Pada dasarnya syari’at Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan terhadap
setiap terjadinya akad pernikahan, namun dilihat dari segi manfaatnya
pencatatan nikah amat sangat diperlukan.[1] Karena
pencatatan nikah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang otentik agar seseorang
mendapatkan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan ajaran islam sebagaiman
firman Allah yang termaktub dalam surah al-Baqarah ayat 282:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
(seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.
Al-Baqarah :282)[2]
Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah pencatatan secara tertulis
dalam segala bentuk urusan mu’amalah, seperti perdagangan, hutang piutang dan
sebagainya. Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa, alat bukti tertulis itu
statusnya lebih adil dan benar disisi Allah dapat menguatkan persaksiaan,
sekaligus dapat menghindarkan kita dari keraguan. Setelah mendapatkan sumber
nash yang menjadi dasar rujukan untuk
memahami hukum pencatatan nikah, kemudian mencari illat yang sama-sama
terkandung dalam akad nikah dan akad mu’amalah, yaitu adanya penyalahgunaan
atau mudharat apabila tidak ada alat bukti tertulis yang menunjukan sahnya akad
tersebut. Jadi, qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan. Untuk
itulah kita dapat mengatakan bahwa pencatatan akad nikah hukumnya wajib, sebagaimana
juga diwajibkan dalam akad mu’amalah. Alat bukti tertulis dapat dipergunakan
untuk hal-hal yang berkenaan dengan kelanjutan akad perkawinan. Dengan adanya
alat bukti ini, pasangan pengantin dapat terhindar dari mudharat dikemudian
hari karena alat bukti tertulis ini dapat memproses secara hukum berbagai persoalan
rumah tangga, terutama sebagai alat bukti paling sahih dalam pengadilan agama.[3]
Namun, dirasakan oleh
masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui
perundang-undangan, baik undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
maupun melalui kompilasi hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang
dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh
masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan
upaya untuk mencaga kesucian (mitsaqan galidzan) aspek hukum yang timbul
dari aspek perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan akta nikah yang
masing-masing dimiliki oleh suami dan istri salinannya. Akta tersebut, dapat
digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya
ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.[4]
Sejalan dengan perkembangan
zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan
yang terjadi. Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulis sebagai ciri
masyarakat modern, menurut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik,
saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan
sebab kematian, manusia juga dapat mengalami kelupaan dan kesalahan. Atas dasar
ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.[5]
Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap
peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan
pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami
dan calon istri.[6]
Pencatatan adalah suatu
administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga
negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah
kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik
yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk. Juga oleh pegawai
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana di maksud dalam berbagai
perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan perkawinan.[7]
Apabila kita melihat fikih semata, maka pernikahan dipandang sah,
sesudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Dampak di belakang hari sekiranya
terjadi perselisihan yang menjurus kepada perceraian, kurang dipikirkan dan dipertimbangkan,
sehingga terjadilah ketidakadilan, karena ada pihak yang dirugikan.
Perbuatan pencatatan menurut K. Wantjik Saleh, (1980:17), “tidak menentukan
sahnya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang
ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat admistratif. Jadi, sahnya perkawinan
bukan ditentukan dengan pencatatan tetapi pencatatan sebagai syarat adiministratif.
Sedangkan soal sahnya perkawinan, UU Perkawinan dengan tegas menyatakan pada
Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing- masing agama dan kepercayaannya”.[8]
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam undang-undang ini. [9]
Sejak diundangkan UU N0. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kekhawatiran yang
disebabkan diatas, sedikit banyaknya sudah dapat diatasi, karena sudah ada perangkat
hukumnya, terutama bagi umat Islam.
Sama halnya dalam kompilasi hukum Islam Pasal 5 ayat 1, menyatakan bahwa
agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan dicatat.
Dan pasal 5 ayat 2 yang menyatakan pencatat perkawinan tersebut pada ayat
(1)
dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam undang-undang
No.22 Tahun 1946 jo undang-undang No.32 Tahun 1954.
Pada Pasal 6 ayat (1) kompilasi hukum Islam juga disebutkan bahwa untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal (5), setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
di bawah pengawasan pegawai pencatatan nikah. Dan Pasal 6 ayat (2) kompilasi hukum
Islam juga menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[10]
Secara lebih rinci peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab II Pasal 2 menjelaskan tentang
pencatatan perkawinan pada ayat (1), (2), dan (3) yaitu pencatat perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pengawas
pencatat, sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 Tahun 1954 tentang pencatat nikah,
talak dan rujuk. Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agamanya dan kepercayaannya itu, selain agama Islam dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catata Sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan
perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan
perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 PP ini.
[1] Hasan M. Ali, Pedoman
Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003),
Cet. Ke-1, hal. 123.
[4] Zainuddin Ali, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. Ke-2, hal.
26.
[5] Amiur Nuruddin
dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta;
Prenada Media; 2004), Cet. Ke-2, hal. 120.
[6] Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis,
(Jakarta: Graha Cipta, 2005), Cet, ke-1, hal. 36.
[7] Arso
Sostroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 55-56.
[8] O.s. Eoh. Perkawinan
Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), hal. 98-99.
[9] Suparman Usman, Perkawinan
Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, (Serang:
Saudara Serang, 1995), hal. 27.
[10]Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), hal. 15.
0 Response to "Pengertian Pencatatan Perkawinan "
Posting Komentar