BAB II
PEMBAHSAN
Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam peradilan agama
sudah hadir secara formal. Ada yang bernama peradilan penghulu seperti
di Jawa. Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera. Peradilan
Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun sangat disayangkan,
walaupun pada masa Kesultanan telah berdiri secara formal peradilan
Agama serta status ulama memegang peranan sebagai penasehat dan
hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang sistematik.
Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fiqih.
Baru pada tahun 1760 VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun
hukum yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium ini
dijadikan rujukan hukum dalam menyelesaikan sengketa yang
terjadi dikalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC.[2]
Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama.
Pada tahun 1800 VOC
menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bersamaan
dengan itu lenyap dan tenggelam compendium itu. Lahirlah politik
hukum baru, yang didasarkan atas teori resepsi atau teori konflik Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven. Sejak itu
secara sistematik, dengan senjaga
hukum Islam dipencilkan. Sebagai gantinya digunakan dan
ditampilkan hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba melaksanakan
hanya dua sistem hukum yang berlaku, yaitu hukum adat untuk
golongan Bumiputera dan hukum barat bagi golongan Eropa.
Upaya paksaan untuk melenyapkan peran hukum Islam, terakhir ditetapkan
dalam Staatsblad 1937 Nomor 116. Aturan ini merupakan hasil usaha
komisi Ter Haar, yang di dalamnya memuat rekomendasi:
(1) Hukum
kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat.
(2) Mencabut wewenang Peradilan Agama (Raad Agama) untuk mengadili perkara
kewarisan, dan wewenang ini dialihkan kepada Landraad.
(3) Pengadilan
Agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad.
(4) Putusan
Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir verklaring dari ketua Landraad.[3]
Setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa
hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan
dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda
yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan
dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan
dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul.[4]
Hazairin menyebut teori receptie sebagai teori Iblis.
Berdasarkan pendapatnya ini, Hazairin mengembangkan teori yang disebutnya
sebagai teori receptie exit. Pokok-pokok pikiran Hazairin tersebut adalah:[5]
1)
Teori
receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak
tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan
mulai berlakunya UUD 1945.
2)
Sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1
maka negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk hukum nasional
Indonesia yang bahannya hukum agama. Negara mempunyai kewajiban
kenegaraan untuk itu.
3)
Hukum
agama yang masuk dan menjadi hukum
nasional Indonesia bukan hukum Islam saja, melainkan juga
hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di bidang
hukum perdata diserap dan hukum pidana diserap menjadi hukum nasional
Indonesia.
Itulah
hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.
Di samping Hazairin, seorang tokoh yang juga menentang teori
receptie adalah Sayuti
Thalib yang menulis buku Receptie a Contrario: Hubungan Hukum
Adat dengan Hukum Islam. Teori ini mengandung sebuah pemikiran bahwa,
hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Melalui teori ini jiwa pembukaan dan UUD 1945 telah mengalahkan
Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregling itu.[6]
Menurut Ismail Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku
sebagai dasar negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta maka
teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar
hukumnya. Selanjutnya hukum Islam berlaku bagi bangsa
Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan pasal 29 UUD 1945. Era
ini disebut Sunny sebagai Periode Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber
Persuasif (Persuasive source).[7]
Selanjutnya dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden
RI tanggal 5 Juli 1959, maka era ini dapat dikatakan era penerimaan
hukum Islam sebagai sumber otoritatif (authoritative source). Sehingga
sering kali disebut bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan
merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi
tersebut. Kata menjiwai bisa bermakna negatif dalam arti tidak boleh
dibuat perundang-undangan dalam negara RI yang bertentangan dengan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif maknanya adalah
pemeluk-pemeluk yang beragama Islam diwajibkan menjalankan syari’at
Islam. Untuk itu diperlukan undang-undang yang akan memberlakukan
hukum Islam dalam hukum nasional.
Hukum Islam
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan
literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah,
fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam
merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur Barat.
Dalam penjelasan tentang hukum Islam dari literatur Barat ditemukan definisi
hukum Islam yaitu: keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan
setiap muslim dalam segala aspeknya.[8]
Dari definisi ini arti hukum Islam
lebih dekat dengan pengertian syariah.
Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan “koleksi daya
upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat”.[9]
Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati
kepada makna fiqh.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu diketahui
lebih dahulu arti dari kata “hukum”. Sebenarnya tidak ada arti
yang sempurna tentang hukum. Namun, untuk mendekatkan kepada
pengertian
yang mudah dipahami, meski masih mengandung kelemahan,
definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin dari Oxford
English Dictionary perlu diungkapkan. Menurutnya, hukum adalah
“the body of rules, wether proceeding from formal enactment or from custom,
which a particular state or community recognizes as binding on its members
or subjects”.[10]
(Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal
maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai
mengikat bagi anggotanya).
Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti:“Seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.[11]
Dari
definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam
mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqh, karena arti syarak dan
fiqh terkandung di dalamnya. Hukum
Nasional
Hukum nasional adalah hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia, setelah
Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama bagi
warga negara Republik Indonesia sebagai pengganti hukum kolonial.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri
atas berbagai suku bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda, ditambah
dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial dahulu, bukan pekerjaan mudah. Pembangunan hukum nasional akan berlaku
bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya harus dilakukan
dengan hati-hati, karena di antara agama yang dipeluk oleh warga negara
Republik Indonesia ini ada agama yang tidak dapat diceraipisahkan dari hukum.
Agama Islam, misalnya, adalah agama
yang mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bahwa Islam adalah
agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya. Oleh karena itu,
dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam seperti di Indonesia ini, unsur-unsur hukum
agama itu harus benar-benar diperhatikan. Untuk itu perlu wawasan
yang jelas dan kebijakan yang arif.
Karena hukum nasional harus mampu mengayomi dan memayungi seluruh
bangsa dan negara dalam segala aspek kehidupannya, maka menurut
Menteri Kehakiman Ismail Saleh (1989) dalam merencanakan pembangunan
hukum nasional, kita wajib menggunakan wawasan nasional
yang merupakan tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu dari
yang lain, yaitu: wawasan
kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan
bhineka tunggal ika.
Dipandang dari wawasan kebangsaan sistem hukum
nasional harus berorientasi
penuh pada aspirasi serta kepentingan bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan ini,
menurut Menteri Kehakiman, bukanlah wawasan kebangsaan yang tertutup, tetapi
terbuka memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang dan mampu menyerap
nilai-nilai hukum modern.[12]
Karena yang dianut dalam pembangunan hukum nasional juga wawasan
nusantara yang menginginkan adanya satu hukum nasional, maka usaha
unifikasi di bidang hukum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini berarti
seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu sistem hukum yaitu
sistem hukum nasional. Akan tetapi, demi keadilan, kata Menteri Kehakiman,
hukum nasional yang akan diwujudkan berdasarkan kedua wawasan itu, harus juga
memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan kebutuhan hukum yang
dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu, di
samping kedua wawasan tersebut,
pembangunan hukum nasional harus mempergunakan wawasan bhinneka
tunggal ika. Dengan mempergunakan wawasan tersebut, unifikasi hukum
yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus menjamin tertuangnya
aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan hubungan masyarakat ke dalam
sistem hukum nasional. Dengan wawasan Bhinneka Tunggal Ika
ini, keragaman suku bangsa, budaya dan agama sebagai aset pembangunan nasional
harus dihormati, sepanjang, tentu saja, tidak membahayakan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Dengan mempergunakan ketiga wawasan itu, secara serentak dan terpadu
berbagai asas dan kaidah hukum Islam, juga hukum Adat dan hukum
eks Barat akan menjadi integral hukum nasional, baik hukum nasional
yang tertulis maupun hukum nasional yang tidak tertulis atau hukum
kebiasaan.
Mengenai kedudukan hukum Islam, yang telah disinggung di atas, Menteri
Kehakiman menyatakan antara lain: …”tidak dapat dipungkiri, sebagian
besar rakyat Indonesia adalah pemeluk agama Islam”. Agama Islam,
kata Menteri Kehakiman, “mempunyai hukum Islam yang secara substansi
terdiri atas dua bidang yaitu (1) bidang ibadah dan (2) bidang mu’amalah.
Pengaturan bidang ibadah bersifat rinci, pengaturan mengenai mu’amalah
atau mengenai segala aspek kehidupan masyarakat tidak bersifat rinci,yang
ditemukan dalam bidang terakhir ini hanya prinsip-prinsipnya saja.
