Seserahan secara
etimologi berasal dari kata Serah yang artinya menyerahkan[1]
dan mendapatkan imbuhan –an menjadi Serahan adalah
sesuatu yang diserahkan. Sedangkan seserahan menurut terminologi
adalah menyerahkan sejumlah barang berupa alat perlengkapan rumah tangga
seperti perhiasan, tempat tidur, lemari, meja kursi, alat-alat dapur dan lain
sebagainya yang diserahkan kepada wali pengantin wanita sebelum akad nikah,
termasuk didalamnya ada barang yang dipersiapkan untuk membayar maskawin pra
akad nikah.[2]
Bapak Rois, sesepuh desa Mundu memberikan
penjelasan tentang seserahan dalam sebuah kesempatan wawancara dengan
peneliti.
Ingkang dipun wastani sasrahan utawi
srah-srahan utawi seserahan punika, masrah ake saliring umbarampe ingkang dados
adat tata cara ingkang lumampah ing kitha/ dhusun ngriku, wondene wijudipun
warni-warni kadosta:
a)
Ubarampe wajib : panjang ilang, majemukan.
b)
Kudangan : minangka pamundhutipun calon pengantin putri
c)
Pamesing : arupi pangageman (sarung, badhe rasukan)
d)
Pelangkah : mligi kangge sadherek sepuh pengantin putri nglangkahi
sederekipun sepuh
e)
Taksih wonten malih panunggilahipun kados dene arta pangageman kangge calon
pengantin putri, ingkang boten mujudake kudangan [3]
Ada juga yang berpendapat bahwa seserahan adalah
upacara penyerahan barang-barang ( jw, raja peni, guru bakal, guru dadi)
sebagai tanda asih kekeluarga dari calon memepelai putra kepada calon memepelai
putri. Barang-barang tersebut juga sering disebut sebagai Peningset. Ini
melambangkan bahwa sudah ada ikatan sayang antara calon mempelai putra dengan
calon mempelai putri.[4]
Tidak banyak memang masyarakat yang memberikan
penjelasan secara mendetail tentang seserahan. Namun yang jelas
keberadaan seserahan ini sangat diyakini bahwa seserahan menjadi
salah satu syarat dalam perkawinan oleh hampir semua kalangan masyarakat
khususnya desa Mundu dan umumnya masyarakat Indonesia.[5]
Di bawah ini tanggapan dari beberapa kalangan
masyarakat desa Mundu Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes. Pertama bapak Casmadi,
pekerjaan buruh tani kondisi ekonomi prasejahtera. Bertempat tinggal di Rt 04
Rw 02. Beliau mengatakan bahwa ”sarahan (seserahan) kuwe ya kudu ana
yong kewajibane wong tua ngopeni anak, meski wong ora duwe mbuh apa”. (Bagi
dia merupakan suatu keharusan karena merupakan bagian dari ngopeni anak[6]
walaupun dia orang tidak mampu).” Namun
acara seserahan tersebut di-anak-anakna bagjane olih utang”.[7] Ujar
bapak Casmadi. Karena jika tidak dilaksanakan dia merasa malu dengan masyarakat
sekitar rumah tempat tinggalnya.
Lain halnya dengan tanggapan bapak Wardi,
pekerjaan penjual beras kondisi ekonomi cukup. Bertempat tinggal di Rt 05 Rw
02. Beliau mengatakan bahwa “kawajibae wongtua supados ngadakake seserahan
niku (adat seserahan itu suatu kewajiban bagi seorang ayah untuk
mengadaakan acara tersebut). Lamon ora diadakake isin maring tangga bokat di
glendengi, masa wong sing yambutgawene ora nggenah bisa ngadakake seserahan
masa kula sing cukup ora bisa. Intine kula boten kalah karo wong-wong kuwe
mau”. Ujar bapak Wardi. (Karena menurutnya seserahan bisa
dilaksanakan oleh orang yang pendapatannya jauh dibawahnya masa saya tidak bisa
mengadakannya dan menyangkut gengsinya di tengah-tengah masyarakat). [8]
Disamping itu seserahan juga merupakan
sarana untuk mencirikan besar kecil atau tolak ukur kemampuan dalam ekonomi
dimata masyarakat lainnya.
Berbeda dengan kedua orang di atas, bapak Sutarno,
pekerjaan penjual, kondisi ekonominya cukup. Bertempat tinggal di Rt 02 Rw 01.
