Antropologi membahas segala aspek
hubungan manusia. Filsafat menelaah segala yang mungkin dipikirkan oleh
manusia. Manusia adalah homo oeconomicus
bagi manajemen yang tujuannya menelaah kerja sama antar manusia.
Ilmu hanya dapat maju apabila
masyarakat dan peradaban berkembang. Antropologi membahas manusia dan
kebudayaan dari suatu masyarakat yang pada masa lalu hingga masa kini.
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E.B. Taylor pada tahun 1871,
di dalam kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Manusia dalam kehidupannya
mempunyai kebutuhan yang banyak. Adanya kehidupan inilah yang mendorong
manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan.
Menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap
kebutuhan dasar hidupnya.
Menurut Maslow
mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi,
rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi. Pada hakikatnya,
menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat penyelamat
kemanusiaan di muka bumi. Manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan
yang di dalamnya terkandung “dorongan-dorongan hidup” yang dasar, insting,
perasaan, dengan pikiran, kemauan, dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan
manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya
dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan kelebihan.
Nilai-nilai budaya ini adalah
dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan
diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang
mencerminkan nilai budaya yang terkandung. Kebudayaan sangat erat hubungannya
dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan
diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Dari kegiatan belajar itu
diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya, dari
waktu ke waktu. Kebudayaan yang lalu bereksistensi pada masa kini dan
disampaikan pada masa yang akan datang.
3.5.6. Hubungan
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat ilmu dengan ilmu Politik
Politik dapat dikatakan sebagai
filsafat karena dalam mempelajari politik diperlukan cara berpikir yang kompleks
sistematis serta politik adalah sebuah ilmu yang menyangkut salah satu aspek
kehidupan manusia berkaitan dengan kemenangan yang perlu di analisis secara
kritis. Politik juga dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena politik memenuhi
syarat sebagai sebuah ilmu. Van Dyke menyatakan politik sebagai ilmu dengan
mengemukakan tiga syarat yakni (i) variability, (ii) sistematis, dan (iii)
generality.
Pertama, variability. Politik
dapat diuji oleh banyak spesialis dalam bidang ilmu yang bersangkutan sehingga
menimbulkan keyakinan yang mantap, baik bobot maupun pengakuan dan dapat
menjadi dasar bagi prediksi. Kedua, sistematis. Pengetahuan dikatakan
sistematis jika diorganisir ke dalam pola/struktur dengan hubungan yang jelas,
kepedulian terhadap sistem berarti para ahli ingin meneruskan dari fakta-fakta
yang khusus ke yang umum, dari pengetahuan fakta-fakta yang terpisah menuju
pengetahuan hubungan antara fakta-fakta tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan
ilmu yaitu mencapai suatu hubungan antarfakta yang sistematis.
Ketiga, generality. Alasan untuk menekankan pada generality ini berkaitan dengan tujuan utama karya ilmiah yaitu
memberikan eksplanasi dan prediksi. Eksplanasi dan prediksi membutuhkan
penggunaan generalisasi yang implisit (misalnya, acuan pada peraturan, hukum,
atau teori). Objek dalam ilmu adalah untuk mengembangkan generalisasi sehingga
eksplanasi dan prediksi dapat terjadi dengan tingkat kemungkinan yang maksimal.
Politik adalah sebuah ilmu yang
memerlukan segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala
segi dari kehidupan manusia. Selain itu politik suatu bidang pengetahuan
campuran yang eksistensi pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan
saling pengaruh antara filsafat dan ilmu sehingga terjadi relevansi antara
politik dan filsafat ilmu.
3.5.7. Hubungan
Antara Ilmu Alam, Sosial, dan Humaniora
Selama bertahun-tahun, ilmu-ilmu
sosial telah menjadi arena bagi sejumlah kritik, di mana kritik yang dilontarkan
bermacam-macam, mulai dari keraguan tentang kegiatan ahli ilmu sosial karena
“tidak mungkin” sampai pada kebenaran pasti. Pembahasan ini mencoba memberikan
gambaran terhadap pokok permasalahan penting yang disuarakan oleh para kritikus
yang ragu terhadap status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial.
Argumentasi mereka yang
berpendapat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki secara
keilmuan, suatu kritik yang kadang-kadang dimulai dengan suatu pendapat bahwa
hukum ilmu-ilmu sosial, jika memang ada, paling jauh hanya berupa “semata-mata
kemungkinan”. Kadang orang menganggap bahwa kegagalan ilmu dalam menerapkan
hukum yang non-probabilitas adalah disebabkan oleh rumitnya gejala yang harus
dihadapi, suatu hal yang kontras sekali bila dibandingkan dengan bidang
keilmuan dari disiplin-disiplin lain yang lebih beruntung. Adakah dasar bagi
kritik ini?
Sebenarnya kritik ini agak sukar
untuk dinilai karena beberapa kritikus yang melontarkannya mempunyai pendapat
yang berbeda-beda. Sebagai contoh, beberapa kritikus tidak saja menyerang
rumitnya gejala sosial sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial
adalah tidak mungkin, namun juga menyerang ilmu yang menurut mereka tidak
mungkin karena rumitnya suatu gejala. Dalam hal ini maka bukan hanya perilaku
manusia yang terlalu kompleks, namun di dalamnya juga termasuk ilmu yang bukan
sosial, seperti liku-liku dari pola sehelai daun, permainan cahaya dan
bayang-bayang. Ada baiknya untuk meninggalkan thesis tersebut sebelum
mempelajari tuduhan serupa yang hanya menempatkan ilmu-ilmu sosial dalam suatu
kedudukan yang kurang menguntungkan ini. Sedangkan untuk ilmu humaniora, Elwood
mendefinisikan ‘humaniora’ sebagai seperangkat perilaku moral manusia
terhadap sesamanya. Ia juga percaya bahwa definisi ini juga mengisyaratkan
bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan di dalam ekosistem, namun
sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan dia sendiri merupakan
bagiannya. Oleh karena itu, pengertian humaniora menjadi hubungan trisula atau
bercabang tiga, yakni: (i) Hubungan manusia dengan sang Khalik; (ii) Hubungan
manusia dengan sesamanya, dan dengan alam; (iii) Hubungan manusia dengan alam
baik makhluk yang jasad-jasad hidup, maupun benda-benda mati.
Argumentasi mengenai
ketidakmungkinan semua ilmu maupun ilmu sosial ditinjau dari segi deskripsi
yang kasar, keunikan maupun objek, abstraksi, pemutarbalikan penelaah keilmuan
dan ketidakmampuan untuk menangkap kenyataan, semua didasarkan untuk menangkap
kenyataan, yang umumnya didasarkan pada anggapan salah tentang hakikat ilmu.
0 Response to "Hubungan Filsafat, Ilmu, Filsafat Ilmu dengan Antropologi"
Posting Komentar