KATA
PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta Inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini yang membahas tentang Kewarisan Hukum
Adat dan dapat diselesaikan meskipun sangat jauh dari kesempurnaan. Dan mohon
maaf makalah ini sangat singkat sekali. Semoga dengan selesainya makalah ini
dapat bermanfaat bagi kami selaku penulis dan bagi para pembaca semuanya.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu demi penyempurnaan tulisan ini, kami
mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi pihak-pihak yang berkompeten. Amin.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
makalah ini peyeusun akan membahas dan menguraikan sebagaimana dalam rumusan
masalah. Baikalah untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud kewarisan hukum Adat?
2. Bagaimana
sistem hukum waris Adat?
C. Rumusan Tujuan
1. Menjelaskan
dan menggambarkan tentang kewarisan hukum Adat
2. Memaparkan
terkait sistem hukum waris Adat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Adat Waris
Hukum
adat waris ialah sebagaimana dipaparkan oleh para pakar hukum adat diantaranya
sebagai berikut:
a.
Prof. Soepomo, merumuskan
hukum adat waris adalah : Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang tidak berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya.
b.
Ter Haar,
merumuskan hukum adat waris adalah Hukum adat waris meliputi
peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat
mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan
kekayaan materiil dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi
berikutnya.
c.
Wirjono
Prodjodikoro, S.H., menyatakan : Warisan itu adalah soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan sesorang
pada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
d.
Soerojo
Wignjodipoero, S.H., mengatakan : Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum
yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immaterial yang
manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya.
B. Beberapa hal penting
dalam Hukum Adat Waris
·
Hukum adat waris
erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum yang
bersangkutan, misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.
·
Pengoperan
warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut “penghibahan”
atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia yang
disebut warisan.
·
Dasar pembagian
warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan keadaan istimewa
dari tiap ahli waris
·
Adanya persamaan
hak para ahli waris
·
Harta warisan
tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.
·
Pembagian
warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian saja.
·
Harta warisan
tidak merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dan
kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.
C. Sistem Kewarisan
Adat
Tiga Kewarisan Adat
yaitu :
1.
Sistem kewarisan
individual. Harta peninggalan dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris
seperti dalam masyarakat di Jawa
2.
Sistem kewarisan
kolektif. Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para ahli waris, misalnya
harta pusaka tidak dilmiliki atau dibagi-bagikan hanya dapat dipakai atau hak
pakai.
3.
Sistem kewarisan
mayorat. Harta peninggalan diwariskan keseluruhan atau sebagian besar jatuh
pada salah satu anak saja. Sistem kewarisan mayorat dibagi dua yaitu :
a. mayorat
laki-laki yaitu harta peninggalan jatuh kepada anak-anak lakilaki.
b. Mayorat
perempuan yaitu harta peninggalan jatuh pada anak perempuan tertua.
Tidak
semua harta peninggalan dapat diwariskan/ dibagi-bagikan kepada ahli waris,
alasan-alasan harta peninggalan tidak dapat dibagi, yaitu :
1.
karena sifatnya
seperti barang-barang milik bersama/ milik kerabat.
2.
karena kedudukan
hukumnya seperti barang kramat, kasepuhan, tanah bengkok, tanah kasikepan.
3.
karena pembagian
warisan ditunda, misalnya adanya anak-anak yang belum dewasa.
4.
karena belum
bebas dari kekuasaan dari persekutuan seperti tanah milik desa.
5.
karena hanya
diwariskan pada satu golongan saja seperti system kewarisan mayorat.
D. Penghibahan atau
Pewarisan
Dasar
pemberian hibah adalah sebagai koreksi terhadap hukum adat dan untuk memberikan
kepastian hukum. Hibah ada dua macam yaitu :
a.
Hibah biasa
yaitu pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup.
b.
Hibah Wasiat
yaitu pelaksanaannya setelah pewaris meninggal dunia harta tersebut baru
diberikan.
Keputusan
Mahkamah Agung tanggal 23 agustus 1960 Reg. No. 225 K/Sip/1960 menetapkan
syarat-syarat hibah yaitu :
a.
Hibah tidak
memerlukan persetujuan ahli waris
b.
Hibah tidak
menyebabkan ahli waris yang lain menjadi kehilangan hak atas harta kekayaan
tersebut.
Para
ahli waris
Yang
menjadi ahli waris yang terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan adanya
anak kandung ini maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi
ahli waris. Mengenai pembagiannya menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember
1961 Reg. No. 179 K/Sip/61 anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang
peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian
anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan. Hukum adat waris iini sangat
dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan yang bersifat susunan unilateral yaitu
matrilineal dan patrilineal.
