A.
Pengertian
Perkawinan sering juga disebut
dengan Nikah berasal dari bahasa arab yang artinya ikatan atau berkumpul. Bila
ditinjau pasal 1 dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.Pengertian
Perkawianan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam
bukunya Hukum Perkawinan Islam, perkawinan yang disebut “nikah” berarti :Melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.[3]
Pengertian perkawinan menurut KUH
Perdata Pasal 26, yang mengatakan bahwa perkawinan ialah Pertalian yang sah
antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.Pada KUH
Perdata memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja, yang berarti
bahwa asalnya suatu perkawinan hanya ditentukan oleh pemenuhan syarat-syarat
yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, sementara syarat-syarat serta
pengaturan agama dikesampingkan.[4]Perkawinan
dianggap suatu lembaga yang terikat pada suatu pengakuan oleh negara dan hanya
sah bila dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang (penguasa).[5]
Dari beberapa defenisi diatas
memberikan penjelasan kepada kita tentang beberapa pengertian
perkawinan.Sedangkan perkawinan dibawah tangan merupakan sebutan yang biasa
digunakan ditengah masyarakat Indonesia. Perkawinan dibawah tangan ini
dimaksudkan menyebutkan perkawinan yang belum tercatatat di Departemen Agama
dan atau pernikahan yang dilakukan secara syah dengan syarat dan Rukun nikah
dalam islam, namun belum dilakukan pelaporan kekantor departemen agama untuk
mendapatkan akte nikah. Kebanyakan masyarakat yang melakukan pernikhan atau
perkawinan dibawah tangan disebabkan oleh faktor ekonomi.
Sebagaimana disebutkan didalam pasal
2 ayat (2) UU NO. 1 Tahun 1974 yang bebunyi “ Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ini tentu memberikan gambaran
bagi kita tiap-tiap pernikahan dibawah tangan memiliki kewajiban bagi kedua
mempelai untuk mencatatkan perkawinannya didepartemen agama tempat mereka
melangsungkan pernikahan.Dan dengan tidak dilakukannya pencatatan bukan berarti
penikahan yang dilakukan tidak syah secara Islam. Kemudian hal ini diperjelas
dengan ketentuan pasal 5 ayat 2 Peraturan menteri agama Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 yang berbunyi :
“Pemberitahuan kehendak nikah
dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi
persyaratan sebagai berikut:
a.
Surat
keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
b. Kutipan akta kelahiran atau
surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala
desa/lurah atau nama lainnya;
c.
Persetujuan
kedua calon mempelai;
d. Surat keterangan tentang orang tua
(ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
e.
Izin
tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;
f.
Izin dari
pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e
di atas tidak ada;
g. Dispensasi dari pengadilan bagi
calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum
mencapai umur 16 tahun;
h. Surat izin dari
atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
i.
Putusan
pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
j.
kutipan
buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
k. Akta kematian atau surat keterangan
kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi
janda/duda;
l.
Izin untuk
menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.
B. Landasan Dasar Perkawianan
Secara Hukum Islam.
1. Dalil Al-Qur’an
Yang menjadi Landasan dasar
dalamPernikahan yang merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dalam ajaran Islam. Sebagaimana dsebutkan dalam firman Allah, (QS
Qr-Ruum:21):
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم
مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaany-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenis kamu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadiakn-Nya diantaramu rasa
kasih dan saying. Sesuangguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Qr-Ruum:21)
Kemudian Fiman allah diatas dipertegas dengan Hadits
rosululloh SAW antara laian :
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan
kawinkanlah oran-prang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti
baik, termasuk hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan.” (QS An-Nuur:32)
Dari firman tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perkawinan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah, dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan dalam Al-qur’an dan Hadits. Maka pernikahan dinyatakan syah dalam ajaran islam hal ini tentu berbeda dengan ketentuan yang dinyatakan syah dalam Hukum Positif Indonesia.
Dari firman tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perkawinan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah, dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan dalam Al-qur’an dan Hadits. Maka pernikahan dinyatakan syah dalam ajaran islam hal ini tentu berbeda dengan ketentuan yang dinyatakan syah dalam Hukum Positif Indonesia.
2.
Landasan Yuridis
Ada
pun yang menjadi landasan Yuridis perkawinan dindonesia telah
ditentaukan, bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk
pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara. Selanjutnya dalam pelaksanaannya ditentukan
dalam Peraturan Pemerintah, KUHPerdata dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawianan.
C. Syarat-Syarat Perkawianan secara
Islam dan Undang-Undang.
