajr) yaitu shalat
subuh.
Huruf lam
yang terdapat di awal kata liduluki
al –syams bermakna illat atau sebab. Hal ini menunjukkan
bahwa masuknya waktu, yang meliputi tergelincirnya matahari, gelap malam dan
terbitnya fajar, merupakan sebab wajibnya mendirikan shalat dan sekaligus
menjadi syarat wajib dan sahnya shalat. Maka jika waktu belum masuk, maka
shalat belum wajib dikerjakan maka shalatnya tidak sah.[9]
Dalam
suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang diterima dari Abi Hurairoh
: bahwa Nabi bersabda, “Shalat itu mempunyai awal dan akhir waktu. awal waktu dzuhur adalah tergelincir
matahari (cenderung kearah barat) dan berakhir ketika bayangan sesuatu sama
panjangnya dengan sesuatu itu, sebelum masuknya
waktu ashar”. Waktu ashar adalah (mulai dari akhirnya waktu
dzuhur sampai kepada) sebelum munculnya kekuning-kuningan matahari di ufuk
barat. Waktu maghrib (mulai dari terbenamnya matahari dan
berakhir) sebelum terbenamnya syafaq merah. Dan waktu ‘isya,
mulai dari terbenamnya syafaq merah sampai tengah malam. Sedangkan waktu
subuh, mulai dari terbitnya fajar sampai terbitnya matahari.” Selain
dari hadis ini, terdapat pula beberapa hadis lainnya, sebagian hadis-hadis itu ta’arudh
(kontradiksi) dengan sebagian yang lain sehingga menyebabkan perbedaan pendapat
para ulama :
1.
Awal dan
akhir waktu ‘asar
Menurut
Imam Malik dan Al-Syafi’i, awal waktu ashar adalah ketika berakhirnya waktu
dzuhur, yaitu apabila panjang bayangan sesuatu telah sama dengannya. Dan
menurut Abu Hanifah, berahirnya waktu dzuhur tidak berarti waktu ashar langsung
masuk. Menurutnya, ashar mulai masuk apabila bayangan seseuatu sama panjangnya
dengan dua kali panjang sesuatu tersebut.
2.
Akhir
waktu maghrib
Sebagian ulama berpendapat, waktu
maghrib itu sempit. Ibnu Rusyd menjelaskan, pendapat ini dianut oleh Imam Malik
dan Al-Syafi’I dalam riwayat yang paling masyhur. Akan tetapi dalam riwayat
yang lain dinyatakan pula, akhir waktu maghrib menurut Imam Syafi’I adalah
terbenamnya syafaq merah (mega merah), begitupun menurut Abu Hanifah.
3.
Awal dan
akhir waktu ‘isya`
Menurut Imam Malik dan Al-Syafi’I, awal
waktu isya adalah terbenamnya mega merah. Dan menurut Abu Hanifah, awal waktu
isya’ itu hilangnya keputihan dilangit yang muncul setelah hilangnya mega
merah.[10]
E. Dispensasi Dalam Shalat
1.
Shalat
Qashar
Artinya : dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh
yang nyata bagimu.[11]
Ayat ini
memberikan rukhsah kepada orang-orang mukmin, yaitu jika dalam
perjalanan mereka dibolehkan mengqashar shalat khususnya shalat raba’iyyat (shalat
yang empat rakaat) menjadi dua rakaat.
Jumhur
ulama menetapkan bahwa musafir yang boleh mengqashar shalat hanyalah musafir
yang tidak mempunyai tujuan bermaksiat. Jika dia berpergian dengan tujuan
maksiat, maka dia tidak boleh mengqashar shalattnya. Firman Allah :
Artinya : Jika kamu takut diseraang orang- orang
kafir. Sesungguhnya orang - orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Kata ان خفتم (jika kamu takut) dalam ayat ini tidaklah
berarti syarat. Seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, baik dia merasa
takut akan adanya gangguan dariorang kafir atau tidak. Kata tersebut, dalam
ayat di atas, hanyalah menggambarkan keadan umat Islam dimasa itu, yaitu
apabila mereka berpergian selalu mendapat gangguandari orang – orang kafir.
2.
Shalat
Khauf
Artinya : dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu
mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap
siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu.
Ayat ini mengajarkan kepada Rasulullah dan para
pengikutnya cara melaksanakan shalat dalam peperangan atau dalam ketakutan(shalat
khauf). Ibnu Katsir menyebutkan bahwa terdapat banyak cara melakukan shalat
khauf, [12] Tetapi
kebanyakan ulama fiqih membaginya kepada tiga macam cara, yaitu musuh di arah
kiblat, musuh bukan di arah kiblat, dan shalat di tengah – tengah berkecamuknya
peperangan.
F. Hikmah Difardhukannya Shalat
1.
Sahalat
merupakan fardhu yang terbesar setelah syahadat, berdasarkan hadis Jabir : “Batas
antara orang dengan kekufurannya adalah meninggalkan shalat”
2.
Shalat
difardhukan sebagai sarana bersyukur terhadap berbagai nikmat Allah yang sangat
banyak.
3.
Shalat
mempunyai nilai positif yang sangat tinggi, dari aspek agama maupun pendidikan
baik secara pribadi maupun sosial.
4.
Dalam
shalat terkandung pembiasaan mencintai dan memenuhi keteraturan dalam bertindak
dan dalam segala urusan kehidupan.
5.
Shalat
merupakan lembaga moral praktikal formal yang mengajarkan keutamaan kejujuran
dan kepercayaan dan melarang perbuatan keji dan mungkar.
6.
Dengan
shalat berjamaah dapat tercipta saling mengenal, saling mengasihi dan saling
menolong antara kaum muslimin.
