Buku M. ALI HASAN (jakarta :PT RajaGrafindo Persada, 1995)
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia ini
berkembang berbagi macam-macam ragam aliran yang berkenaan dengan masalah fiqh.
Pemikiran ini didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat
kita sehari-hari, bahwa ada saja terlihat perbedaan pendapat yang berkenaan dengan masalah furu’ (cabang), baik
mengenai ibadah, mu’amalah dan lain-lainnya. Kalau ada salinng pengertian
antara pihak satu dan pihak lainnya, tentu tidak ada yang perlu di hawatirkan,
karean adakalanya hal-hal yang di perselisihkan itu ada jalan keluar yang dapat
ditempuh, dan kalu sampai mengalami jalan buntu, masing-masing pihak mampu
menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.[1]
Perbedaan pendapat
harus disatukan, sebenarnya bukan pola pikir ini yang dituntut, tetapi tenggang
rasa, saling pengertian dan menghargai pendapat yang muncul dan berkembang,
dalam arti kata, seseorang tidak boleh mengklaim, hanya pendapat sendiri yang
benar sedang pendapat orang lain tidak dipertimbangkan. Perbedaan pendapat yang
terdapat dalam masyarakat, hendaknya dipandang sesuatu yang wajar saja dan hal
itu menandakan, bahwa pikiran orang itu hidup, tidak membeku, kreatif dan tidak
mandek. Mengapa kira tidak mengambil contoh yang nyata, bahwa imam syafi’i itu
pernah berbeda pendapat dengan dirinya sendiri, yaitu terkenal dengan Qaul
Qadim dan Qaul Jadid. Sepanjang pengetahuan kita, tidak ada orang yang
mengatakan imam Syafi’i itu punya pendirian. Malahan disitulah keluasan
pandangan beliau itu kekenyalan hukum islam.[2]
Berdasarkan
kenyataan ini pula, kita dapat membayangkan bagaimana beratnya tugas Alim
Ulama, para mubaligh dan guru agama sebagi pendidik (pewaris para Nabi) untuk
menyampaikan ajaran Allah kepada Masyarakat luas. Sedang masyarakat yang
dihadapi sangat heterogen, tidak sama daya pemikirannya maupun
latar belakang pendidikannya, atau lingkungan tempat tinggalnya,
dsb. Dalam menghadapi masalah khilafiyah, kita hendaknya lebih berhati-hati
memberikan penjelasan atau menjawab pertanyaan dan diusahakan jangan sampai
memihak kepada satu alliran atau mazhab tertentu, kita sebaiknya sekedar
menjelaskan jalan pikiran daari masing-masing pihak yang berbeda pendapat.[3]
Perbandingan
mazhab didalam buku ini akan dibahas mengenai: Syari’ah, Ijtihad, Ikhtilaf dan
pola pemikiran serta dasar-dasar istinbat hukum para Imam Mujtahid. Dengan
demikian sudah ada gambaran, apa yang menyebabkan para imam mujtahid itu
berbeda pendapat dan demikian pula kita dapat mengantisipasi masalah-masalah
yang terjadi dengan cara bijaksana.[4]
BAB II
SYARI’AT
A.
PENGERTIAN
SYARI’AT ISLAMIYAH
Syari’at pada asalnya bermakna jalan
yang lempang atau jalan yang dilalui air terjun. Syari’at adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk
kaum muslimin baik melalui al-Qur’an ataupun melalui sunnah Rasul. Syekh Mahmud
Shaltut menguraikan makna Syari’at sebagai berikut: Syari’at menurut
bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk
minum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan tat aturang yang
disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar
sesama. Perkataan syari’at tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan
al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. kemudian dimasukkan kedalamnya
hukum-hukum yang telah disepakati (di Ijmak) oleh para sahabat Nabi,
tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang belum jelas dalam
al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah-masalah yang diijtihad). Juga dimasukkan
kedalamnya hukum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas.[5]
B.
