Kalau mau disebut bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW
sudah ada Negara dan pemerintahan Islam, maka pandangan demikian tertuju pada
masa beliau sejak menetap dikota yatsrib. Kota ini kemudian berganti nama
menjadi Madinat al-Nabi, dan populer
dengan sebutan Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam itu terkenal
dengan Madinah. Kajian terhadap Negara dan pemerintahan ini dapat diamati
dengan menggunkan dua pendekatan. Pertama, pendekatan normatif islam yang menekankan pada pelacakan
nash-nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang mengisuyartkan adanya praktek
pemerintahan yang dilakukan oleh nabi dalam rangka siyasah sar’iyah. Kedua,
pendekatan deskriptif historis dengan
mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan oleh Nabi dibidang muamalah sebagai
tugas-tugas Negara dan pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut pandangan teori-teori politik dan
ketatanegaraan.
Terbentuknya Negara Madinah, akibat dari
perkembangan penganut islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki
kekuatan politik rill pada pasca periode makkah dibawah pimpinan Nabi. Pada
periode makkah yang pengikutnya relatif kecil belum menjadi komunitas yang
mempunayi daerah kekuasaan dan berdaulat. Mereka merupakan golongan minoritas
yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampi menjadi kelompok sosial
penekan terhadap kelompok sesial
mayoritas kota itu yang berada dibawah kekuasaan aristocrat Quraisy, yang
masyarakatnya homogeny. Tapi setelah dimadinah, posisi nabi dan umatnya
mengalami perubahn besar. Dikota itu, “mereka mempunyai kedudukan yang baik dan
segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi
kepala dalam masyarakat yang baaru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu
Negara. Suatu Negara yang daerah yang kekuasaannya diakhir zaman nabi meliputi
seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata laim dimadinah nabi Muhammad bukan lagi
hanya mempunyai sifat rasul tetapi juga mempunyai sifat kepala Negara. D.B.
Macdonald juga menyatakan “disini, madinah, talah terbentuk Negara islam
pertama dan telah lmeletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undngan islam.
Dalam Negara madinah itu, kata Thomas .W. Arnold, “ dalam waktu yang bersamaan
Nabi adalah sebagai pmimpin agama dan kepala Negara.” Fazlur Rahman, toko Neo Modernisme Islam, juga
membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu meruakan suatu
Negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.
Perubahan besar yang dialami oleh nabi dan
pengikutnya dari kelompok powerless (tanpa
kekuasaan) menjadi suatu komunitas yang memiliki kekuasaan sosial politik
ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621 dan 622 M
berturut-turut memperoleh dukungan moral dan dukungan politik dari kelompok
orang Arab (suku Aus dan suku Khazraj)
kota yatsrib yang menyatakan diri masuk
islam. Peristiwai ini mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang arab
Mekkah masuk Islam. Karena disamping mereka menerima Islam sebagai agama
dikenal dengan Baiat Aqabah pertama, mereka berikrar bahwa segala perbuatan
jahat dan akan mentaati rasulallah dalam segala hal yang benar. Sedangkan pada
baiat tahun 622 M dikenal Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka dan akan
mentaati beliau sebagai pemimpin mereka. Nabi juga dalam kesempatan itu
berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang maupun untuk
perdamaian.
Peristiwa
hijrah ke yatsrib beberapa bulan kemudian. Peristiwa ini direkam dalam wahyu,
dan memuji mereka yang berhijrah. “Perisriwa ini dinilai oleh Arnold sebagai
“suatu gerakan strategi yang jitu”. suatu gerakan yang menyelamatkan kaum
muslimin agar terbebas dari tindakan sewenang-wenang kaum Qurais. Ia juga
merupakan reaksi terhadap fakta sosial keadaan masyarakat arab mekkah yang
mayoritas menolak islam, dan respon terhadap fakta sosial keadaan masyarakat
arab madinah secara terbuka menerima seruan rasul kepada Islam.
Aktivitas yang sangat penting dan tugas yang
dilakukan oleh Nabi setelah menetap dimadinah pada tahun pertama hijrah adalah
membangun mesjid di Quba, dan menata kehidupan social politik masyarakat kota
itu yangbercorak majemuk. Pembangunan masjid itu dari segi agama berfungsi
sebagai tempat beribadah kepada Allah, sedangkan dari segi sosial berfungsi
sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam. Karena di samping
tempat melaksanakan ibadah salat, masjid itu juga dijadikan oleh Rasulallah dan
kaum muslimin sebagai tempat untuk mendalami ajaran Islam, pusat pengembangan
kegiatan sosial budaya, pendidikan, tempat musyawarah, markas tentara dan
sebagainya.
Langkah berikut Nabi adalah menata kehidupan sosial
politik komunitas-komunitas di madinah. Yaitu komunitas Arab muslim dari Mekkah,
komunitas Arab dan Madinah dari suku Aus
dan Khazraj yang muslim, komunitas Yahudi dan komunitas Arab yang peganis.
Untuk ini Nabi menepuh dua cara. Pertama, menata interen kehidupan kaum
muslimin, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar secara
efektif. Persaudaraan ini bukan diikat oleh hubungan darah dan kabilah,
melainkan atas dasar ikatan agama (iman). Inilah awal terbentuknya
komunitas Islam untuk pertama kali, yang
menurut Hitti, merupakan “suatu miniature dunia Islam”. Kedua Nabi
mempersatukan antara kaum muslimin dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya
melalui perjanjian tertulis yang
terkenal dengan “Piagam Madinah”. Suatu perjanjian yang menetapkan persamaan
hak dan kewajiban semua komunitas dalam kehidupan social dan politik. Berikut
dikemukakan terjemahan naskah piagam selengkapnya;
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Ini adalah surat/ketetapan (perjanjian) dari Nabi Muhammad antara orang-orang
beriman dan muslim yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib serta yang mengikuti
mereka dan menyusul mereka serta berjuang bersama-sama mereka. Mereka adalah
umat yang satu dari golongan lain.
Kaum muhajirin bebas melaksanakan kebiasaan baik
mereka dalam menerima atau membayar tebusan darah antara sesame mereka dan
menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil antara sesame
orang-orang beriman. Banu Auf juga tetap bebas mengikuti kebiasaan baik mereka
yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah.
Setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil
diantara sesama orang-orang beriman.
Demikian juga Banu Harits, Banu Saida, Banu Jusyam, Banu Najar, Banu Amr bin
Auf dan Banu nabit.
Orang-orang beriman tidak boleh membiarkan seseorang
yang menanggung beban hidup keluarga dan beban utang yang berat diantara sesama
mereka, mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan atau
membayar diat.
Orang beriman dan bartakwa tidak boleh mengikat
janji dalam menghadapi mukmin lainnya, harus melawan orang yang melakukan
kejahatan diantara mereka sendiri atau suka melakukan aniaya, kejahatan,
permusuhan dan berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman sendiri. Mereka
semua harus bersama-sama melawannya sekalipun terhadap anak sendiri.
Bahwa orang-orang beriman tidak boleh saling
membunuh lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman. Jaminan Allah itu
satu. Dia melindungi yang lemah diantara mareka. Orang beriman harus saling
tolong-menolong satu sama lain. Barang siapa dari kalangan Yahudi yang menjadi
pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan, dan tidak boleh
menganiya atau melawan mereka.
