BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada
sistem hukum, ada masyarakat ada norma hukum (ubi societas ibi ius). Hal
tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata hukum harus mengacu pada
penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat manusia. Hukum berupaya
menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan atau hasrat individu yang
egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik.
Kehadiran hukum justru mau menegakkan keseimbangan
perlakuan antara hak perorangan dan hak bersama. Oleh karena itu, secara hakiki
hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak hukum (hakim, jaksa,
Notaris, Advokat, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga
para penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga
profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh
karena mulia dan terhormat, profesional hukum sudah semestinya merasakan
profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus panggilan hidupnya untuk melayani
sesama di bidang hukum. Akan tetapi, ironisnya para profesi hukum kurang
memiliki kesadaran dan kepedulian sosial. Hal ini dapat dilihat para pakar
hukum menjadi orang-orang sewaan yang dibayar mahal oleh kliennya, pelayanan
hanya diberikan kepada orang-orang yang berdiut saja.
B. Rumusan Masalah
B. Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas kita dapat merumuskan beberapa pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Samapi dimana batas kewenangan Notaris ?
2. Sampai dimana batas kewenangan Advokat ?
1. Samapi dimana batas kewenangan Notaris ?
2. Sampai dimana batas kewenangan Advokat ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Batas Kewengan Notaris
Notaris Sebagai
Pejabat Yang Membuat Akta Notaris Setiap masyarakat membutuhkan seseorang
(figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya yang
tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan sebagai alat
bukti yang kuat. Seorang ahli yang tidak memihak dan penyuluhan hukum yang
tidak ada cacatnya (onreukbaar/unimpeachable), yang tutup mulut dalam membuat
suatu perjanjian yang dapat melindungi di hari-hari mendatang. Hal ini berbeda
dengan peran dari seorang advokat, dimana profesi advokat lebih menekankan pada
pembelaan hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, sedangkan profesi
Notaris harus berperan untuk mencegah sedini mungkin kesulitan yang terjadi
dimasa akan datang.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN) menyatakan bahwa yang disebut sebagai Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris adalah pejabat
umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai suatu
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum
atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan
dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Notaris wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang
dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari
akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. Pasal 1868 KUHPerdata
menyebutkan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuat. Maka jelas sudah bahwa salah satu tugas
dan tanggung jawab Notaris adalah membuat akta otentik, baik yang ditentukan
peraturan perundang-undangan maupun oleh keinginan orang tertentu dan badan
hukum yang memerlukannya. Profesi Notaris adalah profesi semi publik. Jabatan
Notaris adalah jabatan publik namun lingkup kerja mereka berada dalam
konstruksi hukum privat. Sama seperti advokat, Notaris adalah penyedia jasa
hukum yang bekerja untuk kepentingan klien. Dalam konteks ini, hierarki
birokratis tidak mendukung pekerjaan-pekerjaan mereka. Profesi ini memang
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun aturan hukum positif ini juga
merupakan profesi terbuka, dalam arti setiap orang bisa bertahan, atau keluar
dari profesi tersebut setiap saat. Meskipun bukan profesi yang high grid,
profesi Notaris adalah jenis profesi yang high group.
Kecenderungan tersebut tampak lebih jelas dari keberadaan
peraturan perundang-undang yang makin memeberi peran pada asosiasi-asosiasi
profesi. Peran Notaris tidak sekedar pada pembinaan anggota profesi, melainkan
juga sampai pada penetapan standar kualifikasi profesi dan pemberian
rekomendasi izin atau larangan praktik. Menurut Dr.
Habib Adjie, S.H., M.Hum. Notaris merupakan suatu
jabatan publik yang mempunyai karakteristik:
1.
Sebagai jabatan, artinya UUJN
merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, sehingga UUJN
merupakan satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan
Notaris di Indonesia.
2.
Notaris mempunyai kewenangan
tertentu, artinya setiap wewenang yang diberikan harus dilandasi aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Wewenang tersebut mencakup dalam
pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyebutkan antara lain membuat akta bukan membuat
surat, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau membuat
surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW).
3.
Diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah, artinya Notaris dalam melakukan tugasnya diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Hukum dan HAM. Walaupun Notaris secara administratif diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinatif
(bawahan) dari pemerintah. Akan tetapi, Notaris dalam menjalankan tugasnya
harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun (impartial), tidak
tergantung kepada siapapun (independent).
4.
Tidak menerima gaji atau pensiun dari
yang mengangkatnya
5.
Akuntabilitas atas pekerjaannya
kepada masyarakat.
