Peradilan Agama Memiliki Dual Sistem Dalam Perkara Thalak Dibawah Tangan

Cerai talak adalah salah satu perbuatan hokum berupa pemutusan hubungan perkawinan dari pihak suami terhadap pihak isteri . dalam pasal 39 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974dan pasal 65 undang-undang no 7 tahun 1989 dientukan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasilmendamaikan kedua belah pihak (suami-isteri)”. Dalam kenyataannya masih ada sebagian masyarakat diwilayah Indonesia seperti di  aceh besar melakukan cerai thalak di luar pengadilan agama yang disebut cerai thalak dibawah tangan.
Kedudukan cerai thalak dibawah tangan menurut hokum islam (fiqh islam) adalah sudah sah diakui keberadaannya sehingga telah mempunyai akibat-akibat hokum berupa putusnya hubungan perkawinan dan akibat-akibat hokum yang lainnya. Sedangkan menurut hokum positif di Indonesia cerai thalak di bawah tangan tidak mendapat pengakuan dan perlindungan oleh hokum beserta akibat-akibatnya, karenanya tidak mempunyai kekuatan hokum sebab dilakukan tidak sesuai menurut aturan hokum. Hasil analisa, ketentuan penjatuhan thalak harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama adalah tidak bertentangan dengan prinsipdasar hokum islam karena lebih membawa terwujudnya tujuan huku yaitu kemaslahatan.
Sebaiknya cerai thalak dibawah tangan akan lebih terbuka untuk terjadinya kemudharatan berupa tidak ditaatinya  aturan hokum thalak atas dasar itu cerai thalak di pengadilan agama  wajib hukumnya sedangkan, cerai kalaulah tidak sampai haram paling tidak dapat dikategorikan makruh hukumnya. Hendaknya bagi instansi terkait agar lebih meningkatkan kualitas maupun kuantitas pelaksanaan penyuluhan hokum pada masyarakat dan materinya meliputi dasar-dasar falsafah hokum islam korelasinya dengan hokum positif berkenaan dengan masalah thalak. Hendaknya peraturan hokum yang mengatur bahwa thalak hanya dapat dilakukan di pengadilan agama dapat dipertahankan karena tidak bertentangan dengan prinsif-prinsif hokum islam. Karena itu bagi masyarakat hendaknya mematuhi dan mentaatinya.
A.    Sumber-sumber hukum acara peradilan agama
1.      HIR/R.Bg.
2.      UU No. 7 Th 1989.
3.      UU No. 14 Th 1970.
4.      UU No. 14 Th 1985
5.      UU No. 1 Th 1974 Jo. PP. No. 9 Th. 1975.
6.      UU No. 20 Th 1947.
7.      Inpres No. 1 Th 1991 (kompilasi hukum islam).
8.      Peraturan Mahkamah Agung RI.
9.      Surat edaran Mahkamah Agung RI.
10.  Peraturan Menteri Agama.
11.  Keputusan Menteri Agama.
12.  Kitab-kitab Fiqh Islam Dan Sumber hukum tidak tertulis lainnya.
13.  Yurisprudensi Mahkamah Agung.[2]
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 yang berbunyi “ Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara  Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum acara perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada pengadilan dalam Peradilan Agama. Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.[3]
Hukum Acara Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Peradilan  Umum di samping hukum acara yang diatur tersendiri dalam UU No. 7 Tahun 1989. Hukum terapannya adalah Hukum Islam Positif yang merupakan subsistem dari sistem hukum positif Indonesia.  Maka pertimbangan-pertimbangan putusannya akan terkait dengan subsistem dari sistem hukum positif Indonesia lainnya dan penalarannya akan menggunakan konsep-konsep, pengertian-pengertian, konstruksi konstruksi, dan lainnya dari hukum Indonesia pada umumnya.[4]
Ada beberapa sumber hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang kemudian berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata itu antara lain adalah:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), yang disigkat BW.
2.      Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering), yang pada masa penjajahan Belanda berlaku untuk Raad van Justitie.
