Makalah Tentang Pinangan

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu sunnah yang diperintahkan oleh Nabi kita Muhammad saw., sebagaimana disebutkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh muttafaqun ‘alaih yang berasal dari Abdullah Ibn Mas’ud:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه أغض للبصر وأحصن للفرج فمن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء
“Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat”.
Demikianlah, perkawinan itu diperintahkan bagi mereka yang telah memiliki kemampuan, yang hikmahnya adalah menghindarkan diri dari maksiat dan menjaga kehormatan diri.
Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekadar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang yang akan melaksanakan perkawinan perlu mempersiapkan beberapa hal merupakan proses menuju perkawinan. Di antara persiapan itu adalah memilih pasangan yang tepat berdasarkan ketentuan agama, melakukan khitbah, dan mempersiapkan mahar bagi laki-laki untuk diberikan kepada perempuan yang dinikahinya. Selengkapnya akan dijelaskan dalam makalah ini.

B.     Perumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas untuk membatasi pembahasannya maka yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah tentang Konsep Peminangan (Khitbah) Pada Masa Rosulallah Dikolerasikan Dengan Sekarang Yang akan diuraikan dengan beberapa pertanyaan diantaranya:
a.    Apa pengertian Pinangan?
b.    Bagaimana Peminangan di indonesia?
c.    Apa Dasar Hukum Meminang?
d.   Apa Syarat Pinangan?
e.    Apa Hikmah di Syareatkannya pinangan?
C.    Tujuan Makalah
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memaparkan bahasan tentang konsep Peminangan (khitbah) Pada Masa Rasulallah Dikolerasikan Dengan Sekarang  , yang mencakup pengertian, perkembangannya di indonesia,hukum,syarat, hikmahnya. selain itu diharapkan makalah ini dapat memberikan pemahaman dan memperluas wawasan kepada mahasiswa mengenai pembahasan kali ini dalam suatu pernikahan.








BAB II
PEMINANGAN SEBAGAI PENDAHULU PERNIKAHAN (KHITBAH) PADA MASA ROSULALLAH
A.    PEMINANGAN DALAM ISLAM
Dalam keluarga, istri merupakan tempat penenang bgi suaminya, sekutu hidupnya, pengatur rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tempat tambatan hatinya. Begitu besar peran seorang istri dalam keluarga, sehingga Islam selalu memeperhatikan hubungan antara seorang pria dengan wanita, baik sebelum maupun sesudah terjadinya akad nikah.
Untuk mengenl karakter dan pribadi seorang wanita, sebelum menjadi istri, maka Islam memberikan jalan dengan cara meminang.
1.      Pengertian Meminang
Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepda seorang prempuan untuk menjadikan istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Ada pun pengertian lain pinangan biasa disebut  khitbah (الخطبة) adalah bahasa arab standar yang terpakai pergaulan sehari-hari,Terdapat dalam firman Allah dan terdapat pula dalam ucapan Nabi serta di syari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksananya di adakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat Dan di laksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.Jadi khitbah artinya adalah peminang,yaitu melamar untuk menyatakan permitaan atau ajakan menginggat perjodohan,Dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan calon istrinya.Hukum meminang adalah boleh (mubah)adapun dalil yang memperbolehkannaya adalah.
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur žw £`èdrßÏã#uqè? #ŽÅ  HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ  
Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[1]dengan sindiran[2] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[3]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
(QS. Al-Baqoroh: 235)


Meminang termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan pernikahan, agar kedua pihak saling mengenal sehingga pelaksanaan perikahan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan nilai yang jelas.[4]
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sbb:
·         Tidak dalam pinangan orang lain.
·         Pada waktu ipinang tidak ada pnghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
·         Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
·         Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak bain, hendaklah meminang denagn cara sirri.[5]
Rosulallah bersabda :
yang Artinya:“ Seseorang mukmin adalah saudara mukmin lainnya oleh Karena itu,Ia tidak boleh membeli atau menawar sesuatu yang sudah di beli atau sudah di tawar saudaranya,Dan ia tidak boleh meminang seseorang yang telah di pinang saudaranya.Kecuali ia telah melepaskanya”.
(muttafaqqun alaih)

