Kaidah Fiqih Tentang Dispensasi




Bab IV
Kaidah Taisir ( Dispensasi )
A. KAIDAH TAISIR
ﺘﺠﻠﻴﺐﺍﻠﺘﻴﺴﻴﺮ ﺍﻠﻣﺸﻗﺔ     
Artinya: kesukaran itu melahirkan kemudahan.
Yang dimaksud taisir ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan karena adanya kesukaran sebagai pengecualian daripada kaidah hukum. Dan yang dimaksud masyaqqat ialah suatu kesukaran yang didalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yan bersifat kesempurnaan komplementer.
Yang menjadi pijakan munculnya kaidah komprehensip ketiga ini adalah firman Allah surat al-Nisa ayat 28 sebagai berikut:
 
Artinya: Allah itu mencintai kemudahan bagi kamu sekalian. (Hal.122)
B.  DASAR KAIDAH TAISIR
1.      Al-Quran
   Surat al-Baqarah ayat 185
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu.
2.      Hadits
HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah
ﺍﻠﺴﻤﺣﺔ ﺍﻠﺣﻧﻓﻴﺔ ﺍﻠﻠﻪ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﺪﻴﻦ ﺍﺣﺐ ﻴﺴﺮ ﺍﻠﺪﻴﻦ
Artinya: Agama itu adalah mudah, sedang agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah.
     Dari contoh dalil al-quran dan hadits Nabi tersebut, dapat diambil pemahaman bahwa kesulitan yang terdapat didalam sesuatu itu, menjadi penyebab diperolehnya suatu kemudahan dan keringanan dari sesuatu tersebut, sehinga kesulitan yang ada didalamnya bisa ditekan besarnya dalam bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum dalam mengaplikasikan ketentuan yang ada.
      Dengan demikian, jika ditemukan ada seseorang yang diperintah untuk melakukan salah satu diantara dua hal, lalu ia memilih yang paling ringan, maka pilihannya tersebut lebih dicintai oleh Allah swt. Oleh karena itu muncul kaidah komprehensif ketiga.
C. SEBAB-SEBAB KERINGANAN
1.      Al-ikrah ( Intimidasi )
a.       Pengertian Ikrah (intimidasi)
Ikrah adalah menyuruh orang lain untuk melakukan amaliyah tertentu, dengan memberikan ancaman, sehingga yang dipaksa ( mukrah ) mengalami ketakutan.
b.      Kriteria Ikrah
Menurut Imam Al-Syuyuti, ikrah yang memenuhi kriteria adalah:
-          Pemaksa ( mukrih ), maksudnya mukrih yang mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui sarana kekuasaan maupun gencarnya intimidasi atau terror.
-          Yang dipaksa ( mukrah )
a.       Mukrah tidak mampu menolak dengan cara apapun, baik dengan melarikan diri maupun minta pertolongan.
b.      Mukrah mempunyai dugaan kuat bahwa jika ia menolak, maka mukrih akan menjatuhkan atau merealisasikan ancamannya.
c.       Mukrah hanya bisa selamat jika mau melaksanakan ancamannya.
-          Objek Ancaman
a.    Ancamannya adalah sesuatu yang haram dikerjakan, misalnya membunuh,  merampok, dan sebagainya.
b.    Ancamannya berupa sesuatu yang jelas dan tidak abstrak.
c.    Ancamannya harus berupa sesuatu yang bias dilaksanakan

