Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu Politik

Ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang segala sesuatu yang berada. Ontologi memiliki banyak pembagian baik itu berdasarkan jumlah, sifat, maupun berdasarkan proses. Epistemologi adalah merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Atau dapat juga diartikan ilmu yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan.
Relevansi Ilmu Politik dengan ketiganya (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) adalah sama-sama mempelajari tentang hakikat manusia dalam masyarakat politik. Ilmu politik berelevansi dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu yang berada, misalnya Ilmu Politik mempelajari tentang semua teori politik pada masa yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Dalam ontologi membahas segala sesuatu ada berdasarkan beberapa aliran, ada yang mengemukakan bahwa segalanya berasal dari satu sumber. Thales mengungkapkan kenyataan yang terdalam adalah substansi, yaitu air. Anaximander berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyatan terdalam adalah apeiron yaitu sesuatu yang tidak batas, tidak dapat diten­tukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia. Filsuf modern yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran Monisme.
Aliran yang menyatakan bahwa ada dua substansi disebut Dualisme, tokoh-tokohnya adalah Plato, Rene Descrates, Leibinz, Imanuel Kant yang memilahkan bahwa ada dua dunia, yaitu dunia sesungguhnya dengan dunia mungkin. Aliran yang ketiga adalah Pluralisme yang menyatakan bahwa ada banyak substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme adalah Empedokles, Anaxagoras. Sedangkan yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan religi adaiah aliran spiritualisme. Spiritualisme di sini memiliki banyak arti, di antaranya bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh. Dapat juga digunakan untuk istilah keagamaan.
Mempelajari ilmu Politik diperlukan suatu ilmu pengetahuan, informasi, penalaran, maka di sinilah peran Epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Dikatakan bahwa sifat pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik yang mempelajari sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Dasar ontologis ilmu. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu politik. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu politik melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara em­piris. Objek materiil ilmu politik ialah manusia seutuh­nya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar ilmu politik dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu tersebut dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi manusia dan politik.
Di dalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya kegiatan politik dan manusia, yaitu kegiatan yang berskala mikro.
Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang ber­kepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan tersebut. Dengan begitu manusia dan politik hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal.
Dasar epistemologis ilmu politik dan antropologi. Dasar epistemologis diperlukan oleh para politisi untuk mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagian dapat dilakukan oleh tenaga pemula, namun telaah atas objek formil ilmu politik memerlukan pendekatan feno­menologis yang menjalin studi empirik dengan studi kuali­tatif-fenomenologis. Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sebagai instrumen pengumpul data secara pascapositivis­me. Karena itu, penelaah dan pengumpulan data diarahkan oleh politisi atau ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (Verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian kuasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian expost facto.
Inti dasar epistemologi ini adalah agar dapat ditentu­kan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu politik dan antropologi tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu politik dan sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942). Dasar aksiologis ilmu politik. Kemanfaatan teori politik tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai ilmu politik tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam politik. Dengan demikian ilmu-ilmu tersebut tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis. Dalam hal ini relevan sekali untuk memerhatikan politik sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Namun, harus diakui bahwa ilmu politik belum jauh per­tumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku, khususnya di Indonesia. Implikasi­nya ialah bahwa ilmu politik lebih dekat kepada ilmu peri­laku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Karl Pearson, 1990).


Related Posts :

0 Response to "Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu Politik"

Posting Komentar