Pembangunan dan aplikasi prinsip-prinsip bidang mu’amalah itu: diserahkan
sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan
yakni para ulil amri. Karena hukum Islam memegang peranan penting
dalam membentuk dan membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi
segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh
ialah mengusahakan secara ilmiah transformasi norma-norma hukum
Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang menurut Menteri Kehakiman,
sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan relevan
dengan kebutuhan hukum khususnya umat Islam”. Menurut Menteri Kehakiman,
cukup banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum
Islam yang dapat dipergunakan dalam menyusun hukum nasional.
Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional
Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum
Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari
segi jiwanya. Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen.
Pertama, UU No. I
tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 Undang-undang
ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal
63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini
adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
Kedua, di dalam UU
No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya
adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan,
sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri,
mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Ketiga, UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini
membuktikan bahwa Peradilan Agama sudah sepantasnya hadir,
tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia. Hal ini membuktikan
adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas.
Keempat, Kompilasi
Hukum Islam (KHI), meski tidak terbentuk undangundang, melainkan
Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991. Kompilasi ini
sangat membantu para hakim dalam memutuskan perkara, terutama di
Peradilan Agama.
Kelima, PP No.28
tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, di samping
UU No.5 tahun 1960 sebagai pengaturan pokok masalah pertanahan
di Indonsia. Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan juga Peraturan
Menteri Agama No. Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksana PP
No. 28 tahun 1978.
Untuk pelaksanaan tersebut telah dikeluarkan beberapa
peraturan sebagai berikut : 1. Keputusan Menteri Agama No. 73
tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen
Agama Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan
Kepala KUA Kecamatan sebagai PAIW; 2.
Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri masingmasing No. 1
tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28
tahun 1978; 3. Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1979 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang
Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil Dep. Agama Propinsi/Setingkat
untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA
Kec. sebagai PPAIW; 4. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan
Haji No. D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai dengan
lampiran rekaman Surat Direktorat Jenderal Pajak No. S-629/ PJ.331/1080
tentang Ketentuan Menteri Keuangan atas tanda-tanda sebagai dimaksud
dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Th. 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan PP No. 28 Th. 1977; 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan
Tanah Milik. 6. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/5/Ed/07/1981
tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik; 7. Surat Dirjen
Bimas Islam dan Urusan HajiNo. D.II/5/Ed/ll/1981 tentang Petunjuk
Pengisian nomor pada formulir Perwakafan Tanah Milik.[13] Hukum
Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk
dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan
merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan
hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.
Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam
hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan
keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan
masa datang, menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional
Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai
lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.
Teori eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang
menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia,
yaitu:
(1) Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional
Indonesia;
(2) Ada, dalam arti kemandiriannya yang diakui, adanya
kekuatan dan wibawanya, dan diberi status sebagai hukum nasional;
(3) Ada, dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia;
(4) Ada, dalam arti
sebagai bahan utama dan unsur utama.
Jadi, secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional
merupakan sub sistem dari hukum nasional. Karenanya, hukum Islam
juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka
pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui
problema dan kendalanya yang belum pernah usai.
Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran
keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan
pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun
norma hukum, selalu sama-sama menuntut ketaatan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan antara keduanya sangat erat.
Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat.
Keduanya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang.
Keduanya tidak boleh dibiarkan saling bertentangan.
Hukum Islam di Era Reformasi
Di era reformasi lahir beberapa perundang-undangan yang dapat memperkokoh
hukum Islam, di antaranya: Undang-undang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53 tambahan
lembar negara Republik Indonesia Nomor 3832).
Indonesia termasuk negara yang paling banyak jamaah hajinya. Sebab kuota
yang ditentukan oleh Arab Saudi adalah 1 persen dari total jumlah penduduk
suatu negara. Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta, maka kuota
haji sekitar 250 ribu jiwa. Agar
penyelenggaraan haji bisa berjalan lancar, tidak ada kesulitan, baik di
dalam negeri maupun ketika di luar negeri, maka diperlukan manajemen yang
baik. Apalagi haji dilaksanakan jauh dari negeri Indonesia, yaitu lebih dari
10.000 mil, melibatkan banyak orang dan departemen, dilaksanakan serentak
dengan jutaan manusia dari seluruh dunia dalam satu tempat dan waktu yang sama.
Untuk itu, pemerintah harus terlibat langsung dalam penyelenggaraannya,
sebab menyangkut nama baik negara Indonesia.