1. Syarat-syarat dan Rukun syah
perkawian secara Islam
Setiap ibadah didalam ajaran islam
mempunyai rukun dan syarat, agar ibadah tersebut sah dan sesuai dengan ajaran
islam. Dalam hal konteksnya dengan perkawinan, rukun dari sebuah pernikahan
dalam isalam antara lain sebagai berikut:
a.
Adanya
calon mempelai pria dan wanita
b. Adanya wali dari calon mempelai
wanita
c.
Dua orang
saksi dari kedua belah pihak
d. Adanya ijab; yaitu ucapan penyerahan
mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
e.
Qabul;
yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Rukun merupakan ketentuan yang mutlak atau wajib
di penuhi oleh ummat islam dalam menjalankan suatu ibadah dalam ajaran.
Memang ketentuan yang diwajibkan dalam ajaran islam sangat berbeda dengan
ketentuan yang diwajibkan didalam undang-undang.
Ada pun syarat-syarat syah yang mesti dilakukan
dalam pelaksanaan Nikah dalam Islam anatara lain :
a.
Adanya
ijab dari eali mempelai wanita
b.
Adanya
qabul oleh mempelai pria
c.
Ijab
menggunakan kata-kata nikah atau yang searti dengannya
d.
Ijab dan
qabul harus jelas dan saling berkaitan
e.
Ijab
dan qabul dalam satu majlis
f.
Tidak
sedang dalam ihram haji atau umrah.
Selain
rukun dan syarat penikahan, ada juga hal yang harus diperhatikan dalam sebuah
pernikahan.Pernikahan dianggap batal apabila ada larangan dalam pernikahan.
Larangan dalam pernikahan yang dimaksud adalah:
a.
Adanya
hubungan mahram antara kedua mempelai
b.
Tidak
terpenuhinya rukun pernikahan
c.
Terjadi
pemurtadan
Semoga tulisan yang tidak seberapa ini dapat berguna bagi
kita semua, terutama saudara-saudara seiman yang ingin melangsungkan
pernikahan.
D. Syarat Syah Perkawinan secara yuridis.
Di samping syarat dan rukun yang
tentukan dalam ajaran islam negara juga mengatur syarat-syarat syah yang diatur
dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawianan. Ada pun
syarat-syarat perkawian antara lain :
1) Syarat perkawinan menurut KUHPer /
BW
2) Syarat perkawinan menurut Undang
Undang Nomor 1 tahun 1974
Menurut KUHPer / BW Syarat Materil,
ada pun Syarat Materil berlaku secara Umum, yang berlaku untuk seluruh
perkawinan yang terdiri, antara lain :
a.
Kata
Sepakat (Pasal 28 KUHPer)
b. Asas yang dianut Monogami mutlak
(Pasal 27 KUHPer)
c.
Batas usia
(Pasal 29 KUHPer)
d. Tenggang waktu tunggu, 300 hari
(Pasal 34 KUHPer)
Disamping syarat materil umum ada
juga Syarat Materil Khusus, berlaku hanya untuk perkawinan tertentu, ada pun
syarat Materil Khusus antara lain :
a.
Larangan
Perkawinan (Pasal 30, 31, 32, 33 KUHPer)
b. Izin Kawin (Pasal 33, 35 – 38, 40,
42 KUHPer)
Syarat Formil Mengenai Tata Cara
Perkawinan, baik sebelum maupun setelah perkawinan, Sebelum Perkawinan :
i.
Pemberitahuan
/ aangifte adalah Tentang kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu
pegawai yg nantinya akan melangsungkan pernikahan
ii.
Pengumuman
Ada pun syarat-syarat perkawiana
menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 antara lain :
a.
Tidak
sedang terikat dengan perkawinan sebelumnya.
b. Memepelai tidak mempunya hubungan
darah lurus keatas dan kesamping dalam saudara.
c.
Tidak
sedang masa iddah
d. Kedua mempelai tidak sedang dilarang
menikah oleh agamnya.
e.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
f.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
g.
Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud poin cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
h.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan,
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
i. Minimal berusia 19 tahun untuk pria dan 16
tahun bagi wanita.
E. Kedudukan Perkawinan
Dibawah Tangan dalam Hukum Positif.
Bila berbicara kedudukan perkawinan dibawah, kita
harus kembali kepada asas dan tujuan hukum ditegakkan.Tujuan hukum adalah
melindungi hak masyarakat, kepastian hukum, ketertiban dan memenuhi rasa
keadilan. Coba kita kaitkan tujuan hukum dengan perkawinan, sebagaimana
dijelaskan diatas tujuan perkawinan dalam hukum islam adalah menciptakan
ketentraman, demikian juga dengan hukum perkawinan Indonesia yang bertujuan
melindungi hak masyarakat Indonesia. Ada saling berkaitan sangat erat antara
dua sistem hukum yang berbeda, Namun pada hakikatnya tujuannya sama. Karena
perkawianan atau pernikahan menimbulkan akibat hukum maka negara perlu
melindunginya.Untuk itu setiap pernikahan yang telah dilaksanakan secara syah
menurut ketentuan agama yang kedua mempelai maka wajib didaftarkan kedepartemen
agama.Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) UU. No. 1 tahun 1974 yang
berbunyi “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku” . yang bertujuan melindungi akibat hukum yang ditimbulkan
oleh pernikahan tersebut, baik menyangku, harta benda, waris, anak dan lain.
