A.
Analisis Faktor Penghambat Penerapan
Pasal 76 UUPA No. 50 Tahun 2009 Perkara Shiqāq
Pertama,
dari segi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Agama
Sumber sebagaimana disebutkan di bab sebelumnya, ada hal yang menarik untuk
dianalisis yaitu perihal pengangkatan ḥakam
sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (2) Undang-undang No. 50 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
ternyata majelis hakim Pengadilan Agama Sumber khusus pada perkara yang
diteliti ini tidak menggunakan lembaga ḥakam
dalam pemeriksaan perkara shiqāq ini.
Perlu diketahui sebagaimana pendapat Sugiri Permana,[1]
antara mediasi dengan ḥakam di sini berbeda
bila ditinjau dari sudut hukum acara Pengadilan Agama di mana mediasi sebelum
pemeriksaan perkara, sedangkan ḥakam
dalam proses perkara.
Kedua,
sebagaimana disebutkan sebelumnya mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya shiqāq di Pengadilan Agama
Sumber, maka di bawah ini akan dianalisis dengan kacamata teori strukturalis
fungsional. Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun
di atas perkawinan yang sah antara laki-laki dengan perempuan. Dalam struktur
keluarga terdiri dari ayah/suami, ibu/istri, dan anak. Pernikahan merupakan
suatu ikatan yang sakral dalam agama Islam di mana seorang suami mengambil
janji yang kuat dari istri pada saat prosesi akad nikah. Dengan adanya akad
tersebut, maka secara otomatis hubungan antara keduanya menjadi halal dan
masing-masing baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang melekat
pada diri mereka.
Dengan
kata lain pernikahan mempunyai konsekuensi moral, sosial, dan ekonomi yang
kemudian melahirkan sebuah peran dan tanggung jawab sebagai suami atau istri.
Peran yang diemban pasca pernikahan terasa berat jika tidak didahului dengan
persiapan mental dan finansial yang cukup.
Salah
satu kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya yang berkaitan dengan
ekonomi adalah memberikan nafkah terutama berupa sandang, pangan, dan papan.
Oleh karena itu, salah satu modal dasar seseorang berumah tangga adalah
tersedianya sumber penghasilan yang jelas untuk memenuhi kebutuhan hidup secara
finansial. Kelangsungan hidup keluarga antara lain ditentukan oleh kelancaran
ekonomi, sebaliknya kekacauan dalam keluarga dipicu oleh ekonomi yang kurang
lancar.
Jika
dihubungkan dengan kasus perceraian dalam kategori shiqāq yang terjadi di Pengadilan Agama Sumber sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa faktor yang paling dominan adalah masalah ekonomi. Perlu
disimak keterangan yang diberikan oleh Syarif Hidayat selaku hakim Pengadilan
Agama Sumber, di antara yang menjadi penyebab dari masalah ekonomi ialah suami
yang menikahi seorang istri belum mempunyai pekerjaan yang tetap, sehingga
wajar di tengah perjalanan bahtera rumah tangga mereka terlebih pada saat
menghadapi kebutuhan hidup sehari-hari yang memerlukan finansial yang tidak
sedikit sementara suami tidak mempunyai penghasilan yang tetap, maka akhirnya
istri merasa kebutuhan hidupnya kurang terpenuhi dan ini yang mendorong istri
menuntut haknya ke Pengadilan.[2]
Dengan
demikian tak dapat dipungkiri dalam sebuah keluarga yang di dalamnya terdiri
dari ayah, ibu, dan anak menjadikan stabilitas ekonomi sebagai sesuatu yang
fundamental demi terwujudnya keluarga sakinah. Karena itu, jika terjadi
penyimpangan dengan kata lain tidak berfungsi salah satu dalam struktur
keluarga tersebut akan berakibat pada ketidakseimbangan yang pada akhirnya bisa
berujung pada perceraian.
