Para sufi menyebut diri mereka "ahl al-haqiqah)' Penyebutan
ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran
yang hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau
mereka menyebut Tuhan dengan " al-Haqq," seperti
yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj (w 922),
"ani al-tlaqq" (aku adalah Tuhan). Obsesi terhadap
hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran
mereka terhadap formula " lh ilhha illk Allah
yang mereka artikan "tidak ada realitas yang sejati
kecuali Allah."
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya
yang hakiki, dalam arti yang
betul-betul ada, keberadaan yang absolut,
sedangkan yang lain keberadaannya tidaklah hakiki,
atau nisbi, dalam arti tergantung pada kemurahan
Tirhan. Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang
Lahir dan yang Batin, penyebab dari segala yang ada
dan tujuan akhir, tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan
dunia, dan menyebabkan terangnya objekobjek yang tersembunyi di dalam kegelapan
tersebut. Dia jualah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari
persembunyiannya yang panjang.
Al-Qur'an menggambarkan Tirhan sebagai
"al- awal" dan "al-Akhir," "al-Zhahir" dan
"al-Bathin." Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau prinsip
atau asal dari segala yang ada. Dialah causa prima, sebab pertama dari segala
yang ada (maujitdht) di dunia. Dia yang akhir diartikan sebagai "tujuan akhir"
atau "tempat kembali" dari segala yang ada di dunia ini, termasuk
manusia. Dialah "pulau harapan' ke mana bahtera kehidupan manusia
berlayar. Dialah "kampung halaman" ke mana jiwa manusia yang sedang
mengembara di dunia, rindu kembali. Dialah "muara" ke mana perjalanan
spiritual seorang sufi mengalir. Dialah "sang kekasih' ke mana sang
pencinta selalu mendamba pertemuan. Inilah tujuan akhir, tempat sang sufi
mengorientasikan seluruh eksistensinya.
Tuhan juga digambarkan sebagai "yang
Lahir" dan "yang Batin" dan ini menggambarkan
"imanensi" dan "transendensi" Tirhan. Bagi para sufi, alam
lahir (dunia indrawi) adalah cermin Tuhan, atau "pantulan Tirhan dalam
cermin." Bagi mereka, alam lahir merupakan refleksi atau manifestasi
(tajaliyah) Tuhan, dan karena itu tidak berbeda dari diri-Nya, rapr iuga tidak
sama (identik). Ketidaksamaan (tanzih)-nya ini terletak dalam sifat diri-Nya
sebagai yang Batin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda atau mentransenden alam
lahir. Dia adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan,
derivatif dan akibat dari-Nya. Tuhan adalah mutlak, sedangkan alam adalah
nisbi. Tuhan ibarat matahari sedangkan alam adalah cahayanya. Matahari tidak
tergantung keberadaannya pada cahaytnya, tetapi cahaya sangat tergantung
padanya. Sifat dasar diri-Nya adalah niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar
alam adalah mungkin pada dirinya.
Pernyataan la ilaha illa allah ditafsirkan para sufi sebagai penafian
terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya, sebagai
realitas. Konsep "fana"' atat "fana' al-fana"' adalah
ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep "baqh"' adalah
afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah, atau Tirhan yang
diekspresikan dalam formula itu sebagai "ila allah." Fani' dan baqh' dipandang
sebagai "stasiun" (maqkm) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang
sufi. Para sufi berdaya uPaya sedapat mungkin untuk mencapai 'maqim' tersebut,
rermasuk membunuh "egonya sendiri yang dipandang sebagai'kendala atau
menurut istilah mereka berhala terbesar' yang bisa menghalangi perjalanan
spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka di ikhlaskan atau
dibersihkan dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk ke
hadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, "Sebuah lubang jarum bukanlah untuk
dua ujung benang."
0 Response to "Hakikat Tasawuf"
Posting Komentar