Hikmah Adanya Ikhtilaf dan Implikasinya dalam Kehidupan Masyarakat


Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut ini:

  1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
  2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir
  3. Memberikan kesempatan bicara pada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermu’amalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.

Faedah dan manfaat dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilafitu berpijak pada ketentuan dan adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu dilanggar, maka sudah pasti akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dan kejahatan, sehingga dapat mengganggu kehidupan ummat. Jika begitu keadaannya, maka ikhtilaf akan berubah menjadi ajang kehancuran.

Perbedaan pendapan dalam menetapkan sebagian hokum masalah furu’ adalah suatu kemestian. Sehubungan dengan ini DR. Yusuf al-Qardhawy mengomentari, bahwa orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat tentang hokum ibadat, mu’ammalat dan cabang agama lainnya,hendaklah ia mengetahui dan menyadari, bahwa mereka sebenarnya menginginkan sesuatu yang nihil. Upaya mereka untuk menghapuskan perbedaan (khilfah fiqhiyyah) ini tidak akan menghasilkan apa-apa, selain dari bertambah luas perbedaan dan perselisihan itu sendiri. Aksi semacam itu hanyalah menunjukan kesan kedunguan mereka, oleh karena perbedaan dalam memahami hukum-hukum syari’at yang tidak diprinsipil iniadalah suatu kemestian (darurat) dan tidak dapat dihindari. Lebih jauh beliau mengemukakan beberapa factor adanya kemestian hal diatas sebagai berikut:

1)      Tabiat Agama

Allah SWT menghendaki diantara hukum-hukumnya ada yang ditegaskan secara eksplisit dan ada yang ditegaskan secara implicit. Diantara yang ditegaskan secara eksplisit pun terdapat hal yang qath’iyyah (pasti) dan zhanniyah (tidak pasti) serta sharih (jelas) dan mu’awwal (kemungkinan adanya interprestasi). Berkenaan dengan hal yang memungkinkan ijtihad dan istinbath, maka kita dituntut untuk menerima dan meyakininya (ta’abbudi).

Seandainya Allah menghendaki consensus kaum muslimin dalam segala hal, niscaya Dia menurunkan Kitab-Nya dalam bentuk nash-nash yang semuanya muhkamah serta jelas penunjukan (dalalah)nya, sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan pemahaman dan interprestasi. Tetapi Allah menghendaki di dalam Kitab-Nya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat. Bagian-bagian mutasyabihat ini disamping sebagai ujian, juga merupakan motifasi bagi akal untuk melakukan analisis secara maksimal (ijtihad).

2)      Tabiat Bahasa

Al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang diaplikasikan dalam wujud teks-teks bahasa dan lafal. Demikian pula sebagian besar sunnah dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan sunnah ini, harus mengikuti kaedah-kaedah bahasanya. Di dalam bahasa al-Qur’an ada lafal yang multi maknanya (musytarak) yaitu mengandung lebih dari satu arti, majaz (arti kiasan), ‘am(umum) khash (tertentu),    muthlaq dan muqayyad.

3)      Tabiat Manusia

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang beragam. Setiap insane berbeda bentuk wajahnya, tekanan suaranya, sidik jarinya dan lain sebagainya. Demikian pula pola pemikiran, pribadi, sikap, profesinya, kecendrungan dan pandangannya terhadap sesuatu.

Perbedaan karakter manusia serta kecendrungan psikologisnya itu akan mengakibatkan perbedaan mereka dalam menilai sesuatu dari berbagai aspek, baik faqhiyyah atau politik maupun sebagainya.

Sehubungan dengan masalah diatas, Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang mengikuti sebagian ulama dalam permasalahan ijtihadiyah. “apakah dia harus diingkari” jawabnya. Demikian pula tentang orang yang melaksanakan salah satu dari dua pendapat. Beliau menjawab, “segala puji bagi Allah, seseorang yang dalam persoalan ijtihadiyah mengamalkan sebagian pendapat ulama, tidak boleh diingkari ataupun dihindari, demikian pula orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, maka bagi orang yang telah Nampak mana yang lebih akurat, boleh  beramal sesui dengannya, tetapi jika tidak, maka dia boleh mengikuti sebagian ulama yang dapat dipercaya dalam menjelaskan pada kondisi dan lingkungan social tertentu”.[1]




[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: logos, 1997 ), hal. 63-67

Related Posts :

1 Response to "Hikmah Adanya Ikhtilaf dan Implikasinya dalam Kehidupan Masyarakat"