3.      Reglemen Indonesia yang dibaharui (Het herziene Indonesisch Reglement), yang lebih dikenal dengan singkatan HIR atau RIB.
4.      Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling  van bet Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura), yang lebih dikenal dengan singkatan RBg.
5.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Disamping itu terdapat berbagai peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata yang berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, yaitu:
1.      Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
2.      Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985.
3.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Berdasarkan ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 kedelapan peraturan perundang-undangan itu berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 meliputi tiga bagian, yaitu:
1.               Ketentuan yang bersifat umum, di antaranya tentang asas-asas peradilan, penetapan dan putusan pengadilan, dan upaya hukum (banding dan kasasi).
2.               Mengatur tentang pemeriksaan sengketa perkawinan, yang meliputi perkara cerai talak, cerai gugat, dan cerai dengan alasan zina.
3.               Mengatur tentang biaya perkara.[5]
Pengadilan agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal itu menunjukkan bahwa Pengadilan Agama satuan (unit) penyelenggara Peradilan Agama. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, tugas pokok Pengadilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah perkara-perkara tertentu antara orang-orang beragama Islam demi tegaknya hukum dan keadilan. Berkenaan dengan hal itu maka hukum acara peradilan agama merupakan suatu cara untuk melaksanakan hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya ini Peradilan Agama dibantu oleh panitera, yaitu untuk menjalankan tertib administrasi perkara. Dalam menjalankan tugas pokok pengadilan, panitera menerima perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara di Pengadilan Agama dilakukan melalui beberapa meja, yaitu Meja I, Meja II, dan Meja III. Pengertian Meja yang dimaksud di sini adalah kelompok pelaksana teknis yang harus dilakui oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari penerimaan sampai perkara tersebut diselesaikan.[6]
Persidangan yang dihadiri para pihak dari awal sampai putusan, baik hadir secara terus menerus atau tidak adalah melalui tahapan sebagai berikut:[7]
a.       Upaya perdamaian
b.      Pembacaan surat gugat. Ada kemungkinan pada tahapan ini, antara lain penggugat mencabut, mengubah atau menambah, dan tetap mempertahankan surat nikah.
c.       Jawaban tergugat. Isinya bisa berupa persetujuan, bantahan, atau berupa  dua macam jawaban, yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi dan jawaban yang langsung mengenai pokok perkara
d.      Replik penggugat. Yaitu penjelasan-penjelasan terhadap surat gugat yang dijawab oleh tergugat.
e.       Duplik tergugat.
f.       Pembuktian. Pemeriksaan alat-alat bukti, kesempatan untuk menyampaikan alat-alat bukti diberikan kepada pihak-pihak secara bergantian. Penggugat diberi kesempatan terlebih dahulu.
Terdapat dua bentuk perkara yang diajukan kepada pengadilan, yaitu:
a.       Permohonan. Merupakan perkara yang tidak mengandung sengketa. Kedudukan termohon, dalam arti sebenarnya bukan sebagai pihak. Namun, keterangannya diperlukan dalam sidang pengadilan. Produk pengadilan terhadap permohonan ini adalah penetapan.
b.      Gugatan. Merupakan perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak, yang menuntut pemutusan atau penyelesaian pengadilan. Dalam hal ini, hakim benar-benar berfungsi sebagai pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hal yang demikian ini merupakan pengadilan yang sesungguhnya. Produk pengadilan terhadap gugatan ini adalah putusan.

