Jumlah dan Syarat Ḥakam

Dalam ilmu fiqh dikenal istilah “ḥakamain” (dua ḥakam) dalam kata bentuk tasniyah, guna menunjuk jumlah ḥakam dalam perkara shiqāq. Hal ini dapat dipahami jika kita menelaah anak kalimat “ḥakaman min ahliha wa ḥakaman min ahlihi” dalam surat an-Nisa’ ayat 35. Berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 35 jumlah ḥakam setidak-tidaknya dua orang. Dalam Undang-undang No. 50 Tahun 2009 masalah jumlah ḥakam diatur dalam pasal 76 ayat (2): ...dapat mengangkat seorang ḥakam atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi ḥakam. Dengan demikian, jumlah ḥakam minimal 2 (dua) orang, seorang dari masing-masing pihak atau pihak lain, atau lebih sehingga terdapat perbedaan dengan pendapat ahli fiqh.
Secara historis, jumlah ḥakam memang bisa satu, bisa juga lebih,[1] yakni ḥakam secara umum tidak khusus dalam masalah perkawinan. Nabi Muhammad pernah menjadi ḥakam dalam kasus “Hajar Aswad”[2] seorang diri dan ada hadits takririyah[3] dalam kasus Abu Syuraih yang menunjukkan tentang ḥakam Abu Syuraih yang biasa memutus sengketa.
Hakim Agung Yahya Harahap berpendapat jika melihat fungsi ḥakam hanya sekadar usaha penjajakan penyelesaian perselisihan antara suami istri tanpa disertai dengan desisi, maka jumlah ḥakam yang ditunjuk tidak mesti terdiri dari beberapa orang. Lebih lanjut beliau berpendapat:[4]
“Meskipun sebaiknya ditunjuk beberapa orang, namun secara kasuistik mungkin lebih tepat ditunjuk satu orang saja. Terkadang, semakin banyak orang yang ikut campur tangan, semakin kacau permasalahan. Dalam hal-hal tertentu, upaya menjajaki usaha penyelesaian mungkin lebih efektif dilakukan oleh seorang saja. Kecuali jika ḥakam mempunyai kewenangan untuk mengambil putusan, kita anggap anggotanya mutlak harus terdiri dari beberapa orang, guna menghindari kekeliruan maupun berat sebelah”.

