BAB I
PENDAHULUAN
Adam adalah manusia yang pertama kali disiptakan
oleh Allah SWT. sebagai manusia, Adam diciptakan berbeda dari makluk lain yang
telah ada, yakni malaikat dan iblis. Malaikat diciptakan dari cahaya tanpa
diberi hawa nafsu, sedang Iblis diciptakan dari nyala api.(1) Berbeda dari keduanya, Allah SWt menciptakan
Adam dari saripati tanah yang kemudian diberi hawa nafsu. Selain keistimewaan
ini, Allah SWT juga menyuruh ciptaan-Nya yang telah ada (para malaikat dan
iblis) untuk bersujud kepada Adam sebagai penghormatan(2)
Ketika itu, Adam seorang diri di dalam surga, kemudian Allah SWT
menciptakan Hawa (seorang wanita) yang dijadikan sebagai pasangan hidupnya. Dua
dejoli ini hidup dengan damai dan tentram disurga tanpa kurang suatu apapun.
Karena itu iblis yang telah durhaka kepada AllahSWT, yang karena diusir dari
surga, selalu menggoda dua insan tersebut agar sama-sama berbuat durhaka. Oleh
sebab itu, Allah SWT, memperingatkan Adam dengan firmannya:
Hai Adam, sesungguhnya (iblis) ini adalah musuh bgimu dan bagi
istrimu. Maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu brdua dari surga
yang akibatnya kamu akan bersusah payah. Sesungguhnya kamu tidak lapar disini
(surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa
dahaga dan tidak pula akan kepanasan. (QS. Thaha : 117-119).
Dengan memberi seorang istri kepada Adam berarti Allah SWT melengkapi
penciptaan Adam (manusia) dengan nafsu syahwat, yakni keinginan untuk
menyalurkan kebutuhan biologis (nafsu seksual) sebagai media (sarana dan
prasarana) perkembang biakan manusia selanjutnya.
Kecintaan dan cinta kasih seorang laki-laki terhadap
perempuan dan begitu pula sebaliknya, adalah naluri (pembawaan Manusia yang
diberikan allah SWT sejak lahir. Gairah seksual ini merupakan rahmat yang berkembang sejalan perkembangan
fisik dan usia manusia, dimana penyalurannya harus dijalan yang diridlai Allah
SWT. Hal ini mengingat bahwa penciptaan manusia itu sendiri tiada lain, agar
manusia itu menghambakan diri dan taat pada aturan (syariat) yang ditetapkan
Allah SWT, termasuk dalam hal pemuasan naluri tersebut.
Di antara jalan Allah (syariat) ini adalah hukum perkawinan yang merupakan
aturan penyaluran gairah seksual yang terhormat dan memiliki tujuan mulia.
Perkawinan ini dianggap sebagai perjanjian yang kokoh dan berat,(3) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan
keseimbangan, baik dalam fungsi keagamaan maupun kedunian.
Begitulah, hendaknya keluarga dalam Islam yang diharapkan berdasarkan hukum
dan aturan perkawinan yang saat ini telah sempurna adanya. Meskipun demikian
penyimpangan dari hukum Allah SWT tentang perkawinanini masih banyak terdapat
di kalngan manusia, itulah sebabnya, penegasan tentang aturan perkawinan dan
bimbingan pelaksanaannya ini senantiasa urgent di sepanjang masa, termasuk di
dalamnya masalah nafkah.
BAB II
PEMBAHASAN
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ:جَاءَ رَجُلٌ الَى الّنَّبِيِّ ص, فَقَالَ : يَا رَسُوْلُ اللَّهِ ,
عِنْدِيْ دِيْنَارُ؟ قَالَ(اَنْفَقْهُ عَلَي نَفْسِكَ) قَالَ عِنْدِيْ اَخَرُ؟
قَالَ (اَنْفَقْهُ عَلَي وَلَدِكَ) قَالَ عِنْدِيْ اَخَرُ؟ قَالَ (اَنْفَقْهُ
عَلَى اَهْلِكَ) قَالَ عِنْدِيْ اَخَرُ؟ قَالَ (اَنْفَقْهُ عَلَي خَادِمِكَ) قَالَ
عِنْدِيْ اَخَرُ؟ قَالَ (اَنْتَ اَعْلَمُ)
Dari abu hurairah, ia berkata: telah datang seorang laki-laki kepada rasulullah
saw. lalu berkata: ya Rasulullah! ada pada saya satu dinar? sabdaNya:
(belanjakan lah buat dirimu). Ia berkata: ada pada saya satu dinar lagi?
sabdaNya: (belanjakan lah buat anak mu.) Ia berkata: ada pada saya satu dinar
lagi? sabdaNya: (belanjakan lah buat istrimu). Ia berkata: ada pada saya satu
dinar lagi? sabdaNya: (belanjakan lah buat pelayanmu). Ia berkata: ada pada
saya satu dinar lagi? sabdaNya: (engkau lebih tau).