Persetujuan orang-orang beriman satu. Tidak
dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan
mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah, tapi semua hrus mengambil
bagian yang sama secara adil. Setiap orang
yang berperang bersama kami satu
sama lain harus saling melindungi. Mereka
harus saling membela terhadap
sesamanya yang telah tewas di jalan
Allah, dan mereka yang beriman dan bertakwa hendaklah berada dalam pimpinan
yang baik dan lurus.
Sesungguhnya siapapun tidak boleh melindungi harta
benda dan jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman. Barang
siapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti, maka harus
mendapat balasan setimpal , kecuali keluarga si terbunuh sukarela menerima
tebusan. Dan semua orang beriman harus menentangnya dan tidak di benarkan
mereka hanya tinggal diam.
Bahwa setiap mukmin yang menyetujui isi shahifat ini
dan beriman kepada Alllah dan hari akhir, tidak di benarkan menolong pelaku kejahatan dan tidak pula
membelanya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan dan murka dari Allah di
hari kiamat dan tidak ada suatu tebusan yang dapat diterima daripadanya.
Bahwa bila terjadi perbedaan pendapat diantara kamu
tentang sesuatu maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Muhammad SAW.
Bahwa
orang-orang Yahudi Bani Auf adalah umat yang satu bersama orang-oang mukmin,
orang-orang Yahudi tetap berpegang pada agama mereka, orang-orang mukmin pun
tetap berpegang pada agama mereka termasuk pendukung-pendukung mereka dan diri
mereka sendiri kecuali orang yang berlaku zalim dan dosa, bahwa orang seperti
ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri dan keluarganya. Demikian pula
orang-orang Yahudi Bani al-Najjar, Bani
al-Harits, Bani Saidah, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Tsa’labah dan keluaganya
jfnah, Bani Syutaibah, pemuka-pemuka tsa’labah, dan sekutu kaum yahudi
diperlakukan sama seperti Bani Auf.
Bahwa tidak seorang pun dari mereka (penduduk
Madinah) dibolehkan keluar kecuali dengan izin Nabi Muhammad SAW. Tapi
seseorsng tidak boleh dihalangi menuntut haknya (balas) kaarena dilukai. Dan
bahwa siapa yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan kejahatan terhadap
dirinya dan keluarganya, kecuali bila orang itu melakukan aniyaya. Sesungguhnya
Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.
Bahwa orang-orang Yahudi harus menanggung belanja
mereka sendiri, dan orang-orang mukmin harus mnanggung belanja mereka sendiri.
Tapi di antara mereka harus ada kerja sama tolong menolong dalam menghadapi
orang yang menyerang terhadap pemilik shahifat
ini, dan baha diantara mereka handaklah nasehat-menasehati dan berbuat kebaikan
tanpa dosa. Bahwa seorang tidak bertanggung jawab atau ikut memikul kesalahan
orang lain, tapi ia harus menolong orang teraniaya.
Bahwa orang-orang Yahudi wajib mennggung biaya bersama orang-orang
mukmin selama mereka dalam keadaan perang. Bahwa yatsrib menjadi tempat suci bagi yang mengakui
perjanjian ini.
Bahwa tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh
dimudarati dan direlakukan jahat. Bahwa suatu kehormatan tidak boleh dilindungi
kecuali atas izin pemiliknya.
Bahwa bila antara orang-orang yang menyetujui perjanjian ini terjadi suatu peristiwa atau
perselisihan yang di khawatirkan menimbulkan bahaya, maka hendaklah di
kembalikan kepada allah dan Muhammad Rasulalllah SAW. Sesungguhhnya Allah
memperhatikan isi perjanjian ini dan melindunginya.
Bahwa tidak boleh diberikan perlindungan kepada kaum
Quraisy dan orang yang menolongnya.
Bahwa antara
mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yatsrib. Apabila
mereka (penyerang) diajak berdamai, lalu mereka memenuhi ajakan damai itu dan
melaksanakannya, maka sesungguhnya mereka telah berdamai dan melaksanakannya
(perdamaaian itu dianggap sah), dan bahwa bila mereka (orang-orang mukmin)
iajak berdamai seperti itu maka orang-orang mukmin wajib mnerimanya kecuali
terhadap orang-oorang yang memerangi agama. Setiap orang bekewajiban
melaksanakan kewajiban sesuai fungsi dan tugasnya.
Sesungguhnya Yahudi Aus, seskutu-sekutu mereka dan
diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti apa yang terdapat bagi pemlik shahifat ini serta
memperoleh perlakuan yang baik dari yang menyetujui perjanjian ini.
Sesungguhnya kebaikan itu tidak boleh di campur aduk dengan kejahatan dan orang
yang melakukannya akan memikul sendiri akibatnya. Dan Allah
bersama pihak yang benar dan
patuh menjalankan isi perjanjian ini. Barang siapa yang keluar atau tinggal di
kota Madinah ini, ia akan aman’ keselamatannya terjamin, kecuali orang yg
berbuat aniaya dan melakukan kejahatan. Sesungguhnya Allah melindungi orang
yang berbuat kebajikan dan bertakwa, dan Muhammmad Rasulallah SAW.
Setelah di teliti dan dikaji secara mendalam oleh
penulis, naskah perjanjian tersebut mengandung beberapa perinsip yaittu; prinsip orang-orang muslim dan mukmin adalah umat yang satu dan antara mereka dan
non-muslim adalah juga umat yang satu (semua manusia adalah umat yang satu);
prinsip persatuan dan persaudaraan; prinsip persamaan; prinsip kebebasan;
prinsi tolong-menolong dan membela yang teraniaya; prinsip hidup bertetangga;
prinsip keadilan; prinsip musyawarah; prinsip pelaksanaan hokum dan sanksi
hokum; prinsip kebebasan beragama dan hubungan antr pemeluk agama (hubungan
antar bangsa/internasional); prinsip pertahanan dan perdamaian; prinsip amar
makruf dan nahi munkar; prinsip kepemimpinan; prinsip tanggung jawab pribadi
dan kelompok; dan, prinsip ketakwaan dan ketaatan (disiplin).
Prinsip-prinsip tersebut sangat modern untuk masa
itu. Bahkanuntuk dewasa inipun tetap relevan karena nilai-nilainya
yanguniversal. Sebab prinsip-prinsip tersebut telah menjadi tuntutan berbagai
bangsa di dunia agar tegak dalam hidup bermasyarakatdan bernegara, yaitu
tatanan masyarakat yang demokratis, adil dan dmai. Maka amatlah tepat komentar
Nurcholis Madjid berikut ini;
“bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Ia
mmuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjaun modern pun mengagumkan. Dalam
konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi
pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup
sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, dan
umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari
luar.”
Sedangkan mengapa naskah perjanjian ter sebut bisa
terwujud, menurut Hitti, merupakan bukti kemampuan Muhammad SAW melakukan
negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai kabilah dan kelompok social Madinah,
sehingga beliau diakui oleh mereka sebagai pemimpin mereka. Penilaian ini
berdasarkan pada keberhasilan beliau
mempersatukan kaum muslimin yang berasal dari berbagai kabilah menjadi satu umat. Beliau juga mempersatukan
kaum kaum muslimin dan kaum Yahudi menjadi satu umat dan menetapkan persamaan
hak dan kewajiban mereka dalam masalah-masalah umum, social, dan politik.
