Dalam melihat peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia,
ada beberapa fenomena yang bisa dijumpai dalam praktek. Pertama, hukum Islam
sangatlah berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini
hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum positif bagi umat Islam.
Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena aturan hukum tersebut bersifat
umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat
berlaku pula bagi seluruh warga negara.
Pada kategori yang pertama dapat dijumpai adanya peraturan
perundang-undangan yang secara langsung ditujukan untuk mengatur pelaksanaan
ajaran Islam bagi para pemeluknya. Di antara produk hukum yang dapat dimasukkan
dalam kategori ini adalah UU No. 1/1974 tentang Perkawinan bersama peraturan
pelaksanaannya (PP No. 9/1975), UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, PP No.
28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Belakangan pada masa pemerintahan Habibie, berhasil disahkan
Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Jadi,
berdasarkan kategori ini hukum Islam telah mengisi kekosongan hukum bagi umat
Islam dalam bidang-bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyyah), hukum waris
(fara’id) meskipun hanya bersifat pilihan hukum, hukum perwakafan, zakat, dan
haji. Dengan adanya hukum positif yang menjamin dan mengaturnya, maka
pelaksanaan hukum Islam tersebut akan lebih terjamin kekuatan hukumnya.
Pada kategori kedua, hukum Islam sebagai sumber nilai bagi aturan
hukum yang akan dibuat, dilakukan dengan cara asas-asas (nilai-nilai) dari
hukum tersebut ditarik dan kemudian dituangkan dalam hukum nasional. Dengan
demikian, maka implementasi hukum Islam tidak hanya terbatas pada bidang hukum
perdata, khususnya hukum keluarga, tetapi juga pada bidang-bidang lain seperti
hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum dagang.
Dengan demikian, hukum Islam akan benar-benar dapat berperan sebagai sumber
hukum nasional di samping Pancasila, tanpa menimbulkan anggapan bahwa hukum
Islam adalah kuno. Model yang kedua ini sesungguhnya telah dipraktekkan para
penyusun UUD 1945, di mana nilai-nilai hukum (syari’at) Islam tercermin di
dalamnya.
Mengingat Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler,
maka memperjuangkan hukum Islam dengan pendekatan yang terakhir ini
kelihatannya lebih memberikan harapan daripada dengan pendekatan yang pertama.
Agar hukum Islam dapat memainkan peran maksimal, dalam konteks ini, maka
dibutuhkan usaha yang serius untuk menggali dan mensosialisasikan sebanyak
mungkin nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Di antara cara untuk
menggali nilai-nilai tersebut adalah dengan jalan memahami aspek filosofis
hukum Islam yang tercermin dari dalil-dalil kulli yang mendasari pemikirannya,
tujuan hukum Islam (maqasid al-syari’ah) termasuk juga hikmahnya (hikmah
al-tasyri’), dan konsep manusia menurut hukum Islam.
Dengan menempatkannya sebagai sumber nilai, hukum Islam berarti
ikut mewarnai produk hukum nasional yang telah dan akan dibuat. Ikut mewarnai
ini bisa dalam bentuk memasok nilai-nilai sebagaimana yang terjadi pada
fenomena kedua di atas, seperti yang terjadi pada UU No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional,16 dan UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak; juga bisa
dalam bentuk diberikannya jaminan hukum terhadap pelaksanaan syariat (hukum)
Islam, seperti yang terjadi pada UU No. 5/1960 tentang Agraria18 dan UU No.
7/1992 j.o. UU No. 10/1998 tentang Perbankan.
Di samping yang telah diatur dalam sejumlah peraturan
perundang-undangan, hukum Islam khususnya bidang keperdataan, sesungguhnya
dapat saja dilaksanakan oleh masyarakat tanpa harus menunggu dibuatnya aturan hukum
formal. Di dalam pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, KUH Perdata
ini menganut asas kebebasan berkontrak, yang berarti setiap warga negara bebas
melakukan segala bentuk perjanjian (kontrak), termasuk kaum muslimin yang ingin
melakukannya berdasarkan hukum muamalatnya (keperdataannya). Dengan demikian,
mereka diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan bisnis berdasarkan hukum
Islam.21 Tinggallah sekarang bagaimana kesadaran umat Islam sendiri
terhadapnya.
Kontribusi hukum Islam terhadap pembangunan hukum
nasional akan maksimal jika ia didukung oleh kesadaran masyarakat muslim yang
tinggi terhadap hukum agamanya. Kesadaran dan praktek hukum Islam yang kuat
dalam masyarakat akan menjadi faktor sosiologis yang kuat dalam ikut mewarnai
pembentukan hukum nasional sebab penyusunan aturan hukum oleh pemerintah akan
selalu memperhatikan faktor-faktor historis, sosiologis, dan filosofis. Faktor
historis telah dimiliki cukup kuat oleh hukum Islam di Indonesia sebagaimana
tergambar dalam uraian sebelumnya, sementara faktor filosofis tidak perlu
diragukan lagi keunggulannya. Jadi, tinggallah bagaimana memperkuat faktor
sosilogis melalui sosialisasi dan pembudayaan hukum Islam di tengah masyarakat.
Dengan begitu, maka peran hukum Islam sebagai pemasok nilai akan lebih
maksimal.
0 Response to "Peran Hukum Islam dalam Hukum Nasional "
Posting Komentar