BAB II
PEMBAHASAN
- Sejarah Mazhab Syafi’i
Muhammad bin
Idris asy-Syafi`i yang akrab dipanggil Imam Syafi'i adalah seorang mufti (Mujtahid)
besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk
dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim,
yang merupakan kakek Muhammad.
Saat
usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar
saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru
pada murid-murid Imam Hanafi disana, beliau juga pergi ke parsidan beberapa
negri lain dan kurang lebih perjalanan beliau hingga dua tahun lamanya.[1]
Imam
Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya
Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam
Syafi’i hidup pada masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut
kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani
‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan
‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan
pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka
sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam
pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat
orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari
penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun
menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut
sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
- Kelahiran dan kehidupan keluarga Imam Syafi’i
Kebanyakan
ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun
diantara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan;
sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal
dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani
Al-Muththalib (Al-Muththalibi dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib
(Asy-Syafi’i). [2]
Adapun ibu beliau adalah seorang
wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau
Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela
hadits NabiShallallahu
‘alaihi wa sallam). Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i
lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar
Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah. [3]
Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam
Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman
bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib
bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib
bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin
Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan
Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari
nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihiwa sallam.
Kemudian
juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin
Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada
Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan
nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie
Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan
karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan
mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau
menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim
Al-Asfahani dalam Hilyahnya juz 9 hal. 65-66).”
- Masa belajar Imam Syafi’i
Setelah
ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke
Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim.
Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra
sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari
seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.[4]
Belajar Di
Makkah
Di
Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az
Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya.
Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah,
seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian
beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya
yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan
bin Uyainah.
Guru
yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin
menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama ’fiqih sebagaimana tersebut diatas.
Belajar Di
Madinah
Kemudian
beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya,
Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di
majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan
cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat
Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan
dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau
menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal
berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya
akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut
kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka
Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab
Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih
bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di
atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik
bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga
duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah,
seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut
nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Belajar Di
Yaman
Imam
Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah
sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin
Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman,
beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini
beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di
negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad Dan
Irak
Kemudian
pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin
Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid. Menurut
khudary Bek, sebelum imam syafi’i ke Baghdad dia telah mempelajari hadist dari
dua ulama ahli hadist, yaitu sufyan ibn ‘uyainah di makkah dan imam Malik di
Madinnah.[5]
Belajar Di Mesir[6]
Imam
Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad
tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya,
ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i
menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun
200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai
syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
- Pokok Pembahasan Mazhab Syafi’i
Dasar–dasar
Mazhab Syafi’i
Dasar-dasar
Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh
al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan
prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang
bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal
berikut.
Al-Quran Dan Sunnah
dari Rasulullah SAW, karna menurut imam syafi’i Al-Qur’an da
sunnah ialah sama-sama dari Allah SWT walaupun fungsi Sunnah adalah menjelaskan
Al-Qur’an, dan karna semua sumber istimbat hukum islam berpangkal pada
satu pohon yang bercabang dua yakni Al-Quran Dan Sunnah.[7]
Ijma' atau
kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam
suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma'
para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap
suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
Qiyas yang
dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan
hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai
salah satau cara menetapkan hukum Islam.
- Fatwa Imam Syafi’i
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam
Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana
ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul
Qadim ("pendapat yang lama"),
Ketika
kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil
mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan
yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad
baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat
yang baru").
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.
- Penyebaran Mazhab Syafi’i
Penyebar-luasan
pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, yang
banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar
Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya.
Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan
mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:
Yusuf bin Yahya
al-Buwaiti (w.846)
-
Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w.878)
-
Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w.884)
Imam
Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh
Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i. Selain itu, masih
banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab
Syafi'i, antara lain:
Imam
Abu al- Hasan al-Asy'ari. Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Nasa'I, ImamBaihaqi, Imam Turmudzi, Imam
Ibnu Majah, Imam Tabar, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam
Abu DaudImam Nawawi, Imam as-Suyut Imam Ibnu Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim
- Karya tulisImam Syafi’i
1. Al-Umm
Sementara
kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam
Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jikasebuah hadits shahih bertentangan
dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku
di belakang tembok”, dalam kitab Al-Umm dapat di hubungkan engan
beberapa kitab seperti:[8]
-
kitab jawami Al-Ilm,
-
kitab siyar
Al-auza’I,
- kitab Ikthilaf
Al-Hadist
-dll.
2.
Ar-Risalah
Salah
satu karangannya ialah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab
“Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam
Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu
memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam
Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,”
“Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah
memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sllllla’adah,”Ulama
ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat
bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama
dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya
yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih
kurang lengkap,”
3.
Mazhab Syafi'i
Dasar
madzhabnya yaitu: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak
mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya,
menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,
”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat”. Penduduk
Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirus sunnah (pembela sunnah),”
4.
Al-Hujjah
Kitab
“Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;
Ahmad bin Hanbal, AbuTsaur, Za’farani, AlKarabisyi dari Imam Syafi’i.
Dan
masih ada beberapa kitab-kitab buatan beliau yang belum dapat di tuliskan karna
keterbatasan materi.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Imam
Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh
(atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat,
baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya
dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh
Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat
dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.
Karena
metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut
oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam
yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang
menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka
masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat
Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut
setelah Mazhab Hanafi.
Daftar Pustaka
·
H.
Rasyid Sulaiman,” fiqh Islam”,CV. Sinar Baru Algen sindo Offset, Bandung, 2009.
·
Setiawan
Edy, Lc.”Perbedaan Madzhab(Ikhtiyar Dinamisasi Pemahaman Fikih Toleran)”CV.Hikmah,
Cirebon, 2010.
·
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001).
·
Imam Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerjemah: Ahmad Sunarto (Bandung:
Penerbit "Husaini" Bandung, 2002).
·
Al Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab Baiquni
dan Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun).
[1].
H Sulaiman Rasyid,” fiqh Islam”,CV. Sinar Baru
Algen sindo Offset, Bandung, 2009,hlm 9-10.
[2]. http://kaahil.wordpress.com/2011/05/05/lengkap-biografi-imam-syafii-penulis-kitab-al-umm-%E2%80%9Cjika-apa-yang-aku-katakan-menyelisihi-hadits-yang-shahih-dari-nabi-shallallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam-maka-hadits-nabi-shallallahu/
[3]. http://menwih-hukum.blogspot.com/2009/11/contoh-konvensi-htn-di-indonesia_01.html
[4].
http://menwih-hukum.blogspot.com/2009/11/contoh-konvensi-htn-di-indonesia_01.html
[5]. Edy Setiawan,
Lc.”Perbedaan Madzhab(Ikhtiyar Dinamisasi Pemahaman Fikih Toleran)”CV.Hikmah,
Cirebon, 2010,hal, 88.
[6]. http://menwih-hukum.blogspot.com/2009/11/contoh-konvensi-htn-di-indonesia_01.html
[7].
Edy Setiawan, Lc, Op, cit. hal, 90.
[8]
. Edy Setiawan, Lc,Op, cit,hal, 90.
yes thankyou my friend ship, copy paste is articel.
BalasHapus