Untuk mendukung upaya penyelenggaraan ibadah haji yang efektif, efisien
dan terlaksana dengan sukses, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor
224 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh. Sebelum
itu, pada masa penjajahan Belanda pernah berlaku perundangundangan penyelenggaraan
haji, yaitu Ordonansi Haji (Pelgrims Ordonantie
Staatsblad) tahun 1922 Nomor 698 termasuk perubahan dan tambahannya
serta Pelgrims Verodening tahun 1938.[14]
Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri dari 15 Bab dan 30
Pasal. Secara global isinya sebagai berikut:
Bab I
Ketentuan Umum (Pasal 1 – 3), Bab
II Asas dan Tujuan (Pasal 4– 5), Bab
III Pengorganisasian (Pasal 6 – 8), Bab
IV Biaya Penyelenggaraan Ibadah
Haji (Pasal 9 – 11), Bab V
Pendaftaran (Pasal 12 – 14), Bab
VI Pembinaan (Pasal 15), Bab
VII Kesehatan (Pasal 16), Bab
VIII Keimigrasian (Pasal 17), Bab
IX Transportasi (Pasal 18-20), Bab X Barang Bawaan (Pasal 21),
Bab XI Akomodasi (Pasal 22), Bab XII Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
(Pasal 23 – 24), Bab XIII Penyelenggaraan Ibadah Umrah (Pasal 25 –
26), Bab XIV Ketentuan Pidana (Pasal 27 – 28), Bab XV Ketentuan Peralihan
(Pasal 29), dan Bab XVI Ketentuan Penutup (Pasal 30).
Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan
dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885).
Negara menjamin warganya melaksanakan ajaran agamanya, melindungi
fakir miskin dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal
29 dan Pasal 34 UUD 1945, maka pemerintah perlu membuat perangkat
yuridis yang akan mendukung upaya tersebut. Kemudian lahirlah UU Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan UU tersebut muncul Keputusan
Presiden Nomor 8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional, yang di dalamnya
mencantumkan perlunya tiga komponen untuk melaksanakan pengelolaan zakat, yaitu
Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Sebelum berlakunya UU
di atas, sejak masa penjajahan Belanda sudah ada perundang-undangan
yang berkaitan dengan zakat, yaitu Bijblad Nomor 2 tahun 1893 tanggal 4
Agustus 1893 dan
Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905.[15]
Dalam Peringatan Nuzulul Qur’an tahun 1422 H, Presiden Republik Indonesia
Megawati Soekarnoputri telah mensosialisasikan Peraturan Pemerintah
tentang kekeringan 2,5% pajak bagi wajib pajak yang telah membayar
zakat melalui Rekening Bank yang ditunjuk oleh Badan Amil Zakat
Nasional. Bahkan hal tersebut sudah dilaksanakan di Dirjen Pajak.
UU Pengelolaan Zakat terdiri dari 10 Bab dan 25 pasal. Secara
global isinya adalah sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1 – 3), Bab II Asas-asas dan Tujuan (Pasal
4 – 5), Bab III Organisasi Pengelolaan Zakat (Pasal 6 – 10), Bab IV Pengumpulan
Zakat (Pasal 11 – 15), Bab V - Pendayagunaan Zakat (Pasal 16 –
17), Bab VI Pengawasan (Pasal VII Sanksi (Pasal 21), Bab VIII Ketentuan-ketentuan
Lain (Pasal 22 – 23), Bab IX Ketentuan Peralihan (Pasal
24), Bab X (Pasal 25).
Undang-Undang Wakaf
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden
Susilo Bambang Yudoyono (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
159).
Sebenarnya di Indonesia sudah ada beberapa Peraturan
Perundangundangan tentang wakaf,
antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1997 tentang perwakafan tanah milik. Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1997 itu hanya mengatur tentang wakaf sosial
(wakaf umum) di atas tanah milik seseorang atau badan hukum. Tanah
yang diwakafkan dalam Peraturan Pemerintah itu dibatasi hanya tanah
milik saja, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai tidak diatur. Di samping itu benda-benda
lain seperti uang, saham dan lain-lain juga belum diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Oleh karena itu, pengembangan wakaf di Indonesia cukup
tersendat-sendat.
Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan tentang
wakaf ini terdapat beberapa hal baru dan penting. Beberapa di antaranya adalah
mengenai masalah nazhir, harta benda yang diwakafkan (mauquf bih), dan
peruntukan harta wakaf (mauquf ‘alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf
Indonesia. Berkenaan dengan masalah nazhir, karena dalam undang-undang ini yang
dikelola tidak hanya benda tidak bergerak yang selama ini sudah lazim
dilaksanakan di Indonesia, tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan
lainlain, maka nazhirnya pun dituntut mampu untuk mengelola benda-benda tersebut.
