PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dari Sejak dulu sampai sekarang kita sebagai
muslim tentu saja mengetahui akan kewajiban kita, dan banyak yang mengertikan
dan mengetahui bahwa kewajiban kita di dunia yakni hanya untuk beribadah.
Pemikiran seperti itu, memang tidak salah
karena sudah tertulis dalam Al-Qur’an, Kalau kita amati bahwasanya di negara
Indonesia khususnya, banyak pasangan suami isrti yang bercerai, dan salah satu
penyebabnya adalah masalah ekonomi (Nafkah) yang kurang tersteruktur oleh kedua
belah pihak, dan masih sangat minim sekali masyarakat indonesia mengetahui
makna dari Nafkah, oleh karena itu, kami membahas makalah yang berjudul Nafakah
dalam prespktif Tafsir Ahkam.
B.
Rumusan
Masalah
- Apa pengertian dari Nafkah ?
- Macam-macam Nafkah ?
- Dasar Hukum Nafkah ?
- Macam-Macam Nafkah ?
- Apakah faedah (manfaat) serta tujuan Nafkah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian nāfakah
Secara etimologi, nafakah berasal dari bahasa
Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infāqan (انفق- ينفق- انفاقا). Dalam kamus
Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafakah diartikan dengan “ pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafakah
secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.[1]
Di dalam al-Qur`an kata nāfakah dengan
berbagai derivasinya disebut 110 kali, masing-masing 73 kali berarti nafakah
atau memberi nafkah, 37 kali berarti kemunafikan dan satu kali berarti lubang.[2]
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafakah
selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafakah merupakan konsekuensi
terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung
jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga),
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian
nafkah sebagai berikut:
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
Adapun kata
anfaqa (انفق), mempunyai beberapa
pengertian, yaitu:
a)
Membelanjakan Harta.
1-
QS. Al-Anfal : 63
لَوْ
أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Artinya:Walaupun
kamu membelanjakan semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka.
(QS. Al-Anfal : 63)
Dalam
terjemahan versi Departemen Agama RI tertulis kata anfaqta dengan arti :
membelanjakan dan bukan menginfaqkan. Sebab memang asal kata infaq adalah
mengeluarkan harta, mendanai, membelanjakan, secara umum apa saja. Tidak hanya
terbatas di jalan Allah, atau sosial atau donasi.
2- Q.S.
Al-Baqarah : 195
(#qà)ÏÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$#
Ÿwur
(#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ‰÷ƒr'Î/ ’n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur
¡ ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä†
tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
Artinya:“Keluarkan nafakah kalian di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.
Al-Baqarah : 195)
Ketika Allah s.w.t. memerintahkan kaum mu’min
untuk mempertahankan diri baik nyawa, harta, keluarga, ataupun tanah air dari
serangan musuh dan kaum kafir ternyata diperlukan kekuatan yang tiada
terhingga. Diantara kaum mu’minin ada yang mampu materil, akan tetapi lemah
fisiknya. Dan sebaliknya
ada juga yang kuat fisiknya tapi lemah kemampuan materilnya.
Dengan ayat ini Allah s.w.t. memerintahkan
kaum mu’minin yang mampu materilnya untuk mengeluarkan guna menyempurnakan
perbekalan dan perlengkapan perjuangan para pahlawannya dijalan Allah s.w.t.[3]
Adapun mengeluarkan nafakah di jalan Allah,
berarti membelanjakan harta kekayaan untuk kemaslahatan agama yang di
syari’atkan kapada kaum mu’minin, antara lain:
1.
Berperang
mempertahankan hak, agama dan Negara.
2.
Membina
tempat untuk mencapai kebaikan seperti pesantren dan sekolah dalam usaha
menyebarkan agama, tempat pemeliharaan dan pendidikan yatim piatu serta fakir
miskin yang lemah dan tidak mampu.
3.
Mendirikan
rumah-rumah pengobatan dengan mengutamakan pembiayaan pengobatan fakir miskin.
4.
Mengeluarkan
nafakah untuk haji dan umrah.
5.
Membantu
orang yang berhutang dan
6.
Pembiayaan
dalam membina kekeluargaan dan persaudaraan.
Mengeluarkan nafakah di jalan Allah
merupakan kewajiban yang wajar, karena harta yang dimiliki seseorang adalah
harta titipan Allah. Sewajarnyalah kaum muslimin melaksanakan kewajibannya
mengeluarkan nafakah di jalan Allah dan tidak layak dibelanjakan untuk
memuaskan hawa nafsu belaka sehingga jauhlah dari rahmat Allah.[4]
b)
Memberi
Nafkah
Kata anfaqa
ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau rumah
tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan
nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini
juga disebutkan di dalam Al-Quran.
1. An-Nisa`: 34.
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya:Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.
