Kaidah ‘Adah Konvensi

KAIDAH ‘ADAH
Kaidah ‘adah [1] di ambil dari realitas social kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu di bentuk oleh nilai – nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai – nilai yang sudah di hayati bersama.Islam dalam berbagai ajaran yang ada di dalamnya, menganggap ‘adah sebagai partner dan elemen yang bisa di adopsi secara selektif dan proposiona, sehingga bisa di jadikan sebagai salah atu alat penunjang hokum-hukum syara’,bukan sebagai landasan yuridis yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk hukum baru, akan tetapi ia hanya sebagai suatu ornament  untuk melegitimasi hukum-hukum syara’ ,sesuai dengan prespektifnya yang tidak bertentangan dengan nash-nash syara’.[2]
Dengan batasan seperti itu, fuqoha’ membuat batasan khusus bahwa ‘adah kebiasaan yang bisa mendapatkan legitimasi syari’ah adalah sesuatu yang tidak memiliki batasan syar’iy (taqyid al-syar’iy) dan batasan bahasa (taqyid al-lughawiy).Jika di temukan adanya syari’ah yang hanya memberikan ketentuan secara umum, maka batasan tentunya di serahkan kepada penilaian ‘adah yang berlaku,sebagaimana yang terjadi pada  kasus status hukum membersamakan niat dalam hati secara umum (muqaranah al-‘urfiyyah)  dalam takbiratul ikhram yang batasan pastinya di serahkan kepada pengertian kebersamaan secara umum, sehingga yang di maksud muqaranah al-‘urfiyyah adalah upaya menghadirkan bentuk salat dalam hati secara global. Maka pembahasan kasus muqaranah antara niat dan takbiratul ikhram, di serahkan pada kebiasaan umum (al-‘adah al-‘urfiyyah) yang mampuh di lakukan oelh manusia, sehingga munculah istilah muqaranah al-‘urfiyyah  (kebersamaan secara umum) yang baku dalam dunia fiqh, yaitu kebersaan antara niat dalam seluruh takbiratuk ikhram atau sebagiannya atau pada awalnya atau pada akhirnya.Fuqaha menggunakan dua istilah tentang hal ini, al-‘Urf dan al-‘adah. Hal.203-205
Dasar Hukum Kaidah ‘Adah
Al-quran
Al-Hadits
Obyek Pembahasan Kaidah Konvensi

  • Contoh ‘adah yang hanya dilakukan sekali saja.[3]
Dalam menanggapi definisi ‘adah ini, yang menjadi persoalan dalam hubungannya dengan syarat  dilakukan berulangkali yang harus dimiliki ‘adah adalah berapa kali suatu pekerjaan itu di lakukan, sehingga bisa di nilai sebagai amaliyah yang berdimensi hokum.Seperti kasus perkiraan masa menstruasi dan masa suci[4].Dalam menanggapi kasus ini Imam al-Nawawiberpendapat bahwa darah yang keluar dan di anggap ‘adah itu, hanyadengan satu kali peristiwa[5].
Kasus ini bisa di lihat dari kondisi wanita yang mubtadi’ah mumayyizah ,yaitu wanita yang sejak pertama kali haid sudah bisa membedakan antara darah yang kuat dengan darh yang lemah.Jika demikian, fuqaha memiliki pendapat sama  bahwa darah yang dikeluarkan kedua itu adalah darah al-istihadlah (darah penyakit),oleh sebab itu, untuk bulan yang kedua ia tidak harus menunggu selama 15 hari untuk melaksanakan ibdahnya,akan tetapi cukup ketika ia melihat terjadinya perpindahan darah dari yang kuat ke yang lemah.

  • Adah harus terjadi minimal dua kali atau tiga kali.
Contoh: Kasus orang yang memiliki kemampuan telepati untuk menentukan nashab seorang bayi (Al-Qo’if).
Dalam menanggapi kasus ini, fiqaha’ menyatakan bahwa pengulangan untuk mengkategori qo’if yang bisa dianggap valid informasinya tidak cukup hanya sekali,tetapi harus berulangkali, sekalipun fuqaha’ berbeda pendapat dalam hal kuantitas bilangannya[6].

