Pada bab tentang tidak bisanya tasawuf atau
marifat dipelajari dari buku, telah disinggung bahwa para sufi mengembangkan
metode yang berbeda dari metode ilmu pengetahuan biasa. Tetapi belum dijelaskan apa metode
sufi tersebut. Dalam bab ini saya ingin mengemukakan atau mendiskusikan metode
tersebut. Inti dari kehidupan
sufistik adalah pengalaman rohani atau pengalaman
religius. Pengalaman ini bersifat langsung, dan
tidak berdasarkan pada otoritas orang lain. Oieh karena
itu, alih-alih mengajarkan rasawuf lewat "diskursus"
(wacana), para sufi terutama dalarn tarekat, malah
mengajak para muridnya untuk melakukan "mujihadah"
yakni latihan spiritual, dengan cara-cara tertentu,
baik yang ia warisi dari gurunya, arau, kalau cukup
kreatif ia ciptakan sendiri.
Dengan demikian, seorang sufi mengajarkan murid-muridnya
suatu metode dengan mana ia telah berkali-kali berhasil dalam menempuh
perjalanan spiritual menuju Tuhan. Tentu ini tidak dapat dicapai dengan mudah.
Dan bahkan di sini diperlukan petunjuk dari mursyid dan disiplin rohani yang
ringgi. Dan inilah satu-satunya cara yang tepat untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif dan mendalam tentang tasawuf kepada murid-muridnya. Apa yang
diceritakan kepada muridnya adalah buah pengalaman spiritualnya sendiri, tetapi
isi pengalaman itu sendiri baru akan dipahami betul apabila muridmuridnya telah
mengalami sendiri apa yang dialami oleh gurunya. Di sini guru hanya memberi
jalan atau cara kepada murid-muridnya untuk dapat merasakan secara langsung
pengalaman-pengalaman spiritual, yang kadang-kadang begitu memesona dan mencengangkan
perasaan, sehingga tidak ada katakata ataupun kalimat yang dapat memerikannya.
Dari sinilah sang murid mengerri mengapa tasawuf
tidak bisa dipahami semata-mata dari katakata atau buku, karena memang terdapat
kesenjangan yang dalam antara pengalaman yang dirasakan dan pengalaman yang
diungkapkan lewar kata-kata. Jalal al-Din Rumi melukiskan kesenjangan anrara
keduanya sebagai berikut:
Bisabab anda menyunting mawar
Dari M.A.WA.R ?
Anda baru menyebut nama,
Kini carilah yang empunya mana.
Bulan itu di langit,
Bukan di (permukaan) air
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua orang yang
ikut dalam tarekat dijamin sampai pada makrifat. Karena bakat, minar, dan niat
dari masing-masing murid berbeda-beda. Ada yang dalam waktu singkat dapat
melompat dengan cukup cepat dari satu maqam ke maqom yang lain. Tapi ada juga
yang harus melalui jalan panjang dan berliku-liku dan membutuhkan waktu puluhan
tahun untuk bisa naik sampai ke maqom (station) yang baru. Bahkan tidak
mustahil bahwa di antara murid-murid tersebut ada yang gagal karena tak tahan,
sehingga keluar dari tarekat tersebut.
Untuk menggunakan ilustrasi lain, di dalam agama
Budha diceritakan bahwa tugas Budha Gaurama adalah mengantar pengikutnya ke
sebuah pulau yang hanya dia yang tahu. Tetapi setelah tiba di pulau itu, pengikut-pengikut
atau murid-muridnya itu dilepas untuk memungkinkannya mengalami pengalaman
sepiritual di sana. Dalam hal ini, dimungkinkan bahwa sang murid mengalami banyak
pengalaman spiritual yang mungkin tidak serupa dengan gurunya, tetapi biasanya
semuanya itu bisa dijelaskan oleh sang guru. Itulah sebabnya, sebagai seorang
filosof yang punya pengalaman mistik yang mendalam, Suhrawardi (w. 1911)
menyebut makrifat sebagai ilmu sejati yang diperoleh melalui rasa (dzauq)
atau pengalaman, yang dikontraskan dengan ilmu pengetahuan biasa (ilmu) yang
diperoleh secara diskursif (bahtsi), di mana objek pengetahuan tidak
dialami secara langsung melainkan diperoleh melalui simbol atau kata-kata. Inti
pengetahuan tasawuf tidak bisa diperoleh dengan cara ini, karena hal ini akan
serupa dengan mencoba memahami rasa manis dengan membaca buku tentang manis tanpa
pernah mencicipi gula.
Walaupun kita telah membaca berjilid-jilid buku
tentang rasa manis, tetapi itu tidak akan memberikan pemahaman yang benar
tentang rasa manis, kalau kita belum pernah merasakan rasa manis tersebut.
Namun sebaliknya, orang yang telah merasakan manisnya gula, ia akan mengerti
apa itu manis, tanpa membutuhkan sebuah definisi. Sebagai kesimpulan dapat
dikatakan bahwa metode sufistik untuk memperoleh pengetahuan yang sejati adalah
dengan berbagi pengalaman, bukan berbagi pengetahuan. Dengan mengalami maka
orang akan tahu. Tetapi orang yang tahu tanpa mengalami, maka pengetahuan orang
itu tidak akan sampai pada tingkat yang mendalam karena pengetahuannya akan tetap
mengganrung pada simbolisme. Sedangkan mereka yang mengalami, akan memiliki
pengetahuan intuitif yang mendalam dengan objeknya, sehingga tercapai tingkat
kepastian yang ringgi, karena objek tersebut dialami secara langsung-tidak
melalui perantaraan simbol. Bahkan bisa dikatakan bahwa ia telah berhasil
menghilangkan jarak yang menganga antara objek dan subjek, dan melebur menjadi
satu dengan objek rersebut.
0 Response to "Metode Sufistik dalam Tasawuf"
Posting Komentar