Ketiga,
dalam menganalisis 30 putusan bulan Agustus 2014, membaca putusan majelis hakim
Pengadilan Agama Sumber tersebut dalam pertimbangan hukumnya yang digunakan
sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya apabila dikaitkan dengan
teori positivisasi hukum Islam, maka sebenarnya majelis hakim telah mempositifkan
hukum Islam melalui norma antara, yakni melalui kaidah hukum yang dimuat dalam Kompilasi
Hukum Islam dan kaidah fiqh. Setelah terbukti dalil-dalil gugatan penggugat
yang mendasarkan alasan perceraian pada pasal 19 (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo 116
(f) KHI, maka majelis hakim dalam putusannya mengabulkan gugatan penggugat
dengan menjatuhkan talak satu bain sughra tergugat kepada penggugat. Hal ini
didasarkan pada pasal 119 KHI sebab ikatan perkawinan antara penggugat dengan
tergugat putus oleh adanya putusan Pengadilan Agama Sumber berdasarkan gugatan
cerai penggugat. Konsekuensi setelah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum
tetap tersebut pihak suami tidak dibolehkan rujuk kepada mantan istrinya,
kecuali dengan akad nikah baru meskipun dalam iddah.
Dari
sudut fiqh majelis hakim Pengadilan Agama Sumber telah menggunakan kaidah hukum
Islam yakni يُزَالُ
الضَرَرُ yang artinya “kemudharatan
itu harus dihilangkan”. Dalam pertimbangan hukum disebutkan bahwa apabila
perkawinan terus dilanjutkan sebagaimana yang diinginkan oleh tergugat menurut
pendapat majelis hakim hanya menimbulkan kemudharatan dan ketidakpastian, serta
demi kemaslahatan kedua pihak menurut pendapat majelis hakim solusi terbaik
adalah dengan perceraian.
Dalam
kasus perceraian dengan alasan shiqāq
ini terlihat nilai hukum Islam yang dipositifkan melalui putusan bulan Agustus
tahun 2014 di Pengadilan Agama Sumber adalah kaidah ishlah (perdamaian) yang termaktub dalam al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 35. Dalam konteks Indonesia khususnya
di semua lingkungan peradilan termasuk Pengadilan Agama kaidah ishlah tersebut telah diupayakan melalui
proses mediasi dan pada setiap persidangan juga majelis hakim sesuai dengan
ketentuan pasal 82 ayat (4) Undang-undang No. 50 Tahun 2009 jo pasal 31 ayat
(2) dan pasal 21 PP No. 9 tahun 1975 telah berupaya mendamaikan para pihak. Menurut
hemat penulis meskipun majelis hakim Pengadilan Agama Sumber tidak menggunakan
lembaga ḥakam dalam perkara
perceraian dengan alasan shiqāq.
Adapun
dalam pemeriksaan perkara shiqāq ini
majelis hakim Pengadilan Agama Sumber wajib mendengarkan kesaksian saksi-saksi keluarga
dan orang dekat suami istri tersebut sesuai dengan perintah Undang-undang No. 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 76 ayat (1). Dari pemeriksaan
saksi-saksi tersebut dapat diketahui faktor paling dominan yang menyebabkan terjadinya
shiqāq yaitu ekonomi dan tidak adanya
hak dan kewajiban di antara suami istri, sehingga menimbulkan terjadinya
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara penggugat dengan
tergugat.
Selanjutnya
unsur-unsur dari alasan perceraian yang tertera dalam Pasal 116 (f) KHI sudah
terpenuhi semuanya, sehingga menurut hemat penulis Pengadilan Agama Sumber
telah tepat dalam memutuskan perkara karena shiqāq
setelah dicermati dalam putusan tersebut terdapat kesesuaian antara dali-dalil
gugatan dengan keterangan penggugat dan tergugat serta dihubungkan dengan
alat-alat bukti yang diajukan oleh penggugat maupun tergugat di persidangan.