Dengan
demikian, bukti-bukti historis dan karya nyata nabi tersebut, menunjukan bahwa
beliau secara nyata dan arif menata hubungan manusia dan Tuhan, dan hubungan
antara sesama manusia. Al-Qur’an menyebutnya hablun min Allah wa hablun min al-nas (Q.S Ali ‘Imran/3 : 112).
Tujuan Nabi mengatur hablun min al-nas
masyarakat Madinah adalah untuk menetralisir kekuasan kelompok-kelompok yang
ada yang sering terjerumus kepada konflik,dan untuk membimbing mereka agar
hidup dalam suasana kerja sama. Pada segi ini, dilihat dari ilmu politik,
langkah Nabi ini menunjukan beliau telah melaksanakan kekuasan seperti yang dimilimi oleh negera yaitu
kekuasaan politik. Kekuasaan politik yang dikuasai oleh Negara bertujuan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat, mengontrol dan menertibkan
unsure-unsur atau gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Karena manusia
disamping hidup dalam suasana kerjasama antaginistis, penuh konflik dan
persaingan. Pengaturan hubungan-hubungan tersebut, walaupun ada unsur
pemaksaan, adalah untuk menetapkan tujuan-tujua kehidupan bersama.
Oleh karena itu, Pickthal menilai kelahiran dan
fungsi naskah perjanjian itu, menjadi bukti bahwa Nabi menampilkan diri sebagai
sosok pemimpin untuk menetapkan dan mengatur kepentongan umum sebagai
undang-undang Negara (the constitution of the state). Dan lahirnya piagam
tersebut sebagai pernyataan terbentuknya
Negra Madinah. Sekalipun Nabi tidak pernah mengatakan bagwa beliau telah
mendirikan Negara, dan tak satupun ayat
Al-Quran yang memerintahkan beliau agar mendirikan Negara. Tapi karena ajaran
Islam memadukan ntara urusan agama dan dunia, diperlukan adanya lembaga dan
pemimpin untuk melaksanaknnya. Dan Nabi telah mempraktekannya.
Dikatakan
bahwa masyarakat yang di pimpin Nabi itu adalah Negara, karena ia, dari
sudut ilmu politik, memenuhi syarat untuk disebut Negara. Syarat berdirinya
Negara adalah adanya wilayah, penduduk dan perintahan yang berdaulat. Semua
unsur ini terdapat dalam Negara Islam pertama itu. Wilayahnya adalah kota
Madinah dan sekitarnya, rakyatnya terdiri dari unsur-unsr kaum Muhajirin, kaum
Ansar, dan kaum Yahudiserta sekutunya yang menetap di kota madinah, dan
pemerintahan yang berdaulat di pegang oleh nabi Muhammad dan di bantu oleh
sahabatnya. Undang-undangnya berdasarkan Syariat Islam yang di wahyukan oleh
Allah dan sunnah Rasul termasuk Piagam Madinah. Kepemimpinan Nabi selaku kepala
Negara adalah untuk mengatur segala persoalan dan memikirkan kemaslahatan umat
secara keseluruhan, dalam rangka pelaksanaan Siyasah syar’iyah.
Kapasitas Muhammad SAW sebagai kepala Negara dapat
dibuktikan dengan tugas-tugas yang beliau lakukan sebagai termuat dalam
berbagai literature. Beliau beliau membuat undang-undang dalam bentuk tertulis,
mempersatukan penduduk Madinah yang bercorak hiterogen untuk mencegah timbulnya
konflik-konfik di antara mereka
agarterjamin ketertiban interen. Beliau
mengadakan perjanjian damai dengan tetengga agar terjamin ketertiban eksteren,
menjamin kebebasan bagi semua golongan,
mengorganisir militer dan memimpin peperangan, melaksanakan hokum bagi
pelanggar hokum dan perjanjian, menerima perutusan-perutusan dari berbagai suku
Arab dan Jazirah Arab, mengelola zakat dan pajak serta larangan riba di bidang
ekonomi untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan orang kaya dan
miskin, menjadi hakam (arbiter) dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dan
perselisihan, menunjuk para sahabat untuk menjadi wali dan hakim di daerah-daerah dan menunjuk wakil beliau di
Madinah bila beliau bertugas keluar, melaksanakan musyawarah dan sebagainya. Di
dalam ilmu politik dan tatanegara juga disebutkan bahwa tugas-tugas pemerintah
untuk mencapai tuujuan Negara adalah
melaksanakan penertiban dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam
masyarakat, mewujudkan pertahanan dan menegakan keadilan. Dalam sumber lain
menyebutkan bahwa tugas-tugas kepala Negara atau pemerintah atau apaturnya
adalah mengurus Negara dan memimpin seluruh rakyat dalam berbagai aspek
kehidupan, mempertahankan kemerdekaan, melaksanakan keamanan dan ketertiban
umum agar terhindar dari gangguan dan serangan dari luar maupun dai dalam,
mengembangkan segala sumber bagi kepentingan hidup bangsa dalam bidang-bidang
social, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Sosok kepemimpinan Nabi Muhammad dalam kapasitasnya
sebagai pemimpin masyarakat, memimpin politik, memimpin militer dan sebagai
perunding tampak dalam praktek musyawarah yang dilakukannya dalam beberapa
contoh berikut. Dalam al Qur’an ada dua ayat yang menyatakan pujian terhadap
orang-orang yang melak sanakan musyawarah sebelum mengambil keputusan, dan
perintah melaksanakan musyawarah . Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan
mereka dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka (diselesaikan) dengan
musyawarah diantara mereka,(Q.S. al-Syura/42:38) dan Bermusyawaralah dengan mereka dalam semua
urusan, dan apabila sudah mengambil keputusan mengenai suatu perkara maka
bertawakallah kepada Allah. (Q.S. Ali Imron/3:159) Perintah musyawarah dalam
ayat terkhir ini bisa bermakna khusus: “Hai Muhammad bermusyawarah dengan
sahabat sebelum memutuskan setiap masalah kemasyarakatan,” dan bermakna umum;
“wahai umat islam bermusyawarahlah amu dalam memecahkan setiap masalah
kemsyarakatan,” kewajiban ini diamanatkan kepada penyelenggara urusan Negara dan yang berwenang menangani
urusn masyarakat. Dengan petunjuk dua ayat tersebut, Nabi nabi membudayakan
musyawarah dikalangan sahabatnya. Dalam bermusyawarah terkadang beliau hanya
bermusyawarah dengan sebagian sahabat yang ahlidan cendekia, dan terkadang pula
hanya minta pendapat dari salah seorang dari mereka. Tapi bila masalahnya
penting dan berdampak luas bagi kehidupan social masyarakat, beliau
menyampaikannya dalam pertemuan yang lebih bsar yang mewakili smua golongan.
Perang
badar tahun ke-2 H/624 M. perang ini merupakan
kontak senjata utama antara kaum muslimin dan kaum musyrik. Nabi dalam
menghadapi perang ini belum menentukan sikap kecuali setelah mengadakan
musyawarah lebih dulu untuk mendapat persetujuan kaum Muhajirin dan kaum Ansar.