Dalam membuat akta, Notaris membuat
dengan bagian-bagian yang telah ditentukan dalam UUJN, antara lain:
1.
Awal akta atau kepala akta memuat :
a.
Judul akta;
b.
Nomor akta;
c.
Jam, hari, tanggal, bulan, dan
tahun; dan
d.
Nama lengkap dan tempat kedudukan
Notaris.
2.
Badan akta memuat:
a.
Nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b.
Keterangan mengenai kedudukan
bertindak penghadap;
c.
Isi akta yang merupakan kehendak dan
keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d.
Nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap
saksi pengenal.
3.
Akhir atau penutup akta memuat:
a.
Uraian tentang pembacaan akta;
b.
Uraian tentang penandatanganan dan
tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c.
Nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
akta; dan
d.
Uraian tentang tidak adanya
perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya
perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3
(tiga) unsur ensensial agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik,
yaitu:
1.
Di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang.
2.
Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat
Umum.
3.
Akta yang dibuat oleh atau di
hadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu
dibuat.
Terkait dengan hal diatas, akta
otentik yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan alat bukti terkuat dan penuh
mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan
masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan
kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat
dihindari terjadinya sengketa. Dengan perkataan lain, akta otentik yang dibuat
oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sepanjang tidak dibantah
kebenarannya oleh siapa pun, kecuali bantahan terhadap akta tersebut dapat
dibuktikan sebaliknya. Dalam artian bahwa akta yang dibuat oleh Notaris terseut
mengalami kebohongan atau cacat, sehingga akta tersebut dapat dinyatakan oleh
hakim sebgai akta yang cacat secara hukum begitu pentingnya keterangan yang
termuat dalam akta tersebut sehingga penulisannya harus jelas dan tegas. Hal
ini sesuai ketentuan dalam Pasal 42 UUJN dinyatakan bahwa akta Notaris
dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus
dan tidak menggunakan singkatan.
Oleh karena itu, ruang dan sela
kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali
untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, semua bilangan untuk menentukan banyaknya
atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, seperti penyebutan tanggal,
bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka.
Dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 42 UUJN diatas, akta Notaris
sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, apabila dalam hal
penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib
menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta
tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi. Namun
demikian, akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan
saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang
menentukan lain. Demikian juga, dalam hal akta dibuat bukan dalam bahasa
Indonesia, maka Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Sehubungan dengan ketentuan dalam
Pasal 43 UUJN diatas, setelah Notaris selesai membacakan isi akta yang
dibuatnya, maka akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan
Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangan dengan menyebutkan alasannya. Alasan tersebut harus dinyatakan secara
tegas dalam akta. Kemudian akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3)
UUJN ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi dan penerjemah resmi. Dengan
demikian, maka pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan
dinyatakan secara tegas pada akhir akta. Sementara itu, dalam Pasal 45 UUJN
dinyatakan bahwa dalam hal penghadap mempunyai kepentingan hanya pada bagian
tertentu dari akta, hanya bagian akta tertentu tersebut yang dibacakan atau
dijelaskan, penghadap membubuhkan tanda paraf dan tanda tangan pada bagian
tersebut. Notaris dalam membuat akta otentik berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat akta tidak mengalami cacat atau kesalahan. Namun demikian, sebagai
manusia pasti akan terjadi kesalahan dalam akta tersebut. Menurut Supriadi
apabila Notaris melakukan kesalahan ini merupakan hal yang manusiawi. Selain
itu, kalau terjadi penambahan atau pencoretan terhadap akta tersebut, maka akan
mengalami masalah. Oleh karena itu, dalam Pasal 48 UUJN dinyatakan bahwa isi akta
tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan,
pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan orang lain. Perubahan atas
akta berupa penambahan, penggatian, atau pencoretan dalam akta hanya sah
apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh
penghadap saksi, dan Notaris. Dalam kaitannya, maka dalam Pasal 49 UUJN
dinyatakan bahwa setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri atas. Apabila
suatu perubahan dibuat pada akhir kata, sebelum penutup akta, dengan menunjuk
bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembah tambahan. Oleh karena itu,
perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan
tersebut batal.