SUMBER SYARI’AT
ISLAMIYAH
Pengertian manapun yang kita
pergunakan diatas, tetap bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yaitu sumber
yang telah disepakati oleh semua ulama. Kemudian Jumhur Ulama berpendapat bahwa
sumber yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sebagai
landasannya adalah firman Allah: (QS. An-Nisa: 59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya)”
Perintah taat kepada
Allah dan RasulNya, berarti mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah. Perintah menaati
Ulil Amri, berarti mengikuti ketentuan hukum yang telah disepakati oleh para
imam mujtahid, dalam hal pembentukan syari’at (Ijmak). Lebih lanjut perintah
untuk mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada Allah dan
Rasul-Nya, berarti perintah menggunakan qiyas. Dengan demikian ayat tersebut
diatas telah mencangkup sebagai dalil dari keempat sumber hukum tersebut.[6]
Kemudian ada lagi
sumber-sumber hukum yang dipergunakan oleh sebagian ulama, dan tidak
dipergunakan oleh ulam lainnya, seperti: Istihsan, Maslahah Mursalah, Istihsab,
‘Urf, Mazhab Shahaby dan Sya’ru man Qablana.[7]
Dibawah ini akan dijelaskan stu persatu:
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adala
kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah sebagai mukjizat terbesar bagi
beliau dan dapat dijadikan hujjah (argumentasi) untuk memperkuat kebenaran
beliau sebagai Rasul Allah. Al-Qur’an itu juga merupakan undang-undang yang
mengatur seluruh umat manusia, dan sebagai satu kegiatan ibadah bila kita
membacanya.
Undang-undang yang
diturunkan Allah ini tetap dijamin keaslian dan kemurniannya sepanjang zaman,
sebagaiman disebutkan dalam firman-Nya:
(QS. Al-Hijr: 9)
“ Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Keistimewaan al-Qur’an adalah, tetap dijamin keaasliannya dan
kemurniannya, karena disamping Allah menjaga dan memeliharanya, juga lafal dan
maknanya langsung dari Allah. Berbeda dengan haditz Qudsy, maknanya dari Allah
sedangkan lafalnya dari Rasulullah.[8]
a.
Kehujjahan
al-Quran
Al-Qur’an adalah merupakan hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum
yang ada di dalamnya merupakan undang-undang yang harus di taati, karena
al-Qur’an diturunkan oleh Allah dengan jalan Qath’i, yang kebenarannya tidak
boleh diragukan. Alasan lain ialah, bahwa al-Qur’an sebagai mukjizat yang mampu
menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru al-Qur’an itu dan memang
ternyata, tidak ada yang mampu menirunya. Salah satu ayat yang memperkuat
pernyataan diatas: (QS. Hud:13)
“bahkan mereka mengatakan: "Muhammad
telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka
datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu
memang orang-orang yang benar".[9]
b.
Macam-macam
hukum di dalam
al-Qur’an
Macam-macam hukum yang terkandung
dalam al-Qur’an ada tiga macam:
(1)
Hukum-hukum
akidah (Ahkam i‘tiqadiyah), yaitu hukum yang erat kaitannya dengan
masalah-masalah yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yang terkenal
tersebut dengan rukum iman.
(2)
Hukum-hukum
akhlak (Ahkam khuluqiyah), yaitu hukum yang berkaitan erat dengan
masalah-masalah yang harus dipakai oleh setiap mukallaf sebagai hiasan hidup
untuk mencari keutamaan dan menghindarkan diri dari kehinaan.
(3)
Hukum-hukum
amaliyah (Ahkam ‘amaliyah), yaitu hukum yang erat hubungannya dengan
seluruh tidakan atau perbuatan mukallaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian
(akad) dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam hidup sehari-hari.
Ahkam ‘Amaliyah dibagi menjadi dua bagian:
1-
Ahkamul
‘ibadat, seperti; shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah dan ibadah lainnya
yang menyangkut hubungan manusia dan Allah.
2-
Ahkamul
mu’ammalah, seperti; akad, hukuman, jinayat, dan lain-lain yang tidak termasuk
ibadah.[10]
Hukum
mu’ammalah banyak sekali cabangnya dan barangkali terus berkembang seperti:
Ø
Ahkamul
Ahwalisy Syakhshiyah, yaitu hukum
yang berhubungan dengan keluarga.
Ø
Ahkamul
Madaniyah (hukum perdata), yaitu hukum yang
berhubungan dengan individu dengan individu lainya
Ø
Ahkamul Jinayat (hukum pidana), yaitu hukum yang berkaitan dengan kejahatan yang
dilakukan oleh mukallaf dan sanksi pidananya.
Ø Ahkamul murafa’at
(hukum acara), yaitu hukum yang berhubungan dengan pengadilan, masalah sanksi
dan sumpah.
Ø
Ahamul Dusturiyah (hukum perundang-undangan), yaitu hukum yang berkaitan dengan
undang-undang dan dasar-dasarnya.
Ø
Ahkamul
Dauliyah (hukum kenegaraan), yaitu hukum
yang berhubungan dengan hubungan antara negara-negara islam dan negara-negara
nonIslam.