Untuk itu beliau membicarakan kondisi mereka, seperti belanja perang yang
mereka punyai dan jumlah mereka yang sedikit. Beliau
juga minta sikap kaum Ansar sebagai golongan terbesar kaum muslimin dalam
menghadapi perang tersebut. Mereka menyatakan siap mengorbankan segala-galanya
demi perjuangan Rasul. Setelah mereka sepakat menghadapi kaum Quraisy, Nabi dan
pengikutnya berangkat ke suatu tempat , Badar, terletak antara Mekkah dan
Madinah. Ketika menjelang pertempuran , Nabi memutuskan untuk menempatkan
posisi pasukannya di suatu tempat dekat satu mata air di Badar. Mengetahui hal
ini Hubab al-Mundzir, seorang Ansar dating mendekati Nabi dan berkata : “Ya
Rasulullah , apakah penentuan posisi ini atas petunjuk Allah yang karenanya
kita tidak boleh maju atau mundur dari tempat itu, ataukah keputusan itu
semata-mata pendapat Rasulullah?” Rasul menjawab bahwa keputusan itu bukan petunjuk
Allah melainkan pendapatnya sendiri. Hubab berkata: “Kalau begitu tempat ini
sungguh tidak tepat ya Rasulullah. Sebaiknya kita maju lebih ke mata air
daripada musuh, lalu kita bawa tempat air untuk kita isi dari mata air itu
kemudian kita menimbunnya dengan pasir sehingga kita dapat minum, sedangkan
musuh tidak.” Rasul menjawab: “saya setuju dengan pendapat ini”. Kemudian
beliau bersama pasukannya bergerak menuju lokasi yang dimaksudkan oleh Hubab.
Masalah tawanan perang Badar.
Pasukaan Islam dibawah pimpinan Nabi memenangkan peperangan tersebut, dan
berhasih membawa pulang sejumlah tawanan. Nabi sebelum menentukan perlakuan
terhadap mereka, lebih dulu bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam musyawarah
itu muncul dua pendapat yang saling
bertentangan. Abu Bakar berpendapat: “ya Nabi Allah, mereka itu adalah keluarga
dan saudara-saudara Nabi, maka saya berpendapat agar engkau mengambil imbalan
tebusan tunai dari mereka yang demikian kita dapat mengambil kekuatan dari
mereka dan menjadi penolong bagi kita dan mudah-mudahan Allah memberi hidayah
kepada mereka. ” kemudian Rasul bertanya kepada Umar: “bagaimana pendapatmu
wahai Ibnu al-khatthab?” Umar menjawab: “Demi Allah, saya tidak sependapat
dengan Abu Bakar, akan tetapi saya berpendapat bahwa kalau engkau member kuasa
kepadaku seorang, maka saya akan memotong lehernya, dan engkau member kuasa
kepada Hamzah agar ia memotong leher saudaranya, juga engkau beri kuasa kepada
Ali untuk membunuh saudaranya Aqill. Dengan demikian Allah mengetahui bahwa di
dalam hati kita tidak bersifat lemah lembut terhadap orang-orang kafir. Sebab
mereka itu adalah para pemuka dan pemimpin Quraisy.” Nabi dalam mengambil
keputusan, kata Umar, tidak mengikuti pendapatnya melainkan mengikuti pendapat
Abu Bakar. Namun beliau member kebebasan kepada para sahabat untuk memilih;
melepaskan para tawanan dengan tebusan tunai atau membunuhnya. Ternyata
masyarakat melepaskan para tawanan setelah mereka membayar tebusan tunai yang
jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan mereka yang
tidak mampu membayar tebusan tapi memiliki kemampuan membaca dan menulis
diwajibkan mengajar penduduk Madinah, seorang tawanan untuk sepuluh orang.
Besok harinya Umar menemukan Nabi duduk bersama Abu Bakar dan keduanya sedang
menangis. Umar menanyakan apa yang membuat mereka menangis. Nabi menerangkan
bahwa beliau menangisi keputusan yang meminta tebusan dari tawanan, dan
seandainya turun azab pada waktu itu maka hanya Umar yang lepas dari azab itu.
Karena memang tidak lama setelah pelaksanaan putusan itu kemudian turun wahyu
yang mencela tindakan Nabi mengambil tebusan dari para tawanan, yaitu ayat 67
surat Al-Anfal.
Perang Uhud tahun ke-3 H/625M. Nabi
juga mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya untuk menentukan strategi
dalam menghadapi musuh, yaitu apakah bertahan dalam kota Madinah atau keluar
menyongsong musuh dari mekkah itu. Nabi berpendapat lebih baik bertahan dalam
kota. Pendapat ini disokong oleh Abdullah bin Ubay, pimpinan kaum munafik
Madinah. Tapi karena mayoritas sahabat berpendapat keluar dari kota , maka Nabi
mengikuti pendapat mayoritas. Keputusan tersebut ia pegang teguh dan setia
sekalipun ketika di tengah perjalanan mereka yang berpendapat mayoritas ingin
menarik kembali pendapat mereka. Mereka memberikan kebebasan kepada Nabi untuk
mengubah keputusan itu sesuai dengan pendapatnya sendiri. Sementara Abdullah
bin Ubay bersaman pengikutnya, sepertiga dari jumlah pasukan, menarik diri dan
kembali ke Madinah. Dan ketika seorang Ansar mengusulkan kepada kaum yahudi,
yang ketika itu adalah sekutu orang-orang Islam, sebagai tercantum dalam piagam
perjanjian, Nabi menolaknya dengan mengatakan: “Kita tidak membutuhkan mereka.”
Sedangkan dalam perang Khandaq Nabi tidak mengikuti pendapat mayoritas. Beliau
mengikuti pendapat Salman al-Farisi yang mengusulkan agar kaum muslimin menbuat
parit di sekitar kota Madinah dan memperkuat pertahanan dalam kota. Pendapat
ini ditentang oleh kaum Ansar dan Muhajirin. Tapi akhirnya mereka menerima
pendapat tersebbut setelahNabi member persetujuannya.
Perjanjian damai Hudaibiyah tahun ke-7 H.
perjanjian ini terjadi antara Nabi Muhammad SAW. dan kaum Quraisy Mekkah. Nabi
ketika membuat naskah perjanjian yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib tidak
mengubris pendapat sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Umar. Beliau selalu
mengikuti pendapat Suhail bin ‘Amr, Wakil kaum Quraisy. Ketika Nabi
memerintahkan Ali menuliskan: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang ” Suhail protes dengan mengatakan ia tidak mengenal kalimat itu dan
minta diganti dengan kalimat “Dengan namaMu ya Tuhan.” Nabi mengiyakannya minta
Ali menulisnya. Kemudian Nabi memerintahkan Ali untuk menulis: “Ini adalah
nakah perjanjian Muhammad Utusan Allah bersama Suhail bin ‘Amr.” Suhail
lagi-lagi tidak setuju dengan alamsan jika ia percaya bahwa Muhammad Utusan
Allah, maka ia tidak akan memusuhinya. Karenanya ia minta: “Tuliskan saja
namamu dan nama ayahmu”. Nabi menyetujuinya dan memerintahkan Ali untuk
menuliskan: “Ina adalah naskah perjanjian Muhammad bin Abdullah bersama Suhail
bin ‘Amr.” para sahabat sangat marah melihat Nabi yang mengikuti saja kehendak
Suhail. Tapi Beliau tidak memperdulikannya. Dengan demikian Rasul bersedia
menghapus tujuh kata karena Suhail yang mewakili mayoritas penduduk Mekkah yang
masih musyrik tidak dapat menerimanya. Tujuh kata yang dihapus adalah: bismi,
Allah, al-Rahman, al-Rahim, Muhammad, Rasul dan Allah. Demikian juga
isi perjanjian kurang dapat diterima para sahabat karena lebih menguntungkan
pihak Quraisy.