Di
daearah Minangkabau yang menganut system matiarchaat, maka apabila suaminya
meninggal, maka anak-anak tidak merupakan ahli waris dari harta pencahariannya,
sebab anak-anak itu merupakan warga anggota famili ibunya sedangkan bapaknya
tidak, sehingga harta pencahariannya jatuh pada sausarasaudara sekandungnya.
Di
Bali, hanya anak laki-laki tertua yang menguasai seluruh warisan, dengan suatu
kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka.
Di Pulau Savu yang
bersifat parental harta peninggalan ibu diwarisi oleh anakanak perempuan dan
harta peninggalan bapak diwarisi anak laki-laki. Beberapa Yurisprudensi tentang
adat waris :
1.
Keputusan M..A.
tanggal 18 Amret 1959 Reg. No. 391/K/SIP/1959 mengatakan : Hak untuk mengisi/
penggantian kedudukan ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal dunia dari
pada yang meninggalkan warisan adalah ada pada keturunan dalam garis menurun. Jadi
cucu-cucu adalah ahli waris dari bapaknya.
2.
Keputusan M.A.
tanggal 10 Nopember 1959 Reg. No. 141/K/SIP/1959 mengatakan : Penggatian waris
dalam garis keturunan ke atas juga mungkin ditinjau dari rasa keadilan.
Pada
dasarnya penggantian waris harus ditinjau pada rasa keadilan masyarakat dan
berhubungan dengan kewajiban untuk memelihara orang tua dan sebaliknya. Didalam
masyarakat adat dikenal juga apa yang disebut dengan :
1.
anak angkat
2.
anak tiri
3.
anak di luar
kawin
4.
kedudukan janda
5.
kedudukan duda
1.
Anak Angkat :
Kedudukan
hukum anak angkat di lingkngan hukum adat di beberapa daerah tidak sama Di Bali
perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yangmelepaskan hak anak dari
pertalian orang tua kandungnya, sehingga anak tersebut menjadi anak kandung
dari yang mengangkatnya dengan tujuan untuk melanjutkan keturunannya.
Di
Jawa perbuatan mengangkat anak hanyalah memasukkan anak itu kekehidupan rumah
tangganya saja, sehingga anak tersebut hanya menjadi anggota rumah tangga orang
tua yang mengangkatnya, dan tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu
dengan orang tua kandungnya. Jadi bukan untuk melanjutkan keturunan seperti di
Bali. Putusan Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak
atas barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang
pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal
18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).
2.
Anak Tiri
Anak
tiri yang hidup bersama dengan ibu kandungnya dan bapak tirinya atau sebaliknya
adalah warga serumah tangga pula. Terhadap Bapak atau ibu kandungnya anak itu
adalah ahli waris, tetapi terhadap bapak atau ibu tirinya anak itu bukanlah
ahli waris melainkan hanya warga serumah tangga saja.
Hidup
bersama dalam suatu rumah tangga membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara
satu dengan yang lainnya. Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara anggota
rumah tangga, sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan
anak tiri berhak atas penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian
sebaliknya.
3.
Anak yang lahir
diluar Perkawianan:
Anak yang lahir diluar
perkawinan hanya menjadi ahli waris dari ibunya.
4.
Kedudukan Janda
;
Didalam
hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesia adalah tidak sama
sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan. Sifat kekelurgaan Matriachaat :
harta warisan suaminya yang meninggal dunia kembali kekeluarga suaminya atau
saudara kandungnya. Di Daerah Tapanuli dan Batak :
a.
Isteri dapat
mewarisi harta peninggalan suaminya.
b.
Anak yang belum
dewasa dibawah kekuasaan ibunya dan harta kekayaan anak dikuasai ibunya.
Janda
wajib tetap berada dalam ikatan kekelurgaan kerabat suaminya, bahkan sering
janda menjadi isteri dari saudara suaminya.
5.
Kedudukan Duda
Di
Daerah Minangkabau dengan sifat kekeluargaan matrilineal suami pada hakekatnya
tidak masuk keluarga isteri, sehingga duda tidak berhak atas warisan isteri.
Di
Daerah Batak dan Bali suami berhak atas warisan isterinya yaitu barang-barang yang
dulu dibawa oleh isterinya.
Di
Jawa duda berhak mendapat nafkah dari harta kekayaan rumah tangga setelah
isterinya meninggal dunia.
REFERENSI
Sumber tulisan ini
diambil dari kara ilmiah saudara Bewa Ragawino, SH., M.SI, karya ilmiah yang
berjudul Penganta dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia Semoga apa yang ditulis
oleh saudaari Susanti bisa bermanfaat.
0 Response to "Makalah Kewarisan Hukum Adat "
Posting Komentar