  • Adah yang tidak ada hitungan bilangan secara pasti,
’Adah yang tidak ada hitungan bilangan secara pasti sebab yang menjadi titik penekanan adalah tercapainya dugaan kuat bahwa apa yang terjadi itu, benar-benar terjadi dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan syari’ah[7].

  • ‘Adah yang tidak bisa diketahui dengan melihat satu pengulangan atau lebih.
Hal ini terjadi pada kasus Tawaqquf  (tidak melakukan iabadah pada saat tidak keluar darah) bagi wanita yang keluar darah secara terputus-putus[8].
Hal.206-220
Keriteria ‘Adah
Adapun ‘adah kebiasaan yang bisa di jadikan sebagai salah satu dasar yang bisa dijadikan sebagai salah satu dasar pijakan untuk menentukan hukum, di haruskan keempat keriterianya dipenuhi[9], yaitu:
SATU Tidak bertentangan dengan salah satu teks syari’at[10]. Maksudnya ialah ‘adah harus berupa kebiasaan yang benar, sehingga tidak bisa menganulir seluruh aspek subtansi teks (nash),sebab jika seluruh isi substansi nash itu tidak teranulir, maka tidak bisa dinamakan ‘adah itu bertentangan dengan nash, karena masih ditemukan adanya beberapa unsur teks nash yang tidak tereliminasi[11].
DUA Keberadaan ‘adah kebiasaan itu,harus sudah terbentuk bersama dengan pelaksanaanya[12]. Maksudnya ialah keberadaan ‘adah tersebut sudah memasyarakat saat di tetapkan sebagai salah satu patokan hukumnya[13].



[1] Jhon M Echols dan Hasan shadili, Kamus inggris indonesia, (Jakarta:Gramedia,tt),145
[2] Alburmu, al-wajiz Fi Idlah al-Qawa’id…, 165 atau al-Sya’laniy, Dirasah….,Juz 1, 357-358
[3] Al-suyuti,al-asybah…,64 atau al- fadaniy, al-fawaid…,270
[4] Al-Suyuti, ibid…,271
[5] Al-Nawawiy, Majmu’,Syarakh al- Muhadzab, juz II, 375 atau al-Gghozali, al-wasth,juz I, 502-503 atau Al- Suyuthiy, al-Asybah…,juz II ,162
[6] Al-ahdaliy, Takrirot al-Faroid…,42
[7] Al-suyuti, al-Asybah…,64
[8] Al-fadaniy…,274
[9] Zaydan, al-Wajiz Fi Ushul…,256-257
[10] Al-Khayyath, Abdul ‘Aziz, Nadlariyyah al-‘Urf, (‘Umman: Maqtabah al-Aqsha, Cet: kedua,1977),57. Wahbah, Ushul…,Juz II, 846
[11] Dengan demikian, unsur-unsur positif ‘adah yang tidak bersebrangan teks nash itu adalah, pertama: unsure positif ‘adah, bisa terpelihara dan bisa dijadikan sebagai penetapan dasar hukum, kedua: bagian-bagian dari teks nash yang tidak terlindas oleh “’adah isti”’adah, bisa juga dijadikan sebagai bahan acuan hokum. Kedua unsure itu bisa diambil dari sebagian pondasi hokum dilihat dari aspek posotifnya masing-masing (misalnya kasus legitimasi syari’ah atas kasus tradisi mewaqafkan batang yang bisa dipindahkan. Dari sini, bisa di ambil pemahaman bahwa yang dimaksud dengan istilah ‘adah tidak bertentangan dengan nash ‘adah yang ber tentangan dengan salah satu dari segala aspeknya, bukan ‘adah yang bertentangan dengan salah satu sendinya saja (Zaydan,Al-wajiz…,256-267)   
[12] Wahbah, Ushul…,Juz II, 847
[13] Al-Khayath, Nadhariyyah…,ibid.52.Wahbah,Ushul…,ibid, 847

Related Posts :

0 Response to "Kaidah ‘Adah Konvensi "

Posting Komentar