Relasi Seserahan dengan Walimah


Sebelum membahas relasi seserahan dengan walimah lebih jauh, penulis akan menjelaskan pengertian dari walimah itu sendiri dan hal-hal yang terkait dengan walimah.
Pengertian Walimah
Walimah الوليمه            artinya Al-jam’u= kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat, dan para tetangga.
Walimah الوليمه berasal dari kata Arab: الولم artinya makanan pengatin. Walimah sama artinya dengan perjamuan kawin (sesudah nikah)[1] maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Biasa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.[2]
Walimah diadakan ketik acara akad nikah belangsung atau sesudahnya atau ketika hari perkawinan (mencampuri isrinya) atau sesudahnya. Walimah bias juga diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dasar Hukum Walimah
Mayoritas ulama mengatakan bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunah mu’akad.[3] Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah Saw:
عن انس قال :مَا اولِم رسول الله صلى الله  عليه وسلم على شَىءٍ مِن نِسَا ئِهِ مَاَ اولِم على زَينَبَ اَو لِم بِشَاةٍ[4]
Artinya: “Dari anas, ia berkata “Rasulullah Saw. Belum pernah mengadakan walimah untuk istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk zainab, beliau mengadakan walimah untuknya dengan seekor kambing”

Beberapa hadis di atas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh Nabi Saw. Perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.
Hukum Menghadiri Undangan Walimah
Untuk menunjukakan perhatian, memerintahkan, dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang di undang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:[5]
a.    Tidak ada udzur syar’i.
b.    Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar.
c.    Tidak membedakan kaya dan miskin.
Dasar hukum mendatangi undangan walimah adalah dalam hadis Nabi Saw. Sebagai berikut:
إِذَا اُدْعِيَ اَحَدُ كُم اِلَى الطﱠعَامِ فَليُجِبْ لَاِن شَاءَ طَعم شَاءَ تَركٌ[6]
Artinya: “Jika salah seorang di antaramu diundang makan, hendaklah diijabah dikabulkan, jika ia menghendaki makanlah, jika ia menghendaki tinggalkanlah.”
عن ابى هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: وَمَن تَرَكَ الدﱠعوَةَ فَقَد عَصَى الله وَرَسُو لَهُ[7]
Artinya: Dari Abu hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Barang siapa tidak mengahadiri undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ada ulama yang berpendapat bahwa hukum mengahadiri undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ulama yang mengatakan sunah, akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ulama, adalah sunah muakkad. Sebagian golongan imam Syafi’i berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibn Hazm menyangkal bahwa pendapat ini dari jumhur Sahabat dan Tabi’in. Karena hadis-hadis di atas memberikan pengertian tentang wajibnya mengahdiri undangan, baik undangan mempelai maupun walinya.[8]
Bentuk Walimah
Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan untuk mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau bentuk maksimum dari walimah itu, sesuai dengan sabda-sabda Rasulullah Saw di atas.
Hal ini memberikan isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai dengan kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya, dengan catatan, agar dalam pelaksanaan walimah tidak ada pemborosan, kemubaziran, lebih-lebih disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.[9]
Relasi Seserahan dengan Walimah
Melihat dari pengertian, dasar hukum, bentuk seserahan dengan walimah di atas, kita sudah bisa mengetahui bahwa, keduanya tidak memiliki kesamaan. Seserahan dalam perkawinan tidak lain merupakan adat istiadat atau tradisi yang turun temurun dari leluhur. Karena hal ini telah dilakukan masyarakat berpuluh tahun yang lalu bahkan mungkin ratusan tahun, maka tradisi ini dianggap merupakan sebuah tradisi, yang kemudian masyarakat menganggapnya suatu keharusan untuk dilaksanakan.
Berbeda dengan walimah. Sebab walimah keberadaannya ditengah pesta pernikahan adalah wajib. Mengadakan walimah setelah dhukul (bercampur), berdasarkan perintah Nabi saw kepada Abdurrahman bin ’Auf r.a. agar menyelenggarakan walimah sebagaimana telah dijelaskan pada hadits berikut. Dari Buraidah bin Hushaib bertutur, ”Tatkala Ali melamar Fathimah r.anha, berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah.”[10]
Hukum dari walimah dianjurkan oleh Rasulullah untuk segera mengadakan walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing.
Dari segi hukum seserahan dan Walimah memang tidak ada kaitan sama sekali. Namun, dalam seserahan terdapat istilah rasul yang di dalamnya memiliki makna barang bawaan yang dibawa oleh calon suami berupa bahan-bahan untuk keperluan walimah, seperti beras, sayur-mayur, hewan sembelihan misalnya ayam, kambing atau sapi tergantung kemampuan ekonomi calon penganten laki-laki. Barang-barang tersebut diolah dan dimasak untuk keperluan walimah setelah akad nikah. Jadi relasi dari seserahan dengan walimah memiliki hubungan yang sangat erat.[11]






[1]W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa . . . , hal. 1147.
[2]Slamet Abidin dan H. Aminuddin, hlm. 149. Dikutip dari H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010),  hal. 131.
[3]H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 132.
[4] Al-Hafid Ibn Hajar Al-Asqolani, Bulughul Al-Marom (min adilatil ahkam) (Surabaya: Warunnashri, 773-852 H.), hal. 219. Hadis dari Bukhari.
[5]H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,. . . , hal. 134.
[6]Al-Hafid Ibn Hajar Al-asqolani, Bulughul Al-Marom (min adilatil ahkam) (Surabaya: Warunnashri, 773-852 H.), hal. 218. Dengan nomor hadis 1068.
[7]Moh. Rifa’i, Moh. Zuhri, Salomo, Terjemahan Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra), hal. 134. Hadis dari Bukhari.
[8]Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,. . ., hal.135.
[9]Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,. . .,hal.137.
[10]H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani Fikih Munakahat . . ., hal. 132.
[11]Wawancara dengan sesepuh warga desa Mundu Bapak Rois di kediamannya 28 februari 2014, 20.00 WIB.

Related Posts :

0 Response to "Relasi Seserahan dengan Walimah"

Posting Komentar