BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan merupakan salah satu sunnah yang
diperintahkan oleh Nabi kita Muhammad saw., sebagaimana disebutkan dalam
sabdanya yang diriwayatkan oleh muttafaqun ‘alaih yang berasal dari Abdullah
Ibn Mas’ud:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه أغض للبصر وأحصن للفرج فمن
لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء
“Wahai para pemuda, siapa di antaramu
telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu
lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari
kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu
baginya akan mengekang syahwat”.
Demikianlah, perkawinan itu diperintahkan bagi mereka
yang telah memiliki kemampuan, yang hikmahnya adalah menghindarkan diri dari
maksiat dan menjaga kehormatan diri.
Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya
urusan perdata semata, bukan pula sekadar urusan keluarga dan masalah budaya,
tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk
memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai petunjuk Allah
dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan
ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang
yang akan melaksanakan perkawinan perlu mempersiapkan beberapa hal merupakan
proses menuju perkawinan. Di antara persiapan itu adalah memilih pasangan yang
tepat berdasarkan ketentuan agama, melakukan khitbah, dan mempersiapkan mahar
bagi laki-laki untuk diberikan kepada perempuan yang dinikahinya. Selengkapnya
akan dijelaskan dalam makalah ini.
B. Perumusan
Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas untuk
membatasi pembahasannya maka yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini
adalah tentang Konsep
Peminangan (Khitbah) Pada Masa Rosulallah
Dikolerasikan Dengan Sekarang Yang akan diuraikan dengan beberapa pertanyaan diantaranya:
a. Apa
pengertian Pinangan?
b. Bagaimana
Peminangan di indonesia?
c. Apa
Dasar Hukum Meminang?
d. Apa Syarat
Pinangan?
e. Apa
Hikmah di Syareatkannya pinangan?
C. Tujuan
Makalah
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk
memaparkan bahasan tentang konsep
Peminangan (khitbah) Pada Masa Rasulallah Dikolerasikan Dengan Sekarang , yang mencakup pengertian, perkembangannya
di indonesia,hukum,syarat, hikmahnya. selain itu diharapkan makalah ini dapat
memberikan pemahaman dan memperluas wawasan kepada mahasiswa mengenai
pembahasan kali ini dalam suatu pernikahan.
BAB II
PEMINANGAN SEBAGAI PENDAHULU PERNIKAHAN (KHITBAH) PADA MASA ROSULALLAH
A. PEMINANGAN DALAM ISLAM
Dalam keluarga, istri merupakan tempat
penenang bgi suaminya, sekutu hidupnya, pengatur rumah tangganya, ibu dari
anak-anaknya, tempat tambatan hatinya. Begitu besar peran seorang istri dalam
keluarga, sehingga Islam selalu memeperhatikan hubungan antara seorang pria
dengan wanita, baik sebelum maupun sesudah terjadinya akad nikah.
Untuk mengenl karakter dan pribadi
seorang wanita, sebelum menjadi istri, maka Islam memberikan jalan dengan cara
meminang.
1. Pengertian Meminang
Meminang maksudnya seorang laki-laki
meminta kepda seorang prempuan untuk menjadikan istrinya dengan cara yang sudah
umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Ada pun pengertian lain pinangan biasa
disebut khitbah (الخطبة) adalah bahasa
arab standar yang terpakai pergaulan sehari-hari,Terdapat dalam firman Allah
dan terdapat pula dalam ucapan Nabi serta di syari’atkan dalam suatu perkawinan
yang waktu pelaksananya di adakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan
ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat Dan di laksanakan sesuai dengan
tradisi masyarakat setempat.Jadi khitbah artinya adalah peminang,yaitu melamar
untuk menyatakan permitaan atau ajakan menginggat perjodohan,Dari seorang
laki-laki dengan seorang perempuan calon istrinya.Hukum meminang adalah boleh
(mubah)adapun dalil yang memperbolehkannaya adalah.
Ÿwur yy$oYã_ öNä3ø‹n=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þ’Îû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õ‹tGy™ `Å3»s9ur žw £`èdr߉Ïã#uqè? #…ŽÅ HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ“÷ès? noy‰ø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þ’Îû öNä3Å¡àÿRr& çnrâ‘x‹÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# î‘qàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ
Artinya:
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[1]dengan
sindiran[2]
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[3].
dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun.”
