Poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya mubah
atau boleh. Bukan wajib atau anjuran. Karena melihat siyaq ayatnya memang
mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang.
Allah berfirman :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil ,
maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa : 3)
Jadi syarat utama adalah adil terhadapat istri dalam nafkah lahir
dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Apalagi
kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman. Sebagaimana
hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, aka begitu juga dengan
poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya
kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal
ini bisa saja istrinya atau keluarga istrinya. Pertimbangan orang lain ini
tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi
sekali.
Karena itu kita dapati Rasulullah SAW melarang Ali bin abi Thalib
untuk memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah SAW. Sehingga Ali bin Abi
Thalim tidak melakukan poligami. Kalau hukum poligami itu sunnah atau
dianjurkan, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melarang Ali
berpoligami akan bertentangan. Selain itu yang sudah menjadi syarat paling
utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial.
Biar bagaimana pun ketika seorang suami memutuskan untuk menikah
lagi, maka yang harus pertama kali terlintas di kepalanya adalah masalah
tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga sekaligus. Nafkah
tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan dan minum untuk istri dan
anak, tapi lebih dari itu, bagaiman dia merencakan anggaran kebutuhan hidup
sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya.
Ketentuan keadilan sebenarnya pada garis-garis umum saja. Karena
bila semua mau ditimbang secara detail pastilah tidak mungkin berlaku adil
secara empiris. Karena itu dibuatkan garis-garis besar seperti maslaah
pembagian jatah menginap. Menginap di rumah istri harus adil. Misalnya sehari
di istri tua dan sehari di istri muda. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya,
bukan hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail harus
dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya.
Secara fitharah umumnya, kebutuhan seksual laki-laki memang
lebih tinggi dari wanita. Dan secara faal, kemampuan seksual laki-laki memang dirancang
untuk bisa mendapatkan frekuensi yang lebih besar dari pada wanita. Nafsu
birahi setiap orang itu berbeda-beda kebutuhannya dan cara pemenuhannya. Dari sudut
pandang laki-laki, masalah `kehausan` nafsu birahi sedikit banyak dipengaruhi
kepada kepuasan hubungan seksual dengan istri. Bila istri mampu memberikan
kepuasan skesual, secara umum kehausan itu bisa terpenuhi dan sebaliknya bila
kepuasan itu tidak didapat, maka kehausan itu bisa-bisa tak terobati. Akhirnya,
menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.
Umumnya laki-laki membutuhkan kepuasan seksual baik dalam
kualitas maupun kuantitas. Namun umumnya kepuasan kualitas lebih dominan dari pada
kepuasan secara kuantitas. Bila terpenuhi secara kualitas, umumnya sudah bisa
dirasa cukup. Sedangkan pemenuhan dari sisi kuantitas saja sering tidak terlau
berarti bila tidak disertai kualitas, bahkan mungkin saja menjadi sekedar
rutinitas kosong. Lagi-lagi menikah lagi sering menjadi alternatif solusi. Secara
pisik, terkadang memang ada pasangan yang agak ekstrim. Dimana suami memiliki
kebutuhan kualitas dan kuantitas lebih tinggi, sementara pihak istri kurang
mampu memberikannya baik dari segi kualitas dan juga kuantitas.
Ketidak-seimbangan ini mungkin saja terjadi dalam satu pasangan
suami istri. Namun biasanya solusinya adalah penyesuaian diri dari masing-masing
pihak. Dimana suami berusaha mengurangi dorongan kebutuhan untuk kepuasan secara
kualitas dan kuantitas. Dan sebaliknya istri berusaha meningkatkan kemampuan
pelayanan dari kedua segi itu.
Nanti keduanya akan bertemu di ssatu titik. Tapi kasus yang
ekstrim memang mungkin saja terjadi. Suami memiliki tingkat dorongan kebutuhan
yang melebihi rata-rata, sebaliknya istri memiliki kemampuan pelayanan yang
justru di bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini memang sulit untuk mencari
titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah yang ada begitu saja pada
masing-masing pihak. Dan kasus seperti ini adalah alasan yang paling logis dan
masuk akal untuk terjadinya penyelewengan, selingkuh, prostitusi, pelecehan
seksual dan perzinahan.
Sehingga jauh-jauh hari Islam sudah mengantisipasi kemungkinan
terjadinya fenomena ini dengan membuka pintu untuk poligami dan menutup pintu
ke arah zina. Dari pada zina yang merusak nilai kemanusiaan dan harga diri
manusia, lebih baik kebutuhan itu disalurkan lewat jalur formal dan legal.
Yaitu poligami.
Dan kenyataanya, angka kasus sejenis lumayan banyak. Namun
antisipasinya sering terlihat kurang cerdas bahkan mengedepankan ego. Hukum
agama nasrani jelas-jelas melarang poligami yang legal. Begitu juga hukum
positif di banyak negeri umumnya cenderung menganggap poligami itu tidak bisa
diterima. Apalagi hukum non formal yang berbentuk penilaian masyarakat
yangumumnya juga menganggap poligami itu hina dan buruk.
Secara tidak sadar semuanya lebih memaklumi kalau dalam kasus
seperti yang kita bicarakan ini, solusinya adalah ZINA dan bukan poligami. Nah,
inilah terjungkir baliknya nilai-nilai agama yang dikalahkan dengan rasa dan
selera subjektif hawa nafsu manusia.
0 Response to "Tujuan dan Syarat Poligami Dalam Islam "
Posting Komentar