Pada
dasarnya setiap gugatan yang didasarkan atas alasan shiqāq, untuk proses penyelesaiannya adalah dengan menggunakan ḥakam sebagai penengah perselisihan
antara kedua belah pihak, namun permasalahan yang terjadi adalah adanya
anggapan bahwa setiap gugatan yang diajukan itu ujungujungnya adalah ada yang
kalah dan menang. Padahal untuk berproses dalam persidangan itu membutuhkan
waktu yang sangat lama dan sangat tidak efektif karena harus mengikuti prosedur
yang ada.
Perkara-perkara
yang menjadi wewenangan Pengadilan Agama sebagaimana termaktub dalam pasal 49
Undang-undang No. 50 Tahun 2009 beserta penjelasannya dapat digolongkan dalam
dua jenis perkara, yaitu : perkara voluntair
dan perkara contensius.[3]
Perkara
voluntair adalah perkara yang
sifatnya permohonan dan didalamnya tidak ada sengketa, sehingga tidak ada
lawan. Secara umum peran ḥakam dalam
perkara ini tidak diperlukan. Pada dasarnya perkara voluntair tidak dapat diterima
karena tidak ada sengketa berarti tidak ada perkara. Namun karena ada
kepentingan masyarakat akan kepastian terhadap suatu persoalan yang dihadapi,
maka peraturan perundang-undangan memberikan alternatif terhadap
persoalan-persoalan yang tentunya telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan. Walaupun tidak ada sengketa, perkara tersebut dapat
diajukan kepengadilan, misalnya : istbat nikah, dispensasi nikah dan lain-lain.
Yang
dimaksud perkara contensius adalah
suatu perkara yang di dalamnya berhadapan kedua belah pihak yang bersengketa.
Perkara inilah yang masuk kategori gugatan yang didasarkan karena alasan shiqāq, bahkan terhadap perkara
contensius ini seorang hakim tidak boleh menolak dan menyelesaiakan perkara
tersebut dengan alasan tidak ada peraturan yang mengaturnya.
Dasar
yang menjadikan perkara perceraian ini sebagai kategori shiqāq karena antara penggugat dengan tergugat terus-menerus
terjadi perselisihan yang tajam sulit didamaikan lagi sebab perpecahan mereka
sudah parah. Karakteristiknya dalam kasus yang ditangani para hakim yaitu adanya hak menuntut masalah ekonomi
sedangkan pihak suami belum mempunyai pekerjaan yang tetap, tingkat keegoisan
yang tinggi dari masing-masing pihak, tidak adanya hak dan kewajiban dari suami
istri sehingga berpisah tempat tinggal dalam jangka waktu yang lama, nusyuz
dari pihak istri yang sudah tidak bisa lagi dinasehati.[4]
Dalam
perkara shiqāq, upaya ḥakam di Pengadilan Agama dapat kita lakukan
dengan mengangkat ḥakam dari pihak
keluarga baik satu dari pihak istri dan
satu dari pihak suami. Ḥakamain tersebut
atas persetujuan kedua pihak dan dapat juga mengoptimalkan lembaga yang selama
ini telah ada, yakni BP 4 cara yang ditempuh misalnya ketika perkara sudah
diterima oleh majelis, maka para pihak diperintahkan untuk hadir pada sidang di
Pengadilan Agama. Dalam sidang pertama tersebut tetap dilakukan upaya
perdamaian sebagaimana biasanya, namun karena waktunya sangat terbatas maka
bila upaya perdamaian pada sidang pertama tersebut tidak berhasil, majelis memerintahkan
kepada kedua belah pihak untuk datang ke BP 4 yang mewilayahi tempat tinggal
para pihak dan menunjuk BP 4 tersebut sebagai ḥakam terhadap perkara tersebut dengan tenggang waktu disesuaikan
dengan permasalahan yang ada. Apabila upaya damai berhasil, maka perkara
tersebut di cabut dan apabila memang bernar-benar tidak bisa didamaikan maka
sidang dilanjutkan kembali oleh majelis hakim dengan tetap terbuka kemungkinan untuk
berdamai pada sidang-sidang berikutnya.