Ø
Ahkamul
Iqtishodiyah wal Maliyah (hukum ekonomi
dan harta-harta benda), yaitu hukum yang berhubungan dengan hak-hak fakir
miskin yang tidak mendapat bagian dari orang kaya dan mengatur sumber-sumber
kekayaan.[11]
c.
Dalalah
ayat-ayat Qath’i dan Zhanni
Kalau kita melihat dari turun al-Qur’an, maka seluruh nash-nash itu
bersifat Qath’i karena al-Qur’an itu di turunkan kepada seorang rasul yang
Ma’sum, yaitu tidak mungkin membuat kesalahan dalam menerima wahyu dari Allah,
kemudian menyampaikannya kepada umat beliau. Kalau kita lihat dari segi isi hukumnya terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
§
Nash Qath’i,
ialah nash- nash yang merujuk makna-makna tertentu dan tidak mungkin menerima
takwi, atau tidak ada pengertian lain selain makna tersebut. Sebagimana
firman Allah(QS. An-Nisaa’:12)
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak... “
Dalam memahami ayat tersebut, tidak ada pengertian lain atau
alternatif lain bagi seorang suami bila ditinggal mati istrinya. Maka nash
tersebut qath’i hukumnya atau sudah pasti hukumnya.[12]
§
Nash Zhanni,
ialah nash-nash yang menunjuk makna yang
mungkin menerima takwil, atau mungkin dipalingkan dari makna asalnya kepada
makna lain. Seperti firman Allah(QS al-Baqarah: 228)
“ wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci...'”
Lafal quru’ di dalam ayat tersebut dapat berati kotor (haid) karena
lafal quru’ mempunyai dua pengertian, maka masa iddah bagi wanita yang dicerai
suaminya, apakah tiga kali suci atau tiga kali haid? Kenyataannya, ada aulama
yang mengatakan tiga kali suci seperti Imam Syafi’i dan ada yang mengatakan
tiga kali haid seperti Imam Hanafi.[13]
2.
As-sunnah
a.
Definisi
as-Sunnah
As-Sunnah ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah, baik berupa
ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan). Sunnah al-Qauliyah
(ucapan) adalah hadis-hadis Rasulullah yang berupa ucapan didalamnnya berbagai
tujuan dan permasalahan. Sunnah al-Fi’liyah (perbuatan),
yaitu perbuatan Rasulullah SAW. seperti melakukan solat wajib lengkap dengan
tatacaranya dan cara pelaksanaan ibadah haji. Sunnah at-Taqririyah (persetujuan),
yaitu perbuatan beberapa orang sahabat Nabi yang disetujui oleh beliau, baik
perbuatan sahabat maupun ucapannya. Contohnya:
ada diantara sahabat yang makan biawak, Nabi tidak melarangnya dan tidak
pula menyuruhnya. Demikian juga sholat sunnah sebelum sholat maghrib.[14]
b.
As-Sunnah
Sebagai Hujjah
Umat islam semuany aberpendapat, bahwa apa saja yang datang dari
Rasulullah SAW., baik itu ucapan, perbuatan maupun taqrir dengan sanad yang
shahih, dapat dijadikan sebagai hujjah
dalam pembentukan suatu hukum. Dilihat dari segi datangnya (wurudnya) as-Sunnah
itu ada yang qath’i dan adapula yang zhanni. Kewajjiban taat kepada rasulullah
SAW. dijelaskan dalam al-Qur’an, antara lain Allah berfirman:
“ Barangsiapa yang mentaati
Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. : (QS an-Nisaa’: 80)
Ayat tersebut diatas mempunyai pengertian yang qath’i, bahwa Allah
mewajibkan supaya taat kepada Rasul-Nya terhadap apa yang disyari’atkannya.[15]
c.
Hubungan Sunnah
Dengan al-Qur’an
As-Sunnah sebagai penguat atau penegas ayat al-Qur’an, sebagai
penjelasan yang masih bersifat umum dan sebagai petunjuk hukum baru yang tidak
ditemukan di dalam al-Qur’an.[16]
d.
Pembagian
Sunnah Berdasarkan Sanad
Dilihat dari segi rawinya,
as-Sunnah dibagi menjadi tiga bagian:
(1)
Sunnah
Mutawatirah
Sunnah Mutawatirah, yaitu
sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok rawi yang biasanya para rawi itu tidak
mungkin mengadakan kesepakatan untuk melakukan kebohongan, karena jumlah mereka
cukup banyak, jujur dan berbeda lingkungan tempat tinggalnya.