Hadis diatas, menunjukkan, bahwa infak kepada
keluarga lebih utama daripada infak di jalan Allah dan infak kepada
kerabat-kerabat lain serta sedekah kepada kaum masakin.
1. Pengertian Nafaqah
Nafaqah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi,
karena kata nafaqah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban
kewajiban dalam bentuk nono materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak
termasuk dalam artian nafaqah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata
yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah
batin sedangkan dalam bentuk materi disebut nafkah lahir. Dalam bahasa yang
tepat nafkah itu tidak ada lahir atau batin. Yang ada adalah nafkah yang
maksudnya adalah hal-hal yang bersifat lahiriah atau materi.
Kata nafaqah yang berasal dari kata dalam bahasa Arab secara etimologi mengandung arti: yang berarti berkuran, juga berarti Yang berarti hilang atau pergi. Bila seorang dikatakan memberi nafaqah
membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkannya atau
dipergikannya untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan
perkawinan mengandung arti: “sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk
kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan
demikian, nafaqah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap
istrinya dalam masa perkawinannya.(4)
Yang menurut dalam pengertian nafaqah menurut yang disepakati ulama adalah
belanja untuk keperluan makan mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan
perumahan atau dalam bahasa sehari-hari di sebut sandang, pangan, dan papan.
Selain dari tiga hal tersebut jadi perbincangan ulama.
2. Hukum Nafkah
Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian
adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya
bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya
tanpa melihat ke-pada keadaan istri. Bahkan di antara ulama Syi’ah menetapkan
bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami,
namun suami tetap wajib membayar nafkah(5)
Diantara ayat al-Qur’an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233.
Kewajiban ayah untuk memberikan belanja dan pakaian untuk istrinya.
Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya, seorang ibu tidak akan mendapat
kesusahan karena anaknya, dan seorang ayah tidak akan mendapat kesusahan karena
anaknya.
Adapun dalam bentuk sunnah terdapat dalam beberapa hadis Nabi, diantaranya
hadis Nabi yang berasal dari Abu Hurairah menurut riwayat
Muslim:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَال: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ص (لِلْمَمْلُوْكِ
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ, وَلآيُكَلَّفُ مِنْ الْعَمَلِ اِلاَّ مَا يُطِيْقُ)
Rasul Allah SAW,
bersabda: hak anak-anak untuk mendapatkan makanan, dan pakaian, dan tidak
dibebani untuk berbuat kecuali yang mampu ia perbuat.(6)
3. Tujuan dan Hikmah Nafkah
Di antara disyariatkannya perkawinan adalah untuk mendapatkan ketenangan
hidup, mendapatkan cinta dan kasih sayang, serta pergaulan yan baik dalam rumah
tangga. Yang demikian baru dapat berjalan secara baik bila di tunjang dengan
tercukupinya kebutuhan hidup yang pokok bagi kehidupan rumah tangga. Kewajiban
nafkah adalah untuk menegakkan tujuan dari perkawinan.
Dengan telah dipenuhinya kebutuhan yang bersifat materi
itu dan ditunjang pula dengan pemenuhan kebutuhan nonmateri, maka apa yang
diharapkan dengan perkawinan itu akan dapat tercapai dengan izin Allah dan
dengan itu pula tuntutan Allah untuk pendekatan diri kepadanya dapat
dilaksanakan.
4. Berlakunya Kewajiban
Nafkah.
Meskipun ulama sepakat tentang
kewajiban suami untuk menberinafkah kepada istri berdasarkan dalil-dalil
tersebut diatas, mereka berbeda dalam menetapkan kapan secara hukum dimulai
kewajiban nafkah itu. Beda pendapat itu bermula dari beda pendapat mereka dalam
hal apakah nafkah itu diwajibkan karena semata melihat kepada akad nikah atau
melihat kepada kehidupan suami istri yang memerlukan nafkah.
Jumhur ulama termasuk ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat
bahwa nafkah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainyakehidupan rumah tangga,
yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istri, dalam arti istri telah
memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya, yang dalam fikih
disebut tamkin. Dengan semata tejadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar nafkah.
