Kata
Pengantar. Alhamdulillah puji syukur kehadirat
Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta Inayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini yang membahas
tentang Tentang Tindak Pidana Pencurian dan dapat diselesaikan dengan tepat
tanpa mengalami hambatan yang berarti. Semoga dengan selesainya makalah ini
dapat bermanfaat bagi kami selaku penulis dan bagi para pembaca semuanya.
Meskipun tulisan makalah ini sangat jauh di atas maksimal.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu demi penyempurnaan tulisan ini, kami
mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi pihak-pihak yang berkompeten. Amin.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
makalah ini peyeusun akan membahas dan menguraikan sebagaimana dalam rumusan
masalah. Baikalah untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
itu Pengertian Pencurian dalam Hukum Pidana Positif?
2. Apa
unsu-unsur Pencurian dalam Hukum Pidana Positif?
3. Apa
Sumber Hukum Pidana Pencurian dalam Hukum Positif?
C. Rumusan Tujuan
1. Menjelaskan
Pengertian Pencurian dalam Hukum Pidana Positif
2. Menjelaskan
unsu-unsur Pencurian dalam Hukum Pidana Positif
3. MenjelaskanSumber
Hukum Pidana Pencurian dalam Hukum Positif?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pencurian dalam Hukum Pidana Positif
Pencurian dalam bahasa,
berasal dari kata “curi” yang mendapat awalan pe-dan akhiran -an yang mempunyai
arti proses, cara perbuatan mencuri.[1]
Dalam hukum positif pengertian pencurian telah diatur dan dijelaskan dalam BAB
XXII Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:
”Barang siapa mengambil
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus
rupiah”.[2]
Pasal 362 tersebut merupakan
bentuk pokok dari pencurian, yang mana mengandung unsu-unsur:
B. Unsur Obyektif,
yang meliputi:
1. Mengambil, unsur
mengambil ini mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan
masyarakat, mengambil yang diartika memindahkan barang dari tempat semula
ketempat yang lain, ini berarti membawa barang dibawa ke kekuasaannya yang
nyata. Perbuatan mengambil berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah
kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang diluar kekuasaan
pemiliknya.
Dalam pencurian,
mengambil yang dimaksud adalah mengambil untuk dikuasai, maksudnya adalah waktu
pencuri mengambil barang, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya, apabila
waktu memiliki barang itu sudah ada ditangannya, maka perbuatan tersebut bukan
termasuk pencurian tetapi penggelapan, pencurian dikatakan selesai apabila
barang tersebut sudah pindah tempat. Pengambilan tersebut harus dengan sengaja
dan dengan maksud untuk memiliki, apabila seseorang mengambil barang milik
orang lain karena keliru tidak termasuk pencurian.[3]
2. Barang, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Pengertian barang juga telah
mengalami proses perkembangan, barang yang semula ditafsirkan sebagai
barang-barang yang berwujud dan dapat dipindahkan (barang bergerak), tetapi
kemudian ditafsirkan sebagai setiap bagian dari harta benda seseorang. Termasuk
hal ini adalah aliran listrik, dimana aliran listrik termasuk pengertian barang
yang dapat menjadi obyek pencurian, karena didalamnya mempunyai nilai ekonomi
dari seseorang. Barang yang tidak ada pemiliknya, tidak dapat menjadi obyek
pencurian, yaitu barang barang dalam keadaan res nullus ( barang yang
pemiliknya telah melepaskan haknya) dan res derelictae.
Unsur
Subyektif, yang meliputi:
1. Dengan maksud,
Istilah ini terwujud dalam kehendak, atau tujuan pelaku untuk memiliki barang
secara melawan hukum.
2. Untuk memiliki.
3. Secara melawan
hukum, yakni perbuatan memiliki yang yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan
sendiri dari si pelaku. Pelaku harus sadar bahwa barang yang diambilnya adalah
milik orang lain. Dalam bukunya Suharto. R.M juga dijelaskan mengenai unsur
obyektif yang terdapat dalam rumusan tindak pidana bahwa pada umumnya tindak
pidana yang diatur dalam Undang-undang, unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir
atau ”unsur obyektif”. Karena apa pun yang terjadi, yang tampak adalah unsur
lahir. Suharto. R.M juga mengutip pendapatnya Moeljatno, S.H yang mengatakan
bahwa, ”perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah
suatu kejadian dalam alam lahir”. Namun demikian adakalanya sifat perbuatan
melawan hukum tidak saja terletak pada unsur obyektif, tetapi juga pada unsur
subyektif yang terletak pada batin pelaku. Apabila inti dari perumusan tindak
pidana terletak pada ”kelakuan” maka akibat yang terjadi dari perbuatan menjadi
tidak penting. Misalnya, kelakuan dalam tindak pidana pencurian dirumuskan
dengan istilah mengambil barang, yang merupakan inti dari delik tersebut.