(2)
Sunnah
Masyhurah
Sunnah Masyhurah yaitu
sunnah yang diriwayatkan dari rasulullah seorang, dua orang atau sekelompok
sahabat yang tidak mencapai derajat atau tingkataan sunnah Mutawatirah.
(3)
Sunnah Ahad
Sunnah Ahad yaitu sunnah
yang mempunyai satu atau dua sanad yang berlainan. Mengenai periwatannya bisa
dari satu atau dua orang rawioleh kelompok lain yag tingkatannya tidak sama
seperti sunnah yang masyhurah. Lawan hadis ahad adalah hadis mutawatir.
Hadis
ahad terbagi kepada tiga jenis:
1-
Hadis Shahih :
kalu perawinya ingatannya kuat, jujur, perawinya tidak putus-putus, isi
keterangannya tidak cacat,dan tidak ada perbedaan antar perawi yang satu dengan
perawi yang lainnya.
2-
Hadis Hasan:
kalau kurang dari lima persyaratan itu, seperti kurang kuat ingatannya.
3-
Hadis Dhaif:
persyaratan yang paling minim.[17]
e.
As-Sunnah yang
Qath’i dan Zhanni
Dilihat dari segi datangnya (wurudnya), hadits mutawatirah dan
Masyhurah termasuk sunnah yang qath’i. Sedangkan hadits Ahad termasuk sunnah
yang zhanni, karena sanadnya tidak pasti atau berlainan.[18]
f.
Perkatan Dan
Perbuatan Rasul Yang Tidak Termasuk Syari’at
Perkatan dan perbuatan rasul itu
dapat dijadikan hujjah, kalau benar-benar datang dari beliau dalam kedudukan
beliau sebagai Rasul yang membawa misi keraulannya. Dengan demikian, apapun
yang bersumber dari beliau yang bersifat kemanusiaan, seperti; berdiri, duduk,
berjalan,tidur dan sebaginya, tidak dapat dijadikan sumber hukum. Berbeda kalau
ada tuntutan dari beliau walaupun bersifat kemanusiawi, seperti sunnat hukumnya
kalau orang tidur miring sebelah kanan.[19]
3.
Ijmak
a.
Definisi Ijmak
Menurut istilah ahli ushul, Ijmak ialah: “kesepakatan para imam
mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap
hukum syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian”. Pada masa
Rasulullah hidup, tidak pernah dikatakan Ijmak dalam menetapkan suatu hukum,
karena segala persoalan dikembalikan pada beliau.[20]
Ijmak dapat terwujud apabila ada empat unsur:
(1)
Ada sejumlah Mujtahid
ketika terjadi suatu kejadian.
(2)
Bila ada
kesepakatan para Mujtahid umat Islam terhadap hukum syara’ tentang suatu
masalah atau kejadian pada waktu terjadinya, tanpa memandang negri, kebangsaan
atau kelompok mereka.
(3)
Kesepakatan
semua mujtahid itudapat diwujudkan dalam
suatu hukum.
(4)
Kesepakatan
mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat terlebih dahulu,
sehingga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
b.
Kehujjahan
Ijmak
Kalau semua mujtahid telah Ijmak atau sependapat menetapkan hukum, maka ijmak tersebut dapat dijadikan
hujjah. Mengenai dalilnya dalam surat an-Nisa: 59. Lafal Ulil Amri didalam
ayat tersebut bersifat umum. Ulil amri dalam urusan duniawi adalah pemimpin
(raja), sedangkan ulil amri dalam masalah agama adalah para mujtahid dan ahli
fatwa. Sebagai penguat, bahwa ijmak itu dapat dijadikan hujjah adalah sabda
Rasulullah:
“umatku tidak akan berkumpul melakukan
kesalahan”[21]
4.
Qiyas
Qiyas (analogi) menurut fuqaha ialah menyamakan suatu peristiwa
yang belum ada hukumnya dengan sesuatu
yang sudah ada hukumnya. Sebagi landasannya adalah firman Allah dalam surat
an-Nisa:59 dan hadits Mu’az bin jabal yanng telah disebutkan. Menurut sebagian
Ulama, bahwa qiyas itu dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam.
Namun menurut mazhab Zahiriyah dan sebagian golongan Syi’ah, qiyas itu tidak dapat
dijadikan hujjah.[22]
C.