2.      Melihat Pinangan
Demi kebaikan dalam berumah tangga, kesejahteraan dan kesenangannya, seyogianya laki-lakinya mlihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah pemingangan itu perlu diteruskan atau diurungkan.
Dalam agama islam, melihat peremuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan tertentu.
Rosuluh bersabda:
اذاخطب احدكم المرءة فان استطاع ان ينظر منها الي مل يد عوه الي نكاحهافليفعل (رواه احمد و ابودوددود)
Artinya:
“Jika seseorang di antara kamu meminang seserang perempuan,Sekiranya dapat melihat sesuatu tang mendorong semangat untuk mengawininya,Hendaklah ia melakukan nya”.
(H.R Ahmad dan abu dawud)
Dalam hadis lain,
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
           Artinya: “Memandanglah kepadanya, karena yang demikian itu akan lebih melanggengkan perkawinan keduanya.”
Sabda Rasulullah SAW.
Yang Artinya: “Dari Mugirah bin syu’bah, ia pernah meminag seorang perempuan lalu rasulallah berkata kepadanya,”Sudahkah kau lihat dia?” ia menjawab, “Belum.” Sabda Nabi, “Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup berama lebih langgeng.”
(HR. Nsa’i, ibn Majah, & Tirmizi)[6]
Banyak hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hokum wajib.
Ditetapkannya hukum mubah ini meskipun terdapat dalam hadis kata suruhan disebabkan oleh dua hal, yaitu:
  1. Pertama, ditemukan dalam beberapa versi hadis Nabi menggunakan kata “la junaha” atau kata “la ba’sa” yang keduanya tidak mengandung arti selain  dari mubah.
  2. Kedua, meskipun terdapat lafadz amr dalam beberapa versi hadis Nabi, namun perintah tersebut dating sesudah sebelum berlakunya larangan secara umum untuk memandang perempuan. Suruhan setelah datangnya larangan menunjukkan yang disuruh itu hukumnya hanyalah mubah.
1.1  Batas Yang Boleh Dilihat
Meskipun hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Jumhur ulama’ menetapkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah muka dan telapak tangan. Ini adalah batas yang umum aurat seorang perempuan. Yang menjadi dasar bolehnya melihat dua bagian badan itu adalah hadis Nabi :[7]

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ كَعْبٍ الْأَنْطَاكِيُّ وَمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ قَالَ يَعْقُوبُ ابْنُ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Dari Aisyah ra,……Asma’ binti Abi Bakar masuk ke rumah Nabi saw. Sedangkan ia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata : “Hai Asma’ bila seorang perempuan telah haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini” Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tangannya……
Bagian badan yang boleh dilihat, menurut jumhur ulama adalah bagian muka dan telapak tangan. Dengan melihat muka, maka dapat ditentukan cantik atau tiaknya perempuan yang dipinang, dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui sibur atau tidaknya badan perempuan itu.Sebagian fuqoha, seperti Abu Dawud mengatakan bahwa seluruh badan perempuan itu boleh dilihat kecuali kemluannya. Sementara itu ada juga fuquha yang sama sekali melarangnya. [8]
Perbedan pendapat ini disebabkan adanya suruhan untuk melihat perempuan secara mutlak, juga terdapat larangan secara mutlak pula. Ada juga suruhan yang bersifat terbatas, yakni hanya muka dan kedua telapak tangan, berdasarkan pendapat kebanyakan ulama berkenaan dengan firman Allah SWT:
Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB (....... ÇÌÊÈ  
Artinya:
..........dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.....” [9]
(QS.An-Nuur: 31)
Berdasarkan salah satu riwayat dari Abu Razaq dan said bin Mansur, bahwa umar pernah meminang putri ali yang benam ummu kulsum. Ketika itu Ali menjawab bahwa, putrinya maih kecil. Kemudian ali berkata lagi, “nanti akan saya suruh  Umu kulsum itu kepada Engkau. Bila Engkau suka Engkau dapat menjadikan sebagai calon istri Engkau.”
Setelah Ummu kulsum datang kepada umar, lalu umar membuka pahanya. Serentak Ummu Kulsum berkata, “seandainya tuan bukan kholifah, tentu sudah saya colok kedua mata tuan.”
3.      Larangan Menyendiri dengan Tunangan
Haram menyendiri dengan tunangan, karena bukan mahramnya. Agama tidak memperbolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat saja, sedangkan perbuatan-perbuatan yang lainnya tetap haram. Akan tetapi apabila ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, dibolehkan.
Dari Jabir, Rosulullah saw bersabda :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدْخُلْ الْحَمَّامَ إِلَّا بِمِئْزَرٍ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَقْعُدْ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
          Artinya“……barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah sekali-kali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab yang ketiga adalah setan”