c.       Klasifikasi Ikrah ( intimidasi )
1. kalangan Hanafiyah mengklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. ikrah mulja, yaitu suatu paksaan denan menggunakan suatu ancaman membunuh atau memotong salah satu organ tubuh.
b. ikrah ghairu mulja, yaitu suatu paksaan yang hanya berupa pemukulan, penjara, perampasan harta benda dan sebagainya.
      2. kalangan syafiiyah, mengklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ikrah Bil Haq, yaitu paksaan yang dibenarkan, misalnya memaksa orang yang memiliki hutang yang telah jatuh tempo untuk menjual barang miliknya una membayar hutang-hutangnya. Hal ini diwajib dipenuhi oleh yang dipaksa.
b. ikrah bi Ghoiril Haq ( paksaan yang tanpa ada alasan yang benar ). Jenis ini terbagi lagi menjadi dua kategori, yaitu:
i. ikrah Haram, yaitu misalnya paksaan untuk membunuh. Maka ia mendapatkan hukuman qishash.
ii. ikrah Mubah, yaitu misalnya dipaksa mencuri barang orang lain. Maka konsekuensinya  hadnya adalah mukrih ( orang yang memaksa ).
2.      Al-Nis-yan ( lupa )
a.       Pengertian Nis-yan dan al-Sahwu
Nis-yan adalah hilangnya daya ingatan terhadap hal-hal yang sudah diketahui (malum, yaitu hilangnya memori ingatan) dan untuk mengingat kembali dibutuhkan usaha dari awal.
Sedangkan yang dimaksud dengan istilah sahwun ialah hilangnya daya ingatan terhadap hal-hal yang sudah diketahui, tetapi keadaannya hanyalah bersifat temporal  atau sementara, sehingga dengan cara nengingat sedikit hal-hal yang diingatkan, maka secara langsung otak mampu merekam kembali data dan memori yang sempat hilang.
Al-Karmani berpendapat bahwa Nis-yan ialah hilangnya sesuatu yang sudah diketahui dari daya hafal dan ingatan. Sedangkan sahwu ialah hilangnya hal-hal yang sudah diketahui dari daya hafal saja.Al-Burmawiy berpendapat bahwa jika ingatannya bisa kembali dalam waktu yang tidak begitu lama, maka namanya sahwu. Akan tetapi jika agak lama, maka namanya nisyan.
b.      Tipologi Nis-yan
Dari definisi yang redaksinya berbeda-beda tersebut, maka nis-yan dalam hubungannya dengan masalah keringanan atau rukhshah dan konsekuensinya hukuman, nis-yan dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu
1.   Jika bentuk nis-yan itu berupa meninggalkan sebuah kewajiban, maka hakikat dari kewajiban tersebut belum dianggap gugur . Artinya jika ingatan sudah normal kembali, maka kewajiban tersebut wajib dikerjakan kembali.
2.   Jika bentuk nis-yan itu berupa melakukan suatu larangan, maka yamg muncul adalah dua kategori, yaitu:
a. Jika larangan tersebut berhubungan dengan perusakan harta  benda orang lain, maka tidak berdosa, tetapi tetap harus membayar ganti rugi (kompensasi/ dolman)
b.Jika tidak berhubungan dengan perusakan, maka tidak ada dosa atau tidak ada ganti rugi apa-apa.
c. Jika bentuk nis-yan itu terjadi pada hal-hal yang berakibat fatal, seperti hukuman dera (uqubah), maka nis-yan dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya subhat (tidak jelas), sehingga dapat mengugurkan uqubah tersebut.
Dengan demikian, maka keadaan orang yang melakukan dosa karena lupa, baginya bebas dari sanksi, seperti makan pada saat berpuasa ramadhan. Atau salam sebelum sholat selesai, lalau berbicara dengan sengaja, setelah ingat bahwa ia belum selesai, maka baginya boleh langsung melanjutkan sholatnya.
3.    Al-Jahl ( ketidaktahuan atau bodoh)
Adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh islam, dan ia selalu ada pada siapa saja, dimana saja dan kapan saja, tapi islam tetap memberinya posisi dan ruang yang proposional pada jenis-jenis ketidaktahuan yang tetap bisa mendapatkan keringanan ( rukhsoh ) dalam menjalankan kewajiban.
Ketidaktahuan ( Jahl ) diklasifikasikan pada dua kategori, yaitu:
a. Jahl ( ketidaktahuan ) terhadap hukum islam itu lantaran ia baru masuk islam( muallaf ). Dalam kondisi seperti ini, islam memberikan toleransi yang sangat kuat dan rasional serta proposional
Contoh: kasus orang berkumur dalam berwudhu, lalu sisanya ditelan, padahal sedang berpuasa, karena ketidaktahuannya itu masih ditolerir dan mendapatkan ampunan, puasanya pun dianggap tidak batal.
b.Jahl karena ia sedang berada didalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.
Contoh: kasus laki-laki yang berpoligami lebih dari empat perempuan jika sudah mengerti dan sudah diberitahu tentang hokum islam maka secara langsung laki-laki tersebut harus meninggalkan perempuan yang kelima dan seterusnya.
4.   Al-Usyr ( kesulitan ) dan Umumu Al-bawa ( wabah penyakit )
Sikap islam tidak pernah bersikap kaku, dan semuanya dipandang dari berbagai perspektif yang berbeda, sehingga hokum yang sudah ditetapkannya selalu bersifat objektif, koperatif, komprehensif.
Kasus shalat dengan barang najis yang sulit terhindari misalnya darah, kudis, atau kotoran debu jalan dan lain sebagainya.
5.   Al-Safar ( bepergian ) dan tipologinya
Islam menentukan bahwa tipologi rukhshah (keringanan) yang boleh dilakukan oleh orang islam yang sedang mengalami perjalanan itu, dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam al-Nawawi.
1. Tipe ini hanya dilakukan oleh orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, yaitu
-    Meringkas shalat (qashar)
-    Mengumpulkan (menjama) shalat, sekalipun masih dipersilisihkan dalam hal apakah perjalanannya itu harus mencapai 2 marhalah atau tidak
-    Tidak berpuasa dibulan ramadhan (ifthor)
-    Membasuh muzah lebih dari 24 jam (sehari semalam)
2.  Tipe ini hanya dilakukan oleh orang yang dalam kondisi tertentu, yaitu
-    Meninggalkan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat dhuhur
-    Memakan bangkai
3.   Tipe ini hanya dilakukan oleh orang yang kondisi tertentu, sekalipun masih diperselisihkan dalam hal apakah perjalanannya itu harus mencapai 2 marhalah atau tidak, yaitu
-    Shalat sunah di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat
-    Hilangnya kewajiban shalat yan telah dilakukan, sekalipun bersuci dengan tayamum.
6.   Al-Maradl ( sakit )
Islam memberikan banyak keringanan hokum bagi penderita penyakit dalam menjalankan ajaran agama, tetapi bukan berarti setiap jenis penyakit akan bisa memperingan hokum.
Oleh sebab itu, untuk membedakan penyakit apa yang bisa dan yang tidak bisa mendapatkan keringanan, para ahli hokum islam menawarkan metode taqribi (analisis kualitatif) dengan cara mengambil sampel pada kualitas objek yang bersankutan dari beberapa aspek. Seperti
-       Bagaimana kondisi tubuhnya
-       Separah apakah penyakit yang dideritanya
-       Apa dampak negative yang ditimbulkannya
-       Bagaimana pengalaman lain pada saat ia tertimpa hal serupa dan sebagainya. Sebagaimana beberapa aspek di atas, maka maka islam memberikan rukhshah.
7.   Al-Naqsh ( Kurang )
        Adalah nilai kurang yang sifatnya insting-psikologis ( watak kejiwaan )
Contoh: Anak-anak, orang gila dan ediot, yang semua dengan jelas memiliki daya nalar dan daya pikir yang sangat kurang memadai dibanding daya nalar orang dewasa dan normal.
Contoh diatas merupakan salah satu bentuk kekurangsempurnaan sehingga memunculkan keringanan.

