BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Awal Ramadhan seringkali menjadi polemik,
karena adanya perbedaan cara penghitungan atau cara penetapannya. Begitu juga
penetapan awal Syawwal. Rasulullah sebenarnya sudah memberikan petunjuk cara
menetapkan awwal Ramadhan, melalui hadits yang masih tercatat sampai sekarang.
Cukup simpel, mudah, dan tidak memberatkan.
No. Hadist: 1773
B.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ
رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin
‘Umar radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda:“Janganlah kalian
berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga
kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah
jumlahnya (jumlah hari disempurnakan) “.
Selengkapnya akan
dijelaskan dalam makalah ini.
C.
Perumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas
untuk membatasi pembahasannya maka yang akan menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini adalah tentang Penetuan 1 Syawal dan Ramadhan Yang akan diuraikan dengan beberapa
pertanyaan diantaranya:
a.
Bagaimana
penentuan 1 syawal ala rasulallah
b.
Cara penentuan
1 syawal
c.
Bolehkah
ber -Iedul fithri sendiri menyelisihi kaum muslimin?
d.
Bagaimana hukum hilal yang diketahui pada
akhir siang?
D.
Tujuan Makalah
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
untuk memaparkan bahasan tentang Penentuan 1
Syawal dan Ramadhan yang mencakup sejarahnya, caranya,dan
pendapat ulama lainnya. selain itu diharapkan makalah ini dapat memberikan pemahaman dan
memperluas wawasan kepada mahasiswa mengenai pembahasan kali ini.
BAB II
PENTUAN 1 SYAWAL dan
RAMADHAN
Awal
Ramadhan seringkali menjadi polemik, karena adanya perbedaan cara penghitungan
atau cara penetapannya. Begitu juga penetapan awal Syawwal. Rasulullah
sebenarnya sudah memberikan petunjuk cara menetapkan awwal Ramadhan, melalui
hadits yang masih tercatat sampai sekarang. Cukup simpel, mudah, dan tidak
memberatkan.
No. Hadist: 1773
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ
رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin
‘Umar radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda:“Janganlah kalian
berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga
kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah
jumlahnya (jumlah hari disempurnakan) “.
No. Hadist: 1774
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى
تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari
‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Satu bulan itu berjumlah dua puluh sembilan malam
(hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya. Apabila kalian
terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi tiga puluh”.
No. Hadist: 1776
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ
أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah
menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya
(hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh
awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga
puluh”.
Melihat… bukankah semua orang selama punya
mata yang normal bisa melihat? Rasulullah tidak membebani umatnya dengan
hal-hal yang memberatkan, hanya saja kadang umatlah yang membebani diri sendiri
dengan hal-hal yang berat.
Dari hadits di atas kita bisa tahu, bahwa
penentuan awal Ramadhan dengan melihat bulan sabit di penghabisan tanggal 29
sya’ban, bukan tanggal 28, 27, atau sebelumnya seperti yang dilakukan
kelompok Tharikat sattariyah di Padang Pariaman Sumatra Barat. Tanggal 28 itu
masih disebut bulan mati, secara akalpun tak akan bisa dilihat.
Sedangkan benda yang menjadi pijakan dalam hal
penentuan awal Ramadhan adalah bulan sabit, bukan yang lain seperti yang
dilakukan kelompok jamaah an nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka menggunakan
tinggi gelombang air laut.
Metoda yang dilakukan Rasulullah adalah dengan
melihat, bukan menghitung.Melihat berarti membuktikan bahwa bulan memang
terlihat, sedangkan ketika kita menghitung dan menetapkan , seakan-akan semua
itu pasti adanya. Padahal di dunia ini tidak ada yang pasti. Apakah ketika
hitungan kita mengatakan tanggal sekian bulan terlihat, itu akan pasti
terlihat? Belum tentu…kita harus bisa membuktikan dengan melihat. Akhir dari
segala keputusan adalah dengan melihat.
Ketika akhir tanggal 29 sya’ban kita tidak bisa
melihat bulan sabit, maka petunjuk Rasulullah, genapkan bulan Sya’ban menjadi
30 hari. Tidak terlihatnya mungkin dikarenakan memang belum muncul, atau
terhalang mendung. Tidak usah was-was, karena semua itu sudah sesuai pesan
Rasulullah.
B. Cara Penentuan 1 Syawal
dan Ramadhan
a.
Cara menentukan Ibadah Puasa dan
Iedul Fithri, Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara yaitu:
1.
Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2.
Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3.
Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
Tiga
hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1.
Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan
berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan,
maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan
Muslim 1081)
2.
Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa
satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa
padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika
ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari
kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu
Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih
kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
3.
Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari
kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul
Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)
4.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah karena melihatnya
(hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian
sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah
hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I
4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin
Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan
Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal.
29)
Hadits-hadits semisal itu
diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah,
Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan
riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109. Isi
dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul
Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar
dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita
adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan
Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata :
“Manusia sedang melihat-lihat
(munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk
berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim
1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh
Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
Catatan
dari hadits-hadits diatas:
1.
Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan
mata telanjang.
2.
Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu
astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits
seputar penentuan hilal diatas.
3.
Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.
b.
Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul
Hilal) dan Perselisihan Tentangnya
Hadits-hadits diatas menerangkan
dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah
dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua
kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka,
bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau
hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“Kuraib
mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di
Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya
dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami
melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan.
Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal — :
‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam
Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku
menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula
Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa
menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya :
‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak!
Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi
647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh
Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
Dalam
hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih
pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu
Hajar berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas
beberapa pendapat :
Pendapat
Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah
atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam
Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim
dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak
menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini
adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Pendapat
Kedua :
Apabila suatu negeri melihat
hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari
kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah
menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak
sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan
Andalus (negeri Spanyol). Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah
menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan
kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka
semua berpuasa…
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika
berjauhan ada dua :
1.
Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2.
Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini
dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.
c.
Sedangkan dalam menentukan jarak
(jauh) ada beberapa pendapat :
1.
Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh
An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2.
Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan
dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3.
Dengan perbedaan iklim.
4.
Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar
atas mereka hilal.”
5.
Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain…”
berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat
hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan :
“Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang
menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi
setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr
dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan diatas
adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas
bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau
berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal
dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka. Adapun menurut jumhur
ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh
karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas
seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.”
Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka
melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”
(Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan’ani rahimahullah berkata,
“Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati
diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah
ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam
2/310)
Imam As-Syaukani membantah
pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan
jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah
tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan
pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan
jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz
dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak
qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal….
Apabila
seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat
maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu
siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa,
sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal
104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila
penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya.
Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa,
yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan
lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa
diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk
semuanya …” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung
pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan
jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “… Saya –demi Allah- tidak
mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang
syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan
merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat
ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu
Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq
Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan
inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas
(hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani
rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits
Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya,
kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain
melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu
Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari
atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua
hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada
keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari
negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 …(Tamamul Minnah,
hal. 397)
C.
Bolehkah Ber -Iedul Fithri
Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?
Sekarang timbul permasalahan
yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus
beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia. Dalam permasalahan
ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa 25/114 :
Pendapat
Pertama :
Wajib
atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab
Syafi’i.
Pendapat
Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak
ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari
madzhab Maliki dan Hanafi.
Pendapat
Ketiga :
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri
bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian
berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak
berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37
dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya
jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah
1/440)
Demikian
keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi
berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama)
mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”
Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam
hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang
mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki
lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri
dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan
bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan
bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh
baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga
dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang
apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia
tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan
3/214)
Abul Hasan As-Sindi setelah
menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih
Ibnu Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan
untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap
diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal
sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib
atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna
inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah
Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada
saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa
pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah
berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah
hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang
tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat
hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117. Terkadang seorang
Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian
orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau
karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka
bagaimana hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum
tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja
dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang
masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat
bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat
bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika
salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan
pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah
dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana
hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan
pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban. Dalam permasalahan ini,
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul
Ahkam 1/139 sebagai berikut :
“Pendapat
yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu.
Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang
menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan
apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian
maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan
Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena
pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka
berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang
siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat
kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat
Imam Ahmad yang sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam
Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa
tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah
pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam
Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului
Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa
pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah
meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka
itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata
dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan
wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan
kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata
: “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali
dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan
atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim
barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah
hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu
ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari
kalangan shahabat dan tabi’in beramal.”
Demikian
penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas
menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal
karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya
puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari
yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat
hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa
jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya
menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam
2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang
diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum
Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau
hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah
kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang
biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar
berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia
telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
(Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali
Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).
D.
Hukum
Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang
Dari Umair bin Anas bin Malik
dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara
datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri)
dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud,
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits
ke 1026).
Hadits ini sebagai dalil bagi
orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua,
apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat
ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf,
Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari
yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits
diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied
diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus
Salam 2/133)
Demikian keterangan para ulama
tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari
kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat
bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk
tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Metoda yang dilakukan Rasulullah adalah dengan
melihat, bukan menghitung.Melihat berarti membuktikan bahwa bulan memang
terlihat, sedangkan ketika kita menghitung dan menetapkan , seakan-akan semua
itu pasti adanya. Padahal di dunia ini tidak ada yang pasti. Apakah ketika
hitungan kita mengatakan tanggal sekian bulan terlihat, itu akan pasti
terlihat? Belum tentu…kita harus bisa membuktikan dengan melihat. Akhir dari
segala keputusan adalah dengan melihat.
Jadi penulis
mengkerucutkan pembahasan mengenai hal ini bahwa kita harus yakin dengan apa
yang kita percayai itu berasal dari allah, itu pun dengan sumber-sumber yang
terpercaya. Dan manakah yang harus kita pakai dan secara tepat yaitu denan cara
yang telah dijarkan oleh rasulallah.
0 Response to "Makalah Penentuan 1 Syawal dan Ramadhan"
Posting Komentar