2. Al-Baqarah :215
Artinya: “Mereka bertanya tentang apa yang
mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja
harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah
Maha mengetahuinya”
c)
Mengeluarkan Zakat
Dan kata
infaq di dalam Al-Quran kadang juga dipakai untuk mengeluarkan harta (zakat)
atas hasil kerja dan hasil bumi (panen)[5]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah
zakat sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah : 267).
Istilah infaq itu sangat luas cakupannya,
bukan hanya dalam masalah zakat atau sedekah, tetapi termasuk juga
membelanjakan harta, memberi nafkah bahkan juga mendanai suatu hal, baik
bersifat ibadah atau pun bukan ibadah. Termasuk yang halal atau yang haram, asalkan membutuhkan dana dan
dikeluarkan dana itu, semua termasuk dalam istilah infaq.
d)
Harta yang dikeluarkan oleh orang kafir juga
disebut infaq
Termasuk
ke dalam pengertian infak yang dikeluarkan orang-orang kafir untuk kepentingan
agamanya (QS Al-Anfal:36)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّواْ عَن
سَبِيلِ اللّهِ فَسَيُنفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ
يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ ﴿٣٦﴾
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk
menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu,
kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam
neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.
B.
Dasar
Hukum Nafkah
Adapun dasar hukum tentang
eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis
Rasulullah, serta kesepakatan para imam madzhab diantaranya adalah:
1. Surat Ath-Thalaq ayat 6-7
Artinya:“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka.
Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya).
Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan
hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6) “Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa
yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada
seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan
memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7)[6]
Dalam ayat diatas dapat kita pahami
bahwa:
a. Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lainnya.
b. Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di tempat suami.
Besarnya kewajiaban nafakah tergantung
pada keleluasaan suami. Jadi pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan
suami bukan permintaan istri.[7]
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (لينفق) maksudnya adalah; hendaklah suami
memberi nafakah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran
kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata
dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafakah ditentukan
menurut keadaan orang yang memberi nafakah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi
nafakah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud
dengan لينفق
ذو سعة من سعته adalah bahwa
perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap
isteri.
Adapun maksud ayat لايكلف الله نفسا الا مأ تا ها adalah bahwa orang fakir
tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.[8] Sedangkan Muhammad Ali as
- Sayis berpendapat bahwa ayat لايكلف الله نفسا الا مأ تا ها mengungkapkan bahwa tidak
berlaku fasakh disebabkan karena suami tidak sanggup memberi nafkah kepada
isterinya. Sebab ayat ini mengandung maksud bahwa bila seseorang tidak sanggup
memberi nafkah karena kondisinya yang tidak memungkinkan disebabkan
kemiskinannya, Allah SWT tidak memberatkan dan membebaninya supaya memberi nafkah
dalam kondisi tersebut.
2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ
أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ
لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا
أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ
مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي
مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك
Artinya:“Dari Aisyah
beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap
Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah
seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk
saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa
setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw.
bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik
secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”(HR.Muslim)[9]
Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran
nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran
tertentu, Rasulullah SAW akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran
nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan
Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan
pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya
nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan
masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan
tempat, waktu dan keadaan.
3. Kesepakatan Imam Madzhab
Empat Imam Fiqih madzhab sepekat
menetapkan bahwa hukum memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi suami.
Ketetapan
ini bisa kit baca dalam kitab fiqih, antara lain dalam kitab Rahmatul
Ummah Fikhtilafil A’immah Juz II halaman 91“Para Imam yang empat
sepakat menetapkan wajibnya suami memberikan nafkah bagi anggota keluarga
yang dikepalainya, seperti orang tua, istri dan anak yang masih kecil”
Kalimat yang sama juga disebutkan
dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138. Keduamya
sama-sama mencontohkan bahwa anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan
juga anak yang masih kecil (belum mampu mencari nafkah sendiri) dan orang tua
(yang sudah tidak mampu mencari nafkah lagi). Hal ini lebih menegaskan bahwa
semua orang yang ada di dalam kekuasaan suami, termasuk pembantu ataupun buadk,
adalah anggota yang nafkahnya menjadi tanggungan suami.
Sebagai kewajiban, maka setiap suami
muslim harus mencukupi nafkah keluarga itu sesuai dengan kemampuannya. Jika dia
menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan pahala. Dan jika dia
meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan akan mendapat siksa dari
Allah.
C.
Macam-Macam
Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi
menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang, pangan,
papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah
batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian
dan lain-lain.[10]
1). Menurut
objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
·
Nafkah
untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri
didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan
menderita, karena mengutamakan orang lain.
·
Nafkah
untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah
akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak
kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan.[11]
2). Nafkah kiswah atau pakaian
Nafkah
kiswah artinya nafkah yang berupa pakaian atau sandang. Kiswah inin
merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Oleh karna itu, kiswah merupakan
hak istri, sebagimana dijelaskan sebelumnya.
