Kaidah Yakin
A. Kaidah Yakin
Ada suatu kaidah
yang kurang lebih berbunyi :
Artinya : “ Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan
“
Maksudnya adalah suatu hukumyang sudah
berlandaskan pada suatu keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya
keragu-raguanyang muncul di suatu kemudian, sebab keragu-raguan yang merupakan
unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bias menghilangkan
hukum yakni yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian,
maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya suatu kemantapan hati
pada suatu obyek hukum yang telah dikerjakan. Oleh karena itu tidak dianggap
suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada suatu pekerjaan
yang dilaksanakan.
B. Dasar Hukum Kaidah Yakin
1. Al-Qur’an
وَمَا يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي
مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيًۡٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِمَا يَفۡعَلُونَ ٣٦
Artinya
: “ Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti
kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan “.
2. Hadits
Artinya
: “ Jika seseorang menemukan sesuatu pada
perutnya, lalu dia ragu-ragu apakah sesuatu tersebut sudah keluar dari perutnya
apa belum? Maka, baginya tidak boleh keluar dari masjid sampai ia mendengar
suara atau menemukan bau “.
C. Beberapa Kaidah Minor
- Kaidah Minor Pertama, Kaidah Kontinu
Artinya : “ Pada dasarnya, asal itu meneruskan apa yang ada menurut keadaannya
semula ”
Mengandung maksud
adalah suatu perkara yang sudah ada pada suatu kondisi tertentu dimasa
sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula, selama tidak ada dalil yang
menujukan terhadap hukum lain, sebab asal dari segala sesuatu adalah tidak
berubahnya atau tetap seperti sediakala, sedang kemungkinan untuk terjadi
perubahan dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya spekulatif,
sehingga tidak dapat di anggap sebagai pijakan hukum.
Berkaitan dengan
kaidah kontinu ini, dalam kajian Ushul Fiqh ditemukan adanya ketentuan bahwa
kaidah kontinu ini sama dengan dalil istishab yaitu tetap memberlakukan
ketetapan hukum yang telah ditetapkan atau yang telah ada pada masa lampau
sebelum ditemukan ada hukum lain yang merubahnya.
Contoh : - Kasus
orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadas ataukah belum, maka yang di
jadikan ukuran adalah kondisi yang telah ada sebelumnya, yaitu :
a. Jika kondisi sebelumnya ia belum berwudhu,
maka ia sudah dianggap batal.
b. Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah
berwudhu, maka dia di anggap suci.
- Kaidah Minor Kedua, Kaidah Bebas
Artinya : “ Pada dasarnya asal itu bebas dari tanggungan “
Pada
hakikatnya, hukum asal perihal tanggung jawab itu tidak ada, dikarenakan
manusia terlahir dalam keadaan bebas tanpa beban dan tanggung jawab. Sedangkan
beban dan tanggungjawab muncul setelah adanya hak-hak yang telah dimilikinya,
sehingga semuanya itu muncul setelah manusia itu lahir.
Contoh
: - orang di tuduh mempunyai utang kepada orang lain dan orang yang menuduh
tidak bias menujukan berupa bukti, misalnya kwitansi-utang atau saksi, maka
orang tersebut bebas alias terhindar dari tanggungan hutang yang dituduhkan
kepadanya.
- Kaidah Minor Ketiga, Kaidah Nihilis
Artinya : “ Jika ada orang yang ragu tentang apakah dirinya telah melakukan sesuatu
ataukah belum? Maka, hukum yang diambil adalah ia belum melakukan sesuatu “
Maksudnya ialah pada
dasarnya hukum yang bias dijadikan pijakan dari kasus ragu-ragu apakah dirinya
sudah melakukan sesuatun ataukah belum adalah belum mengerjakan sesuatu,
terkecuali jika amaliyah tersebut benar-benar terbukti dalam suatu wujud
kenyataan.
Contoh : - kasus ada
seseorang yang sedang ragu-ragu perihal apakah ia sudah melakukan qunut ataukah belum? Maka, yang diambil
kesimpulan adalah beliau belum melakukannya dan haruslah melakukan Sujud Sahwi.
- Kaidah Keempat, Kaidah Minimalis
- Kaidah Minimalis
Artinya
: ” siapa saja yang telah yakin bahwa ia
telah melakukan sesuatu dan ia ragu dalam hal sedikit banyaknya jumlah
pekerjaan yang telah ia lakukan, maka hukum yang diambil adalah yang paling
sedikit, sebab ketetapan seperti ini lebih meyakinkan “.
Maksudnya, apabila
ditemukan ada seseorang dalam dirinya yang sudah yakin melakukann sesuatu
amaliyah, tetapi ia masih ragu perihal bilangannya, lalu ambilah bilangan yang
terkecil, dikarenakan bilangan yang terkecil sudah pasti dilaksanakan.
Contoh : - kasus
menceraikan sang istri oleh suami, lalu dalam hal ini suami merasa ragu apakah
ia sudah melakukan talaknya apakah dua ataukah tiga? Maka, yang dijadikan
pijakan hukum adalah bilangan yang paling sedikit, yaitu talak dua. Sebab yang
minimal merupakan suatu bilangan yang sudah pasti dilaksanakan.
D. Kaidah Minor Kelima, Kaidah Negatif
Artinya : “ Pada dasarnya asal itu tidak ada “.
Setiap orang
mukallaf tetap dinilai bahwa ia belum melakukan suatu pekerjaan selama pekerjaan
tersebut belum benar-benar wujud secara nyata dan diyakini kebenarannya. Oleh sebab itu, jika ditemukan ada seseorang yang ada dalam dirinya
sudah yakin melakukan sesuatu amaliyah, tetapi ia masih ragu, apakah amaliayah
tersebut dilakukan belum, maka yang dianggap secra hukum adalah yang belum
dilakukan.
Artinya : “ Pada dasarnya asal itu bebas dari tanggungan “
Pada
hakikatnya, hukum asal perihal tanggung jawab itu tidak ada, dikarenakan
manusia terlahir dalam keadaan bebas tanpa beban dan tanggung jawab. Sedangkan
beban dan tanggungjawab muncul setelah adanya hak-hak yang telah dimilikinya,
sehingga semuanya itu muncul setelah manusia itu lahir.
Contoh
: - orang di tuduh mempunyai utang kepada orang lain dan orang yang menuduh
tidak bias menujukan berupa bukti, misalnya kwitansi-utang atau saksi, maka
orang tersebut bebas alias terhindar dari tanggungan hutang yang dituduhkan
kepadanya.
Artinya : “ Jika ada orang yang ragu tentang apakah dirinya telah melakukan sesuatu
ataukah belum? Maka, hukum yang diambil adalah ia belum melakukan sesuatu “
Maksudnya ialah pada
dasarnya hukum yang bias dijadikan pijakan dari kasus ragu-ragu apakah dirinya
sudah melakukan sesuatun ataukah belum adalah belum mengerjakan sesuatu,
terkecuali jika amaliyah tersebut benar-benar terbukti dalam suatu wujud
kenyataan.
Contoh : - kasus ada seseorang yang sedang
ragu-ragu perihal apakah ia sudah melakukan qunut
ataukah belum? Maka, yang diambil kesimpulan adalah beliau belum
melakukannya dan haruslah melakukan Sujud Sahwi.
0 Response to "Kaidah Fiqih Tentang Keyakinan"
Posting Komentar