4.      Jeda waktu antara khitbah dan menikah
Secara dalil nash, kami belum menemukan dalil yang sharih dan shahih tentang keharusan adanya jarak waktu tertentu antara khitbah dan akad. Apakah harus sebulan, dua bulan, tiga bulan atau berapa lama waktu. Kalau pun jarak waktu itu dibutuhkan, barangkali sekedar untuk memberikan beberapa persiapan yang bersifat teknis. Sebab biasanya, setiap akad nikah yang akan digelar memang membutuhkan persiapan-persiapan teknis yang mutlak. Sebagian orang ada yang butuh waktu untuk mengumpulkan dana, atau untuk mencari tempat yang akan disewa, atau keperluan-keperluan lain yang manusiawi. Sehingga, jarak waktu ini dikembalikan kepada al-'urf (kebiasaan dan kepantasan) serta tuntutan hal-hal yang bersifat teknis semata.[10]
Dengan demikian, seandainya kedua belah pihak telah siap segala sesuatunya, atau mungkin juga tidak terlalu merepotkan urusan teknis, akad nikah bisa digelar saat itu juga berbarengan dengan khitbah. Maksudnya, sesaat setelah khitbah diterima, langsung saja digelar akad nikah. Sehingga tidak lagi memboroskan waktu, biaya, dan kebutuhan lain. Apalagi taaruf antara kedua mempelai sudah menghasilkan kesaling-cocokan. Metode seperti ini kalau memang ingin dilakukan, tentu tidak ada larangan, lantaran memang tidak ada nash yang melarangnya. Secara umum, semakin cepat akad nikah dilakukan akan semakin baik. Karena niat baik itu memang biasanya harus dipercepat. Selain juga untuk memberikan kesempatan kepada kedua calon pengantin untuk dapat segera menunaikan hajat mereka. Sebab dalam beberapa kasus, terkadang karena terlalu lama jarak antara khitbah dengan akad nikah, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, seringnya terjadi khalwat, pacaran -naudzubillah- sampai ke tingkat perzinaan. Oleh sebab itu, untuk menghindarinya, maka sebaiknya jarak waktu antara khitbah dan akad tidak terlalu lama. Cukup sekedar bisa mempertimbangkan masalah teknis saja.
5.       Menikahi Wanita Tunangan orang Lain
Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.

           Keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a)      Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b)      Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.
c)      Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi peminangan itu.[11]
Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’ diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Tentang hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat ulama’-). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’ Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.
6.      Pembatalan Tali Pertunangan
Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar.
            Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang.[12]
Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam. Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah  (dalam masa tunangan) menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
            Sedangkan mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a. Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas           pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b. Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain antara keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.
7. Perempuan Melamar Laki-laki[13]
Biasanya prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita, inilah adat di Negara kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab mayoritas wanita dihiasi perasaan malu yang tinggi dan enggan mengutarakan isi hatinya, justru karena tabiat inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan ingin segera mempersuntingnya. Namun juga sering terjadi pihak keluarga mempelai wanita yang memulai jalinan tali pertunangan dan bahkan banyak wanita yang berani mengungkapkan cintanya pada sang pria.
Memang ini bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun budaya ini adalah warisan nenek moyang kita, karena masalah ini sudah berjalan di zaman Nabiyullah Suaib a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya.
B.     PEMINANGAN DI INDONESIA
Akhir-akhir ini, proses khitbah (peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu. Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan “ta’aruf” (saling kenal-mengenal).[14]
Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman, uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akibat pergaulan bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pra nikah, aborsi, bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[15]
Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32:[16]
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra’: 32)
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:[17]
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن إكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S.Al-Hujurat: 13)
Dengan demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita (pacaran), di mana tahapan umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di antara mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan jalan bersilaturrahmi ke orang tua keduanya.[18]
Kedua, proses khitbah, yakni melamar atau meminang. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum pacaran dalam artian ta’aruf adalah diperbolehkan, dengan berdasarkan penjelasan di atas.