Dalam kaitannya dengan pecoretan
terhadap akta Notaris tersebut, maka dalam Pasal 50 UUJN diatur bahwa apabila
dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut
dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang
tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan
pada sisi akta. Pencoretan dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda
pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Oleh karena itu, apabila
terjadi perubahan lain terhadap perubahan, maka perubahan itu dilakukan pada
sisi akta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 49 UUJN. Dengan demikian, pada
penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan. Di
samping itu, dalam Pasal 51 UUJN diatur mengenai kewenangan Notaris membetulkan
kesalahan tulis pada suatu akta. Adapun bunyi ketentuan dalam Pasal 51 UUJN
dinyatakan bahwa Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau
kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
Oleh karena itu, pembetulan dapat
dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal
tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita
acara pembetulan. Setidaknya dalam melaksanakan tugasnya Notaris memiliki asas
dasar yang dipegang dalam menilai suatu akta yaitu asas praduga sah atau lebih
dikenal dengan nama presumptio iustae causa, artinya akta yang dibuat oleh
Notaris harus dianggap berlaku secara sah sampai ada phak yang menyatakan akta
tersebut tidak sah. Selain itu, Notaris dalam membuat akta tidak menyelidiki
kebenaran surat-surat yang diajukan oleh pihak yang membuat akta.
Hal ini dimaksudkan bahwa Notaris
sebagai pelayan masyarakat dapat bertindak dengan cepat dan tepat, serta yang
menyatakan sah ataunya tidaknya suatu surat apabila terjadi pemalsuan bukan
kewenangan Notaris, sehingga Notaris hanya memeriksa kelengkapan adminsitratif
untuk membuat suatu akta.
Kedudukan kode etik bagi Notaris
sangatlah penting, bukan hanya karena Notaris merupakan suatu profesi sehingga
perlu diatur dengan suatu kode etik, melainkan juga karena sifat dan hakikat
dari pekerjaan Notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi, sehingga dapat
menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban seorang
klien yang menggunakan jasa Notaris tersebut. Oleh karena itu, agar tidak
terjadi ketidakadilan sebagai akibat dari pemberian status harta benda, hak,
dan kewajiban yang tidak sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip hukum dan
keadilan, sehingga dapat mengacaukan ketertiban umum dan juga mengacaukan
hak-hak pribadi dari masyarakat pencari keadilan, maka bagi dunia Notaris
sangat diperlukan juga suatu kode etik profesi yang baik dan modern.
Menurut Ismail Saleh, Notaris perlu
memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Mempunyai integritas moral yang
mantap;
2.
Harus jujur terhadap klien maupun
diri sendiri (kejujuran intelektual);
3.
Sadar akan batas-batas
kewenangannya;
4.
Tidak semata-mata berdasarkan uang.
Lebih jauh Ismail Saleh mengatakan
bahwa 4 (empat) pokok yang harus diperhatikan para Notaris adalah sebagai
berikut:
1.
Dalam menjalankan tugas profesinya,
seorang Notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini,
segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya.
Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang
bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.
2.
Seorang Notaris harus jujur, tidak
hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahui akan
batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekedar untuk menyenangkan
kliennya, atau agar klien tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan
suatu ukuran tersendiri tentang kejujuran intelektualitas seorang Notaris.
3.
Seorang Notaris harus menyadari akan
batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa
yang tidak boleh dilakukan. Apabila ketentuan yang dilarang telah dilanggar
maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya otentiknya.
4.
Sekalipun keahlian seseorang dapat
dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam
melaksanakan tugas profesnya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan
uang. Seorang Notaris yang berpegang pada Pancasila harus memiliki rasa
keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata
hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tetapi
mengabaikan rasa keadilan.
Dari pendapat diatas, benarlah apa yang dikatakan oleh
Paul F. Camenisch bahwa profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral)
yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Kode etik ini akan membentuk suatu
kepercayaan dalam masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap
klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin dan tidak akan
dipermainkan oleh profesi tersebut. Kode etik juga penting sebagai sarana
kontrol sosial. Kode etik memberikan kriteria bagi para calon anggota kelompok
profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap
prinsip profesional yang telah digariskan. Selain itu, kode etik profesi
penting untuk mencegah pengawasan ataupun campur tangan yang dilakukan
pemerintah atau oleh masyarakat. Lebih lanjut kode etik juga memegang peranan
yang sangat penting dalam pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi untuk
sedapat mungkin mencegah kesalahpahaman dan konflik.
B. Batas
Kewenangan Advokat
Kewenangan
Advokat Di sisi lain aparat penegak hukum hakim, jaksa, polisi dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum diberikan
kewenangan tetapi Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan
kewenangan. Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan
kepada advokat. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan
kesejajaran diantara aparat penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi
tafsir diantara aparat penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri
terkait dengan kewenangan.Sementara UU No. 18/2003 tentang Advokat tidak
mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
sebagai aparat penegak hukum.