Peristiwa bersejarah tampak sekali Nabi tidak ngotot
memperjuangkan kalimat yang diusulkannya. Beliau begitu spontan dan berjiwa
besar mengikuti kehendak musuh. Yang penting baginya bukan apa yang tercantum
dalam pembukaan naskah perjanjian itu, melainkan bagaimana agar perjanjian
damai berhasil diwujudkan dan dampak yang akan diperoleh dibalik perjanjian itu
kemudian.
Perlakuan Nabi terhadap jenazah Abdullah bin Ubay
bin Salul. Ketika tokoh munafik ini meninggal,
putranya yang bernama Abdullah mendatangi Rasulullah untuk minta kain kafannya
dan beliau memberikannya. Kemudian ia minta pula agar Rasul bersedia
menyembahyangkannya dan beliau pun memenuhi permintaan itu. Mengetahui hal ini,
Umar mengingatkan Rasul supaya tidak memenuhi permintaan tersebut. Sebab
al-Qur’an (surat at-Taubah ayat 80) telah menyatakan bahwa tidak berfaedah
meminta ampun bagi orang-orang munafik sekalipun dimintakan ampun sebanyak
tujuh puluh kali, Allah tidak akan mengampuninya. Tapi Rasul tetap
menyembahyangkan jenazah tersebut. Tidak lama kemudian turun wahyu seperti
terdapat dalam al-Qur’an surat at-Taubah
ayat 84 sebagai penjelasan ayat di atas yang melarang rasul menyembahyangkan
jenazah orang-orag munafik. Dari kasus-kasus tersebut tampak bahwa pendapat
Umar dua kali mendpat pembenaran dari Allah melalui wahyuNya.
Dari beberapa contoh musyawarah tersebbut tampak
bahwa Nabi selalu mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan
masalah-masalah social politik yang dihadapi, dan beliau mentolerir adanya
perbedaan pendapat di antara mereka. Namun demikian keputusan harus ada yang
menjadi kesepakatan bersama.
Kenyataan tersebut mengandung arti baik al-Qur’an
maupun Sunnah Nabi memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentuksn
bentuk dan sistem musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman
dan kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan
pengambilan keputusannya tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran
Islam. Yaitu kebebasan, persamaan dan keadilan.
Bila praktek musyawarah tersebut didalami lebih lanjut
dengan melihat dari sudut kuantitas peserta yang Nabi minta pendapatnya dan
kualitas masalah, maka tidaklah berlebihan bila praktek musyawarah beliau
tersebut diidentikkan dengan praktek musyawarah yang dilakukan oleh kepala
Negara atau pemerintah di zaman modern ini. Dalam kenyataannya, praktek
musyawarah antar berbagai pemerintah dan Negara sekalipunsama-sama menganut
paham demokratis, tidak menunjukan keseragaman.
Pranata social lain dari praktek perintahan Nabi
adalah membangun hubungan yang harmonis antara warga Negara muslim dan
non-muslim yang disebut dzimmi. Walaupun mereka berbeda agama,
sebagaimana diatur dan disahkan dalam piagam Madinah, namun mereka memperoleh
hak yang sama dalam hal perlindungan dan keamanan jiwa, membela diri, kebebasan
beragama, kebebasan berpendapat dan kedudukan di depan hukum. Nabi juga
mengadakan hubungan dengan penguasa-penguasa yang ada di jazirah arab dengan
mengirim surat-surat melalui utusan-utusan beliau. Memang inti surat-surat itu
untuk tujuan dakwah; mengajak mereka kepada Islam, sebagai bagian dari missi
kenabiannya. Tapi pada sisi lain tersirat kehendak Nabi agar tercipta hubungan
damai. Dengan adanya hubungan damai dan saling pengertian diharapkan para
penguasa tersebut dapat menerima kehadiran Islam di wilayah kekuasaan mereka.
Ini dapat disebut sebagai “politik dakwah Nabi” dalam rangka syiar Islam.
Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin
tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislative, eksekutif dan
yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu orang belu mengenal teori pemisahan atau
pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknyabeliau mendelegasikan tugas-tugas
eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan
mampu.timbulnya berbagai masalah yang dihadapi dan perkembangan wilayang
kekuasaan menurut adanya peta pembagian tugas. Untuk pemerintahan di madinah
Nabi menunujuk beberapa sahabat sebagai pembantu beliau. Untuk pemerintahan di
daerah Nabi mengangkat seorang wali, seorang qadhi dan seorang ‘amil
untuk setiap daerah atau propinsi.
Adapun pranata social di bidang ekonomi yang juga
menjadi bagian dari tugas kenegaraan, adalah usaha Nabi Muhammad SAW mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan social rakyat Madinah.
Sedangkan praktek pemerintahan Nabi Muhammad di
bidang hukum adalah kedudukan bekliau sebagai hakam untuk menyelesaikan
perselisihan yang timbul dikalangan masyarakat madinah, dan menetapkan hukuman
terhadap pelanggar perjanjian. Kedudukan sebagai hakam dan tugas ini
pernah beliau wakilkan kepada sahabat, penunjukan salah satu sahabat menjadi
hakim, merupakan bukti praktek pemerintahan Nabi Nabi di bidang pranata social
hukum.
Dari sebagai contoh praktek pemerintahan yang
dilakukan oleh Muhammad SAW tersebut, tampak bahwa beliau dalam
kapasitasnya sebagai kepala Negara dalam memerintah Negara Madianah dapat dikatakan amat demokratis.
Sakalipun undang-undangnya berdasarkan wahyu Allah yang beliau terima, dan
Sunnah beliau termasukk piagam Madinah. Beliau tidak bertindak otoriter sekalipun
itu sangat mungkin beliau lakukan dan akan dipatuhi oleh umat Islam mengingat
statusnya sebagai Rasulullah yang wajib ditaati.
Dalam kontek itu beberapa ahli mengemukakan pendapat
yang berbeda mengenai bentuk dan corak Negara Madinah tersebut di zaman
Rasulullah. Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai
pemerintahan dan tidak pula membentuk kerajaan. Sebab beliau hanya seorang
Rasul sebagaimana Rasul-Rasul lain, danbukan sebagai raja atau pembentuk
Negara. Kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan seorang Rasul yang memebawa
ajaran baru, dan bukan kepemimpinan seorang raja, dan kekuasaannya hanyalah
kekuasaan seorang Rasul, bukan kekuasaan seorang raja. Berbeda dari pendapat
ini, Khuda Baks, penulis dari Gerakan Aligarh India, menyatakan bahwa Nabi
Muhammad tidak hanya membawa agama baru, tetapi juga membentuk suatu
pemerintahan yangbercorak teokratis, yang puncaknya berdiri seorang
wakil Tuhan di muka bumi.