Berdasarkan pendapat ini bila tela berlangsungnya akad nikah istri belum
melakukan tamkin, karena ia belum berhak menerima nafkah.(7)
Yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama diatas adalah golongan
Zhahiriyah. Bagi mereka kewajiban nafkah dimulai semenjak akad nikah, bukan
dari tamkin, baik istri yang telah melangsungkan akad nikah itu memberi
kesempatan kepada suami untuk digauli atau tidak, sudah dewasa atau masih
kecil, secara fisik mampu melayani kebutuhan seksual suaminya atau tidak, sudah
janda atau masih perawan.(8)
Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi yang
mewajibkan suami membayar nafkah tidak menetapkan waktu. Dengan begitu bila
seorang telah menjadi suami, yaitu dengan berlansungnya akad nikah, maka ia
telah wajib membayar nafkah tanpa melihat kepada keadaan istri. Inilah tuntutan
zahir dari dalil yang mewajibkan nafkah.
5. Bentuk dan Jenis Nafkah.
Hal yang telah disepakati oleh ulama kebutuhan pokok yang
wajib dipenuhi suami sebagai nafkah adalah pangan, sandang, dan papan, karena
dalil yang memberi petunjuk pada hukumnya begitu jelas dan pasti. Tentang yang lain dari itu menjadi perbincangan
di kalangan ulama.
Jumhur ulama memasukkan alat kebersihan dan wangi-wangian
ke dalam pokok yang wajib dibiayai oleh suami, demikian pula alat keperluan
tidur, seperti kasur dan batal sesuai dengan kebiasaan setempat. Bahkan bila
istri tidak melakukan pelayanan dan selalu menggunakan pelayan, maka suami
wajib menyediakan pelayan yang akan membantunya, walaupun hanya seorang.(9) Secara khusus jumhur ulama memang tidak menemukan
dalil yang mewajibkan demikian dari al-qur’an maupun hadis Nabi yang kuat. Namun
mereka berdalil bahwa yang demikian wajib dilakukan untuk memenuhi kewajiban
menggauli istri dengan baik yang ditetapkan al-Qur’an.
Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa suami tidak wajib
menyediakan perhiasan dan parfum karena keduanya tidak terdapat dalam petunjuk
al-Qur’an maupun hadis Nabi, baik secara langsung atau tidak. Demikian pula
pelayan tidak wajib dibiayai oleh suami meskipun suami dan istri itu mempunyai
status sosial yang tinggi.(10) Alasan yang dikemukakan golongan ini adalah
tidak terdapatnya petunjuk al-Qur’an maupun hadis Nabi yang mewajibkan
demikian.
6. Standar Ukuran Nafkah
berdasarkan kepada pendapat jumhur yang status sosial ekonomi tidak
termasuk kafaah yang diperhitungkan, maka suami istri dalam suatu
keluarga tidak mesti dalam status sosial yang sama. Dalam keadaan begini
menjadi perbincangan di kalangan ulama tentang status sosial ekonomi siapa yang
dijadikan standar ukuran penetapan nafkah. Didalamnya terdapat tiga pendapat
yaitu:
Pertama: Pendapat imam Ahmad yang mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam
menetapkan nafkah adalah status sosial ekonomi suami istri secara bersama-sama.
Jika keduanya kebetulan status sosial ekonominya berbeda diambil setandar
menengah diantara keduanya. Yang mnjadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah
keluarga itu merupakan gabungan di antara suami dan istri, oleh karena itu
keduanya dijadikan pertimbangan dalam menetukan standar nafkah.
Kedua,pendapat Imam Abu Hanufah dan Imam Malik yang mengatakan bahwa yang
dijadikan standar adalah kebutuhan istri. Yang menjadi dasar bagi ulama ini
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233:
£`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4
Kewajiban suami untuk menanggung biaya hidup dan
pakaian secara patut.
Pengertian ma’ruf dalam ayat ini dipahami ulama golongan ini dengan
arti mencukupi.
Ketiga, pendapat Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan
standar dalam ukuran nafkah istri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi
suami.(11) Selanjutnya ulama ini merinci kewajiban
suami pada tiga tingkatan. Bagi suami yang kaya kewajibannya adalah dua mud.
Kewajiban suami yang miskin adalah satu mud, dan yang menengah adalah satu
setengah mud. Bila istri sudah bertempat tinggal dan makan bersama dengan suaminya, maka
kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dan tidak lagi
secara khusus pemberian nafkah.(12)
7. Sifat Nafkah
Nafkah adalah kewajiban suami yang harus dipikulnya terhadap istrinya.