(QS. Al-Baqoroh: 235)
Meminang termasuk usaha pendahuluan
sebelum dilakukan pernikahan, agar kedua pihak saling mengenal sehingga
pelaksanaan perikahan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan nilai yang
jelas.[4]
Adapun
perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sbb:
·
Tidak
dalam pinangan orang lain.
·
Pada
waktu ipinang tidak ada pnghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya
pernikahan.
·
Perempuan
itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
·
Apabila
perempuan dalam masa iddah karena talak bain, hendaklah meminang denagn cara
sirri.[5]
Rosulallah
bersabda :
yang
Artinya:“ Seseorang mukmin adalah saudara
mukmin lainnya oleh Karena itu,Ia tidak boleh membeli atau menawar sesuatu yang
sudah di beli atau sudah di tawar saudaranya,Dan ia tidak boleh meminang
seseorang yang telah di pinang saudaranya.Kecuali ia telah melepaskanya”.
(muttafaqqun alaih)
2. Melihat Pinangan
Demi kebaikan dalam berumah tangga, kesejahteraan
dan kesenangannya, seyogianya laki-lakinya mlihat dulu perempuan yang akan
dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah pemingangan itu perlu diteruskan
atau diurungkan.
Dalam agama islam, melihat peremuan yang
akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan tertentu.
Rosuluh
bersabda:
اذاخطب احدكم المرءة فان استطاع ان ينظر منها الي مل يد عوه الي نكاحهافليفعل (رواه احمد و ابودوددود)
Artinya:
اذاخطب احدكم المرءة فان استطاع ان ينظر منها الي مل يد عوه الي نكاحهافليفعل (رواه احمد و ابودوددود)
Artinya:
“Jika seseorang di
antara kamu meminang seserang perempuan,Sekiranya dapat melihat sesuatu tang
mendorong semangat untuk mengawininya,Hendaklah ia melakukan nya”.
(H.R Ahmad dan abu dawud)
Dalam hadis lain,
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Artinya:
“Memandanglah kepadanya, karena yang demikian itu akan lebih melanggengkan
perkawinan keduanya.”
Sabda
Rasulullah SAW.
Yang
Artinya: “Dari Mugirah bin syu’bah, ia
pernah meminag seorang perempuan lalu rasulallah berkata kepadanya,”Sudahkah
kau lihat dia?” ia menjawab, “Belum.” Sabda Nabi, “Lihatlah dia lebih dahulu
agar nantinya kamu bisa hidup berama lebih langgeng.”
(HR. Nsa’i, ibn Majah,
& Tirmizi)[6]
Banyak hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat
perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan
menggunakan ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak ditemukan secara
langsung ulama’ mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam literature ulama’
Dzahiri yang biasanya memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’
jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hokum
wajib.
Ditetapkannya hukum mubah ini meskipun terdapat dalam
hadis kata suruhan disebabkan oleh dua hal, yaitu:
- Pertama, ditemukan dalam beberapa versi hadis
Nabi menggunakan kata “la junaha” atau kata “la ba’sa” yang keduanya tidak
mengandung arti selain dari mubah.
- Kedua, meskipun terdapat lafadz amr dalam
beberapa versi hadis Nabi, namun perintah tersebut dating sesudah sebelum
berlakunya larangan secara umum untuk memandang perempuan. Suruhan setelah
datangnya larangan menunjukkan yang disuruh itu hukumnya hanyalah mubah.
1.1 Batas Yang Boleh Dilihat
Meskipun
hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada
batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama’.
Jumhur
ulama’ menetapkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah muka dan telapak tangan.
Ini adalah batas yang umum aurat seorang perempuan. Yang menjadi dasar bolehnya
melihat dua bagian badan itu adalah hadis Nabi :[7]
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بْنُ كَعْبٍ الْأَنْطَاكِيُّ وَمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ
قَالَا حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ
خَالِدٍ قَالَ يَعْقُوبُ ابْنُ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ
الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا
وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ
دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Dari Aisyah
ra,……Asma’ binti Abi Bakar masuk ke rumah Nabi saw. Sedangkan ia memakai
pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata : “Hai Asma’ bila
seorang perempuan telah haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini” Nabi
mengisyaratkan kepada muka dan telapak tangannya……
Bagian
badan yang boleh dilihat, menurut jumhur ulama adalah bagian muka dan telapak
tangan. Dengan melihat muka, maka dapat ditentukan cantik atau tiaknya
perempuan yang dipinang, dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui
sibur atau tidaknya badan perempuan itu.Sebagian fuqoha, seperti Abu Dawud
mengatakan bahwa seluruh badan perempuan itu boleh dilihat kecuali kemluannya.