Pada ummnya, para ahli berpendapat, masyarakat yang
dibentuk oleh Nabi di Madinah itu adalah Negara, dan beliau sebagai kepala
negaranya. Watt, seorang orientalis, menyatakan masyarakat yang dibentuk oleh
nabi di Madinah bukan hanya masyarakat agama, tetapi juga masyarakat politik
sebagai pengejawantahan dari persekutuan suku-suku bangsa arab. Instansi
persekutuan itu adalah rakyat Madinah dan Nabi Muhammad sebagai pemimpinannya.
Sebab beliau disamping seorang rasul juga adalah Kepada Negara. Hitti juga
berpendapat, terbentuknya masyarakat keagamaan di Madinah yang bukan
berdasarkan ikatan darah membawa kepada terbentuknya Negara Madinah. Diatas
puncak Negara ini berdiri berdiri Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah wakil Tuhan
di muka bumi.
Menurut Madjid Khadduri, apabila syariat Islam
berperan dalam pemerintahan umat Islam, maka ia disebut nomokrasi. Demikian
juga pemerintahan Nabi. Sedangkan bagi Al-Maududi, sistem pemerintahan yang
demikian ia sebut teo-demokrasi. Sebab, disamping syariat yang
diwahyukan Tuhan sebagai pemenang kedaulatan tunggal mengenai berbagai
ketentuan hukum, kekuasaan Tuhan berada di tangan umat untuk melaksananakan
syariat. Karenanya ia membatasi kedaulatan rakyat. Namun umat memperoleh
kedudukan utama untuk memusyawarahkan masalah-masalah yang belum jelas hukumnya
dalam syariat Islam.
Dalam Negara Madinah itu memang ada dua kedaulatan ,
yaitu kedaulatan Syariat Islam sebagai undang-undang Negara itu, dan kedaulatan
umat. Syariat Islam sebagai undang-undang di satu segi ia membatasi kekuasaan
umat untuk membuat undang-undang mengenai hukum sesuatu bila penjelasan
hukumnya sudah jelas dalam nash syariat. Tapi di segi lain ia member hak
kebebasan kepada umat untuk menetapkan hukum suatu hal yang belum jelas
hukumnya, memerintahkan kepada umat agar memusyawarahkan setiap urusan mereka,
yaitu urusan yang belum jelas hukumnya, dalam nash syariat. Ini telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad sebagai salah satu aktivitasnya yang menonjol di
bidang pranata social politik dalam memimpin Negara Madinah. Jadi Negara
Madinah itu adalah Negara yang berdasarkan Syariat Islaam, tapi ia member hak
bermusyawarah dan berijtihad kepada umat. Dengan demikian corak Negara Madinah
adalah Negara berasaskan syariatIslam, dan bersifat demokratis.
Dari uraian mengenai Negara Madinah pada periode
Muhammad SAW, tampak aktivitas beliau tidak hanya menonjol di bidang risalah
kenabian (dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul) untuk mengajarkan wahyu yang diterimanya dari
Allah SWT kepada manusia. Tetapi juga menonjol di bidang keduniaan untuk
membangun kebutuhan spiritual dan kebutuhan materilal masyarakat yang terdiri
darui berbagai etnis, penganut agama dan keyakinan yang berada di bawah
kepemimpinannya. Artinya Nabi Muhammad SAW telah menampilkan dirinya sebagai
pemimpin yang berhasil melaksanakan prinsip keseimbangan antara kemaslahatan
dunia dan kemaslahatan akhirat bagi umatnya. Terlaksananya prinsi[p
keseimbangan ini kaena beliau menerapkan secara konsisten prinsip musyawarah ,
prinsip kebebasan berpendapat, prinsip kebebasan beragama, prinsip persamaan
bagi semua lapisan social , prinsip keadilan social dan kesejahteraan social rakyat
baik kesejahteraan materilnya mau pun kesejahteraan spiritualnya, prinsip
persatuan dan persaudaraan, prinsip amar makruf dan nahi mungkar, dan prinsip
ketakwaan.
Komentar
· Karakteristik Pemikiran Islam
Pemikiran politik Islam berkembang secara luas tak
lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulallah hijrah ke madinah. Di
madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulallah. Yang menyangkut kehidupan
Internal umat Islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam
membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para sahabatnya
dimadinah telah membuka jalan baru bagi uamt Islam untuk mengambil substansi ajaran
sosial dan politik. Piagam madinah merupakan kontrak Rasulullah bersama
komunitas Madinah dalam pluralitas, tidak lain piagam madinah menjadi
konstitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan perbedaan suku dan
agama dinaungi dalam perjanjian bersama.[1]
Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab
yang datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan
serba kekurangan sampai-sampai ada diantara mereka yang tidak punya tempat
tinggal. Bagi mereka ini oleh Muhammad disediakan tempat di selasar mesjid
yaitu shuffa [bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat tinggal mereka.Oleh
karena itu mereka diberi nama Ahl'sh-Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka
diberikan dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar
yang berkecukupun. Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara
persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah tentu ini
merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan sekaligus menunjukkan
adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh. Baru tampak kepada
kita arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya kaum Munafik yang
hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Aus
dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar. Akan tetapi suatu operasi
politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan luarbiasa,
ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan persatuan Yathrib
dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan persetujuan dengan
pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat sekali. Orang
sudah melihat betapa mereka menyambut baik kedatangannya dengan harapan akan
dapat dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan mereka ini dengan segera
dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta mengadakan tali silaturahmi
dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala mereka, didekatkannya
pembesar-pembesar mereka dibentuknya dengan mereka itu suatu tali persahabatan,
dengan pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum monotheis. Lebih dari
itu bahwa pada waktu mereka berpuasa iapun ikut puasa. Pada waktu itu kiblatnya
dalam sembahyang masih menghadap ke Bait'l-Maqdis, titik perhatian mereka,
tempat terkumpulnya semua Keluarga Israil. Persahabatannya dengan pihak Yahudi
dan persahabatan pihak Yahudi dengan dia makin sehari makin bertambah erat dan
dekat juga.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW. Muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara
kelompok anshor dan muhajirin yang membicrakan siapa pengganti Rasulullah
disaqifah yang pada gilirannya menjadi perdebatan sengit dikalangan pemikir
politik Islam tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam
kepemimpinan agama dan politik. Permasalahan awal setelah wafatnya Rasulullah
tentang siapa pengganti Rasulullah membuktikan bahwa sejak awal karakter yang
diperihatkan umat Islam begitu serius dalam membicarakan persoalan politik.
Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin begitu alot berdebat di Saqifah Bani
Sa’idah karena masing-masing kelompok merasa layak menjadi pengganti
Rasulullah.