D. KLASIFIKASI AL-MASYAQQAT
1.   Pengertian Masyaqqat
Masyaqqat secara bahasa sulit, dan satu akar kata dengan kata syaqqa. Sedang menurut istilah, imam Al-Syathibiy mendefinisikan kata al-masyaqqat menjadi 4 arti, yaitu:
a.    Masyaqqat diartikan secara umum, yang meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh semua orang, baik mukallaf maupun tidak. Karena itu semua manusia ketika melakukan perjalanan jauh, baik menggunakan pesawat maupun jalan kaki, bisa dianggap menghadapi masyaqqat.
b.   Masyaqqat sebagai amaliyah yang pada hakekatnya mampu dikerjakan oleh manusia, hanya saja hal tersebut akan bisa menjadi penyebab orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat berat.
c.    Masyaqqat dalam arti kesulitan yang kondisinya tidak sampai keluar dari batas kebiasaan umum atau batas kewajaran
d.   Masyyaqqat sebagai sesuatu yang melawan hawa nafsu
2.   Klasifikasi Masyaqqat
a.   Masyaqqat yang tidak dapat menggugurkan suatu kewajiban atau ibadah misalnya. Rasa lelah ketika melakukan ibadah haji. Hal ini tidak secara otomatis mengugurkan suatu kewajiban haji itu sendiri.
b.   Masyaqqat yang bisa menggugurkan kewajiban seperti
-     Al-massyaqqat al-A’la ( kesulitan tertinggi ) misalnya perasaan khawatir akan keselamatan jiwa . pada strata inilah syariah memberikan keringanan, sebab khif an-nafs yaitu menjaga jiwa
-    Al-Masyaqqat Al-Adna ( kesulitan terendah ) seperti pegal-pegal flu dan sebagainya. Maka strata ini tidak mendapatkan rukhsoh.
-    Al-masyaqqat al-Mutawassithah ( keesulitan menengah- sedang )
3.   Tipologi beban dan al-masyaqqat
      As-Saqtibiy membagi dalam beberapa tipologi
a.       Tipologi taklif  
1.   Beban kewajiban dengan sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan artinya beban kewajiban yang mengharuskan syarat kemampuan orang dewasa dalam melakukan kehendaknya.
2.   Beban kewajiban dengan sesuatu yang didalamnya mengandung kesulitan.
b.      Tipologi Masyaqqat
-    Al-masyaqqah al- Idltirary yaitu kesulitan yang merupakan konsekuensi logis         dan tidak bisa dihindari dari suatu amaliah atau kewajiban tertentu.
-    Al-Masaqqah al kharijy yaitu kesulitan yang tidak memiliki hubungan apapun dengan kewajiban.
c.    Tipologi Takhfif
               Syekh Izuddin bin abdu salam membaginya menjadi 6 macam
1.   Takhfifu al- Isqath yaitu keringanan dengan pengguguran kewajiban. Seperti gugurnya shalat jum’at, haji dan puasa karena ada halangan ( Udzur ).
2.   Takhfifu al- Tanqishi yaitu keringanan dengan bentuk pengurangan beban. Seperti mengqashar shalat.
3.   Takhfifu al-Ibdali yaitu keringanan dengan bentuk penggantian atau perubahan. Seperti wudhu diganti dengan tayamum .
4.   Takhfifu al-Taqdimu yaitu keringanan dengan bentuk mendahulukan, baik sebab dalam perjalanan maupun dalam keadaan hujan lebat. Seperti jamak taqdim dan mempercepat pengeluara harta zakat sebelum tiba waktunya ( ta’jil zakat )
5.   Takhfifu al-Ta’khiri yaitu keringanan dengan bentuk pengakhiran. Seperti jama’ ta’khir atau penundaan puasa ramadhan lantaran sakit atau bepergian.
6.   Takhfifu al-Tarkhisi  yaitu keringanan dengan bentuk kemurahan. Seperti minum-minuman keras atau makan-makanan najis karena pengobatan.
7.   Takhfifu al-Taghyir yaitu keringanan dengan bentuk perubahan. Seperti perubahan tata urutan gerak shalat dalam keadaan menakutkan atau peperangan.