Setiap kewajiban agama itu merupakan beban hukum, sedangkan prinsip pembebanan
hukum itu tergantung kemampuan subjek hukum untuk memikulnya, berdasarkan
firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban nafkah bersifat tetap permanen.
Bila dalam waktu tertentu suami tidak menjalankan kewajibannya, sedangkan dia
berkmampuan untuk membayarnya, maka istri dibolehkan mengambil harta suaminya
sebanyak kewajiban yang dipikulnya. Dasar dari pemikiran ini adalah hadi Nabi
dari Aisyah sehubungan istri Abu Sofyan.
Menurut ulama Zhahiriyah kewajiban nafkah yang tidak
dibayarkan suami dalammasa tertentu karena ketidakmampuannya, tidak menjadi
hutang suami. Hal ini mengandung arti kewajiban nafkah gugur disebabkan ia tidak mampu.
Dalil yang digunakan oleh ulama ini adalah ayat al-Qur’an yang tidak
membebankan hukum kepada orang yang tidak mampu sebagaimana disebutkan diatas.(13)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban nafkah tidak
ditunaikan suami dalam waktu tertentu karena ketidakmampuannya gugur seandainya
nafkah itu belum ditetapkan oleh hakim.(14) Dasar pemikiran ulama ini adalah
bahwa kewajiban nafkah itu tidak bersifat permanen sebelum ditentukan oleh
hakim, sebagaimana layaknya kewajiban yang bersifat ghairu muhaddad.
8. Gugurnya Kewajiban
Nafkah.
Pada dasarnya nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang
kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam keadaan yang
biasa, dimana suami maupun istri sama-sama melaksanakan kewajiban yang
ditetapkan agama tidak ada masalah. Namun bila salah satu pihak tidak
menjalankan kewajibannya, maka berhakkah ia menerima hak yang ditetntukan,
seperti istri tidak menjalankan kewajibannya berhakkah menerima nafkah dari
suaminya, sebaliknya suami tidak menjalankan kewajibannya, berhakkah menerima
pelayanan dari istri, menjadi pembicaraan dikalangan ulama.
Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang
disebut dengan nusyuz, menurut jumhur ulama suami tidak wajib memberi
nafkah dalam masa nusyuz-nya itu. Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafkah yang
diterima istri itu merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikan kepada suami.
Istri yang nusyuz hilang ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu tidak
berhak atas nafkah selama nusyuz itu dan kewajiban itu kembali dilakukan
setelah nusyuz itu berhenti.
Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa istri yang nusyuz tidak gugur haknya
dalam menerima nafkah. Alasannya ialah nafkah itu diwajibkan atas dasar akad
nikah tidak dasar ketaatan. Bila suatu waktu tidak taat kepada suami atau nusyuz,
ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang
tidak menyakiti, sesuai firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34.(15)
Bila suami tidak menjalankan kewajibannya dalam
memberikan nafkah dapatkah istri maenarik ketaatannya dengan cara antara lain
tidak mau digauli suaminya, juga menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Jumhur
ulama berpendapat istri yang tidak mendapat nafkah dari suaminya, berhak tidak
memberikan pelayanan kepada suaminya, bahkan boleh memilih untuk pembatalan
perkawinan atau fasakh.(16)
Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa istri yang tidak
menerima nafkah dari suaminya tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan
tidak boleh menolak permintaan suami untuk digauli. Iastri harus sabar menerima kenyataan ketidak
mampuan suaminya itu.(17)
9. Perselisihan Tentang Nafkah.
Bila terjadi perselisihan tentang nafkah diselesaikan di pengadilan. Untuk
mengadili perselisihan ini diselesaikan menurut ketentuan acara Pengadilan
Agama. Perselesihan itu mungkin tentang penyerahan nafkah dan mungkin pula
tentang tamkin.(18)
Bila berselisih dalam hal penyerahan nafkah oleh suami
kepada istrinya, dalam arti suami mengatakan telah menyerahakan nafkah
sedangkan istri mengatakan belum menerimanya, maka menurut jumhur yang
dimenangkan istri. Alasannya bahwa dalam kasus ini suami berada di pihak yang mendakwahkan
sedangkan istri berada di pihak yang mengingkari. Bila terjadi perselisihan
antara sudah dan belum, maka yang kuat adalah yang mengatakan belum. Hal ini
sesuai dengan prinsip al-istishhab. Artinya kembali kepada asal,
sedangkan asal sesuatu adalah tidak atau belum ada.