Adapun akibat dari kelakuan yang kecurian menjadi miskin atau yang kecurian uang
tidak dapat belanja, itu tidak penting dimasukkan dalam rumusan tindak pidana
pencurian.[4]
Dalam Kitab
Undang-undang Hukun Pidana (K.U.H.P) terdapat beberapa macam pencurian yaitu:
a. Pencurian Ringan
Yakni tindak pidana
yang dirumuskan/diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 item 4 dan 5, jika
tidak dilakukan dalam suatu tempat kediaman atau di atas sebuah pekarangan
tertutup yang di atasnya terdapat sebuah kediaman , jika nilai dari benda yang
dicuri itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.[5]
b. Pencurian dengan
pemberatan
Pencurian dengan
pemberatan ini dalam doktrin sering disebut dengan gequalificeerde diestal atau
pencurian dengan kualifikasi, yang telah diatur oleh undang-undang dalam pasal
363 KUHP, yaitu pencurian biasa yang disertai dengan keadaan-keadaan atau
kondisikondisi tertentu, seperti, pencurian ternak, pencurian yang dilakukan
pada waktu terjadi bencana, dilakukan pada malam hari dalam keadaan rumah
tertutup yang ada dirumah, dilakukan dua orang atau lebih dengan bekerjasama,
dilakukan dengan membongkar atau memecah untuk mengambil barang yang ada di
dalamnya.
c. Pencurian dengan
kekerasan
Pencurian ini telah
diterangkan dalam pasal 365, yakni pencurian yang didahului, disertai, atau
diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud
untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap
tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau
tetap untuk menguasai barang yang dicurinya.
d. Pencurian dalam
keluarga
Yaitu pencurian yang
telah diterangkan dalam pasal 367 KUHP yakni, Jika dia adalah suami/istri yang
terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan atau dia adalah
keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang
kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada
pengaduan yang terkena kejahatan.[6]
C. Sumber Hukum
Pidana Pencurian dalam Hukum Positif
Sumber hukum dari
pidana pencurian adalah hukum yang tertulis, Induk peraturan hukum pidana
positif adalah kitab undang-undang hukum pidana (K.U.H.P) nama aslinya ialah
“Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (W.v.S)” tanggal 15 Oktober
1915 No 33 dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918, W.v.S.v.N.I, ini merupakan
kopian (turunan).
Dari Wetboek van
strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku
Tahun 1886.[7]
KUHP merupakan kodifikasi dari hukum pidana, berlaku untuk semua golongan
penduduk dan berlaku untuk semua golongan Bumiputera, Timur Asing dan Eropa.
Dengan demikian dalam lapangan hukum pidana sejak tahun 1918 terdapat
Unifikasi.
Tindak pidana pencurian
dimuat dalam Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP) pada BAB XXII yang mana
membagi pencurian menjadi beberapa macam, penjatuhan pidana dalam pencurian
sesuai dengan klasifikasi tindak pidana pencurian, dalam pasal 362 menyatakan:
”Barangsiapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Pencurian yang
disebutkan dalam pasal 362 KUHP tersebut di atas adalah pencurian biasa atau
pencurian dalam bentuknya yang pokok, yang ancaman pidananya maksimal lima
tahun penjara, kemudian ketegori selanjutnya adalah pencurian dengan
pemberatan, yaitu terdapat dalam dalam pasal 363 ayat 1 item 2, karena
didalamnya terdapat faktor-faktor yang memberatkan ketika pencurian tersebut
dilakukan, seperti: waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa bumi, gunung
meletus, kecelakaan kereta api, kapal terdampar, dan bahaya perang. Hal ini
menunjukkan bahwa pada peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan seperti ini,
terjadi kepanikan dan kekacauan sehingga memudahkan pelaku pencurian untuk melakukan
aksinya.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Ed-3, Jakarta: Balai Pustaka, Cet-3, 2005, hlm.
225.
[2] Moeljatno, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, Cet- 24, 2005,
hlm. 128.
[3] R. Susilo,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar - komentarnya, Bogor:
Politea, hlm. 216.
[4]
Suharto. R.M, Hukum Pidana Materiil, Ed-2, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2002,
hlm.
[5]
Moeljatno, Op. cit, hlm. 129. Lihat juga, P. A F. Lamintang, Delik-delik
Kuhusus (Kejahatan-kejahatan terhadap Harta Kekayaan), Bandung: Sinar Baru,
Cet-I, hlm. 50.
[6] Moeljatno.
Op. cit, hlm. 130.
[7] Sudarto,
Hukum Pidana, Jilid 1, Semarang: Yayasan Sudarto, Cet. Ke 2, 1990, hlm 15.
0 Response to "Makalah Tentang Tindak Pidana Pencurian"
Posting Komentar