Dalam hal perkawinan yang dilaksanakan secara syah menurut ketentuan syarat dan
rukun agama kedua mempelai, namun tidak didaftarkan didepartemen agama dianggap
tidak pernah menikah secara hukum perkawinan, yang akan menimbulkan kerugian
kepada kedua belah pihak baik dari istri, suami, maupun anak yang lahir dari
pernikahan tersebut.
F.
Pencatatan Nikah Yang Dilakukan Dibawah Tangan Secara Islam.
Pencatatan Nikah dibawah tangan yang
dilakukan secara Islam dilaporkan kepada pejabat pencatat Perkawianan.Dalam hal
ini departemen agama yang ada samapi ketingkat kecamatan.Dan mekanisme pencatatan
perkawinan diatur dalam ketentuan pasal 5 ayat 2 Peraturan menteri agama
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 yang berbunyi :
“Pemberitahuan kehendak nikah
dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi
persyaratan sebagai berikut:
a.
Surat
keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
b. Kutipan akta kelahiran atau
surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala
desa/lurah atau nama lainnya;
c.
Persetujuan
kedua calon mempelai;
d. Surat keterangan tentang orang tua
(ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
e.
Izin
tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;
f.
Izin dari
pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e
di atas tidak ada;
g. Dispensasi dari pengadilan bagi
calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum
mencapai umur 16 tahun;
h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya
jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
i.
Putusan
pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
j.
kutipan
buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
k. Akta kematian atau surat keterangan
kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi
janda/duda;
l.
Izin untuk
menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.
Setelah pernikahan yang dilaksanakan
sesuai dengan syarat dan rukun agama, kemudian dicatat didaftarkan didepartemen
agama. Maka segala akibat hukum yang ditimbulkan akandilindungi oleh hukum,
baik dari segi hart benda, warisan dan anak. Dalam hal pernikahan yang telah
terdaftakan didepartemen agama suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi sesuai perjanjian kawin. Kemudian akan terikat hak dan kewajiban
terhadap anak yang lahir dari perkawianan tersebut.
BAB III
Kesimpulan
Dari beberapa uraian tentang
pernikahan diatas maka dapat ditarik kesimpulan antara lain;
1) Bahwa pernikahan merupakan amal
ibadah bagi ummat islam yang diatas dengan syarat dan rukun secara konkrit yang
wajib dipenuhi oleh wali, saksi, mempelai Pria dan memplei wanita yang akan
melaksanakan pernihan.
2) Bahwa pernikahan yang dilaksanakan
dibawah tangan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan dalam islam syah dan
diakui oleh undang-undang , kemudia untuk melindungi seluruh akibat hukum yang
timbulkan oleh pernikahan maka wajib dilakukan pencatatan didepartemen agama.
3) Bahwa bagi yang belum mencatatkan
pernikahan yang dilaksanakan dibawah tangan dengan memenuhi syarat dan rukun islam
di Departemen agama dapat merugikan pihak-pihak yang mengikatkan diri pada
pernikahan tersebut dan akan berdampak pada status anak dan harta benda yang
dihasilkan selam pernikahan
Demikianlah isi makalah ini, penulis
sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kejanggalan dalam penulisan
makalah ini.Untuk penulis sangat mengharapkan saran dan kritik teman-teman
dalam upaya meningkatkan dan memperbaiki kemapuan menulis makalah dalam
tugas-tugas makalah selanjutnya.
Atas
kejanggalan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan
mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada dosen Hukum islam dan teman-teman.
Mudang-mudahan penulis dapat meperbaikinya pada tugas-tugas makalh
selanjutnya.Atas bingbingan, perhatian dan dukungan dosen hukum Islam penulis
mengucapkan terimakasi.
Daftar Pustaka
Lihat buku
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, cet.1, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), halaman.12-18.
Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, 1977, hal 10
Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal 23
R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia,
Surabaya Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hal 36
[1]Lihat buku Slamet Abidin dan
Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
halaman. 12-18.
[2].Ibid
[3]Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, 1977,
hal 10
[4].
Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal 23
[5].R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia,
Surabaya Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hal 36
0 Response to "Makalah Pernikahan di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam dan UUD"
Posting Komentar