Hukum Pegangakatan Ḥakam dari Pihak Keluarga

Pengangkatan ḥakam dari pihak keluarga disebutkan secara jelas dalam surat an-Nisa’ ayat 35 di atas. Dari ayat tersebut tampak bahwa ḥakam hendaklah terdiri dari seorang ḥakam dari pihak suami dan seorang ḥakam dari pihak/keluarga istri sesuai dengan kata-kata min-ahlihi dan min-ahliha dalam ayat di atas. Mahmud Yunus menerangkan tentang ḥakam dalam ayat 35 surat an-Nisa’ sebagai berikut:
“Kalau terjadi perselisihan antara suami istri, hendaklah diadakan seorang hakim dari lceluarga suami dan seorang hakim dari keluarga istri. Keduanya berusaha mendamaikan antara keduanya, sehingg dapat hidup kembali sebagai suami istri”.[1]

Pengangkatan ḥakam sebagaimana diperintahkan surat an-Nisa’ 35, rnenurut imam Syafi’i diartikan sebagai kewajiban dalam lapangan kekeluarga saja, yaitu penyelesaian secara kekeluargaan. Jika secara keluargaan tidak dapat didamaikan lagi, barulah ke qadhi/hakim/pengadilan.[2]
Sayyid Sabiq berpendapat tidak disyaratkan ḥakam dari pihak keluarga, jika keduanya bukan dari pihak keluarga masing-masing pihak juga boleh, sedang perintah dalam surat an-Nisa’ ayat 35 tersebut bersifat sunah.[3] Dengan demikian, pengangkatan ḥakam dari keluarga suami istri yang berselisih bersifat sunah atau anjuran, karena keluarga dipandang lebih tahu masalahanya.[4]
Menurut tafsir al-Kasysyaf, latar belakang ḥakam itu harus dipilih dari anggota keluarga si suami dan si istri ialah karena orang yang berkerabat dekat lebih mengetahui posisi suami dan istri yang bersangkutan. Di samping karena mereka telah menjadi kerabat, mereka akan lebih berkepentingan akan kerukunan suami istri tersebut dibanding orang lain. Lagi pula, si suami istri itu akan cenderung lebih mau mengungkapkan isi hati mereka di hadapan keluarga sendiri daripada kepada orang lain.[5]
Dengan mengambil ḥakam dari masing-masing keluarga, diharapkan masalah antara suami istri tersebut tidak sampai diketahui orang lain. Masing-masing bisa menjaga rahasia itu karena mereka masih terlibat dalam hubungan keluarga. Tidak mungkin mereka mengobral masalah keluarga mereka kepada orang lain dan tentunya akan berusaha agar ikatan kekeluargaan mereka tidak terputus.[6]
Namun apabila tidak ada ḥakam dari pihak keluarga boleh diangkat dari pihak luar dengan tidak mengesampingkan faktor keluarga. Atau dengan kalimat lain, jika tidak ada keluarga yang dapat dan mau menjadi ḥakam, Pengadilan Agama boleh menunjuk salah seorang dari pegawainya atau orang-orang lain sebagai ḥakam.[7]
Dalam Undang-undang No. 50 Tahun 2009, pada pasal 76 ayat (2) disebutkan bahwa boleh mengangkat ḥakam dari keluarga suami saja atau dari pihak keluarga istri saja bahkan diperbolehkan mengangkat ḥakam dari pihak lain. Tujuan rumusan ini adalah rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung problema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya. Ini dikarenakan sulit selalu mengangkat ḥakam dari pihak keluarga mengingat proses arus horizontal dalam masyarakat sekarang.[8]
Dengan melihat fungsi ḥakam sebagai juru damai sesuai dengan doktrin fiqh maka akan lebih tepat jika ḥakam adalah dari pihak keluarga atau sahabatnya. Jika diangkat dari pihak lain, apalagi yang baru dikenal pada saat ini, tujuan syarat (maqasid asy-syar'iyah) dari ayat 35 surat an-Nisa’ agak melenceng.




                [1] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Cet. XII, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1986), hal. 97
                [2] Abdullah Sidik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hal. 24
                [3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VII, terjemahan Moh. Thalib al-Ma’arif, (Bandung: 1993), hal. 115
                [4] S. A. al-Hamdani, Risalah Nikah, terjemahan Agus Salim, (Pekalongan: Raja Murah, 1980), hal. 214
                [5] Murtadla Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam………, hal. 187-188
                [6] Muhammad Utsman al-Khusyt, Penyelesaian Problem Rumah…………., hal. 96
                [7] Noto Susanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada, 1963), hal. 79
                [8] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara…….., hal. 271

Related Posts :

0 Response to "Hukum Pegangakatan Ḥakam dari Pihak Keluarga"

Posting Komentar