7.
Shalat
merupakan batas pembeda antara orang muslim dengan non muslim.
G. Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Ummat
Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari kewajiban shalat adalah orang yang
kafir yang murtad, karena kefardhuan shalat telah ditetapkan berdasarkan
syari’at Islam. Barang siapa meninggalkan shalat karena malas dan
merendahkannya, maka ia fasik dan durhaka kecuali orang yang baru masuk Islam
atau muslim yang tidak sempat bergaul dengan muslim lainnya hingga datang
perintah shalat.[13]
Artinya : Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
Ayat diatas menjelaskan
bahwa : “Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu
orang-orang yang lalai dari esensi shalat mereka, yaitu orang-orang yang
senantiasa berbuat riya, pamrih serta bermuka dua dan menghalangi dirinya dan
orang lain untuk menolong dengan barang berguna”.
Ulama berpendapat bahwa awal
surat al-Ma’un turun di Mekah, sedang ayat 4 dan seterusnya turun di Madinah. Tidak
ada alasan yang kuat untuk memisahkan waktu turun kedua surat ini, bahkan
redaksi dan kandungannya sangat berkaitan erat sehingga justru menguatkan
pandangan yang menyatakan bahwa keseluruhan surat ini turun sekaligus. Dapat
dilihat dari huruf “fa”, maka
pada awal ayar 4 diatas yang berfungsi menghubungkan kalimat sebelumnya dengan
kalimat sesudahnya bagaikan hubungan sebab dan akibat.
Kata ويل
digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat pelanggaran
dan kedurhakaan. Biasa digunakan sebagai
ancaman, ada juga yang memahaminya dalam
arti nama dari salah satu tingkat siksaan neraka, dengan demikianayat ini
merupakan ancaman terjerumus ke neraka ويل Ada juga yang memahaminya dalam arti ancaman
kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya.
Kata المصلين
walaupun dapat diterjemahkan dengan orang-orang yang shalat, tetapi dalam
penggunaan al-Qur`an ditemukan makna khusus baginya. Biasanya al-Qur`an
menggunakan kata aqimu dan yang semakna dengannya bila yang dimaksudnya
adalah shalat yang sempurna rukun dan syaratnya, karena kata aqimu atau yang
semakna dengannya, mengandung makna pelaksanaan sesuatu dalam bentuk yang
sempurna.
ساهون berasal dari kata ساه yang artinya lupa atau lalai yaitu orang yang hatinya
menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan
pokoknya.
Kata عن
berarti tentang atau menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi في صلى تهم
maka ia merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam
shalatnya, dan ketika itu ia berarti
celakalah orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada
sesuatu selain shalatnya. Dengan kata lain celakalah orang-orang yang tidak
khusyu’ dalam shalatnya, atau orang-orang yang lupa akan jumlah rakaat
shalatnya.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Abîy al-Husayn Ahmad
bin Fâris bin Zakariyah, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, juz III (Cet.II; t.t.:
Al-Maktabah al-Manâzi’, 1980 M./ 1390 H.),
Al-Râgib Al-Ashfahâniy,
Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Cet.I; Beirut: Dâr al-Qalam, 1992),
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya
(Semarang: Toha Putra, 1989),
Harun Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam
Indonesia (Jakarta; Djambatan, 1992),
Ibnu Katsir,Tafsir al
–Qur`an al –Azhim, Jilid 1,Bandung:Shirkahh Nur Asia,tt,
Kadar
M.Yususf,Tafsir Ayat Ahkam Tafsir Tematik Ayat –Ayat Hukum, Jakarta :
Amzah, 2011,
M.Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 15, Jakarta:
Lentera Hati, 2002
Sahabudin, Ensiklopedia a
–Qur`an, Jakarta : Lentera Hati,2007,
Wahbah Al-Zuhaily, Fiqih
Shalat Kajian Berbagai Madzhab, Penerjemah : K.H. Masdar Helmy
Diterjemahkan dari Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Bandung : CV. Pustaka
Media Utama, 2004,
[1] Abîy al-Husayn Ahmad bin Fâris bin Zakariyah, Mu’jam
Maqâyis al-Lugah, juz III (Cet.II; t.t.: Al-Maktabah al-Manâzi’, 1980 M./
1390 H.), hal. 300
[5]Al-Râgib Al-Ashfahâniy,
Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Cet.I; Beirut: Dâr al-Qalam, 1992), hal.
490-491.
[6] Wahbah Al-Zuhaily, Fiqih Shalat Kajian Berbagai Madzhab,
Penerjemah : K.H. Masdar Helmy Diterjemahkan dari Al-Fiqh Al-Islam Wa
Adillatuhu. Bandung : CV. Pustaka Media Utama, 2004, hal 6
[7] Sahabudin, Ensiklopedia a –Qur`an, Jakarta : Lentera
Hati,2007, hal.896
[8] Selanjutnya, Op Cit, Wahbah Al-Zuhaily, hal 8
[9]Kadar M.Yususf,Tafsir Ayat Ahkam Tafsir Tematik Ayat –Ayat Hukum,
Jakarta : Amzah, 2011,hal. 42-43
[10] Ibid, hal 45-46
[11]QS.Al –Nisa ayat 101
[12]Ibnu Katsir,Tafsir al –Qur`an al –Azhim, Jilid
1,Bandung:Shirkahh Nur Asia,tt,hal.546
[13] Selanjutnya, Op Cit, Wahbah Al-Zuhaily, hal 13
[14] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Jilid 15, Jakarta: Lentera Hati, 2002
0 Response to "Makalah Shalat dalam Prespektif Tafsir "
Posting Komentar