Pakaian
yang dimaksud adalah semua kebutuhan yang erat hubungannya dengan anggota
badan. Suami wajib memberikan nafkah kiswah kepada istrinya berupa
pakaian untuk menutup aurat dan berbagai kebutuhan batiniahnnya, disamping
berupa pakaian, nafkah kiswah berupa hal-hal sebagai berikut:
1. Biaya pemeliharaan jasmaniyah istri
2. Biaya pemeliharaan kesehataan
3. Biaya untuk kebutuhan perhiasan
4. Biaya untuk kebutuhan rekreasi
5. Biaya untuk pendidikan anak
6. Biaya untuk hal-hal yang tidak terduga.
Karena suami telah melaksanakan kewajibannya memenuhi nafkah kiswah,
istri berhak untuk menjaga auratnya,
menjaga kemaluaanya, tidak keluar rumah tanpa seizin suaminya, taat dalam
beribadah atau menjaga perintah agama, dan mendidik anak-anaknya dengan akhlak
dan budi pekerti yang baik.[12]
D. Tujuan Serta Manfaat (Hikmah) Nafaqah
a) Tujuan Nafaqah
Adapun tujuan nafaqah di antaranya yaitu:
1. Sasaran yanng hendak dicapai ialah menyucikan
jiwa orang yang mengeluarkan nafaqah. Mereka berinfaq dengan jiwa yang bagus,
merelakan apa yang diberikannya dengan menghadapkan tujuan kepada Allah dengan
tidak merasa sempit (enggan) dan jenuh.
2. Memberikan jaminan kepada orang-orang yang
memerlukan pertolongan itu.
3. Memobilisasi seluruh jiwa supaya bertenggang
rasa dan dan saling membantu dengan tidak merasa keberatan dan tidak merasa
bosan. [13]
b) Hikmah Nafaqah
1). Firman Allah ta’ala,
”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di
siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala
di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”. (Q.S Al-Baqarah: 274)
2). Dari Abu Mas’ud Al-Ansari Radhiyallahu
Anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda, “jika seorang
muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharapkan pahala Allah
(atas nafkah tersebut), maka baginya sedekah.[14]
3). Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasalullah sallallahu
Alaihi wa salam bersebda, “orang yang memeberi nafkah kepada janda dan
orang miskin,maka sama seperti mujtahid di jalan Allah, atau orang yang
melakukan qiyamulail (salat malam)dan berpuasa di siang hari.[15]
KESIMPULAN
Secara etimologi, nafakah berasal dari bahasa
Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infāqan (انفق- ينفق- انفاقا). Dalam kamus
Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafakah diartikan dengan “ pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafakah
secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.
Di dalam al-Qur`an kata nāfakah dengan
berbagai derivasinya disebut 110 kali, masing-masing 73 kali berarti nafakah
atau memberi nafkah, 37 kali berarti kemunafikan dan satu kali berarti lubang.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian
nafkah sebagai berikut:
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
Dalam Al-Qur’an Kata Anfaqa mempunyai
arti:
a. Membelanjakan harta
b. Memberikan Nafkah
c. Mengeluarkan Zakat
Dan perlu kita ketahui bahwa Nafkah Menurut
jenisnya dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi
seperti sandang, pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya
pendidikan anak. Kedua nafkah
batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian
dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
- M. Hasan Ali, Pedoman Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006)
- Sayyid Quth, Fī Zhilal Al-Qur`An, Beirut: Darusy-Syuruk, 1992.Penj: As’ad Yasin Dkk, Di Bawah Naungan Al-Qur`An, Jakarta: Gema Insani,2000
- M.Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002)
- Hakim Rahmat, Hukum Pernikahan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
- Muhammad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985), Juz XVIII
- A Dahlan dkk, Ayat-Ayat Hukum, Bandung: CV Diponegoro, 1975
- M Quraisy Syihab, Ensiklopedi al-Qur`an, kajian kosa kata, Jakarta: Lentera Hati, 2007
[1]
http://amristotelestain.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo.html
[5]
http://www.yayasanalislam.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=120
[8] Muhammad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Beirut:
Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985), Juz XVIII, h. 170
[9] Imam Muslim, Shohih Muslim. Juz 9 h.105
[10] M.Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam
Pertama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002).
h.
156-159
[13] Sayyid Quth, Fī Zhilal Al-Qur`An, Beirut: Darusy-Syuruk, 1992.Penj:
As’ad Yasin Dkk, Di Bawah Naungan Al-Qur`An, Jakarta: Gema Insani,2000,
h 264
[14]Muttafaq alaih, dikeluarakan oleh Al-Bukhari no. (5351) lafazh ini baginya, dan Muslim
no.(1002)
[15] Muttafaq alaih, dikeluarakan oleh Al-Bukhari no. (5353) lafazh ini baginya, dan Muslim
no.(2982)
0 Response to "Makalah Tafsir Ahkam Tentang Nafakah"
Posting Komentar