Dengan
demikian maka terjadi kekosongan norma hukum terkait dengan kewenangan Advokat
tersebut. Perlu diketahui bahwa profesi advokat adalah merupakan organ negara
yang menjalankan fungsi negara. Dengan demikian maka profesi Advokat sama
dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai organ negara yang menjalankan
fungsi negara. Bedanya adalah kalau Advokat adalah lembaga privat yang
berfungisi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman adalah lembaga
publik. Jika Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan
dalam statusnya sebagai aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan
aparat penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran tersebut akan tercipta
keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih baik.
Advokat
adalah merupakan profesi yang terhormat (officium nobille), selain sebagai
profesi terhormat Advokat juga sebagai aparat penegak hukum dimana kedudukannya
sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, dan hakim
dalam menjunjung tinggi supremasi hukum. Oleh karena itu satu sama lainnya
harus saling menghargai dan saling mengoreksi antara teman sejawat dan juga
antara penegak hukum lainnya. Profesi advokat diperlukan dalam hubungannya
dengan proses penegakan hukum, termasuk ikut andil dalam menjamin hak seseorang
yang perlu diperhatikan dan agar tidak diabaikan atau menegakkan asas hukum
praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)”. Sehingga seseorang yang
dituntut pidana, digugat secara perdata dan digugat di peradilan tata usaha
negara berhak dan dapat didampingi Advokat agar kepentingannya dapat dibela
secara yuridis dengan memperhatikan hak-hak asasinya.
Kewenagan
Advokat dari Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan yudisial
ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Sedangkan hakim, jaksa, dan
polisi ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini
kedudukan, fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga
keseimbangan diantara kepentingan negara dan masyarakat. Ada dua fungsi Advokat
terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian. Yaitu pertama kepentingan,
mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan peran advokat penting bagi klien
yang diwakilinya. Kedua, membantu klien, seseorang Advokat mempertahankan
legitimasi sistem peradilan dan fungsi Advokat. Selain kedua fungsi Advokat
tersebut yang tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana Advokat dapat memberikan
pencerahan di bidang hukum di masyarakat. Pencerahan tersebut bisa dilakukan
dengan cara memberikan penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan,
konsultasi hukum kepada masyarakat baik melalui media cetak, elektronik maupun
secara langsung. Secara sosiologis keberadaan Advokat di tengah-tengah masyarakat
seperti buah simalakama.
Fakta yang
tidak terbantahkan bahwa keberadaan Advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum, tetapi ada juga sebagian
masyarakat menilai bahwa keberadaan Advokat dalam sistem penegakan hukum tidak
diperlukan. Penilaian negatif ini tidak terlepas dari sepak terjang dari
Advokat sendiri yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
aparat penegak hukum tidak sesuai dengan harapan. Untuk menunjang eksistensi
Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum,
maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan
Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim,
Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap
advokat dalam menjalankan profesinya. Dalam praktik seringkali keberadaan
Advokat dalam menjalankan profesinya seringkali dinigasikan (diabaikan) oleh
aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan kedudukan advokat “tidak sejajar” dengan
aparat penegak hukum yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Notaris dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan-perbuatan hukum yang
akan timbul dikemudian hari dan bahkan tanggung jawab moril sebagai
profesional, kalau merugikan pihak lain, Notaris harus dapat mempertangg0ung
jawabkan pekerjaannya di muka hukum secara perdata dan pidana.
Untuk menunjang eksistensi Advokat
dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan
kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan Advokat tersebut
diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat
memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan
profesinya.
B.
Saran Berdasarkan pembahasan yang
telah kami sampaikan, penulis memberikan saran dan rekomendasi, agar:
1.
Memberikan pelatihan terhadap
Notaris secara berkala agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal
dalam pembuatan akta-akta.
2.
Meberikan batasan yang tegas bagi
jumlah Notaris berada di suatu wilayah, agar teratur.
3.
Memberikan sanksi yang tegas kepada
para Advokat yang melanggar aturan hukum dalam menjalankan profesinya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.surabayapagi.com/index.php?
http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/06/tanggung-jawab-profesi-notaris-dalam.htm
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, LN Nomor 117 Tahun 2004, TLN Nomor 4432.
Fuady, Munir. S.H., M.H., LL.M., Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus : Profesi Mulia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005).
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 145, lihat juga Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975).
http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/06/tanggung-jawab-profesi-notaris-dalam.htm
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, LN Nomor 117 Tahun 2004, TLN Nomor 4432.
Fuady, Munir. S.H., M.H., LL.M., Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus : Profesi Mulia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005).
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 145, lihat juga Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975).
0 Response to "Makalah Profesi dan Batas Kewenangan Profesi Hukum"
Posting Komentar