BAB
I
1.
Sejarah
Buku
Buku
ini pada mulanya adalah merupakan catatan- catatan lepas dan bahan- bahan
kuliah yang penulis siapkan untuk disampaikan dalam mata kuliah. “ Hukum Perdata Islam di Indonesia” (HPI) bagi mahasiswa Fakultas
Syari’ah IAIN SU Medan. Selanjutnya bahan- bahan tersebut kembali dikumpulkan
dengan perbaikan di sana sini serta penyempurnaan yang disesuaikan dengan Topik
Inti Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam tahun 1998.
Sebenarnya
buku yang membahas hukum perkawinan Islam cukup banyak, namun dari buku- buku
tersebut belum ditemukan satu kajian serius yang membahas bagaimana sebenarnya
perkembangan konseptual Hukum Perdata Islam di Indonesia mulai dari fikih, UU
No. 1/ 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam. Buku ini tampil dengan fokus kajian
yang berbeda untuk melihat perkembangan atau lebih tepatnya pergeseran hukum
Islam. Mengingat persoalan ini cukup serius sekaligus menantang, maka kritik
dan saran sangat diperlukan untuk kebaikan buku ini.
2.
Penulis
Buku
Amiur
Nuruddin, lahir
11 Agustus 1951 di Bukit Tinggi. Menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN yang sama
tahun 1987. Selanjutnya S3 diselesaikan pada tahun 1994 di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Sehari- hari ia bertugas sebagai Dosen Fakultas Syari’ah IAIN SU
dan Dosen PPS IAIN SU.
Saat
ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Direktur
Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam (FKEBI) IAIN Sumatera Utara, Dewan
Syari’ah PT BPRS Gebu Prima, dan Dewan Syari’ah LAZ Waspada.
Karya Tulis yang telah
dihasilkan adalah, Ijtihad Umar Ibn
al-Khattab: Studi Perubahan Hukum dala Islam (Jakarta:Rajawali Pers, 1992, Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an dan
Implikasinya dalam Tanggung jawab moral (Disertasi IAIN Yogyakarta), kontributor
pada buku Ekonomi dan Bank syari’ah (medan:IAIN Press,
2002) dan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta:
Misaqa Ghaliza: 2003)
3.
Judul
Buku
“ HUKUM PERDATA ISLAM di INDONESIA” Studi Krisis Perkembangan Hukum
Islam dan Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI
4.
Penerbit
Buku “PRENADA MEDIA”
BAB II
HUKUM PERDATA ISLAM di INDONESIA
Bab
1
(PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN DALAM
UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 DAN KHI)
Perspektif
UU No 1/1974
Didalam UU
Perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dala pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai :
Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pencantuman
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan
kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di
sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan
agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani
tapi juga memiliki unsur batin/rohani.
Perspektif KHI
Menurut
Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwa
perkawinan dalam hukum Islam adalah :
Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksankannya merupakan ibadah.
Dari definisi di atas ada yang menarik untuk
dicermati. Definisi dalam fiqih memberikan kesan bahwa perempuan ditempatkan
sebagai objek kenikmatan aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan
kata al-wat’ atau al-istimta’
yang semuanya berkonotasi seks. Bahkan mahar yang semula pemberian ikhlas
sebagai tanda cinta seseorang laki-laki kepada perempuan juga didefinisikan
sebagai pemberian yang mengakibatkan halalnya seorang laki-laki berhubungan
seksual dengan wanita. Implikasinyaz yang lebih jauh akhirnya perempuan menjadi
pihak yang dikuasai oleh laki- laki
seperti yang tercermin dalam berbagai peristiwa-peristiwa perkawinan.
Kondisi
ini berbeda jika kita lihat definisi yang ada dalam UU No.1/1974. Setidaknya
dalam Pasal 2 ayat 1 secara eksplisit ada beberapa hal yang perlu untuk
dicatat.
Pertama, Perkawinan tidak lagi
hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja tetapi juga merupakan hubungan
batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan yang selama ini hanya sebatas
ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih substansial dan
berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu
berdampak pada masa pendek sedangkan ikatan batin itu lebih jauh.
Kedua, dalam UU No. 1/1974
tujaun perkawinan juga dieksplisitkan dengan kata bahagia. Pada akhirnya
perkawinan dimaksudkan agar setiap manusia baik laki-laki ataupun permpuan
dapat memperoleh kebahagian. Dengan demikian dalam UU Perkawinan No.1/1974
perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal tapi juga dilihat dari
sifat sosial sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga. Sedangkan dalam fiqih
tujuan perkawinan tidak dicantumpakn.
Bab II
Rukun dan Syarat Perkawinan
Menurut
Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki
syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun
perkawinan :
1.
Calon
suami
2.
Calon
istri
3.
Wali
Nikah
4.
Saksi
Nikah
5.
Ijab
dan Qabul
Perspektif UU No.1/1974
Berbeda denga perspektif Fiqih,
UU No.1/1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat
hal- hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Didalam Bab Ii 6
ditentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum setahun harus mendapat izin kedua
orang.
3.
Dalam
hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
dapat menyatakan kehendaknya.
5.
Dalam
hal ada perbedaaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat(2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6.
Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
7.
Selanjutnya
dalam pasal (7), terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih rinci. Berkenaan
dengan calon mempelai pria dan wanita, UUD mensyaratkan batas minimum umur
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Selanjutnya dalam hal ada penyimpangan
terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan
atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.
Perspektif KHI
Berbeda degan UU No.1/1974, KHI
ketika membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fiqih yang
mengaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Kendatipun KHI
menjelaskan lima rukun perkawinan sebagimana fiqih, ternyata dalam uraian
persyaratannya. KHI mengikuti UUP yang melihat syarat hanya berkenaan dengan
persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.
Bagian ketiga mengenai wali nikah, pasal-pasal 19
KHI menyatakan,
wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai pengantin wanita yang hendak untuk menikahkannya.
Selanjutnya pasal 20
dinyatakan,
1.
Yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, akil dan balig.
2.
Wali
nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.
Dalam pembahasan saksi
nikah, KHI juga masih senada dengan apa yang berkembang dalam fiqih. Pada
bagian keempat Pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan
rukun nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
0 Response to "Resume Buku Hukum Perdata Islam"
Posting Komentar