E.  KLASIFIKASI RUKHSOH
1.      Rukhsoh al-wajibah ( kemudahan wajib ) seperti memakan bangkai bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkan makan
2.      Rukhsoh sunah ( kemudahan sunah ) seperti shalat qashar dan berbuka bagi seorang musafir yang sudah memenuhi semua persyaratannya .
3.      Rukhsoh mubah ( kemudahan mubah ) seperti akad mubah ( transaksi pemesanan ).
4.      Rukhsoh Al-Khilafu al- aula ( kemudahan menyalahi keutamaan ) seperti shalat jamak bai orang sakit dan musafir.
5.      Rukhsoh Makruhah ( kemudahan makruh ) contoh qashar shalat bagi musafir yang jarak perjalanannya kurang dari ukuran nominal orang diperbolehkan mengqashar shalat.
F.  KAIDAH MINOR DALAM KAIDAH  KETIGA
1.      Kaidah minor pertama kaidah longgar
 ﺘﺴﻊ ﻤﺮ ﺍﻷ ﻀﺎ ﺇﺬﺍ
             Artinya suatu perkara apabila sempit maka diperluaskan.
Maksudnya, jika muncul kesulitan dalam suatu perkara , maka perkara tersebut menjadi diperlonggar dan diperluas. Makanya keringanan hokum akan bisa diperoleh  jika disebabkan adanya kondisi yang sulit dan sempit. Contoh sulitnya menghindari  banyaknya anjing yang berkeliaran didaerah yang banyak anjing, lalu menyenggol baju.
2.      Kaidah minor kedua, kaidah sempit.
  ﻀﺎ ﻤﺮ ﺍﻷ ﺘﺴﻊ ﺇﺬﺍ
Artinya suatu perkara apabila luas maka dipersempit
 Contoh:  Shalat khauf
Dalam kondisi berperang, orang boleh melakukan shalat denan cara apapun, sekalipun dengan cara berlari, akan tetapi jika peperanan sudah selesai, maka ia harus melakukannya sesuai dengan syarat dan rukunnya, dan ia tidak boleh melakukan gerakan yang banyak.
3.      Kaidah minor ketiga, kaidah kebablasan.
 ﺿﺪﻩ ﺇﻠﻰ ﺇﻨﻌﻛﺲ ﺤﺪﻩ ﺗﺟﺎ ﻣﺎ
Artinya: semua yan melampai batas itu, hukumnya berbalik pada kebalikannya.
Kaidah minor ini dibuat oleh Imam Al-ghazali akibat dari adanya dua kaidah minor yang secara lahiriyah bertentanan, sehingga dengan kaidah yang dibuatnya bisa dijadikan dasar untuk menkompromikan keduanya.
Contoh : Rasa manis atau asin itu memeng enak, akan tetapi jika terlalu manis atau asin maka jadinya tidak terlalu enak.

Related Posts :

0 Response to "Kaidah Fiqih Tentang Dispensasi"

Posting Komentar