B.     Alat-Alat Bukti yang digunakan dalam Beracara pada Peradilan Islam
Agar dapat menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya dan penyelesaian itu memenuhi tuntutan keadilan, maka hakim wajib:
1.      Mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan.
2.      Mengetahui hukum Allah tentang kasus tersebut.[8]
Pengetahuan hakim tentang hakikat dakwaan/gugatan adakalanya menyaksikan sendiri peristiwanya, atau menerima keterangan dari pihak lain. Jika itu yang terjadi, maka tidak dapat disebut sebagai pengetahuan hakim tapi hanya dapat disebut sebagai persangkaan (dhan).  Untuk mencapai persangkaan ini, hakim harus sudah mengambil langkah-langkah yang cermat, dan pengetahuan hakim itu dipandang cukup dengan menampilkan bukti-bukti, seperti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
1.            Bukti surat (pasal 165, 168, 1867 BW). Berupa tulisan yang berisi keterangan tertentu tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu dan ditandatangani. Bukti surat biasa disebut akta, ada dua jenis, yaitu akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang, dan akta di bawah tangan yang dibuat oleh pihak-pihak tentang suatu peristiwa atu perbuatan tertentu  yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan. Selain akta. Bukti tertulis bisa juga surat-surat lain yang bukan akta.
2.            Bukti saksi (pasal 168 s.d. 172, 1895 BW). Keterangan yang dikemukakan oleh saksi tentang peristiwa yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri oleh pihak yang bersangkutan. Namun. Seorang saksi tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercayai dalam hukum. Selain itu terdapat beberapa pihak yang tidak dapat boleh didengar sebagai saksi, yaitu keluarga, suami atau istri, anak-anak, dan orang gila.
3.            Bukti persangkaan (pasal 173,1915 BW). Persangkaan atau al-qarinah merupakan kesimpulan yang oleh undang-undang atau hukum ditarik dari suatu peristiwa yang jelas ke arah suatu peristiwa lain yang belum jelas kenyataannya. Persangkaan ini ada dua jenis, yaitu persangkaan berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang berupa kesimpulan hakim.
4.            Bukti pengakuan (pasal 174, 175, 176, 1923 BW). Merupakan suatu pernyataan dari suatu pihak tentang kebenaran suatu peristiwa, keadaan, atau hal tertentu yang dapat dilakukan dalam sidang, yakni pernyataan atau keterangan sepihak yang bersifat sempurna dan mengikat sehingga pemeriksaan hakim tidak diperlukan lagi, maupun di luar sidang, yaitu hakim bebas untuk menilai karena sifatnya tidak mengikat dan bukan alat bukti yang sempurna.
5.            Bukti sumpah (pasal 155 s.d. 158, 177, 381, 1929 BW). Merupakan hak penggugat apabila ia tidak dapat membuktikan gugatannya, sedang tergugat menolak isi gugatan itu. Yaitu pernyataan yang diucapkan secara resmi dan dengan menyebut nama Allah. Sumpah ada tiga macam,yaitu sumpah pelengkap atau tambahan (suppletoir), sumpah penaksiran (aestimatoir), dan sumpah pemutus (decissoir).
Perceraian dalam pasal 39 ayat 1 UU No 1 th 1974 telah ditegaskan bahwa merupakan hal yang sulit, karena hakim telah berupaya secara maksimal untuk mendamaikan para pihak.
Instansi pengadilan agama mesti lebih intensif melakukan penyuluhan hokum di tengah masyarakat, agar masyarakatlebih paham bahwa perceraian mesti di pengadilan agama. Seperti kasus bupati aceng yang telah menodai UU perkawinan tentunya menjadi pelajaran bagi praktisi dan akademisi hokum agar tidak terjadi lagi pelanggaran hokum berupa perkawinan liar atau di bawah tangan. Adapun dampak yang ditimbulkan jika perceraian di bawah tangan adalah status hokum antara suami istri masih terikat pada perkawinan yang sah, karena bukti perkawinan berupa akta nikah  dan akta cacatan sipil masihh belum diputuskan secara perdata dan Negara. Karena jika terjadi perceraian di pengadilan agama, akta nikah tersebut akan disita oleh pengadilan agama dan diganti dengan akta cerai danputusan pengadilan agama. Oleh sebab itu, jika akta nikah tersebut oleh masing-masing suami istri, maka belum ada legalitas dari Negara untuk memutuskan perkawinansuami istri tersebut. Hal ini menjadi perhatian bersama, agar perceraian dibawah tangan atau perceraian liar tidak terjadi lagi.
Menurut fikih islam status dan kedudukan talak dibawah tangan adalah sah, asalkan terpenuhinya rukun dan sarat talak, sedangkan menurut hokum positif yaitu berdasarkan pasal 39 ayat 1 UU perkawinan , pasal 65UU peradilan agama, pasal 115 KHI, serta pasal 34 peraturan pemerintah nomor 9 th 1975 talak hanya dapat dilakukan dihadapan persidangan setelah persidangan setelah pengadilan berusaha untuk mendamaikan para pihak, sehingga talak di bawah tangan dianggap tidak sah dan tidak berkekuatan hokum. Talak dibawah tangan meskipun kedudukannya diakui dalam fikih islam, namn karena tidak diakui oleh Negara maka tidak memiliki kekuatan hokum dan kepastian hokum.
Kewenangan pengadilan agama ketika terjadi kasus talak dibawah tangan yang diajukan ke pengadilan yaitu untuk memeriksa perkara tersebut secara hokum. Sejauh para pihak baru mengajukan perkara talak kepengadilan , meskipun talak terjadi talak dibawah tangan sebanyak tiga kali, maka apabila permohonan didikabulkan, pengadilan akan tetap bhahwa talak yang jatuh yaitu talak satu ba’in sughra. Berdasarkan uraian diatas, masyarakat khususnya yang beragama islam harius menaati peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tidak menjatuhkan talak dibawah tangan dan mengajukan permohonan talak ke pengadilan agama apabila ingin menjatuhkan talak agar mendapatkan kepastian hokum . masyarakat harus melakukan prosedur perceraian sesuai dengan yang ditentukan oleh pemerintah walaupun terdapat perbedaan pengaturan antara hokum positif dan fikih islam agar hak dan kewajiban yang timbul akibat perceraian dapat diakui secara hokum dan dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan sehingga tidak merugikan pihak tertentu dan tidak menimbulkan diskriminasi yang biasanya dirasakan oleh mantan istri dan anak-anak dari hasil perkawinan mereka. 
KESIMPULAN

