Kata Pengantar Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta Inayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini yang membahas tentang Karakteristik
Hukum acara mahkamah konstitusi dapat diselesaikan dengan tepat tanpa mengalami
hambatan yang berarti. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat
bagi kami selaku penulis dan bagi para pembaca semuanya.
Kami
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu demi penyempurnaan tulisan ini, kami mengharapkan masukan dan saran
yang bersifat membangun.
Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkompeten. Amin.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengingat keberadaannya sebagai lembaga
yang dibentuk untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan oleh ketentuan di
bawahnya, MK adalah lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi sehingga
sering disebut sebagai Pengadilan Konstitusi (constitutional court). Hal itu
juga tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-perkara yang menjadi
wewenang MK adalah perkara-perkara konstitusional, yaitu perkara yang
menyangkut konsistensi pelaksanaan norma-norma konstitusi. Kedua, sebagai
konsekuensinya, dasar utama yang digunakan oleh MK dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara adalah konstitusi itu sendiri. Walaupun terdapat ketentuan
undang-undang yang berlaku dan mengatur bagaimana MK menjalankan wewenangnya,
jika undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi MK dapat mengesampingkan
atau bahkan membatalkannya jika dimohonkan.
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai
hukum yang mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki
oleh MK. Ada juga yang menyebut dengan istilah lain, seperti Hukum Acara
Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata Negara, dan lain-lain.
Penggunaan istilah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dipilih karena memang
terkait dengan perkara-perkara yang menjadi wewenang MK.
Hukum Acara MK adalah hukum formil
yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari hukum
konstitusi yang menjadi wewenang MK. Oleh karena itu keberadaan Hukum Acara MK
dapat disejajarkan dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki karakteristik
khusus, karena hukum materiil yang hendak ditegakkan tidak merujuk pada
undang-undang atau kitab undang-undang tertentu, melainkan konstitusi sebagai
hukum dasar sistem hukum itu sendiri.
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai
hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang menjadi
wewenang MK serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang
dimaksud. Oleh karena itu Hukum Acara MK meliputi Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Hukum Acara
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, dan
Hukum Acara Memutus Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Asas -Asas Hukum Acara MK
Asas secara umum diartikan sebagai
dasar atau prinsip yang bersifat umum yang menjadi titik tolak pengertian atau
pengaturan. Asas di satu sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan
pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-cita sosial
yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan antara
aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku
(asas hukum objektif).[1]
Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma umum yang dihasilkan dari
pengendapan hukum positif (asas hukum subjektif).
Dalam konteks Hukum Acara MK yang
dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar yang bersifat
umum sebagai panduan atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan
konstitusi. Asas diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu
sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan
perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut harus
dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan maupun praktik hukum
acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman dan prinsip yang
memandu hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi pedoman
dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan.
Mengingat sifatnya yang umum dan
tidak merujuk pada tindakan atau kasus tertentu, setiap asas memiliki
pengecualian. Asas peradilan terbuka untuk umum misalnya memiliki pengecualian
untuk perkara-perkara tertentu dapat ditetapkan bersifat tertutup.
Sebagaimana proses peradilan pada
umumnya, di dalam peradilan MK terdapat asas-asas baik yang bersifat umum untuk
semua peradilan maupun yang khusus sesuai dengan karakteristik peradilan MK.
Maruarar Siahaan, salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6
(enam) asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan
terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan
secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak untuk didengar secara
seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam
persidangan. Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga
Keabsahan (praesumptio iustae causa).
1.
ius curia novit. Asas ius curia novit adalah asas
bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, sebaliknya hakim
2.
Persidangan terbuka untuk umum. Asas bahwa persidangan
pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku
untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain
oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU
MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
3.
Independent dan imparsial. Untuk dapat memeriksa dan
mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan
lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga
dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang
berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang
dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang
ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman
ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga
kemandirian peradilan.
4.
Peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan . Prinsip
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan
dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip
ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu
equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks,
berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang
tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya
orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.
Prinsip peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan
Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya
perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara peradilan di bawah MA.
Pasal 81A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk penyelesaian perkara perdata dan tata
usaha negara, biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara
dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara. Pasal 89 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan bahwa biaya perkara
dalam bidang perkawinan dibebankan penggugat atau pemohon. Pasal 59
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyatakan
bahwa untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara yang
besarnya ditaksir oleh panitera pengadilan.
5.
Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram
partem). Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara
seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling
berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-termohon, maupun
penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang
saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya,
hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak
berkedudukan sebagai termohon.
Dalam peradilan MK, hak untuk
didengar secara seimbang, berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling
berhadapan, misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara
perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua pihak yang
terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk
perkara pengujian undang-undang, selain pemohon pihak terkait langsung yaitu
DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang juga memiliki hak untuk
didengar keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara
tidak langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan diberi
kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pada saat pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU akan
diberikan hak menyampaikan keterangan. Demikian pula pada saat UU Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat memberikan
keterangan
6.
Hakim aktif dalam persidangan. Maruarar Siahaan
menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam proses persidangan”.36
Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim tidak akan memeriksa,
mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan oleh pemohon ke pengadilan.
Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan.
Pada saat suatu perkara sudah masuk
ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis
kepentingan yang diperkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut
kepentingan individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam perkara yang
banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif.
Hakim dapat bertindak aktif dalam
persidangan karena hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini
juga sesuai dengan asas ius curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa
hakim mengetahui hukum dari suatu perkara. Oleh karena itu pengadilan tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan
itu dapat aktif dalam persidangan.
7.
Asas praduga keabsahan (praesumtio iustae causa). Asas
praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan
hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa
baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada
pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum
baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk menyatakan
tidak sah tindakan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan
tindakan itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan
berdasarkan aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya
hukum untuk melakukan pengujian terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu
tetap berlaku walaupun sedang dalam proses pengujian.
Perwujudan dari asas ini dalam
wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak
selesai dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum
adanya putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan
dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK
memutus pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, dan
perselisihan tentang hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK
tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945)
sebelum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara juga demikian, tindakan
termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada
putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Pada perkara perselisihan hasil Pemilu, keputusan
KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan oleh peserta
Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum ada putusan MK yang
membatalkan keputusan KPU itu.
Tulisan ini diambil dari buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010 xviii.+ 486 hlm; 150 x 22.5 cm.Latar
belakang tulisan ini di muat di blog ini semata-mata sebagai sarana belajar dan
pengetahuan bagi masyarakat luas.
0 Response to "Makalah Karakteristik Hukum acara mahkamah konstitusi"
Posting Komentar