Dalam undang-undang ini harta benda wakaf tidak dibatasi pada benda
tidak bergerak saja tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia,
surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan
benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Bahkan dalam undang-undang ini, wakaf
uang diatur dalam bagian tersendiri. Dalam Pasal 28 UU ini disebutkan bahwa
wewenang:
a.
melakukan
pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
b.
Melakukan
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional;
c.
memberikan
persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf;
d.
memberhentikan
dan mengganti nazhir;
e.
memberikan
persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f.
memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.
Dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain
yang dianggap perlu.
Dilihat dari tugas dan wewenang BWI dalam UU ini nampak bahwa BWI
mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia sehingga
nantinya wakaf dapat berfungsi sebagaimana disyariatkannya wakaf. Untuk itu
orang-orang yang berada di BWI nantinya hendaknya
memang orang-orang yang berkompeten di bidangnya masingmasing sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh badan tersebut. Satu hal yang penting dalam UU ini
disebutkan bahwa peruntukan benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan
sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan
umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf.
Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki
wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai
dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah.[16]
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdiri dari XI Bab
dan 71 pasal, Bab I Ketentuan Umum (1 pasal), Bab II Dasar-dasar Wakaf
(30 pasal), Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf
(8 pasal), Bab IV Perubahan Status Harta Benda Wakaf (2 pasal), Bab
V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf (5 pasal), Bab
VI Badan Wakaf Indonesia (15 pasal), Bab VII Penyelesaian Sengketa (1
pasal), Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan (4 pasal), Bab IX Ketentuan
Pidana dan Sanksi Administratif (2 pasal), Bab X Ketentuan Peralihan
(2 pasal), Bab XI Penutup (1 pasal).
Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan di Aceh
Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Daerah Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal
4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor
172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893).
Memasuki era reformasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat terbuka
luas. Pemerintah pun sangat responsif terhadap aspirasi masyarakat
kehidupan demokrasi berjalan dinamis. Aspirasi
rakyat Aceh yang selama Orde Baru tidak tersalurkan, kali ini
mendapat respon yang luar biasa dari Pemerintah. Kehidupan rakyat Aceh
yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama
pada peran yang sangat terhormat dalam kehidupan masyarakat, berbangsa
dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan. Untuk
itu, akhirnya pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum
dalam penyelenggaraan keistimewaan yang dimiliki rakyat Aceh sebagaimana
tersebut di atas dengan munculnya Undang-Undang Nomor 44
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh.
UU Nomor 44 tahun 1999 terdiri dari 5 Bab dan 13 pasal. Secara garis
besar isinya sebagai berikut: Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1), Bab II Kewenangan
(Pasal 2), Bab III Penyelenggaraan Keistimewaan (Pasal 3 – 11),
Bab IV Ketentuan Peralihan (Pasal 12), Bab V
Ketentuan Penutup (Pasal 13).
Undang-Undang Otonomi Khusus di Aceh
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134). Sistem
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD
1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang
bersifat khusus atau istimewa yang diatur dalam Undang-undang.
Seiring dengan munculnya era reformasi serta aspirasi rakyat Aceh, Pemerintah
memberikan otonom khusus. Sehubungan dengan itu ditetapkan Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Melihat
karakter sosial dan masyarakat Aceh dengan budaya Islam yang kuat,
dan telah memberikan semangat juang yang tinggi pada masa perjuangan
memperebutkan kemerdekaan negara Indonesia. Maka seiring dengan
munculnya era reformasi serta aspirasi rakyat Aceh. Pemerintah memberikan
otonomi khusus. Sehubungan dengan itu ditetapkan Undangundang Nomor
18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa
Aceh Darussalam.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tersebut terdiri dari 14 Bab yang
terinci dalam 34 pasal. Adapun secara global isinya sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1), Bab II Susunan dan Kedudukan Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 2), Bab III Kewenangan Mardani.