C.     Kesimpulan
Menurut fikih islam status dan kedudukan talak dibawah tangan adalah sah, asalkan terpenuhinya rukun dan sarat talak, sedangkan menurut hokum positif yaitu berdasarkan pasal 39 ayat 1 UU perkawinan , pasal 65UU peradilan agama, pasal 115 KHI, serta pasal 34 peraturan pemerintah nomor 9 th 1975 talak hanya dapat dilakukan dihadapan persidangan setelah persidangan setelah pengadilan berusaha untuk mendamaikan para pihak, sehingga talak di bawah tangan dianggap tidak sah dan tidak berkekuatan hokum. Talak dibawah tangan meskipun kedudukannya diakui dalam fikih islam, namn karena tidak diakui oleh Negara maka tidak memiliki kekuatan hokum dan kepastian hokum.
Kewenangan pengadilan agama ketika terjadi kasus talak dibawah tangan yang diajukan ke pengadilan yaitu untuk memeriksa perkara tersebut secara hokum. Sejauh para pihak baru mengajukan perkara talak kepengadilan , meskipun talak terjadi talak dibawah tangan sebanyak tiga kali, maka apabila permohonan didikabulkan, pengadilan akan tetap bhahwa talak yang jatuh yaitu talak satu ba’in sughra.

DAFTAR PUSTAKA

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada pengadilan agama, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) cetakan VI
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998)
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Perradilan Agama dalam sistem Hukum Nasional, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)
 Nur Lailatul Musyafa’ah, dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: pustaka Bani Quraisy, 2004)
Musthofa,  Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media,2005)
Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset)





[2] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada pengadilan agama, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) cetakan VI, hal. 12
[3] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal 225-226
[4] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Perradilan Agama dalam sistem Hukum Nasional, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 125
[5] Cik Hasan Bisri, Peradilan.., hal. 226-227
[6] Nur Lailatul Musyafa’ah, dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 75
[7] Musthofa,  Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media,2005), hal. 91-92
[8] Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset), hal. 105

Related Posts :

0 Response to "Peradilan Agama Memiliki Dual Sistem Dalam Perkara Thalak Dibawah Tangan"

Posting Komentar