1.      Syarat Ḥakam
Ḥakam yang pokok artinya sama dengan hakim, maka orang yang diangkat menjadi ḥakam harus memenuhi beberapa persyaratan. Menurut Sayyid Sabiq disyaratkan terdiri dari orang laki-laki yang berakal, baligh, adil, dan Islam. Tidak disyaratkan dari keluarga suami istri, boleh berasal dari pihak luar, sedang pengaturan dalam ayat 35 surat an-Nisa’ bersifat sunah.[5]
Abdul Azis al-Khuli mensyaratkan ḥakam adalah seseorang yang dapat:
a.       Berlaku adil di antara para pihak yang berperkara
b.      Dengan ikhlas berusaha mendamaikan suami istri
c.       Kedua ḥakam itu disegani oleh kedua belah pihak
d.      Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan. Apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
Wahbah al-Zuhaily mensyaratkan ḥakam dalam shiqāq adalah laki-laki, adil waspada/teliti sunah dari pihak keluarga jika tidak ada hakim bisa mengangkat yang lain, lebih utama jika tetangga yang memahami kondisi, dan dipatuhi mereka.[6] Persyaratan yang dilontarkan penulis modern ini agak logis diterapkan sebagaimana persyaratan al-Khuli di atas.
Ahli fiqh berkata: orang yang boleh dijadikan ḥakam buat menyelesaikan perkara ialah orang yang boleh diangkat menjadi qadhi yakni yang terdapat padanya syarat-syarat menjadi qadhi.[7]
Para ulama fiqh hampir semua menetapkan bahwa para qadhi harus mempunyai beberapa syarat. Ibnu Rasyid menjelaskan bahwa sifat-sifat yang disyaratkan untuk menjadi qadhi, ialah:
a.       Islam;
b.      Sampai umur;
c.       Berakal
d.      Jujur atau adil; dan
e.       Bukan budak belian.
Para ulama beberapa pendapat seputar syarat ijihad bagi seorang qadhi. Asy-Syafi’i berpendapat bahwa qadhi wajib seorang mujtahid sedang Abu Hanifah tidak mewajibkan. Pendapat ini kemudian ditolak pengikutnya, Ibnul Faras yang menyatakan bahwa tidak mensyaratkan qadhi seorang mujtahid, ia memperbolehkan menjadi qadhi orang yang berilmu mempunyai pikiran yang tajam dan mempunyai kecakapan.[8]
Al-Imam lbnu Qudamah menulis dalam al-Mughni, ulama mensyaratkan qadhi seorang yang mujtahid menetapkan bahwa qadhi itu harus mengetahui dengan baik:
a.       Kitab al-Qur’an
b.      as-Sunah
c.       Ijma’ (mengetahui masalah-masalah yang diijma’kan hukumnya)
d.      Perselisihan paham para ulama
e.       Qiyas, atau tata aturan ijtihad dan istinbath
f.       Lisan Arab (bahasa Arab), yang mencakup Bayan, ma’ni dan Badie).
Ibnu Taumiyah dalam al-Ihtijarat, syarat-syarat menjadi hakim harus diperhatikan kemungkinan adanya dan wajib diangkat orang yang terpandai.[9] Sedang imam al-Ghazzaly, justru berpendapat lebih realistis, yang artinya:
“Sukar sekali pada masa sekarang diperoleh orang berhimpun padanya syarat syarat menjadi qadhi, yaitu adil, dan ijtihad. Karena itu haruslah kita mensahkan hukum hakim yang diangkat oleh yarg berkuasa walaupun orang yang diangkat itu jalul dan fasih”.

Dalam tafsir al-Kasysyaf disebutkan bahwa ḥakam harus bisa dipercaya, berpengaruh, dan mengesankan dalam berbicara, yang bisa diterima dan mampu bertindak sebagai perantara perdamaian.[10]
Melihat persyaratan yang agak sulit untuk dipenuhi dizaman sekarang, rupanya persyaratan yang dikemukakan Wahbah al-Zuhaily agak mudah dipenuhi. Sulit rupanya jika diterapkan syarat ḥakam seperti syarat qadhi/hakim sebagaimana yang diutarakan ahli fiqh. Untuk memilih hakim (qadhi) yang memenuhi syarat-syarat ideal seperti di atas sulit sekali dan bisa dipastikan hanya sebagian saja jika tidak dikatakan jarang hakim dizaman modern yang sesuai kriteria ilmu fiqh di atas. Yang patut diperhatikan ialah apakah yang diangkat itu bisa melaksanakan tugas atau tidak.

                [1] Lihat Muhammad Salam Mazkur, Al-Qadla fi Al-lslam, (Cairo: Dar al-Nahdlah, 1994), hal. 21-22
                [2] Kasus Hajar Aswad dimuat dalam kisah-kisah Nabi Muhammad, diantaranya dalam Muhammad Husai Hackal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan Ali Audah, Cet. XVIII, (Bogor: Litera Antar Nusa, 1995), hal. 69
                [3] Hadits Takririyah sebagai salah satu sumber hukum Islam, lihat dalam Musthafa Assiba’I, al-Hadits Sebagai Sumber Hukum, terjemahan Dja’far Abd Muchith, Cet. 1, (Bandung: Diponegoro, 1997)
                [4] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara…….., hal. 272-273
                [5] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah……, hal. 115
                [6] Wahbah Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islāmi Wa Adillatuhu, hal. 528
                [7] M. Hasbi As Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 54
                [8] M. Hasbi As Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam……., hal. 41
                [9] M. Hasbi As Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam…….., hal. 42
                [10] Murtadla Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam………, hal. 188

Related Posts :

0 Response to "Jumlah dan Syarat Ḥakam"

Posting Komentar