Sampai
saat ini, fungsi ḥakam pada Pengadilan
Agama berjalan secara limitif yaitu hanya perkara perceraian yang mempunyai
alasan shiqāq (pertengkaran terus
menerus), hal itupun jarang sekali dilakukan mengingat lembaga ḥakam tidak bersifat imperatif
(keharusan) melainkan bersifat fakultatif, terserah kepada majelis hakim tentang
perlu tidaknya mengangkat ḥakam.[5]
Artinya pengangkatan ḥakam bukan
merupakan keharusan pada setiap perkara perceraian yang mempunyai alasan shiqāq melainkan bersifat kasuistik.
Hal
ini disebabkan karena keterbatasan landasan hukum untuk menerapkan lembaga ḥakam pada Pengadilan Agama, sebagaimana
disebutkan pada pasal 76 ayat (1 dan 2) :
(1) Apabila gugatan
perceraian didasarkan atas alasan shiqāq,
maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi
yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
(2) Pengadilan setelah
mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang
lain untuk menjadi ḥakam.[6]
Apabila
diperhatikan pasal 76 Undang-undang No. 50 Tahun 2009 secara limitif hanya
memfungsikan lembaga ḥakam pada
perkara perceraian karena alasan shiqāq.
Namun tidak pula secara eksplisit melarang menerapakannya pada perkara yang
lain. Dengan kata lain berarti membolehkan penerapan lembaga ḥakam dalam bentuk perkara selain yang disebutkan
dalam pasal tersebut. Penafsiran ini didukung dengan berbagai argumen :
1. Tampaknya perumusan undang-undang terpaku dengan
landasan al-Qur’an mengenai lembaga ḥakam
pada surat an-Nisa’ ayat 35;
2. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 27
ayat (1) hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut dalam
penjelasan ayat tersebut “Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan
perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk
itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal dan merasakan
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan.
Dalam
penjelasan tersebut yang dimaksud dengan nilai yang hidup adalah suatu
pemikiran, paham yang telah melekat pada suatu komunitas masyarakat.
1. Penerapan ḥakam sebagai salah satu mekanisme penyelesaian perselisihan karena
alasan shiqāq di Pengadilan Agama
tidak akan menyimpang dari aturan hukum yang ada, bahkan menunjang terhadap
proses penyelesaian perselisihan sesuai dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009.
Pendapat
dari seorang hakim Pengadilan Agama Sumber yang menangani kasus perceraian
alasa shiqāq, setelah sekarang
diberlakukan Perma No.1 Tahun 2008 dengan diwajibkan mediasi dalam perceraian lembaga
ḥakam sudah tidak diperlukan lagi. Tergantung
kasusnya apabila setelah pembuktian masih ada harapan, bisa mengangkat ḥakam, tetapi apabila sudah didamaikan
oleh majelis hakim dan mediator, serta fakta di persidangan menunjukkan tidak
ada indikasi akan rukun kembali, maka tidak harus mengangkat ḥakam.[7]
Penerapan ḥakam harus diikuti oleh I’tikat baik dari semua unsur
penegak hukum, tidak hanya aparatur peradilan yang terkait melainkan melibatkan
penasihat hukum atau kuasa hukum. I’tikad baik dari aparatur peradilan dalam
hal ini hakim, harus nampak pada upaya mereka memberdayakan asas perdamaian kepada
para pihak. Asas ini merupakan yang paling mendasar dalam praktek peradilan.
Pada Pengadilan Agama tercatat dua landasan hukum mengenai asas perdamaian,
pasal 82 ayat 4 Undang-undang No. 50 Tahun 2009 dan pasal 31 ayat 2 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Tidak terpenuhinya asas perdamaian dalam pemeriksaan
perkara mengakibatkan putusannya batal demi hukum karena belum memenuhi tata tertib
beracara. Sekurang-kurangnya peradilan tingkat banding atau kasasi harus
memerintahkan pemeriksaan ulang melalui putusan sela untuk mengusahakan
perdamaian secara optimal.[8]
Namun sangat disayangkan bahwa pada kedua landasan itu tidak sesuai dengan
bunyi ayatnya. Sehingga meskipun asas ini pijakan hukumnya kuat dan implikasi
hukumnya sangat fatal, tidak jarang hakim melaksanakannya sebatas untuk memenuhi
syarat formil belaka.