PERBEDAAN
SYARI’AT SAMAWI DAN SYARI’AT WADH’I
Syari’at Samawi merupakan kumpulan perintah dan larangan serta
petunjuk-petunjuk dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Allah untuk
hamba-Nya melalui perantaraan Rasuln-Nya. Syariat itu merupakan ketetapan hukum
yang ditunjukan kepada mereka yang ditunjuk oleh syari’at itu, namun sebagian
mereka menaatinya dan sebagian lagi ada yang mengingkarinya. Syari’at Samawi
disebut juga Syari’at yang berdasarkan wahyu. Wahyu itu tidak langsung
diturukan kepada masyarakat, akan tetpai melalui Rasul Allah.[23]
Ciri-ciri Syari’at Samawi adalah:
1.
Secara pasti
dapat ditentukan lahirnya dan tumbuhnya bukan dari masyarakat, melainkan
diturunkan kepada masyarakat.
2.
Disampaikan
oleh manusia yang dipilih oleh Allah sebagai utusan-Nya
3.
Sumbernya
adalah kitab suci yang bersih tanpa campur tangan manusia.
4.
Isi syari’at
itu dapat dijamin keadilannya karena lepas dari subyektivita manusia.
5.
Berdasarkan
tauhid
6.
Kebenarannya
bersifat universal berlaku bagi setiap masa dan keadaan.
7.
Sanksi hukumnya
di dunia dan di akhirat.[24]
Syari’at Wadh’i adalah kumpulan perintah-perintah dan larangan,
udang-undang yang dibuat oleh seseorang/sekelompok manusia yang dipilih
penguasa negri, untuk dijadikan sebagai dasar pemerintah dan dasar menjalankan
roda pemerintahan di dalam kehidupan masyarakat. Syari’at Wadh’i ini disebut
juga dengan syari’at yang berdasarkan budaya manusia.[25]
Ciri-ciri syari’at Wadh’i adalah:
1.
Tumbuh secara
kumulatif didalam masyarakat sesuai perkembangan budaya masing-masing.
2.
Tidak
disampaikanoleh utusan Allah
3.
Tidak ada
sumber hukum yag tetap
4.
Isinya
berubah-ubah sesuai dengan perubahan akal pikiran dan kepentingan hidup mereka.
5.
Tida
berdasarkan tauhid tetapi berdasarkan animisme, dinamisme, politheisme, atau
atheisme.
6.
Tidak terlepas
dari subyektivitas manusia pembuatnya.
7.
Keadilan yang
diciptakan tidak universal.
8.
Sanksi hukumnya
hanya untuk duniawi.[26]
D.
HUBUNGAN
SYARI’AT DENGAN ILMU FIQH
Syari’at islam lebih umum dari fiqh, yakni fiqh merupakan bagian
kecil dari syari’at islam. Prof. Dr. Yusuf Musa mengemukakan, bahwa syari’at
islam adalah: “syari’at dalah segala ketetapan yang disyari’atkan Allah
untuk kepentingan hamba-Nya yang telah disampaikan oleh para Nabi dan oleh Nabi
kita Muhammag SAW. yang berkenaan dengan perbuatan lahir manusia yang disebut
far’iyah dan ‘amaliyah dan disusun menjadi ilmu fiqh, maupun yang berkenaan
dengan masalah ‘aqidah atau keyakinan yang disebut i’tiqadiyah dan ashliyah
yang disusun menjadi ilmu kalam, atau yang berkenaan dengan pengaturan tingkah
laku manusia yang dibubukan menjadi ilmu akhlak”.[27]
Kata syari’at ini telah lama dikenal orangarab, jauh sebelum mereka
mengenal fiqh. Pernyataan ini menunjukan
bahwa syari’at islam mempunyai bidang cakup yang lebih luas dari ilmu
fiqh, syari’at meliputi bidang-bidang
aqidah, hukum dan akhlak, sedangkan ilmu fiqh hanya bidang hukum. Syari’at
induk dari ilmu fiqh, karena hukum yang ditetapkan oleh ilmu fiqh semua
didasarkan kepada syari’at islam dan tidak boleh bertentangan dengan
norma-norma aqidahdan akhlak serta nash-nash hukum yang sudah jelas didalam al-Qur’an
dan sunnah Nabi. Ilmu akan terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.
Perkembangan ini senantiasa akan terjadi karena didalam masyarakat akan selalu
terjadi perubahan. Namun demikian ilmu fiqh tidak akan berkembang bebas menurut
kemauan manusia, terlepas dari syari’at islam karena ilmu fiqh itu sendiri
dihasilkan berdasarkan pedoman Syari’ah. Jadi antara syari’at dan ilmu fiqh
akan tetap ada satu kesatuan jiwa.[28]
0 Response to "Resume Mata Kuliah Perbandingan Mazhab"
Posting Komentar