Sementara itu ada juga fuquha yang sama sekali melarangnya. [8]
Perbedan
pendapat ini disebabkan adanya suruhan untuk melihat perempuan secara mutlak,
juga terdapat larangan secara mutlak pula. Ada juga suruhan yang bersifat
terbatas, yakni hanya muka dan kedua telapak tangan, berdasarkan pendapat
kebanyakan ulama berkenaan dengan firman Allah SWT:
Ÿwur šúïωö7ム£`ßgtFt^ƒÎ— žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB (....... ÇÌÊÈ
Artinya:
“..........dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya.....” [9]
(QS.An-Nuur:
31)
Berdasarkan salah satu riwayat dari Abu
Razaq dan said bin Mansur, bahwa umar pernah meminang putri ali yang benam ummu
kulsum. Ketika itu Ali menjawab bahwa, putrinya maih kecil. Kemudian ali
berkata lagi, “nanti akan saya suruh Umu
kulsum itu kepada Engkau. Bila Engkau suka Engkau dapat menjadikan sebagai
calon istri Engkau.”
Setelah Ummu kulsum datang kepada umar,
lalu umar membuka pahanya. Serentak Ummu Kulsum berkata, “seandainya tuan bukan
kholifah, tentu sudah saya colok kedua mata tuan.”
3.
Larangan
Menyendiri dengan Tunangan
Haram
menyendiri dengan tunangan, karena bukan mahramnya. Agama tidak memperbolehkan
melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat saja, sedangkan
perbuatan-perbuatan yang lainnya tetap haram. Akan tetapi apabila ditemani oleh
salah seorang mahramnya guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat,
dibolehkan.
Dari Jabir,
Rosulullah saw bersabda :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ
أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدْخُلْ
الْحَمَّامَ إِلَّا بِمِئْزَرٍ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَقْعُدْ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا
الْخَمْرُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا
يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ
ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
Artinya: “……barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka janganlah sekali-kali menyendiri dengan seorang
perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab yang ketiga adalah setan”
4. Jeda waktu antara khitbah
dan menikah
Secara dalil
nash, kami belum menemukan dalil yang sharih dan shahih tentang keharusan
adanya jarak waktu tertentu antara khitbah dan akad. Apakah harus sebulan, dua
bulan, tiga bulan atau berapa lama waktu. Kalau pun jarak waktu itu dibutuhkan,
barangkali sekedar untuk memberikan beberapa persiapan yang bersifat teknis.
Sebab biasanya, setiap akad nikah yang akan digelar memang membutuhkan
persiapan-persiapan teknis yang mutlak. Sebagian orang ada yang butuh waktu
untuk mengumpulkan dana, atau untuk mencari tempat yang akan disewa, atau
keperluan-keperluan lain yang manusiawi. Sehingga, jarak waktu ini dikembalikan
kepada al-'urf (kebiasaan dan kepantasan) serta tuntutan hal-hal yang bersifat
teknis semata.[10]
Dengan
demikian, seandainya kedua belah pihak telah siap segala sesuatunya, atau
mungkin juga tidak terlalu merepotkan urusan teknis, akad nikah bisa digelar
saat itu juga berbarengan dengan khitbah. Maksudnya, sesaat setelah khitbah
diterima, langsung saja digelar akad nikah. Sehingga tidak lagi memboroskan waktu,
biaya, dan kebutuhan lain. Apalagi taaruf antara kedua mempelai sudah
menghasilkan kesaling-cocokan. Metode seperti ini kalau memang ingin dilakukan,
tentu tidak ada larangan, lantaran memang tidak ada nash yang melarangnya.
Secara umum, semakin cepat akad nikah dilakukan akan semakin baik. Karena niat
baik itu memang biasanya harus dipercepat. Selain juga untuk memberikan
kesempatan kepada kedua calon pengantin untuk dapat segera menunaikan hajat
mereka. Sebab dalam beberapa kasus, terkadang karena terlalu lama jarak antara
khitbah dengan akad nikah, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya,
seringnya terjadi khalwat, pacaran -naudzubillah- sampai ke tingkat perzinaan.