C.     DASAR HUKUM MEMINANG

1.      Dalam Hukum Di Indonsia

Indonesia pun mengatur tentang peminangan yaitu yang diatur dalam KHI pasal 11-13 sebagai berikut:[19]

Pasal 11

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal 12

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.

(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13[20]

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.

(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. [21]

Penjelasan 
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13. keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
            Dalam keempatan kali ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pinangan atau dalam bahasa lain (baca: Arab) adalah khitbah (merujuk pada KHI 1991 Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah ini - sering - dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada hukum-hukum Islam yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini diulas beberapa hal yang berhubungan dengan khitbah, mohon maaf atas segala kekurangan.
2.      Dalam Hukum Islam
Memang terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang mewajibkannya.
            Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.[22]

D.    SYARAT-SYARAT PINANGAN (KHITBAH)
            Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini
a)      Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b)      Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :
a)      Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b)      Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.

Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran. Kebolehan meminangnya (dengan sindiran) dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat : 235.[23]
            وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ    - البقرة : 235-
Artinya : "Dan  tidak  ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu  dengan sindiran   atau  kamu  menyembunyikan  (keinginan  mengawini mereka) dalam  hatimu.  Allah  mengetahui  bahwa  kamu  akan menyebut-nyebut   mereka,  dalam  pada  itu  janganlah  kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar  mengucapkan  (kepada  mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam  (bertetap hati)  untuk  beraqad  nikah  sebelum  habis 'iddahnya." (Al Baqarah: 235)

Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.[24]
E.      HIKMAH DISYARIATKANNYA PEMINANGAN (KHITBAH)

           
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib,selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ هُوَ الْأَحْوَلُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ  أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Bahwa Nabi saw berkata kepada (dia) seseorang yang telah meminang seorang perempuan : Lihatlah dia karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”.

Dalam khitbah dianjurkan bagi lelaki untuk melihat perempuan (dalam batas yang diperbolehkan agama), bahkan sebelum menyatakan khitbah secara resmi. Dalam riwayat Mughirah bin Syu'bah ketika hendak melakukan khitbah kepada seorang perempuan, Rasulullah menasehatinya "Lihatlah dulu, itu lebih baik dan akan bisa mendatangkan rasa cinta di antara kalian".

















BAB III
PENUTUP

            Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.
            Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya sebagai berikut:
1)      Punya rencana kapan pernikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan   perkawinan terlalu lama.
2)      Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3)      Menikah dengan motivasi yang positif.
4)      Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5)      Status pendidikan dan penghasilan pasangan.

            Sekian, semoga makalah ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin.








DAFTAR PUSTAKA
Drs.Abidin,slamet. Drs H.aminnuddin.1999. Fiqh munakahat 1.Bandung.
Drs. Zuhri,Mohammad. 1980. Tarjemahan Tarikh Al-tasyri’ Al-islam (sejarah pembinaan hukum islam). Darul Ikhya. Semarang
Dr. Sopyan, yayan M,Ag . 2010. Tarikh Tasyri (Sejarah Pmbentukan Hukum Islam). Gramata Publishing. Depok.
Jawad, muhamma mughniyah. 2008. Fiqh Lima Mazhab. Lentera Anggora IKAPI.
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta
Kompilasi Hukum islam Di Indonesia.Bab III peminangan. Hal.,182-183
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press, 2010,



[1] Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[2] Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[3] Perkataan sindiran yang baik.
[4] Drs. Slamet abidin fiqh munkahat 1. 1999,.hlm.42
[5] Slamet iskandar, Drs.,Op-cit,hlm.45
[6] Drs. Slamet abidin fiqh munkahat 1. 1999,.hlm.42
[7] Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
[8]  Drs. Slamet abidin fiqh munkahat 1. 1999,.hlm.42
[9]  Maksud dari kalimat, “perhiasan yang biasa nampak darinya”adalah muka dan telapak tangan.
[10]  Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung

[11] Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
[12] Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta
[13] Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta
[14] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm. 21
[15] Ibid, hlm. 21-22
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid, hlm. 23
[19]  file:///F:/hukum-perkawinan-bab-iii-peminangan.html
[20] Kompilasi Hukum islam Di Indonesia.Bab III peminangan. Hal.,182-183
[21] file:///F:/hukum-perkawinan-bab-iii-peminangan.html
[22] Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I, WIPRESS
[23]  Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta
[24] Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta

Related Posts :

0 Response to "Makalah Tentang Pinangan"

Posting Komentar