Kemudian berbagai peristiwa politik dalam proses
penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi
umat Islam. Proses pergantian kekuasaan yang tidak sama di masing-masing
periode kekuasaan (Abu Bakar dipilih dengan jalan musyawarah terbatas antara
kelompok Muhajirin dan Anshar, Umar ditunjuk oleh Abu Bakar Siddiq, Utsman bin
Affan menjadi Khalifah berdasarkan musyawarah tim formatur, dan Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah dalam situasi politik yang terpecah-pecah dan hanya
dibaiat oleh sebagaian kelompok umat Islam) telah memunculkan perdebatan
tentang mekanisme apa yang harusnya dilakukan untuk mengganti penguasa
perdebatan ini menangkut mekanisme dan system politik yang dipraktikan oleh
Islam.
yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah
peristiwa tahkim yang terjadi antara
Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menjadi puncak
perdebatan politik dikalangan umat Islam. Perdebatan kekuasaan antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan telah melahirkan teologis yang sangat
kuat (kafir dan mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran teologi yang sebelumnya
tidak pernah ada di masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidun, seperti Khowarij,
Mu’tazilah, Ahlussunnah Waljamaah, dan Murjiah.
Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dikalangan
umat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikira politik di masa-masa
selanjutnya, yang menjadi respon terhadap peristiwa dan hasil refleksi para
pemikir politik. Munculnya sejumlah pemikir politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’
al-Mawardi, al-Ghazali al-Farabi, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, dan syah
waliyullah al-dahlawi.
Pemikir politik islam terbagi menjadi tiga peiode
besar, yakini periode klasik, pertengahan,dan modern. Periode klasik
berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 (1258 M) periode pertengahan yang
berlangsung sejak abad ke 14 hingga abad ke 19 periode modern yang berlangsung
sejak abad ke 19 (kolonialisme) hingga sekarang.[3]
·
PERANG BADAR
Peristiwa Badr itu telah menimbulkan kesan yang
dalam sekali di Mekah, sebagaimana sudah kita lihat. Bila saja terdapat
kesempatan, hasrat hendak membalas dendam terhadap Muhammad dan Muslimin itu
besar sekali. Tetapi pengaruh yang timbul di Madinah ternyata lebih jelas dan
lebih erat berhubungan dengan kehidupan Muhammad dan Muslimin bersama-sama.
Sesudah peristiwa Badr, golongan Yahudi, orang-orang musyrik dan kaum munafik
sudah merasakan sekali adanya kekuatan kaum Muslimin yang bertambah. Mereka
melihat bahwa orang asing ini yang datang ke tempat mereka kurang dari dua
tahun yang lalu pergi hijrah dari Mekah, kini tambah besar kewibawaannya dan
tambah kuat pula kedudukannya, bahkan hampir menjadi orang yang menguasai
seluruh penduduk Medinah, bukan hanya golongannya sendiri saja. Seperti
sudah kita lihat orang-orang Yahudi sejak sebelum Badr sudah mulai menggerutu
dan mengadakan bentrokan-bentrokan dengan pihak Muslimin, sehingga banyak
peristiwa-peristiwa yang kalau tidak sampai meletus, seolah hanya karena masih
adanya perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak itu. Itu pula sebabnya,
begitu kaum Muslimin kembali dari Badr membawa kemenangan, beberapa kelompok di
sekitar Medinah mulai saling bermain mata dan berkomplot. Mereka mulai dihasut
dan dibuatkan sajak-sajak yang sifatnya membangkitkan semangat mereka. Dengan
demikian, gelanggang revolusi itu kini pindah dari Mekah ke Medinah, dan dari
bidang agama ke bidang politik. Jadi yang diperangi sekarang bukan hanya dakwah
Muhammad dalam bidang agama saja, melainkan kewibawaan dan pengaruhnya juga
membuat hati mereka jadi kecut. Faktor ini yang menyebabkan mereka berkomplot
dan membuat rencana hendak membunuhnya. Tetapi semua rahasia itu bukan tidak
diketahui oleh Muhammad. Bahkan ia sudah mengetahui semua berita dan setiap
rencana yang ditujukan kepadanya itu. Baik pada pihak Muslimin ataupun pihak
Yahudi
1. Masa Nabi Muhammad dan dua pertama
khulafa al-rasyidun:
a. Nabi Muhammad menduduki jabatan penting,
sebagai pimpinan agama maupun pimpinan negara (politik) khususnya di saat di
Madinah. Kepentingan umat diatur berdasarkan wahyu turun, hal-hal di luar wahyu
dimusyawarahkan dengan para sahabat.
b. Saat Nabi wafat, proses suksesi muncul.
Memilih orang yang dapat menduduki dua jabatan rangkap sekaligus, yaitu pimpinan
spiritual dan politik. Atas dasar musyawarah dari beberapa kelompok ( sekarang
kita kenal perwakilan-parlemen), akhirnya memilih Abu Bakar sebagai gantinya.
Jabatan ini dipegang selam 2 tahun. Beliau lebih senang disbut khalifat
al-rasul.
c. Sinergitas antara Abu Bakar dan \'Umar
ibn Khottob dalam menjalankan pemerintahan cukup kompok. Para pembangkang, yang
terdiri dari kalangan murtad dan nabi-nabi palsu ditangani secara serius,
sehingga kelompok-kelompok sparatis ini luluh dan tidak berdaya. Salah satu tokoh
harismatik yang ikut tampil dalam mengatasi problim ini adalah Khalid ibn
Walid. Sebelum ajal, Abu Bakar berpesan (wasiat) agar yang melanjutkan roda
pemerintahan dan sekaligus tokoh agama adalah \'Umar ibn Khattab. Selama 10
tahun pemerintahannya dipegang cukup maju dan berkembang pesat. Ekspansi
pemerintahan ini sampai ke wilayah Afrika, seperti Mesir dan negara-negara di
wilayah utara Arab Saudi. Penatan di sektor pemerintahan cukup menonjol,
seperti mendirikan peradilan pidana dan perdata. Menggaji tentara, menertibkan
administrasi negara dll. Dalam kajian peradaban Islam. Masa Umar dianggap
sebagai masa kejayaan Islam pertama. \'Umar terkenal dengan Amir al-mukminin.
Pokok-pokok pengaruh politik saat Nabi di Makkah;
Pengaruh eksternal ;
1. Ka\'bah sebagai monumen suci diakui oleh
masyarakat, dikunjungi oleh penganut-penganut agama masehi Yahudi atau
Nashrani.
2. Hijaz sebagai wilayah yang tidak
diperhitungkan oleh kerajaan-kerajaan besar di wilayah Utara (meliputi Romawi
dan Persia dll).
3. Sumber mata air, sumur zamzam sebagai
salah satu potensi ekonomi yang strategis.
4. Muhammad saw yang dikenal dari sejak
kecil sebagi \"al-amin\". Didukung dengan nasab yang sangat
berpengaruh \"nabi Ismail ?Ibrahim \".
5. Pengaruh budaya dari kerajaan-kerajaan
di wilayah Utara ? Timur; sebagai transformasi dagang, pengaruh kerajaan
protektorat (di bawah lindungan negara kuat ) Hirah dan Ghassan serta masuknya
misi Yahudi Nasrani.
Pengaruh internal ;
1. Kecerdasnnya yang sangat baik dan
keadaannya yang yatim menjadikan dirinya kuat dan peka terhadap lingkungan.
Cepat beradaptasi dengan lingkungan, protes dalam dirinya untuk tidak menyembah
berhala serta berpihak kepada rakyat kecil (termarginal).
2. Pada usia muda beliau mengembala
kambing. Dalam bertafakkur dapat menemukan jati dirinya sehingga dapat menjauh
dari tradisi jahiliyah.