Kedudukan Hukum Islam Dalam ...281 Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 3),
Bab IV Keuangan Propinsi Aceh Nanggroe Darussalam (Pasal 4 – 7), Bab V Lambang
termasuk Alam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 8), Bab VI Lembaga Legislatif
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 9), Bab VII Wali Nanggroe dan Tuha
Nanggroe sebagai Penyelenggara Adat, Budaya, dan Pemersatu Masyarakat (Pasal
10), Bab VIII Badan Eksekutif Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 11 -
16), Bab IX Pemilih dan Hak Pemilik (Pasal 17 – 20), Bab X Kepolisian Daerah
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 21 – 23), Bab XI Kejaksanaan Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 24), Bab XII Mahkamah Syari’ah Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 25 – 26), Bab XIII Ketentuan Peralihan (Pasal
27 – 30), dan Bab XIV (Pasal 31 – 34).
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh, salah satunya dalam bidang
hukum, maka baru-baru ini telah disahkan Qanun (Perda) Nomor 13
tahun 2003 tentang Judi, Nomor 14 tahun Minuman Keras, Nomor 15 tahun
2003 tentang Hal Mesum dan telah diterapkan Hukuman Cambuk.
Perbankan Syari’ah
Walaupun baru dalam Draf RUU Perbankan Syariah, tetapi di dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menguatkan kedudukan
hukum Islam seperti pada pasal 1, 6, 7, 8, 11 dan 13. Pasalpasal tersebut
menjelaskan tentang dual system perbankan (konvensional dan
syariah).
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pada tanggal 28 Februari 2006, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama telah diamandemen melalui UU No. 3 tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2006 Nomor 22). Perubahan tersebut dilakukan karena UU No. 7 tahun 1989
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan menurut UUD 1945. Sesuai
amanat konstitusi Pasal 24 ayat (2), bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu lingkungan peradilan yang berada di Mahkamah Agung
bersama peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Begitu juga ketentuan Pasal
10 ayat (2)
UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa
badan peradilan yang berada di Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu berlaku
kebijakan satu atap. Sejak tahun 2004, Peradilan Agama berpindah
induk dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Wahyu Widiana,
yang tadinya bertugas sebagai direktur peradilan Islam di departemen
Agama ditarik ke Mahkamah Agung dan menduduki Dirjen Peradilan
Agama.
UU No. 4 tahun 2004 secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke
Mahkamah Agung. Dengan demikian organisasi, administrasi, finansial badan
peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya berada di
bawah Departemen Agama berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 disesuaikan
dengan UU No. 3 tahun 2006. UU
No. 4 tahun 2004 menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh
karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama diatur pula dalam UU No. 3 tahun 2006, yaitu Peradilan Syari’ah
Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Kewenangan Peradilan Agama yang semula bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b.Kewarisan, wasiat
dan hibah, c. Waqaf dan shadaqah.
Berdasarkan UU No.
3 tahun 2006 kewenangannya diperluas dalam bidang ekonomi syari’ah
meliputi: Bank Syari’ah, Asuaransi, Asuransi Syari’ah, Reasuransi Syari’ah
dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah, Sekuritas Syari’ah,
Pengadilan Syari’ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syari’ah,
Bisnis Syari’ah dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah.
Dalam beberapa tahun belakangan ini perkembangan bidang-bidang ekonomi
syari’ah memang pesat. Ini yang akan menjadi problem ke depan. Transaksi
bisnis syari’ah bukan saja dilakukan oleh orang yang beragama Islam,
tetapi juga sangat mungkin antara orang Islam dan bukan Islam. Problemnya,
apakah Peradilan Agama berwenang menangani
sengketa Syari’ah antara
orang Islam dengan yang bukan Islam. Problem semacam ini
juga ditemukan dalam waris beda agama.
Oleh karena itu dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama
Islam adalah termasuk orang atau badan hukum uyang dengan sendirinya
menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan Pasal 49.
Dalam UU Nomor 7 tahun 1989 berlaku azaz Choise of law (pilihan hukum),
yakni dalam bidang kewarisan, para pihak yang beragama Islam sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa
yang dipergunakan dalam pembagian warisan. Ketentuan ini dalam UU
No. 3 tahun 2006 tidak berlaku lagi. Sehingga orang Islam yang berperkara
sesama orang Islam dalam bidang kewarisan menjadi wewenang
Peradilan Agama.
Kewenangan lain yang diatur dalam UU No. 3 tahun 2006, bahwa Peradilan
Agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur Pasal 49, apabila
subjek sengketa orang-orang yang beragama Islam. Hal ini untuk menghindari
upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan
adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh
pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan ke Pengadilan Agama.
Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan
lain tersebut bukan menjadi subjek bersengketa di Peradilan Agama, sengketa di
Pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke
pengadilan yang di lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya
dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan
Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di peradilan negeri terhadap objek sengketa
di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa yang diajukan keberatannya,
Peradilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap
objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Tambahan lain tentang kewenangan Peradilan Agama adalah bahwa Pengadilan
Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal
bulan pada tahun Hijriyah. Hal ini diatur dalam UU No. 3 tahun 2006, karena
selama ini Pengadilan Agama memberikan penetapan (Itsbat) terhadap kesaksian
orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki
bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka
Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan
1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama juga dapat
memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah
kiblat dan penentuan waktu shalat.
Perkembangan kewenangan tersebut terkait erat dengan kesiapan
aparat, termasuk hakim
dan panitera. Pemahaman hakim tentang ekonomi syari’ah mutlak diperlukan. Oleh
karena hadirnya UU No. 3 tahun 2006 diharapkan dapat memberikan inspirasi para
penegak hukum di lingkungan Peradilan Agama untuk lebih meningkatkan kinerja
dan kualitas sumber dayanya dalam rangka memberikan pelayanan publik di bidang
hukum secara optimal.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah eksistensi Peradilan Agama yang
telah mendapat pengakuan secara konstitusional . Dengan masuknya Peradilan
Agama ke dalam UUD 1945, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai
kehadiran peradilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kendala dan Problematika Hukum Islam di Indonesia
Pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional
yang menjadi kepentingan nasional, dengan penyusunan awal materi
hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Karena itu, perlu ditegaskan bahwa penyusunan program legislatif nasional,
termasuk upaya pergantian peraturan perundang-undangan yang
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan upaya cerdas dalam
proses perwujudan hukum nasional yang dijiwai oleh nilai-nilai nasional
dan keagamaan bangsa Indonesia.
Pemikiran akan terjadi perubahan hukum nasional itu, sebenarnya suatu
manifestasi dari kehendak melepaskan diri dari kehidupan yang tidak
demokratis, fasistis dan represif. Pikiran itu merupakan pergumulan dialektis
dari kekuatan yang tidak puas dengan sistem hukum warisan kolonial
yang tidak sejalan dengan nilai-nilai sosial kultural Indonesia. Konsep
ini terukir dalam sejarah dan nilai-nilai perjuangan bangsa yang
dikristalisasikan dalam konsensus Piagam Jakarta, sebagai titik kulminasi
yang menjiwai dan mencetuskan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam sudah mempunyai
akar historis yang sangat jauh ke jiwa bangsa Indonesia.
Di samping peluang sosiologis sebagaimana yang dinyatakan di atas, Hukum
Islam juga memiliki beberapa kendala dan problema, utamanya menyangkut
integritasnya ke dalam hukum nasional yaitu:[17]
Pertama, kemajemukan
bangsa. Patut diingat bahwa negara Indonesia memiliki
wilayah yang sangat luas, masing-masing memiliki kondisi sosial dan
kultural sendiri-sendiri sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu
sama lain. Tetapi, upaya pengintegrasian aspek sosio-kultural masingmasing elemen
bangsa ini ke dalam sistem hukum nasional, harus
didahului
dengan proses pemilahan pada bidang-bidang yang dilakukan direunifikasikan
secara relevan.
Kedua, metode
pendidikan hukum. Selama ini, pelajaran ilmu hukum yang
diajarkan kepada mahasiswa adalah trikotomi antara hukum Barat, hukum
Islam, dan hukum adat. Berhubungan dengan masyarakat Indonesia relatif
heterogen dan wilayahnya cukup luas, maka semakin berakibat pencarian
titik temu di antara elemen hukum-hukum tersebut. Jadi, diperlukan
sekarang adalah pemahaman integral dari pakar hukum dari ketiga
sumber hukum tadi. Itu sudah pasti memerlukan perjuangan intelektual
yang sangat berat.