Oleh sebab itu, untuk menghindarinya, maka sebaiknya jarak waktu antara khitbah
dan akad tidak terlalu lama. Cukup sekedar bisa mempertimbangkan masalah teknis
saja.
5.
Menikahi Wanita Tunangan orang Lain
Di atas
tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu
demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari
timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki
yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain,
sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.
Keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a)
Perempuan
tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara
jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b)
Perempuan tersebut
tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan
ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.
c)
Perempuan
itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi peminangan
itu.[11]
Perempuan
dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang.
Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas
ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’
diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan
perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak
haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Tentang
hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad
pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat
ulama’-). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah
pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’
Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan
pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung
hubungan kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak
dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya
maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.
6.
Pembatalan Tali Pertunangan
Memang
sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil
sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang
kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali
pertunangan hingga pudar.
Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang.[12]
Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang.[12]
Meskipun
Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah
janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan
yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya,
diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu
setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu
tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda
halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam.
Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan.
Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama
sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang
sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan
hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak
perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau
mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada
pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung tersebut?
Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan) menjadi
hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami membayar
maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
Sedangkan mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset
atau pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a. Sebagian
ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali
atas pemberiannya,
baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun
dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau
berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b. Madzhab
Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka
kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau
rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas
pemberiannya itu.
c. Berbeda
lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan
tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus mengembalikan
hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya masih utuh
ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan dari
ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain antara keduabelah
pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat piha-pihak bersangkutan
mengatakan lain.
7. Perempuan Melamar Laki-laki[13]
Biasanya
prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita, inilah adat di Negara
kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab mayoritas wanita dihiasi perasaan
malu yang tinggi dan enggan mengutarakan isi hatinya, justru karena tabiat
inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan ingin segera mempersuntingnya.
Namun juga sering terjadi pihak keluarga mempelai wanita yang memulai jalinan
tali pertunangan dan bahkan banyak wanita yang berani mengungkapkan cintanya
pada sang pria.
Memang ini
bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun budaya ini adalah warisan
nenek moyang kita, karena masalah ini sudah berjalan di zaman Nabiyullah Suaib
a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib
a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman
Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya
terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya.
B.
PEMINANGAN DI INDONESIA
Akhir-akhir ini, proses khitbah (peminangan) biasanya
diawali dengan adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai
teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk
menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan
sering dirangkai menjadi satu. Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian
lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan
biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan sebagai
proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan
“ta’aruf” (saling kenal-mengenal).[14]
Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan
pacaran masyarakat kita menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada
ikatan resmi, akibatnya bisa melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang
remaja menganggap perlu pacaran untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya,
melainkan sebagai pengalaman, uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu
terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran
yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media massa juga
menunjukkan bahwa akibat pergaulan bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan
hamil pra nikah, aborsi, bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir
dari hubungan mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[15]
Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan
dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang
untuk mendekati zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32:[16]
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang
buruk”. (Q.S. Al-Isra’: 32)
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk
bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan
bersuku-suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi
(berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
surat Al-Hujurat ayat 13:[17]
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن
إكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S.Al-Hujurat: 13)
Dengan demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan
dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita (pacaran), di mana tahapan
umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan.
Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal
kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama
kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang
dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di
antara mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling
mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan jalan bersilaturrahmi
ke orang tua keduanya.[18]
Kedua, proses khitbah, yakni melamar atau meminang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum pacaran dalam artian ta’aruf adalah
diperbolehkan, dengan berdasarkan penjelasan di atas.
C.
DASAR
HUKUM MEMINANG
1.
Dalam Hukum Di Indonsia
Indonesia pun mengatur
tentang peminangan yaitu
yang diatur dalam KHI pasal 11-13 sebagai berikut:[19]
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara
yang dapat dipercaya.
Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita
yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam
masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang
dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belaum ada
penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya
pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13[20]
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para
pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan
dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. [21]
Penjelasan
Dalam UU
Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin
disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan
perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.
keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh
madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam
kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di
lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak
diatur dalam KHI.