Secara filosofis asas kewajiban mendamaikan
merupakan dorongan moral bagi hakim untuk tidak menempatkan para pihak pada
posisi menang atau kalah. Keputusan yang dihasilkan dari upaya damai sedikitnya
memberikan kesan sama-sama menang, sehingga kedua belah pihak kembali dalam
suasana rukun kembali.
Dengan melihat uraian diatas, sangat penting adanya
I’tikat baik dari hakim untuk mendamaikan secara optimal terutama untuk
menerapkan lembaga ḥakam. Jika hal ini berhasil atau dilaksanakan maka
secara psikologis akan memberikan dorongan kepada para pihak untuk secara nyata
mengusahakan persengketaannya dengan jalan damai.
Unsur lain yang mendorong efektifnya lembaga ḥakam adalah dari faktor para pihak itu sendiri. Dengan
demikian dapat dilihat unsur-unsur lembaga ḥakam :
1. Ada kemauan dari para pihak untuk menyelesaiakan
sengketa secara baik-baik.
2. Sikap dari para pihak yang tidak menginginkan
posisi menag atau kalah.
3. Adanya kesadaran para pihak untuk mengikut
sertakan pihak ketiga (ḥakam).
4. Kedudukan ḥakam lebih baik dipegang oleh kerabat dekat masing-masing.
5. ḥakam harus orang yang kredibel dan tahu tantang
persengketaan yang dihadapi.
Proses pembentukan lembaga ḥakam dapat diangkat dengan putusan sela, sebagaimana
yang dikemuakakan oleh M Yahya Harahap pada pengangkatan ḥakam untuk kasus perceraian. Keputusan ḥakam tidaklah bersifat final. Akan tetapi pada saat
keputusan ḥakam diterima oleh masing masing pihak, keputusan
tersebut dapat diambil oleh majelis hakim baik sebagai putusan maupun sebagai
akta perdamaian yang mempunyai nilai eksekutorial. Menurut pendapat ulama’
Madzhab Maliki dan Hambali[9],
apabila keputusan yang dihasilkan oleh ḥakam melalui proses tahkim tidak bertentangan dengan kandungan al-Qur’an,
al-Hadits, dan ijma’ maka hakim pengadilan tidak berhak membatalkan putusan ḥakam, sekalipun hakim pengadilan tersebut tidak
sependapat dengan putusan ḥakam. Namun pada saat para pihak tidak menerima
keputusan ḥakam, maka majelis hakim sebagai pengambil keputusan
terahir menyelesaikan perkara tersebut sesuai peraturan yang berlaku. Untuk itu
Pengadilan Agama Sumber belum
smengoptimalakan upaya ḥakam dalam penyelesaian perselisihan karena alasan shiqāq di Pengandilan Agama Sumber
karena setelah pembuktian dari pihak penggugat dan tergugat (pemeriksaan
saksi-saksi), majelis hakim menilai penggugat dan tergugat tidak ada harapan
akan rukun kembali, sehingga majelis hakim tidak harus mengangkat ḥakam. Dilihat dari perintah Undang-undang No. 50 Tahun
2009 pasal 76 ayat (2) sifatnya hanya fakultatif bukan imperatif. Kenyataannya
para pihak merasa puas terhadap putusan ini, sehingga tidak melakukan upaya
hukum.
[1] http://badilag.net/. Sugiri Permana,
Mediasi dan Ḥakam………., artikel
diakses pada tanggal 21 Mei 2010
[4] Wawancara
pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Sumber, Syarif Hidayat. Cirebon, 10
Februari 2015.
[8] M. Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan dan Acara…….., hal. 51
0 Response to "Analisis Pasal 76 UUPA No. 50 Tahun 2009"
Posting Komentar