Ia berpendapat bahwa seserahan itu tidak menjadi suatu keharusan bagi
saya karena seserahan merupakan adat istiadat yang tidak ada
sangkut-pautnya dalam syariat Islam. Mengadakan seserahan itu tergantung
masing-masing niat dan individunya. Kalau memang kondisi ekonomi kita ada, ya
saya akan mengadakan adat seserahan tersebut, tetapi kalau toh tidak ada
tidak mengakibatkan kerugian bagi saya, hanya saja masyarakat pasti mencibir
saya.[9]
“Ujar bapak Sutarno”.
Sejarah Seserahan
Tidak banyak orang yang mengetahui secara betul dari mana asal adat
seserahan ini, banyak orang yang mengatakan bahwa adat seserahan ini
sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tradisi ini konon dibawa dari kebiasaan
orang-orang Bugis dalam melangsungkan pernikahan dan kini membumi dan menjadi
tradisi pula di beberapa kawasan tertentu di negeri ini. Khususnya di Desa
Mundu Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes, walupun dengan beberapa modifikasi.
Contohnya pada tempo dulu, seseorang sebelum
melangsungkan pernikahan terlebih dahulu menyerahkan sejumlah uang kepada calon
mertua. Kemudian dari pihak mertua sudah menyediakan rumah beserta perabotannya
untuk ditempati kedua mempelai selamanya.[10]Namun tradisi seperti itu mengalami pergeseran, sebelum akad nikah
seseorang mempelai laki-laki dituntut untuk menyerahkan semua keperluan rumah
tangga. Dari mulai perabotan dapur, lemari, tempat tidur, perhiasan
dan lain sebagainya untuk kehidupan kedua pasangan kelak. Artinya seorang
laki-laki dituntut untuk bisa membangun
sebuah rumah untuk tempat tinggal bersama sang istri.
Permasalahannya tidak jarang orang tua
mempelai perempuan yang mengambil barang-barang seserahan itu untuk
keperluannya sendiri, sehingga itu menjadi beban bagi calon suami. Seserahan
pun seakan-akan dijadikan sebagai syarat untuk menuju kepernikahan. Tidak jarang orang yang tidak melakukan adat seserahan belum
dikatakan lengkap
dalam melaksanakan sebuah pernikahan.[11]
Menilik realitas seserahan, nampaknya tradisi ini tak lain
adalah suatu persyaratan yang merupakan kesepakatan atau tawar-menawar antara
pihak laki-laki dengan orang tua si perempuan. Tujuannya untuk memberikan lampu
hijau bagi sang laki-laki untuk mempersunting si gadis.
[1]W.J.S
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984),
hal. 923.
[2]Wawancara
dengan sesepuh warga desa Mundu Bapak Rois di kediamannya 18
Januari 2014, 19.00 WIB.
[3] R.M.A. Sudi Yatmana, Upacara Pengantin (Tata Cara Kejawen),
(Semarang: CV. Aneka Ilmu, Anggota IKAPI, 2001), Cet. Ke-2, hal. 5.
[4] R.M.S. Gitosaprodjo, Pedoman Lengkap Acara dan Upacara
Perkawinan Adat Jawa, (Surakarta: CV. Cendrawasih, 2010), hal. 10.
[5] Wawancara dengan bapak Casmadi, salah satu warga desa Mundu, di kediamannya pada tanggal
2 Maret 2014. 16.00 WIB.
[6] Ngopeni anak artinya memelihara anak. Jadi salah satu
caranya adalah dengan seserahan.
[7] Di-anak-anakna bagjane olih utang artinya acara seserahan tersebut
harus diadakan bagaimanapun caranya walapun uangnya dapat berhutang.
[8]
Wawancara dengan bapak Wardi, salah satu warga desa Mundu, di kediamannya pada tanggal
5 Maret 2014. 15.00 WIB.
[9]
Wawancara dengan bapak Sutarno, salah satu warga desa Mundu, di kediamannya pada tanggal
8 Maret 2014. 15.00 WIB.
[10]Abu Yasid, Fikih Keluarga . . ., hal. 72.
[11]Wawancara
dengan sesepuh warga desa Mundu Bapak Rois di kediamannya 18
Januari 2014, 19.00 WIB.
0 Response to "Pengertian dan Sejarah Seserahan"
Posting Komentar