Dalam keempatan kali ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pinangan atau dalam bahasa lain (baca: Arab) adalah khitbah (merujuk
pada KHI 1991 Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan
khitbah ini - sering - dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia tanpa
mengacu kepada hukum-hukum Islam yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini
diulas beberapa hal yang berhubungan dengan khitbah, mohon maaf atas segala
kekurangan.
2. Dalam Hukum Islam
Memang
terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh
karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang
mewajibkannya.
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.[22]
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.[22]
D. SYARAT-SYARAT PINANGAN (KHITBAH)
Pertunangan diperbolehkan oleh agama
apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini
a)
Tidak adanya
penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram),
tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan
adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad
perkawinan.
b)
Tidak
berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan
Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan
orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits yang
senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika
tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak
mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah
dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut
apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
Adapun cara menyampaikan ucapan
peminangan terdapat dua cara :
a)
Menggunakan
ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya
berkeinginan untuk menikahimu”.
b)
Menggunakan
ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti
ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak
ada orang yang tidak senang kepadamu”.
Perempuan
yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh
dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran.
Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan
janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan
menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya
akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan
khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan
yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya
dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang
bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa
perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang
terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah
karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus
terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran. Kebolehan meminangnya
(dengan sindiran) dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat : 235.[23]
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ - البقرة : 235-
Artinya : "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu
dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan
janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang
baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya." (Al Baqarah:
235)
Perempuan
yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak
tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan
cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami.
Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas
suaminya.[24]
E.
HIKMAH DISYARIATKANNYA PEMINANGAN (KHITBAH)
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib,selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ هُوَ الْأَحْوَلُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Dari Al
Mughiroh bin Syu’bah, Bahwa Nabi saw berkata kepada (dia) seseorang yang
telah meminang seorang perempuan : Lihatlah dia karena yang demikian akan lebih
menguatkan ikatan perkawinan”.
Dalam
khitbah dianjurkan bagi lelaki untuk melihat perempuan (dalam batas yang
diperbolehkan agama), bahkan sebelum menyatakan khitbah secara resmi. Dalam
riwayat Mughirah bin Syu'bah ketika hendak melakukan khitbah kepada seorang
perempuan, Rasulullah menasehatinya "Lihatlah dulu, itu lebih baik dan
akan bisa mendatangkan rasa cinta di antara kalian".
BAB III
PENUTUP
Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.
Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya sebagai berikut:
1)
Punya
rencana kapan pernikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan
perkawinan terlalu lama.
2)
Sudah yakin
siap mengikatkan diri pada satu orang.
3)
Menikah
dengan motivasi yang positif.
4)
Kesiapan
kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5)
Status
pendidikan dan penghasilan pasangan.
Sekian, semoga makalah ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.Abidin,slamet.
Drs H.aminnuddin.1999. Fiqh munakahat 1.Bandung.
Drs.
Zuhri,Mohammad. 1980. Tarjemahan Tarikh
Al-tasyri’ Al-islam (sejarah pembinaan hukum islam). Darul Ikhya. Semarang
Dr.
Sopyan, yayan M,Ag . 2010. Tarikh Tasyri
(Sejarah Pmbentukan Hukum Islam). Gramata Publishing. Depok.
Jawad,
muhamma mughniyah. 2008. Fiqh Lima Mazhab.
Lentera Anggora IKAPI.
Sabiq,
Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan
Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang
perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum
Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar
Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press.
Yogyakarta
Kompilasi
Hukum islam Di Indonesia.Bab III
peminangan. Hal.,182-183
Sabiq,
Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan
Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Tihami dan
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2,
Jakarta: Rajawali Press, 2010,
[2] Wanita
yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena
meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah
Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[3]
Perkataan sindiran yang baik.
[4] Drs.
Slamet abidin fiqh munkahat 1. 1999,.hlm.42
[7] Sabiq,
Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan
Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
[10] Sabiq, Sayid.
(1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT
Al Ma’arif. Bandung
[11] Sabiq,
Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan
Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
[14] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian
Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm. 21
[21]
file:///F:/hukum-perkawinan-bab-iii-peminangan.html
0 Response to "Makalah Tentang Pinangan"
Posting Komentar