Ketiga, kurangnya
pengkajian akademik di bidang hukum Islam. Ketertinggalan
dalam mengembangkan pusat-pusat pengkajian Islam disebabkan
oleh: (a) secara historis, pusat pengkajian yang tidak menghargai hukum
Islam yang lebih dahulu berkembang ternyata tidak memberi tempat bagi
pengkajian hukum Islam; (b) pengkajian hukum Islam terletak di antara pengkajian
ilmu agama dan pengkajian ilmu hukum, akibatnya aspek pengkajiannya
tidak mendalam; (c) perkembangan kualitas ketaatan umat Islam
yang lemah, terutama keyakinan akidah dan moral yang sulit dikendalikan
sehingga menimbulkan penurunan kualitas moral dalam pelaksanaan
hukum; (d) masih dianutnya kebijaksanaan hukum politik Belanda
yang mempunyai kepentingan politik sendiri, seperti: (1) umat Islam
tidak boleh tunduk kepada hukumnya sendiri, (2) belum sepenuhnya kemandirian
Peradilan Agama dalam sengketa perdata kecuali hukum keluarga;
(e) banyak masalah yang dihadapi umat Islam, sementara belum ada
fatwa hukum yang mampu merangkumkannya dalam satu perundangundangan yang
bisa diterima oleh semua elemen masyarakat Islam. Inilah
masalah-masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini, tatkala umat
ini ingin memberikan kontribusi hukum Islam dalam proses pembangunan
hukum nasional.
BAB II
PENUTUP
Dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami perkembangan yang signifikan.
Masih banyak peluang hukum Islam masuk dalam perundangundangan di
Indonesia. Saat ini telah nampak adanya fenomena perkembangan
yang positif dalam penerimaan masyarakat, elit penguasa, dan
legislatif terhadap kehendak legislasi hukum Islam.
Daftar Pustaka
Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Supomo dan Djoko Sutowo, Sejarah Politik Hukum Adat 1609 – 1848, Jakarta: Djambatan
1955.
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam:
“Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam”, dalam, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta, Logos, 1999.
Ichtijanto,
“Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam, Hukum
Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Rosdakarya, 1991.
Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004.
Sayuti
Thalib, Receptie a Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Ismail
Sunny, “Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam”,
dalam, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cik Hasan Bisri (ed), Jakarta:
Logos Publishing, 1988.
Joseph
Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press,1964.
Muhammad
Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1993.
AS.
Honrby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Britain: Oxford
University Press, 1986.
Amir
Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Dikutip
oleh M. Daud Ali, dalam Pengembangan Hukum Material Peradilan Agama,
lihat
Jurnal Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam Nomor 17 Tahun V (Nov – Des
1994),Jakarta: Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
1994.
M.
Yasir, Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia, Permasalahan dan Pemecahannya, Fakultas
Syariah UIN Jakarta; Jurnal Ahkam No. 16/VII/2005.
Suparman
Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dan Tata
Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Mediapratama, 2001.
Muchsin,
Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: STIH Iblam, 2004.
Farida
Prihantini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia,
Jakarta: Papan Sinar Sinanti & FHUI, 2005.
Said
Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:Penamadani,
2004.
[1] Hamka, Antara Fakta dan
Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974,
hlm. 324
[2] Supomo dan Djoko Sutowo, Sejarah Politik Hukum Adat 1609 – 1848,
Jakarta:
Djambatan 1955,
hlm. 26
[3] M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam:
“MempositifkanAbstraksi Hukum Islam”, dalam, Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Logos, 1999, hlm. 27
[4] Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia”, dalam, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung:
Rosdakarya, 1991,
hlm. 128
[5] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004, hlm. 17
[6] Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985,
hlm. .37-40
[7] Ismail Sunny, “Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam
Bidang Hukum Islam”, dalam,
Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cik Hasan Bisri (ed), Jakarta: Logos
Publishing, 1988, hlm. 96
[8] Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford:
University Press, 1964, hlm. 1
[9] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang,1993, hlm. 44
[10]`AS. Honrby,
Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Britain: Oxford University
Press, 1986, hlm. 478
[11] Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam
Falsafah Hukum Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1992, hlm. 14.
[12] Dikutip oleh M. Daud Ali, dalam Pengembangan Hukum Material
Peradilan Agama, lihat Jurnal
Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam Nomor 17 Tahun V (Nov – Des 1994), Jakarta:
Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994, hlm. 34
[13]M. Yasir, Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia, Permasalahan dan
Pemecahannya, Fakultas Syariah
UIN Jakarta; Jurnal Ahkam No. 16/VII/2005. hlm. 275
[14] Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Gaya Mediapratama, 2001, hlm. 187
[15] Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: STIH Iblam,
2004, hlm. 41
[16] Farida Prihantini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan
Prakteknya di Indonesia,
Jakarta: Papan`Sinar Sinanti
& FHUI, 2005, hlm. 135
[17] Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,
Jakarta:Penamadani, 2004, hlm. 17
0 Response to "Hukum Islam, Sistem Hukum Nasional dan Peradilan Agama"
Posting Komentar