3. Pada usia 12 tahun disaat berdagang
dengan Abu Thalib menemukan isyarat dari pendeta Kristen, tentang tanda-tanda
pemimpin agama dan sekaligus pemimpin umat.
4. Pada usia 25 tahun menikah dengan wanita
kaya dan isterinya sebagai orang pertama masuk Islam. Sokongan moral yang
sangat berharga.
5. Usia 35 dapat mengatasi problim Hajar
Aswad Ka\'bah dengan sangat bijaksana. Mampu mengatasi perpecahan kelompok.
6. Masuk usia 40 melakukan kontemplasi di
Gua hira 5 tahun, mampu melakukan komunikasi dengan Malaikat Jibril.
7. Ayat-ayat al-Qur\'an (di Makkah)
dipandang sebagai doktrin ideologi yang bertujuan untuk merubah tradisi yang
sesat. Ideologi ini yang menjadi program dasar merubah tatanan sosial.
8. Dakwah siriyah, sebagai bagian dari
perjuangan oposan. Di Makkah Nabi saw tidak melakukan perang perlawanan.
9. Rekrutmen sahabat lebih banyak diterima
oleh kalangan tertindas. Orang-orang penting seperti Abu Bakar.
Corak pokok dari kepemimpinan nabi
Muhammad saw dan dua khalifah pertama ;
1. Ideologi tawhid yang diperjuangkan,
berhadapan dengan tradisi jahiliyah (sebagai gerakan oposan - di Makkah, di
Madinah sebagai kekuatan yang dominan ).
2. Tatanan ekonomi yang berbasis kerakyatan
berhadapan dengan kapitalis.
3. Rekrutmen warga yang berbasis rakyat
kecil.
4. Mendanai kepentingan negara dengan
sumber dana yang besar, seperti ghanimah, salab, fai, zakat, infak dll.
5. Kekuatan tentara yang memiliki kemampuan
tawhid ( moral) dan fisik, serta mengangkat perwira tinggi secara proporsional.
6. Relasi antar warga yang diperkuat dengan
model ukhuwah Islamiyah.
7. Mengutamakan dialogis antar warga
(musyawarah).
8. Kekompakan pejabat tinggi negara dalam
menangani disintegrasi (pada saat Abu Bakar).
9. Penghargaan kepada mantan pejabat tinggi
negara dengan memberi tunjangan pensiun.
10. Menjunjung tinggi nilai-nilai
kesejahteraan dan keadilan. ( pemerataan kekayaan dan supremasi hukum) dll.
·
Perang Uhud
Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan membawa kaum
wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah orang paling panas hati ingin
membalas dendam, karena dalam peristiwa Badr itu ayahnya, saudaranya dan
orang-orang yang dicintainya telah mati terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan
tujuan Medinah yang disiapkan dari Dar'n-Nadwa itu terdiri dan tiga brigade.
Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abi Talha terdiri dari 3000 orang.
Kecuali 100 orang saja dari Thaqif,4 selebihnya semua dari Mekah, termasuk
pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan
senjata tidak sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000
unta, di antaranya 700 orang berbaju besi. Sesudah ada kata sepakat,
sekarang sudah siap mereka akan berangkat. Sementara itu 'Abbas b.
Abd'l-Muttalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan
teliti dan saksama sekali memperhatikan semua kejadian itu. Disamping
kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan agama golongannya sendiri, juga
Abbas mempunyai rasa solider dan sangat mengagumi Muhammad. Masih ingat ia
perlakuannya yang begitu baik ketika perang Badr. Mungkin karena rasa kagum dan
solidernya itu yang membuat dia ikut Muhammad menyaksikan Ikrar 'Aqaba dan
berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau mereka tidak akan dapat
mempertahankan kemenakannya itu seperti mempertahankan isteri dan anak-anak
mereka sendiri, biarkan sajalah keluarganya sendiri yang melindunginya, seperti
yang sudah-sudah.
Hal inilah yang mendorongnya - tatkala diketahuinya
keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu besar - sampai ia
menulis surat menggambarkan segala tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka
itu. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya
disampaikan kepada Nabi. Dan orang inipun sampai di Medinah dalam tiga hari,
dan surat itupun diserahkan. Dalam pada itu pasukan Quraisypun sudah pula
berangkat sampai di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah bt. Wahb, timbul rasa
panas hati beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh mereka akan
membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan demikian; supaya
jangan kelak menjadi kebiasaan Arab. "Jangan menyebut-nyebut soal
ini," kata mereka. "Kalau ini kita lakukan, Banu Bakr dan Banu
Khuza'a akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita."Quraisy meneruskan
perjalanan sampai di 'Aqiq, kemudian; mereka berhenti di kaki gunung Uhud,
dalam jarak lima mil dari Medinah.
Orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas b.
Abd'l-Muttalib membawa surat ke Medinah itu telah sampai. Setelah diketahuinya
berada di Quba', ia langsung pergi ke sana dan dijumpainya Muhammad di depan
pintu mesjid sedang menunggang keledai. Diserahkannya surat itu kepadanya, yang
kemudian dibacakan oleh Ubay b. Ka'b. Muhammad minta isi surat itu supaya
dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung menemui Sa'd ibn'l-Rabi' di
rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan 'Abbas kepadanya itu dan
juga dimintanya supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi isteri Sa'd yang
sedang dalam rumah waktu itu mendengar juga percakapan mereka, dan dengan
demikian sudah tentu tidak lagi hal itu menjadi rahasia.
Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu'nis,
oleh Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut pengamatan mereka
kemudian ternyata Quraisy sudah mendekati Medinah. Kuda dan unta mereka
dilepaskan di padang rumput sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu
kemudian Muhammad mengutus lagi Hubab ibn'l-Mundhir bin'l-Jamuh. Setelah
keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh 'Abbas, Nabi
s.a.w. jadi terkejut sekali. Ketika kemudian Salama b. Salama keluar, ia
melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Medinah, bahkan
sudah hampir memasuki kota. Ia segera kembali dan apa yang dilihatnya itu
disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan Khazraj, begitu
juga semua penduduk Medinah merasa kuatir sekali akan akibat serbuan ini, yang
dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu.
Pemuka-pemuka Muslimin dari penduduk Medinah malam itu berjaga-jaga dengan
senjata di mesjid guna menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota
dijaga ketat.
Muslimin bermusyawarah: bertahan diMadinah atau menyongsong musuh di luar
Keesokan harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam - atau orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh Qur'an - oleh Nabi diminta berkumpul; lalu mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana seharusnya menghadapi musuh Nabi 'alaihi's-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi.
Muslimin bermusyawarah: bertahan diMadinah atau menyongsong musuh di luar
Keesokan harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam - atau orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh Qur'an - oleh Nabi diminta berkumpul; lalu mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana seharusnya menghadapi musuh Nabi 'alaihi's-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi.
[1] Syarif Ibnu mujar, Khazmi Zada, fiqih siyasah doktrin dan
pemikiran politik Islam, Erlangga, 2008, hlm.26
[3] Syarif
Ibnu mujar, Khazmi Zada, fiqih
siyasah doktrin dan pemikiran politik Islam, op.cit, hlm. 26-28
0 Response to "Makalah Pemerintahan Masa Nabi di Negara Madinah"
Posting Komentar