Berselisih dalam tamkin, seperti istri
mengatakanbahwa tela ada tamkin, artinya ia telah memberikan kesempatan
kepada suaminya untuk bergaul, sedang suaminya mengatakan bahwa istrinya
melakukan tamkin, sehingga dia tidak membayar nafkah, yang dibenarkan adalah
pihak suami, karena dia berada pada pihak yang mengingkari, sedankan istri
berada dipihak yang mendakwakan telah terjadi tamkin. Alasannya adalah mengamalkan prinsip
al-istishhab sebagaimana dijelaskan diatas.(19)
III. KESIMPULAN
Dari pembahasan singkat
dalam makalah ini penulis dapat tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Nafkah adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan
pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang,
pangan, dan papan. Hukum membayar nafkah untuk istri, bai dalam bentuk perbelanjaan, pakaian
adalah wajib.
2. Mulai berlakunya kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya
setelah dilaksanakan setelah istri bergaul dengan suaminya dan pendapat lain
setelah diadakan akd nikah. Adapung besarnya nafkah yang diberikan kepada istri
sesuai kemampuan suami atau melihat status ekonominya.
3. Gugurnya kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri terjadi perbedaan
pendapat diantara ulama, apbila istri nusyus maka dia tidak lagi berhak
mendapatkan nafkah, sedangkan pendapat yang lain apabila istri nusyuz tidak
gugurnya haknya. Dan apabila terjadi perselisihan yang berkaitan tenntang nafkah maka
Pengadilan Agama yang memutuskan.
(2) Lihat , Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 34.
(3) Lihat Al-Qur’an surat An-nisa’ ayat 21.
(4) Hasan A. Tarjamah bulughul maram ibnu hajar al-‘asqalani(bandung: cv
penerbit diponogoro, 2006), h. 515
(5) Muhammad Jawad Muhgniyah, Fiqh al Imam Ja’far
al-Shadiq, (Iran: Muassasah Anshariyyah, 1999), h.207.
(6) Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shan’aniy, Subul al-Salam,
(Mathba’ah al-Babiy al-Halabiy, 1958), h. 221.
(7) Hasan bin Ali al-Thusiy, al-Mabsuth fi al-Imamiyah, (Teheran: Mathba’ah
al-Murtadhawiyah, 1388 H), Juz VI, h. 11.
(8) Ibnu Hazmin, al-Muhalla, (Mesir:
Mathba’ah aljumhuriyah al-arabiyah, 1970), h. 249.
(9) Ibnu Qudamah, al-Mughniy, (Cairo: Mathba’ah al-Qahirah, 1969), h.
235-237.
(10) Ibnu Hazmin, Op. cit., h. 251-252.
(11) Ibnu Qudamah, Op. cit., h. 271.
(12) Al-Nawawiy, Minhaj al-Thalibin, (Kairo, tt),
h.262.
(13) Ibnu Hazmin, Op. cit., h. 253.
(14) Ibnu al-Hummam, Syarh Fat al-Qadir, (Cairo:
Musthafa al-Babiy al-Halaby, 1970), Juz IV, h. 393.
(15) Ibnu
Hazmin, Op. cit., h. 254.
(16) Ibnu Qudamah, Op. cit., h. 242.
(17) Ibnu Hazmin, Op.cit., h. 25.
(18)
Ibnu Qudamah, Op. cit., h. 253.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an surat Al-Hijr
Al-Qur’an surat Al-Baqarah
Al-Qur’an surat An-nisa’
Hasan A. Tarjamah bulughul maram ibnu hajar al-‘asqalani(bandung: cv
penerbit diponogoro, 2006)
Jawad Muhgniyah Muhammad, Fiqh al Imam Ja’far
al-Shadiq, (Iran: Muassasah Anshariyyah, 1999)
Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shan’aniy, Subul al-Salam,
(Mathba’ah al-Babiy al-Halabiy, 1958)
Hasan bin Ali al-Thusiy, al-Mabsuth fi al-Imamiyah, (Teheran: Mathba’ah
al-Murtadhawiyah, 1388 H), Juz VI
Hazmin Ibnu, al-Muhalla, (Mesir:
Mathba’ah aljumhuriyah al-arabiyah, 1970)
Qudamah Ibnu, al-Mughniy, (Cairo: Mathba’ah
al-Qahirah, 1969)
Al-Nawawiy, Minhaj al-Thalibin, (Kairo, tt)
al-Hummam Ibnu, Syarh Fat al-Qadir, (Cairo:
Musthafa al-Babiy al-Halaby, 1970), Juz IV
0 Response to "Makalah Hadis Mengenai Nafqah"
Posting Komentar